Virus Nekat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Cinta, satu kata yang mendadak tak kutahu apa artinya. Apakah dia keindahan? Rasanya bukan, karena atas nama cinta aku terikat pada seseorang. Namun, mengapa kini perih itu ada dan kian menyiksa?

Orang bilang jodoh adalah cerminan diri. Jika iya, apakah karena aku sempat terbuai perhatian Rayendra, lalu Mas Dewa pun berselingkuh? Bagaimana bisa ketidakadilan itu terjadi? Karena aku tak pernah bermesraan dengan Rayendra. Tidak pernah berjalan-jalan berdua dan tertawa bersama.

"Bu ...."

Panggilannya menyadarkanku yang sempat tenggelam dalam lamunan. Pelan kuusap air mata dan kembali mengamati objek yang begitu menyakitkan itu.

"Banyak yang mau saya tanyakan sebenarnya sama kamu, Ray. Tapi ada urusan yang lebih penting. Kamu silakan pulang," ucapku sambil meraih barang dari tangan Rayendra. Ya, tas dan bukuku ada padanya, entah sejak kapan. Mungkin aku pun terlalu larut dalam kesedihan sampai tak tahu laki-laki itu memunguti benda yang jatuh di lantai.

"Ibu mau nyamperin mereka?"

"Ya."

"Bu ...." Matanya jelas memancarkan iba. Tentu saja, karena dia sedang melihat seorang istri menyaksikan perselingkuhan suaminya.

"Terima kasih, Ray. Saya bisa sendiri. Kamu tidak perlu khawatir."

Napas terembus berat, sementara hati dan jiwa sedang saling menguatkan untuk kejadian selanjutnya. Aku lalu melangkah, meninggalkan Rayendra yang masih lengkap dengan pakaian sekolahnya. Mungkin tatapan remaja itu kini sedang mengikutiku menuju dua manusia yang sedang bermesraan.

Bergetar kaki beserta semua anggota tubuh. Kedua tanganku memegang erat kantung plastik yang berisi buku. Air mata tak juga berhenti menetes. Beberapa orang menatapku heran. Diri ini sekarang memang terlihat kacau. Bagaimana tidak, karena keadaan hatiku sedang patah.

Terasa tidak ada udara di sini. Aku tercekik dalam kehampaan hati. Bayang-bayang masa depan indah bersama lelaki pujaan perlahan luntur. Ingatan akan senyum dan tawa yang pernah kami cipta bersama, kini mulai pudar. Tergantikan oleh pengkhianatan yang begitu nyata.

Semakin dekat, semakin pula ada guncangan dalam diri. Berkeping-keping sudah cinta ini ketika mata kembali melihat mereka. Seorang wanita yang asyik mencoba heels dan laki-laki di sebelahnya tersenyum lepas.

Senyuman itu harusnya hanya untukku, Mas.

Berdiri aku membelakangi mereka. Rasanya ingin luruh ke lantai. Kaki ini sudah ingin menyerah untuk menopang tubuhku.

"Mas ...."

Kedua orang itu menoleh ke belakang setelah mendengar panggilan penuh kesedihan dariku. Mereka seketika membelalak melihat siapa pemilik suara dengan nada menahan perih tadi. Dalam hitungan detik lelakiku bangkit dari duduknya.

"Sayang ...," panggilnya dengan wajah kebingungan.

"Sudah sejak kapan, Mas?"

Pelan aku bertanya sambil menahan sakit. Tubuh tegap itu mendekat, tangannya mencoba meraih jemariku. Namun, sengaja kutepis begitu saja.

"Jawab aku, Mas! Sejak kapan ini terjadi? Udah seberapa jauh?"

Sedikit tinggi nadaku hingga membuat beberapa orang memandang kami. Si wanita tadi tampak ketakutan. Dia meremas blouse dark purple-nya sendiri. Kaki yang sedang terbalut jeans putih itu pun terlihat bergetar. Sementara Mas Dewa masih bergeming. Kehilangan kata mungkin dia atau bingung harus berbicara mulai dari mana tentang kebohongannya.

"Sa-"

"Berhenti manggil aku, Mas! Kamu nggak punya jawaban atas pertanyaanku? Oke, aku sendiri yang ngasih kalau gitu. Kita pisah, Mas, pisah!" ucapku penuh penekanan. Air mata kini kian tertumpah dan banyak orang sedang memandangku.

"Anty, jaga bicaramu! Aku nggak mau kita pisah!"

Mas Dewa mencoba membawaku dalam pelukannya, tapi tetap kutolak. Hanya tawa kecil dan isak tangis yang terdengar dariku kini.

"Lucu kamu, Mas. Silahkan lanjutkan belanjanya, aku pulang duluan. Aku tunggu kamu di rumah sambil masukin baju-bajuku ke koper."

"Anty! Anty! Anty!"

Aku terus berlari, tak menghiraukan panggilan Mas Dewa. Kehancuran itu sudah terjadi dan aku kini ada di dalamnya, bersiap merasakan kehilangan atas seluruh rasa indah itu. Sebentar lagi mungkin aku pun lenyap, tertelan oleh pusaran nestapa.

Beruntung hari ini aku mengenakan wedges 5 sentimeter, sehingga langkahku tak terhambat untuk bergerak cepat. Napas mulai terengah-engah, bukan karena lelah berlari, tapi sebab racun cinta yang sedang bekerja di dada.

"Anty!" Sebuah panggilan kembali datang bersamaan dengan jemariku yang berhasil diraihnya. "Kita omongin di rumah, ya, Sayang," bisiknya sambil menahan tubuhku yang mencoba lari.

Beberapa pasang mata masih setia menatap kami. Mungkin yang dipikirkan mereka adalah sedang berlangsung drama cinta di sebuah mall. Tanpa rasa malu Mas Dewa mendekapku, seakan membiarkan keramaian ini bersaksi ada wanita yang baru saja dia sakiti.

"Urusin aja selingkuhanmu, Mas!"

"Nggak! Kamu lebih penting. Ayo, pulang."

Dia menarik tanganku dan kami sekarang menuju parkiran. Sakit kembali terasa ketika Mas Dewa membukakan pintu mobil dan aku duduk di jok depan. Perih membayangkan bahwa tadi ada wanita lain di sini, bersama suamiku.

"Sayang, maafin aku," pintanya ketika sudah ada di jok kemudi. Namun, tak ada niat untuk menjawabnya. Dia meremas jemariku dan menciumnya. Aku membiarkan dia melakukan itu, tapi tidak dengan kata maaf.

Pandanganku terus lurus, menatap keramaian jalan dari balik kaca. Mas Dewa mengemudikan mobil sambil terus menggenggam tanganku. Tak dia biarkan terlepas, meski sudah kucoba.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Logika dan hati sedang berdiskusi jalan mana yang harus kutempuh sekarang. Rasa ingin mempertahankan itu ada, karena aku masih sangat mencintainya. Dia adalah lelaki pertama yang kupercaya untuk menjaga hati ini. Namun, siluet kebersamaannya di mall tadi bersama seorang wanita, semakin menyiksa.

Kutatap sebentar wajah tegang yang sedang fokus pada jalanan. Dia begitu rupawan. Semua yang ada pada dirinya berhasil mencuri perhatianku. Akan tetapi, kenapa aku dihancurkan begini?

"Maafin aku," ucapnya sambil menatapku. Pandangan ini pun segera teralih.

Aku pernah memberinya kepercayaan, tapi diinjak begitu saja hingga patah. Aku pernah merasa menjadi yang teristimewa, tapi sekarang tidak. Aku pernah berpikir bahwa hanya akulah alasannya untuk gembira, tapi sekarang tidak. Aku pernah mencintainya setulus hati sampai seluruh ragaku ikut memujanya, tapi sekarang tidak lagi.

Sampai rumah, aku langsung menuju kamar dan menutup pintu secara kasar. Bersimpuh aku di lantai. Banjir sudah air mata melihat ranjang yang biasa kami isi dengan kehangatan di malam hari. Tak bisa aku bayangkan jika Mas Dewa melakukannya dengan wanita lain.

"Anty ...."

Mas Dewa memanggil seiring pintu yang terbuka. Ikut bersimpuh dia, memelukku dengan erat. Kuhirup lekat aroma tubuhnya yang mungkin juga sudah pernah dinikmati wanita tadi.

"Tega kamu, Mas," bisikku.

"Anty, maaf ...." Hanya itu yang bisa dia ucap.

"Kita pisah aja, Mas. Belum satu tahun pernikahan dan kamu udah selingkuh. Aku bahkan masih muda, Mas. Masih bisa layanin kamu lahir dan batin. Terus gimana kalau aku tua dan sakit-sakitan nanti? Palingan kamu buang aku."

Lirih aku berucap, tak ada tenaga untuk mengeraskan suara. Semua kekuatan pergi berbarengan dengan cinta yang ternoda di depan mata.

"Nggak, Sayang. Aku salah, aku yang nggak bersyukur punya istri kayak kamu. Maafin aku, Sayang."

Semakin erat dia memeluk. Tangannya menyusup di rambutku, lalu meremas pelan hingga kulit kepala ikut merasakan sentuhannya.

"Mas, aku mau pulang ke rumah orang tuaku. Kita perlu waktu untuk sama-sama merenung. Mungkin di sini aku yang kurang ngelayanin kamu, sampai akhirnya kamu cari wanita lain."

Kulepas paksa pelukannya, lalu segera bangkit. Hendak mengambil koper yang ada di sebelah lemari, Mas Dewa kembali memelukku, kali ini dari belakang. Embusan napasnya menjalari tengkukku. Membuat perasaan rindu akan kehangatan itu datang. Namun sayangnya, aku sekarang terlalu terluka.

"Aku suamimu, Sayang. Tanpa ijinku kamu nggak bisa keluar dari rumah ini. Apalagi dalam keadaan sama-sama sedang emosi," bisiknya sambil mengusap-usap tanganku.

Ya, kamu menang jika membawa status, Mas. Lalu kenapa tak kamu gunakan itu untuk menjaga kesetiaan pernikahan kita? Mudah sekali kamu melarangku, tapi dirimu sendiri tidak kamu batasi.

"Oke, aku nggak jadi pergi. Pilih, kamu yang tidur di ruang tamu atau aku."

"Kenapa harus kayak gitu?"

"Karena perlu ada jarak di antara kita, Mas. Aku masih sakit ngebayangin kamu jalan sama cewek lain. Sejauh mana hubungan kalian aku juga nggak tahu. Terus kamu mau aku lupain ini gitu aja? Coba kamu jujur, Mas, apa aja yang udah kalian lakuin."

Kehabisan napas rasanya aku setelah mengatakan itu. Juga seperti tertancap duri di seluruh tubuh.

"Aku yang tidur di kamar tamu," jawab Mas Dewa akhirnya. Dia tak membahas perihal perselingkuhan itu. Apakah memang sudah sangat jauh, sehingga dia takut untuk membalasnya?

"Oke."

"Kamu udah makan siang?"

Dia bertanya sambil menciumi leherku, menggigitnya pelan. Mas Dewa tahu betul bagaimana cara menaklukkanku, tapi itu tidak berhasil untuk kali ini.

"Aku belum makan, sekarang mau pesan gojek aja," jawabku dan segera melepaskan diri darinya. Kuusap sisa-sisa air mata di wajah dan berjalan menuju ruang tamu. Tas dan buku tadi kulempar begitu saja di sofa.

"Biar aku yang keluar beli makanan."

Mas Dewa kini sudah ada di belakangku. Badan pun kubalik demi melihat laki-laki yang sedang mengenakan kemeja putih itu.

"Mau beli makanan atau ketemu sama selingkuhanmu lagi?" tanyaku dengan senyum sinis.

"Beli makanan. Beneran, Sayang, nggak bohong."

"Terserah kamulah pokoknya, Mas. Sekalian aja belinya di Mars biar nggak balik-balik."

Mendadak aku kembali senewen dan langsung mengempaskan diri di sofa. Tangan bersidekap, bibir sedikit manyun, sedangkan mata masih menatap laki-laki yang sedang tersenyum itu. Ya, begitulah kebiasaan beberapa orang kalau salah, hanya menampilkan wajah bagus ketika diomeli.

"Nanti aku ajak kamu ke bulan," jawabnya sambil mengedipkan mata.

"Nggak mau!"

"Yakin? Kalau gitu akau ke bulan sama yang tadi aja."

"Mas Dewaaaa! Makan, nih, buku!"

Aku lalu melempar novel satu per satu ke badannya. Tidak marah atau kesal, dia justru tertawa. Serah kamu dah, Mas. Awas aja berani ke bulan ngajak yang lain, aku potong, Mas, potong! Biar hancur sekalian masa depanmu!

🍃🍃🍃

Untuk yang pertama kalinya, kami tidur terpisah. Meski tadi Mas Dewa kembali merayu agar tak melakukan ini, tapi aku tetap tak mengubah pendirian.

Sholat berjamaah masih kami lakukan tadi. Tumpah sudah semua isi hati ketika kedua tangan di atas, memanjatkan doa. Ini sangat sulit dan entah sampai kapan aku mampu bertahan. Berpisah saja atau kembali melanjutkan cinta dengan adanya bayang-bayang pengkhianatan? Bingung!

Niat membaca hari ini benar-benar rusak. Alhasil tumpukan novel itu hanya kupajang saja di meja ruang tamu. Merasa jenuh, aku kemudian teringat pada ponsel yang tak tersentuh sejak tadi siang.

Pelan aku turun dari ranjang untuk mengambil benda pipih itu. Kurogoh beberapa detik tas hitam berukuran sedang di atas meja rias dan dapat!

Ada ratusan chat dan missed call dari Rayendra. Untung saja di-silent, ngerilah ngebayangin tang-ting-tang-tung nih HP dari siang.

Aku kembali berbaring di ranjang sambil membaca satu per satu pesannya. Anak ini ternyata begitu mengkhawatirkanku. Senyum pun lolos begitu saja dari bibirku.

[Bu Anty sepi banget, deh. Mana suaranya, Bu?]

[Jangan bilang Ibu mau bunuh diri karena Pak Dewa selingkuh!] Gila ni bocah. Masa iya ngira aku bakal bunuh diri hanya karena patah hati.

[Bu, pegel jari saya ngetik, tapi nggak Ibu balas satu pun.] Pesannya berisi emoticon nangis. Ya, iyalah nggak balas. Liat HP aja baru.

[Bu, ingat makan malam.]

Makasih, Ray.

[Padahal tadi saya udah nyiapin bahu buat Ibu nangis. Gagal, deh.]

Jiah, orang lagi sedih bisa-bisanya dia mau cari kesempitan dalam kesempatan. Eh, kebalik.

Tuntas sudah semua pesannya kubaca. Rata-rata hanya bertuliskan gombalan receh. Aku pun mengerti pasti dia coba menghiburku. Akan tetapi, maaf, Ray, aku nggak bisa balas.

Aku lalu keluar dari aplikasi WhatsApp. Hendak menekan lock, tapi satu pesan kembali datang.

[Ibu udah baca semua chat saya, ya? Pasti Ibu lagi senyum-senyum sekarang.]

Bocah! Udah jam dua belas malam belum tidur juga?

[Saya baru pulang DW, Bu, baru aja sampe rumah.]

Kek ngerti aja ni anak apa yang lagi aku pikirin.

[Coba Ibu lihat ke pagar.]

Dih, ngapain aku keluar rumah jam segini?

[Ada saya, Bu, di luar.]

Gilaaa. Ini beneran? Duh, Rayendra, bikin deg-degan aja kamu. Mau balas, tapi ....

[Ibu nggak mau keluar? Kalau gitu saya yang masuk.] Dia langsung off.

Allah, bocah! Kamu mau ngapain ke rumahku? Mau dimakan sama suamiku?

Makin berdebar-debar ni jantung sekarang. Ngebayangin apa iya Rayendra bakal nekad lagi ke sini. Terus alasan absurd apalagi yang bakal dia kasih?

Berkali-kali aku narik dan buang napas kayak orang lagi melahirkan di TV. Perut tiba-tiba jadi mules, dada juga sesak. Entah setelah ini efek samping apa lagi yang timbul karena terjangkit virus nekad Rayendra.

Tok ... tok ... tok!

Allah! Dia beneran nekad! Gila, gila, gila! Aku mesti gimana sekarang?

Tok ... tok ... tok!

Aduh, mau copot ini jantung. Aku langsung narik selimut buat nutupin seluruh tubuh. Pura-pura nggak dengar itu ketukan pintu.

Ini Mas Dewa lagi tidur, kalau kebangun gimana, ya?

"Sayang, kamu udah tidur? Ada tamu, tuh. Siapa, ya?"

Mas Dewa buka pintu kamarku. Suaranya khas orang baru bangun. Kedengaran malas-malas gimana gitu. Aku masih bertahan di bawah selimut dengan posisi meringkuk membelakangi Mas Dewa. Pura-pura ajalah. Takut ketemu Rayendra beneran.

Ketukan pintu terus terdengar dan Mas Dewa sedang membelai punggungku sekarang.

"Tidur yang nyenyak, Sayang," ucapnya. Kemudian pintu kamarku terdengar ditutup.

Huft! Sayang-sayang, tapi selingkuh juga!

Aku lalu bangkit dan menempelkan telinga ke pintu. Pengen dengar pembicaraan mereka.

"Rayendra yang waktu itu, 'kan?" Suara Mas Dewa pelan, tapi masih bisa kudengar.

Demi anak-anak florist hotel yang jago beud ngerangkai bunga, aku pengen tuli sementara. Biar nggak bisa dengar alasan gaje Rayendra. Oh, Allah, Tuhanku, bisa minta tolong nggak biar anak itu lupa ingatan sama aku?

"Iya, Pak, yang waktu itu numpang toilet. Saya mau ngasih ini sebagai tanda terima kasih."

Nah, ngasih apaan dia? Jangan bilang surat cinta. Dih, Anty!

"Repot-repot kamu, Nak. Tapi makasih, ya. Jam segini masih kelayapan dari mana?"

Mas, ngapain sih kamu kepoin dia? Biarin aja dia cepat-cepat pergi.

"Baru pulang DW, Pak. Oh, ya, Pak, saya boleh numpang tidur di sini?"

What? Rayendraaa! Kamu gilaaa beneran!

Tbc

Repost: 09/03/2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro