Ketiak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jantung makin deg-degan. Ini anak serius mau tidur di sini? Alasannya apaan? Allah ....

"Tidur di sini? Untuk apa, Rayendra?" tanya Mas Dewa.

Jangan kasih dia tidur di sini, Mas! Karena aku juga nggak mau jadi sekamar sama kamu. Enak aja, hukuman buat kamu bahkan belum aku jatuhkan. Masa iya sekarang bakal satu ranjang. Ogah pokoknya!

"Orang tua saya lagi pulang kampung, Pak. Di rumah nggak ada siapa."

"Terus kamu takut di rumah sendiri?

"Bukan, Pak."

Dih, lama banget dah tanya jawabnya. Langsung aja bilang alasan absurdmu nginap di sini tuh apaan, Ray!

"Kalau bukan takut, terus apa?"

"Saya nggak bisa tidur kalau nggak pegang ketek bapak atau ibu saya, Pak."

Subhanallah. Ini anak parah. Bikin ngelus dada berkali-kali. Jadi alasannya adalah nggak bisa tidur tanpa megang ketek? Astaga, Rayendra!

"Ray, kamu serius udah seumur gini masih megang ketiak?"

Mas Dewa lalu tertawa kecil setelah bertanya, sedangkan aku terus menggeleng. Benar-benar nggak percaya dengan apa yang diucapkan sama tuh bocah. Wajah imut sama ganteng, dan ternyata kebiasaannya juga nggak kalah dari itu. Gila ini namanya.

"Beneran, Pak. Saya nggak bakal tidur kalau belum megang ketek. Saya udah datangi teman-teman, tapi orang tua mereka nggak mau, Pak. Terpaksa saya ke sini."

Alasanmu, Ray! Melas banget lagi tuh suara. Lagian aku nggak yakin dia datangi rumah teman-temannya. Palingan juga bohong. Ckckck!

Sekarang rasanya pengen keluar terus ngusir Rayendra, tapi jadinya kan aneh di depan Mas Dewa. Apalah daya, cuma bisa nempelin badan ke pintu sambil masang pendengaran baik-baik. Sesekali juga perbaiki rambut yang nutupi telinga. Momen langka tak boleh terlewatkan.

"Jadi maksudnya kamu mau tidur sama saya dan pegang ketiak saya, Ray?"

Dodol kamu, Mas! Usir aja dia. Suruh pergi. Ngapain pula pakai diladeni?

"Iya, Pak. Boleh, ya? Sekali ini aja, Pak," jawab Rayendra memelas.

Sekali ini aja kepalamu miring! Bohonglah. Besok-besok juga bakal datang dengan ide gila lainnya. Kemarin numpang toilet, sekarang numpang tidur, besok bisa jadi numpang hidup selamanya di sini. Aku mengembuskan napas kasar. Kesel banget dah sama anak ini.

"Yaudah, masuk. Kita tidur di kamar tamu, ya."

"Makasih banyak, Pak."

Setelah Rayendra berucap, terdengar pintu dikunci. Aku buru-buru balik ke ranjang. Takutnya nanti Mas Dewa  mampir ke sini dulu dan ketahuan deh kalau aku nguping. Cuma dipikir-pikir, suamiku itu baik banget sama orang. Buktinya dua kali Rayendra ngasi alasan aneh, tetap aja dia percaya. Lah, giliran sama istri sendiri malah disakiti. Kamu emang perlu dikasih pelajaran, Mas. Lihat aja besok!

Sunyi, tak ada suara lagi. Mereka udah pada tidur atau gimana? Jadi kepo aku. Hemmm ....

Baru mau turun dari ranjang, layar ponsel nyala. Ada notif WhatsApp. Deg-degan pas liat nama pengirimnya.

[Saya tahu Ibu belum tidur. Ibu juga pasti tahu saya nginap di sini.]

Ya, aku tahu. Terus ngapain lagi kamu WhatsApp buat bilang ginian doang?

[Saya sengaja tidur di sini, biar Ibu dan Pak Dewa nggak bisa tidur bareng. Saya nggak terima kalau Ibu yang udah jelas-jelas diselingkuhi, masih juga disentuh-sentuh.]

Tanpa kamu ke sini pun aku nggak tidur sama dia, Ray. Dasar bocah, emang sok pintar.

[Dan alasan saya nggak bisa tidur tanpa megang ketek itu bohong, Bu.]

Sudah kuduga, Ferguso! Eh, Rayendra maksudnya.

[Dan juga saya lakuin ini biar bisa dekat sama Ibu. Saya tahu ini nekad dan gila. Tapi emang kayak gitu maunya hati saya, Bu. Karena untuk jauh sama Ibu, rasanya saya kehilangan udara. Sesak, Bu.]

Memanaslah sekarang wajah dan hati ini.

Apa hati bisa sebegitu gilanya jika sudah menginginkan sesuatu? Lantas bagaimana jika ada hal-hal yang tak dapat dilanggar? Seperti statusku sekarang.

Dua beban di pundak ini. Satu menjaga kehormatan sebagai seorang istri, kedua mempertahankan harga diri sebagai guru. Untuk itu, semua memang harus diakhiri.

Karena ada saat logika menang atas kebenarannya. Tak selalu hati yang menjadi juara dalam setiap perdebatan. Meskipun memang perasaan tidak bisa disalahkan.

Rayendra, kamu seharusnya berhenti karena ini semua salah.

[Selamat bobo Ibu Anty yang cantik. Saya juga mau tidur, sambil pegang ketek Pak Dewa. Ini tanda keseriusan saya sama Ibu.]

Jiah, bocah! Yang nyuruh kamu tidur sambil pegang ketek suamiku itu siapa? Kamunya aja yang nggak jelas ngasih alasan.

Rayendra udah off. Wah, jadi penasaran aku kayak apa kejadian di kamar tamu, ya. Ngintip, ah.

Sebelum keluar kamar, aku ngaca sebentar. Setelan piama aman. Nggak ada yang aneh. Ya, ini antisipasi biar nggak kejadian kayak lingerie waktu itu. Bisa menang banyak nanti si Rayendra. Aku lalu jalan mengendap-endap ke kamar sebelah, biar nggak ada yang dengar. Eh, ternyata pintunya sedikit kebuka. Wah, bisa tahu apa aja yang mereka lakuin.

"Pelan-pelan nyubitnya," kata Mas Dewa.

Nah, pelan-pelan nyubit apaan itu? Jadi makin penasaran. Aku ngintip ke dalam dengan sedikit celah yang ada. Terlihat Mas Dewa telentang, satu tangannya ada di belakang kepala. Sementara itu, Rayendra yang di sebelahnya, nyusupin tangan ke lengan baju hitam Mas Dewa. Mainin ketek beneran? Astaga! Aku langsung tutup mulut, nahan ketawa ini.

"Sakit, Ray! Jangan gemas-gemas nyubitnya. Tadi bilang cuma pegang aja." Mas Dewa berucap kesal sambil berdecak.

"Maaf, Pak, gemas saya."

Rayendra dengan posisi meringkuk dan satu tangan di bawah kepala, tersenyum sedikit. Jadi makin manis dia. Cuma di balik itu semua, fix pengen ngakak. Allah....

Lagi asyik dengerin percakapan dan adegan absurd mereka, tiba-tiba perutku mual. Buru-buru aku balik kamar dan ke kamar mandi. Semua makanan yang masuk tadi, keluar. Kepala juga pusing.

Dengan langkah gontai aku nutup pintu kamar mandi. Lalu ngambil air putih di meja samping tempat tidur. Duduk sambil minum. Napas jadi nggak beraturan karena muntah-muntah tadi. Ah, jadi nggak bisa nerusin pemandangan itu.

Badan berasa nggak enak dan aku pun memutuskan tidur saja. Walaupun sebenarnya masih penasaran sama Mas Dewa dan Rayendra.

🍃🍃🍃

Pelan aku mengerjap, kepala terasa sakit. Ah, mau turun dari ranjang kenapa susah begini? Pusing sekali rasanya, keringetan juga, padahal AC nyala semalaman.

"Mas Dewa, kamu di mana?"

Agak serak suaraku sekarang. Apa ini efek kejadian kemarin di mall, ya? Tubuhku syok dan merasa lelah.

"Aku di sini, Say," jawab Mas Dewa. Lalu pintu terbuka.

Tampak di sana lelaki tinggi dengan bibir tersenyum. Begitu menawan, tapi sayang bukan hanya aku penikmat keindahan itu. Sakit jika teringat lagi.

"Kamu kenapa? Aku bangunin dari Subuh, kamu nggak buka mata juga. Kecapekan?"

Dia lalu mendekat, duduk di sebelahku yang masih berbaring. Tangannya menyentuh dahiku, seketika raut wajah Mas Dewa berubah.

"Kamu sakit, Sayang! Panas dahimu, tapi keringetan." Aku hanya menggeleng lemah, dia lalu meraih remote AC dari nakas dan mematikan benda berhawa sejuk itu. "Aku kompres, ya? Atau ke dokter aja?"

"Nggak usah. Aku bakal ijin nggak masuk aja," ucapku sambil meraba-raba sekitar. Mencari ponsel.

Pas buka HP, kaget lihat notif WhatsApp yang seabrek. Siapa lagi kalau bukan dari Rayendra. Abaikan dululah. Kirim chat untuk izin ke grup guru-guru di sekolah lebih penting. Aku hanya menitipkan pesan agar anak-anak mempelajari buku paket housekeeping. Teori itu cuma sekadarnya saja diperlukan dalam pelajaran ini, karena praktek yang utama. Berhubung aku nggak bisa ngajar, yaudah kasi mereka belajar sendiri aja dulu hari ini.

"Aku haus," ucapku sambil meletakkan benda pipih itu.

Tanpa berkata, Mas Dewa membantu agar posisi kepalaku lebih tinggi. Lalu dia meraih gelas berisi air dari nakas dan pelan-pelan menempelkan benda itu di bibirku.

"Makasih." Aku lalu kembali berbaring. Rasanya pusing banget, mau gerak susah.

"Aku ijin nggak kerja juga deh hari ini."

Mas Dewa mengeluarkan ponsel dari saku celana katun selututnya. Dia menelepon seseorang, mengatakan jika tak bisa bekerja hari ini. Jika begini, lelaki itu sungguh manis. Namun sayang, pengkhianatan yang terbongkar kemarin sungguh masih menyisakan luka di hatiku.

"Kamu mau makan apa, Sayang?"

Tangannya membelai pucuk kepalaku, hendak mencium, dan seketika kutekan dadanya agar tidak makin bergerak. Dahi Mas Dewa berkerut, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali tersenyum. Heleh, lelaki emang gini, nyadar salah nggak bakal berani ikutan marah.

"Aku mau makan orang," jawabku sambil menaikkan bibir sedikit.

"Makan siapa?"

"Selingkuhanmu!"

"An ...."

"Udah berapa lama kamu selingkuh?"

Pandangan Mas Dewa turun, mungkin dia tak berani menatapku.

"Dua bulan," jawabnya pelan.

"Gila emang kamu! Kita masih pengantin baru tahu, nggak?"

Emosi kembali membuncah. Badan yang tadinya lemas, kini ada tenaga untuk duduk bersandar. Aku pandangi wajahnya yang setengah tampak itu.

"Kamu udah putusin dia atau belum?" tanyaku pelan. Percuma rasanya jika membentak, toh tak akan berubah menjadi baik semuanya.

"Udah di mall kemarin." Mas Dewa menjawab masih dalam posisi menunduk.

"Siniin HP kamu!" Langsung nurut Mas Dewa ngasiin HP-nya. "Kamu save siapa nomor cewek itu di sini?"

"Udah aku hapus, Sayang. Benar," jawabnya sambil menatapku.

Ragu, aku check semua chat di WhatsApp dia dan memang tak ada wanita itu. Mas Dewa hanya pasrah saja saat benda pipihnya aku otak-atik. Awas jika ada sesuatu berbau selingkuhannya itu.

"Kirimin dia pesan, bilang kamu mau ketemu sore ini di FlapJack Pantai Kuta." Ponselnya kukembalikan setelah berucap, sedangkan lelaki berkulit putih ini hanya memandang saja. "Kamu keberatan? Kenapa? Takut rambut cewek itu aku jambak?" tanyaku beruntun.

"Nggak, Sayang. Oke, aku hubungin dia."

Cepat tangannya mengetik sesuatu di layar ponsel.

"Dasar buaya! Bilangnya nggak save nomor, tapi ternyata udah hafal. Ya, pantas ajalah kalau gitu," ucapku sambil menyipitkan mata.

Kudengar Mas Dewa menghela napas berat. Tangannya mencoba menyentuh wajahku, tapi tak jadi. "Laki-laki emang selalu salah," katanya putus asa dengan tubuh menunduk.

"Tuh, kamu tahu! Masih mau selingkuh lagi?"

"Nggak, Sayang. Ampunnn!"

Dia lalu menjewer kedua telinganya sendiri. Lihat nanti, Mas, kamu bakal tahu akibat udah berani selingkuhin aku.

"Aku pengen ke kamar mandi, tapi masih lemes buat jalan."

Mas Dewa tersenyum setelah aku berucap, kemudian bangkit dari duduk, dan membopong tubuhku. Kedua lengan ini melingkar di lehernya. Ala-ala pengantin baru ini namanya.

Pelan dia melangkah menuju kamar mandi. Wajah itu pun kuamati saksama. Seandainya waktu bisa diputar, apa kamu masih mau mengkhianati pernikahan kita, Mas? Lihatlah, kamu sekarang romantis, persis saat kita masih pacaran. Apa kesempatan yang aku kasih bisa membuat hubungan kita lebih baik nantinya?

"Kamu keluar aja," ucapku setelah turun dari gendongannya.

"Kenapa? Aku kan suamimu, Sayang."

"Aku nggak kuat bayangin kalau kamu juga pernah ngelihat cewek itu kayak gini!"

"Nggak, Sayang. Aku nggak pernah ngapa-ngapain sama dia." Dia berucap sambil menatapku lekat.

"Keluar aja dulu. Ntar aku panggil kalau udah selesai."

"Okelah, Princess ...."

Pintu kemudian ditutup.

Kata-katamu sungguh manis, Mas. Seandainya saja kamu tak membuat luka di hati ini, pasti sudah kubalas dengan panggilan yang lebih indah. Karena memang aku mencintaimu, hanya saja perih itu masih terasa sekarang.

🍃🍃🍃

Seharian aku dirawat Mas Dewa. Disuapi, dibelikan buah-buahan kesukaanku, dan sederet perhatian lainnya. Sekarang tubuh jauh terasa lebih baik. Duduk tegak di kursi sambil memerhatikan diri di kaca pun sudah bisa.

"Dia setuju buat ketemu?" tanyaku sambil mengepang rambut. Mas Dewa mengangguk sambil memegang bahuku. "Apa pun yang aku lakuin nanti, awas aja kamu berani belain dia. Langsung pisah kita!" tegasku.

"Iya, aku nurut aja." Nah, gitu kan bagus. Coba kemarin-kemarin kayak gini juga. "Oh, ya, Sayang, semalam Rayendra nginap di sini," lanjut Mas Dewa.

Deg!

Aku lupa tentang anak itu. Baru bangun kepala sakit jadi nggak ingat kejadian semalam. WhatsApp-nya juga belum kubaca, karena seharian nggak pegang HP.

"Ngapain dia nginap di sini, Mas?" tanyaku dengan nada sebiasa mungkin.

Kulihat dari kaca rias, Mas Dewa duduk di tepi ranjang, sementara pandangannya masih ke arahku.

"Katanya nggak bisa tidur kalau nggak megang ketiak dan orang tuanya lagi pulang kampung," jelasnya sambil tertawa kecil.

"Terus ketek kamu dia pegang?"

"Iya, Say. Dicubit-cubit juga. Konyol muridmu itu." Dia kali ini tertawa lebih keras dan aku pun ikut.

"Kamu lebih konyol. Mau aja ngikutin kemauannya."

Geli-geli gimana gitu ngebayangin dua cowok tidur bareng dan satunya megang ketek. Astaga!

"Latihan, siapa tahu nanti anak kita maunya juga banyak, Say."

Lalu dia berdiri dan mencium rambutku yang sudah selesai dikepang. Rasanya wajah ini memerah mendengar kata anak. Laki-laki dengan kaus putih bertuliskan DRAGON ini kemudian berlutut. Tangannya dia letakkan di atas pahaku.

"Sumpah demi Allah, aku nggak ngapa-ngapain sama dia. Aku minta maaf udah nyakitin kamu. Bisa kita lupain semua dan mulai dari awal lagi?"

Sorot matanya jelas dipenuhi harapan ditambah suara pelan yang mampu membuat hati ini bergetar.

"Aku kurang apa, Mas? Coba kamu bilang biar aku bisa introspeksi." Kubalas tatapannya lebih dalam.

Jujur, aku masih punya banyak alasan mengapa dia selingkuh. Namun, jika dipikir lagi, untuk apa aku katakan. Toh, semua tak akan berubah.

"Baby you're perfect. Sorry."

"Udahlah, nggak usah bahas lagi. Tapi bukan berarti aku udah maafin kamu. Hukuman buat kamu pun belum aku jatuhkan."

"Nggak tidur seranjang itu udah nyiksa, Sayang."

"Belum seberapa itu. Sekarang kita jalan, temui selingkuhan kamu itu," kataku. Lalu berdiri dan meraih sling bag hitam juga benda pipih kesayangan di meja rias. Tak lupa, aku pun mengambil kunci untuk membuka kartu sim ponsel dari dalam lemari. Untuk apa? Lihat saja nanti.

Lelaki yang masih berlutut itu hanya memerhatikan apa yang aku lakukan. Pasti dia penasaran. Ha ha ha!

Kami lalu melangkah keluar rumah. Setelah mengunci pintu, aku hendak meraih gagang mobil. Namun, terhenti saat melihat sesuatu.

"Mas, ambilin batu itu, dong. Sebelah pot mawar."

"Buat apa?"

"Ambil aja, Mas. Bawel, deh!"

Tanpa tanya lagi, dia mengikuti kemauanku dan mobil pun melaju tak lama kemudian.

🍃🍃🍃

Setelah setengah jam berkendara, kami akhirnya sampai di tujuan. Mas Dewa meggandeng tanganku dari parkiran ke kafe itu. Tak dipungkiri, menggunakan kaca hitam dan pakaian santai begini, dia kelihatan sangat tampan.

Kami duduk dan pelayan pun datang membawakan pesanan. Pandanganku sempat mengedar, mencari sosok yang harusnya juga ada di sini. Namun, dia belum datang.

"Saya mau es teh, sama ini."

Aku menunjuk satu gambar pancake dengan topping ice cream tiga rasa, juga choco chips. Sang pelayan mengangguk sambil mencatat.

"Es teh gelas jumbo ada, Mbak?" tanya Mas Dewa.

"Ada, Pak."

"Es teh pesanan istri saya pakai gelas jumbo, sedotan dua, sama pancake curry ini, ya."

Dih, ngapain coba pakai pesan satu gelas aja? Aku menyipitkan mata pada Mas Dewa dan dia hanya nyengir kuda. Pasti mau sok romantis. Aku lalu memakai kacamata yang sedari tadi nempel di leher kaus mustard-ku. Pandangan pun tertuju pada sunset yang mulai tampak.

Beberapa menit nunggu, es teh datang. Beneran gelasnya jumbo. Jiah!

"Minumlah, Sayang," kata Mas Dewa sambil mendekatkan gelas itu.

Aku hanya berdecak, lalu menopang dagu dengan tangan kanan. Mas Dewa tertawa kecil dan kamera ponselnya terdengar beraksi. Entah dia foto aku atau yang lain. Karena mataku melirik jalanan yang ramai.

"Kamu cantik, Sayang," ucapnya pelan.

"Aku tahu aku cantik, kamu aja yang nggak bersyukur punya istri kayak aku," jawabku tanpa mengalihkan pandangan.

"Ampun, Sayang!"

Dih, gayamu! Sekarang baru ampun-ampun.

"Mas?"

Pandanganku terangkat ketika suara itu terdengar. Wanita yang kutunggu akhirnya datang. Dia ada di belakang Mas Dewa menggunakan hot pants berpadu tank top plus cardigan.

"Aku pikir kamu sendiri, Mas," ucapnya pelan sambil melihatku.

Kacamata lalu kubuka dan memberi isyarat pada Mas Dewa agar diam saja.

"Saya istrinya dan sewajarnya kami jalan berdua. Ada masalah?" Pertanyaanku terlontar seiring dengan kaki ini mendekatinya.

Dia terlihat gugup. Tangannya tiada henti meremas satu sama lain. Sekarang, kami berhadapan, sementara Mas Dewa yang duduk tepat di sebelahku berdiri, hanya diam. Good job, Mas!

"A-da apa?" tanyanya terbata.

"Mana HP kamu?"

"Buat apa, Kak?"

Kakak? Ya, udah sepantasnya dia manggil aku kakak. Wajahnya terlihat memang lebih muda dariku.

"Siniin aja."

Cepat dia mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya. Dia terlihat takut-takut saat menyerahkan itu.

"Kamu masih sekolah?" tanyaku sambil melihat ponselnya. iPhone 5 S. Lumayan.

"Kuliah semester awal, Kak."

"Allah, kamu tahu nggak laki-laki yang kamu pacari itu udah punya istri?" Dia mengangguk. "Astagfirullah."

Berkali-kali aku menggeleng tak percaya. Mau jadi apa generasi seperti dia ini nanti? Masih muda tapi sengaja berkencan dengan pria beristri. Demi uangkah atau apa?

Aku kembali duduk, meninggalkannya sementara yang masih mematung. Rambutnya yang tergerai, disentuh angin. Membuat sedikit bergerak-gerak. Wajah dengan mata sipit itu tampak cantik, tapi sayang tidak dengan kelakuannya.

"Kamu mau apa, Sayang?"

Lelakiku bertanya setelah melihat istrinya ini mengeluarkan kunci untuk membuka kartu sim ponsel, gunting, dan batu. Benda tajam itu memang selalu ada di tas. Berjaga-jaga.

Tak menghirauakan pertanyaan itu, aku membiarkan mereka berdua menyaksikan apa yang akan kulakukan.

"Kak!" pekik si wanita. Alasannya? Karena baru saja kartu sim-nya aku patahkan menggunakan gunting. Sudah menjadi serpihan kecil tak bernilai sekarang.

Kulihat Mas Dewa hanya diam. Bagus, sesuai mauku. Kembali aku lanjutkan pekerjaan selanjutnya.

"Kaakakkkk!"

Kali ini teriakannya lebih kencang diiringi air mata yang tumpah, sedangkan aku hanya tersenyum sinis.

Mau tahu apa alasan teriakan itu? Karena baru saja iPhone 5 milik si wanita aku hancurkan menggunakan batu di lantai.

"Jangan coba-coba jadi pelakor, Sist!" ucapku dengan tawa kecil.

Tak perlu ditanya bagaimana keadaan di sini. Jelas semua mata tertuju padaku. Serasa bintang. Mas Dewa? Dia hanya menggeleng sambil memijat kepalanya.

Tbc

Repost: 13/03/2020

Jangan lupa vote ya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro