Selingkuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selingkuh, tak perlu ditandai dengan kontak fisik, merindukan seseorang pun sudah tergolong seperti itu. Ternyata juga tak perlu menciptakan keringat dengan lawan jenis di ranjang untuk menyatakan diri sedang berkhianat. Memikirkan wajah lelaki lain pun termasuk sedang menduakan hati.

Tiada henti aku mengucap istighfar, mengingat apa yang baru saja hati rasakan. Bagaimana bisa aku mengakui sesuatu yang pasti akan menyakiti Mas Dewa? Ah, Anty ....

Cincin beserta kotaknya kembali ke tumpukan baju. Tak ingin lagi berlama-lama menggenggamnya, karena itu hanya akan membuat Rayendra kian kuat di ingatan. Aku lalu bersandar di pintu lemari. Memegangi dada yang masih saja berdetak tak menentu.

Kucari ponsel di ranjang yang tadi terlempar begitu saja saat memasuki kamar. Duduk bersandar pada bahu ranjang, lalu mulai menarikan jemari di benda pipih itu. Sengaja kubuka galeri, memandangi foto Mas Dewa. Wajah itu mendamaikan, lalu bagaimana bisa aku menyisipkan senyum laki-laki lain dalam penglihatan ini?

"Mas, maafin aku ...."

Waktu menunjukkan pukul 23.15, tapi yang ditunggu tak juga datang. Oke, Anty, kamu mesti tetap berpikir positif. Mungkin hotel emang lagi ramai, jadi harus lembur lagi.

Jika aku datangi Mas Dewa, gimana, ya? Hemm ....

Cepat aku bangkit dari ranjang dan mengganti baju. Kali ini mini dress putih dan blazer-entah warna apa namanya, karena abu bukan hijau pun bukan- menjadi pilihan untuk menemui sang pujaan hati. Rambut pun tak lupa digulung-style favoritku.

Setelah memastikan semua oke, aku memesan taksi on-line sambil mengunci pintu. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang merebut benda pipih itu.

Makjleb rasanya saat tahu siapa yang sedang berdiri di sebelahku kini. Argh! Melihat wajah itu, hidung, bibir, bahkan senyumannya membuat ada yang luruh di dalam dada ini.

"Ibu mau ke mana malam-malam gini?"

Oh, ya, ampun Rayendra! Kamu menghancurkan usahaku untuk tak merindukanmu. Kehadiranmu malah semakin membuat hatiku berdenyut sakit. Tersadar karena tak sepantasnya rasa aneh itu ada.

"Saya mau nyari suami. Kamu sendiri ngapain di sini?"

Oh, demi chemical yang banyak macamnya, aku gugup! Ngomong pun tadi nggak berani lihat mata Rayendra.

"Biar saya yang antar, Bu. Pesanan taksi juga udah saya batalkan."

Dia lalu menyerahkan benda pipih itu, pasti Rayendra sudah tahu ke mana aku hendak pergi. Ah, senyumnya kenapa kayak isi gula, sih? Manis beud.

"Nggak perlu, Ray. Saya bisa sendiri."

"Bu, sekali ini aja. Emang Ibu nggak kangen sama saya?" tanyanya dengan tatapan yang tak kumengerti.

Jika boleh jujur, tentu saja aku akan mengatakan 'kangen' padanya. Namun, sekali lagi status hubunganku menjadi benteng menjulang tinggi di antara kami. Terlepas dari diri ini yang sesungguhnya merindu, ada hati lain yang tetap harus kujaga.

Remaja yang sedang mengenakan jeans biru langit berpadu hoodie hitam itu memandangku terus. Semakin mati gaya aku dibuatnya.

"Bu, saya kangen ...."

Ah, Rayendra! Kenapa kamu mengatakan itu? Ini gilaaa!

"Maaf, Ray, saya harus pergi."

Pelan aku berucap sambil berjalan menuju gerbang. Namun, dia menggenggam pergelangan tanganku. Sontak langkah ini terhenti.

Mataku terpejam, merasakan detak di dada yang kian kencang. Aku benci keadaan ini, suatu kondisi yang membuatku tak berdaya. Bahkan untuk menyentakkan genggaman itu tak mampu, sementara tanganku yang lainnya meremas sling bag di bahu.

"Kenapa cincin dari saya nggak Ibu pakai?"

"Karena saya memang nggak seharusnya menerima itu, Ray. Saya mau ngembaliin ke kamu, tapi kamu DW terus," jawabku masih dalam keadaan mata terpejam.

Ini sungguh berat. Seandainya Dilan bisa menggantikan posisiku sekarang. Huaaa!

"Gelang ibu bagus," ucapnya pelan. Duh, Rayendra, kenapa kamu terus memerhatikanku kayak gini? Kan kamu juga yang cemburu jadinya. "Dari Pak Dewa, ya? Saya cemburu, Bu," katanya lagi.

Panas sekali rasanya wajahku sekarang. Napas terembus kasar, lalu mata ini terbuka pelan. Kamu harus kuat, Anty!

"Rayen—"

"Sekali lagi biarin saya nganterin Ibu," potongnya. Lalu tanpa menunggu jawabanku, dia menuntun untuk mendekati motornya yang terparkir di depan gerbang.

Rayendra naik lebih dulu, sementara aku masih ragu dengan posisi menatap motornya. Naik nggak, naik nggak, naik nggak. Bingung!

"Sekali ini aja, ya?" tanyaku meyakinkan. Rayendra hanya mengangguk dan sekarang aku kembali ada di kendaraannya.

Motor lalu melaju sedang. Angin malam menyentuh tengkuk, menciptakan sensasi di bagian sensitif itu. Pandanganku mengarah pada langit. Bulan hampir sempurna, mungkin beberapa hari lagi akan terjadi purnama. Namun, entah mengapa ada rasa bahagia di dalam hati sekarang. Karena bersama Rayendra? Entah!

Diam, tanpa ada kata yang mengiringi perjalanan kami. Sesekali aku melirik spion dan dua pasang mata kami bertemu. Dia tersenyum tipis dan itu berhasil membuat detakan tak biasa di jantungku kembali terasa.

"Bu ...."

"Iya ...." Lalu dia kembali diam. Bikin penasaran, kenapa nggak ngelanjutin saja mau bilang apa? "Rayendra ...."

Bagus, Anty, makin jatuh harga dirimu! Aku berdecak kesal, menyadari betapa panggilan tadi terdengar lembut dan penuh harap.

"Ibu pasti mau nanya kenapa beberapa hari ini saya nggak WA." Aku melihat ke arah spion lagi dan menemukan dia sedang tersenyum.

Apakah kamu cenayang, Rayendra, sehingga tahu apa yang aku rasa? Duh, tapi apa terlalu terlihatkah aku menantinya mengirimi WhatsApp?

"Kenapa?"

"Biar kita sama-sama tahu kangen itu kayak gimana, Bu."

Meleleh sudah hatiku sekarang karenamu, Ray ....

"Gombal terus kamu, Ray," jawabku sambil menahan malu. Mata mengarah ke mana-mana. Takut jika nanti Rayendra mampu membaca tatapan ini.

"Emang Ibu nggak kangen sama saya?"

"Nggak!"

"Oh, yaudah."

"Apaan?"

"Saya seterusnya nggak WA Ibu lagi."

"Eh, jangan!"

Mampus kamu, Anty! Kemenangan ada di Rayendra dan dia sedang tertawa. Aku lalu membekap mulut dengan satu tangan, karena satunya lagi berpegangan pada besi. Malulah kalau mesti pegangan sama Rayendra.

Hotel tempat Mas Dewa bekerja sudah dekat. Lega rasanya karena aku takkan terjebak lebih lama dalam situasi ini.

Sepanjang sisa perjalanan, aku dan Rayendra diam. Entah sama-sama sedang menikmati apa. Kedipan matanya yang kulihat dari spion, tampak memesona. Bibir agak kemerahan berhiaskan senyum itu pun tampak menggoda.

Di titik ini aku kembali tersadar, bahwa hatiku sedang mendua dan harus segera dihentikan. Tak ada alasan untuk menyakiti pasangan, meskipun dia punya kekurangan. Ya, Mas Dewa bukanlah seorang yang sempurna. Kesibukannya membuatku merasa tersisihkan, tapi tetap saja cinta ini harus tetap terjaga untuk dia.

Bulatkan tekadmu, Anty!

"Udah sampai, Bu," ucapnya.

Tanpa sadar ternyata memang sudah sampai di tujuan. Cepat aku turun dan mengucapkan terima kasih pada laki-laki itu.

"Ibu cantik malam ini, kayak biasanya," pujinya sambil tersenyum. Lalu mulai melajukan motor dan meninggalkanku di pos satpam dengan keadaan tersipu malu.

Baper aku, Rayendra, gara-gara kamu!

Kaki kini mengarah menuju tempat karyawan setelah mendapat izin dari satpam. Barangkali ada Mas Dewa di sana atau setidaknya seseorang yang bisa kutanyai keberadaan lelaki pujaanku itu.

Sesampainya, keadaan begitu sepi. Lorong-lorong kosong tanpa ada derap langkah terdengar. Seorang diri aku di sini berdiri mematung sambil memerhatikan sekitar. Terlihat ruangan housekeeping dalam keadaan lampu mati. Mendadak jadi takut!

Beberapa kali menghubungi nomor Mas Dewa dan tidak aktif juga, aku lalu berinisiatif menuju front office. Dia memang manager di division itu. Sedikit ragu sebenarnya, tapi sudah sampai di sini ya nanggung juga nggak ketemu suami. Lagian pakaianku juga nggak malu-maluin kalau misalnya ketemu tamu hotel sini.  Bisa saja dikira sedang menginap juga. Hahaha!

Aku memasuki lift dan menuju lantai satu. Tersenyum aku ketika benda yang bisa dipakai bercermin ini terbuka, menampakkan sebuah ruangan yang terbuat dari kaca. Apa pun aktivitas di dalamnya bisa terlihat asalkan tirai itu tak tertutup. Pelan aku melangkah dan berdiri bersandar pada birai yang ada di depannya.

Mata kini tertuju pada kesibukan beberapa orang di ruangan itu. Terlihat seorang pria berkemeja putih sedang membungkuk, kedua tangannya melingkar di leher anak laki-laki yang ada di depannya.

"Foto sebentar, ya, Mas. Abis ganteng, sih. Biar ada kenang-kenangan," ucap seorang wanita yang sedang memegang ponsel.

Tamu memang banyak maunya dan sebagai pegawai tetap saja harus menuruti. Aku ikut tersenyum ketika bibir laki-laki itu tertarik. Lengkungan indah yang serupa hal tak tergantikan.

"Makasih, ya, Mas," kata ibu itu lalu meraih jemari anak laki-laki tadi. Kemudian, mereka berdua dan seorang bapak-bapak melangkah pergi. Kemungkinan mereka memang satu keluarga.

"Sayang?" Ah, akhirnya dia melihatku. Langkah panjangnya kini mengarah padaku. "Kamu ngapain di sini, Sayang?" tanyanya sambil mencium pucuk kepalaku.

Untung keadaan sedang sepi, jadi aku tak perlu malu. Hahaha!

"Nyariin kamulah, Mas. Berasa jablay aku tuh kamu nggak pulang-pulang."

Bibir sengaja sedikit kumanyunkan. Namun, melihat matanya, semua kesal yang sempat ada kini terbang terbawa embusan angin. Lalu lenyap tertelan pekat malam.

"Sabarlah, Sayang. Barusan check-in malam ramai, makanya aku lembur lagi. Kasian anak-anak sama supervisor keteteran nanti karena rombongan bis yang datang," jelasnya panjang kali lebar.

"Terus belum bisa pulang?"

"Bisa. Tunggu, aku ambil tas dulu."

Mas Dewa membelai sebentar pipiku lalu melangkah masuk. Ada ketenangan di dalam hatiku sekarang. Alasan kaki ini sekarang bisa berpijak di sini bukanlah semata untuk mengeluhkan aku yang kurang perhatian. Namun, ada satu hal lagi, yaitu kebenaran bahwa dia memang sedang bekerja. Tidak berada dalam dekapan wanita lain saat aku sedang menunggunya di rumah.

Sekarang aku merasa tenang, karena Mas Dewa-ku tidak berselingkuh. Alhamdulillah.

Beberapa menit menunggu, dia pun kembali dan kami saling menautkan jemari. Memasuki lift dan berlanjut menuju parkiran. Tersenyum dan tertawa kami sepanjang perjalanan pulang. Sementara di tempat lain ada seseorang yang sedang menunggu balasan chat dariku.

[Bu, ternyata benar kata Dilan, rindu itu berat. Dan rindu saya ke Ibu malam ini belum tuntas. Bu, saya tunggu balasannya.]

Pesan itu langsung kubaca setelah ponsel bergetar, tepat setelah Mas Dewa kembali ke front office tadi. Namun, ada sesuatu yang menahan agar aku tak mengirim balasan. Kesetiaan.

🍃🍃🍃

Angin berembus mesra, sedangkan sinar mentari menyentuh hangat. Menyegarkan jiwa yang sempat dilanda dilema.

Semalaman aku merenung dan hari ini tekad sudah bulat. Rayendra harus berhenti berlarian di kepalaku. Cincin yang dia beri sudah ada dalam tas dan akan kembali padanya. WhatsApp yang dia kirim tadi pagi mengatakan jika hari ini akan bersekolah. Ya, itu bagus. Semua lebih baik jika urusan cepat selesai.

Aku memasuki ruang kelas sebelas AP-Akomodasi Perhotelan- lima. Riuh anak-anak seketika terdiam ketika melihatku duduk sambil menunggu ritual mereka selesai. Ya, jika tidak ribut bukan murid namanya.

"Sudah selesai?" tanyaku.

Mereka hanya diam dengan senyum tertahan. Aku berdiri dan menulis sesuatu di white board.

'Tugas-tugas Engineering.'

"Kalian kemarin sudah training, rata-rata mengambil bagian FO-Front Office- dan room division. Tapi penting juga untuk diketahui kalau engineering juga salah satu bagian dari housekeeping. Yang mana tentu saja memiliki tugas penting dalam kelancaran hotel," jelasku sambil berkeliling kelas. Memantau apa yang sedang dilakukan anak-anak itu.

"Jadi, ada yang tahu tugas engineering apa saja?" tanyaku sambil melangkah kembali ke depan papan.

"Nangkap cicak di kamar tamu, Bu," jawab seseorang.

"Benerin listrik," sambung yang lain.

"Beresin WC mampet, Bu," jawab murid lainnya.

Ya, engineering memang memiliki banyak tugas, tidak hanya di bagian listrik saja.

"Bu, kalau atap kamar hotel bocor, yang benerin siapa?" Kali ini Andre yang bertanya. Dia adalah salah satu murid bebal di sini. Bikin pusing kalau meladeninya.

"Engineering juga, Ndre," jawabku polos. Lalu kembali melanjutkan menulis beberapa catatan penting seputar bahasan kali inim

"Oh, saya pikir Ibu yang benerin," lanjut Andre dengan nada terdengar kecewa.

"Loh, kenapa saya?"

Aku membalik badan, memunggu jawaban dari anak itu.

"Karena Ibu kan Anty bocor. Ha ha ha ha!" Dia menjawab tanpa beban dan merasa bersalah. Seketika kelas pun kembali riuh, sedangkan aku hanya bisa mengelus dada dan mengumpat dalam hati.

Kamvrett!

🍃🍃🍃

Sampai siang, aku tak membalas pesan Rayendra. Hanya sempat menemuinya di kelas untuk mengembalikan cincin itu, tapi ditolaknya. Terpaksa benda itu masih bersamaku sekarang, karena untuk berdebat di hadapan banyak orang tentu saja akan meninggalkan gosip. Terlebih lagi Rosa. Kejadian pagi itu saat aku memukul kepala sendiri menggunakan buku, terus saja diingatnya sampai sekarang. Di sekolah, di WhatsApp, selalu dijadikan ejekan. Dia tak tahu, bahwa sebenarnya aku sedang berusaha untuk tak mengingat apa pun tentang remaja itu.

[Sayang, ingat makan. Love you,] pesan Mas Dewa. Ah, kadang dia manis, kadang pahit. Entahlah, tapi aku berharap dia seterusnya saja begini.

[Kamu juga, Mas. Aku bentar lagi makan.] Hanya dibaca, tak dibalas lagi.

Aku berjalan pelan menuju gerbang sekolah, taksi on-line yang kupesan sudah menunggu. Siang ini begitu panas dan aku berniat untuk ke Gramedia mencari beberapa novel terbaru.

"Bu!" Tanpa menoleh pun aku tahu suara siapa yang sedang memanggilku dari atas motornya. "Saya anterin pulang, ya? Masih ada waktu sebelum saya DW."

Rayendra masih DW? Apa dia tidak lelah melakukan aktivitas padat begitu?

"Nggak. Saya mau ke Gramedia. Kamu pulang aja," jawabku tanpa mengehentikan langkah. Dia dan motornya pun masih terus mengikuti.

"Nggak apa, Bu, saya anterin. Empat puluh menit perjalanan apalah artinya demi Ibu."

Halah, semalam bilang mau nganterin sekali lagi saja. Dasar laki-laki memang tukang bohong.

"Saya udah pesan taksi," jawabku datar. Lalu segera meraih gagang pintu mobil ketika sudah sampai tepat di depan kendaraan roda empat itu.

Kulirik sebentar wajah Rayendra sebelum duduk di jok. Tampak jelas ada kekecewaan di sana, sementara tanpa dia tahu, aku pun sedang berperang batin.

"Siang, Mbak Anty." Si supir menyapa ramah dan aku balas senyum. Bapak ini memang beberapa kali pernah menerima orderanku. Wajar sajalah dia tak kebingungan lagi yang mana penumpangnya.

"Jalan, Pak," suruhku ketika sudah mendapat posisi nyaman.

[Mas, aku mau ke Gramedia cari buku.]

Lupa tak mengabari Mas Dewa tadi, tapi sekarang juga belum terlambat, 'kan? Namun, tanda centang itu tak juga berubah warna. Mungkin dia sibuk. Kepala lalu kusandarkan di kaca dan jemari sibuk mencari hiburan sesaat di Facebook.

Satu status muncul di timeline dari seseorang yang sangat kukenal.

'Brondong setia lebih manis daripada dewasa tapi buaya.'

Dih, apa-apaan coba status Rayendra ini? Nggak jelas beud! Namun, karena penasaran aku pun membuka kolom komentarnya. Isinya tak kalah menyebalkan dari status itu.

'Pepetin terus!'
'Jangan nyerah!'
'Semangat!
'Kalau dia masih dijagain yang lain, tenang aja, masih ada waktu buat nikung. Kali aja sekarang kebersamaan kalian cuma masih tertunda, Bro.'

Ya ampun, komen macam apa ini? Parahnya semua itu berasal dari teman-teman Rayendra.

Benda pipih itu kembali kuletakkan. Niat untuk melihat last seen Rayendra pun kuabaikan. Nggak boleh tergoda, Anty!

"Mbak, udah sampai."

Satu lembar seratus ribuan kuserahkan pada si supir. Tersenyum dia ketika kembaliannya kutolak. Dia sudah tua, sepantasnya istirahat saja di rumah. Namun, demi anaknya yang sedang kuliah, dia rela masih bekerja. Kasih orang tua memang tak tertandingi.

Segera aku turun dan mencari buku di lantai dua mall ini. Melihat beberapa blurb dan akhirnya memutuskan membeli lima novel dengan penulis yang berbeda-beda.

Buku sudah di tangan, tapi kenapa rasanya ada yang konser dalam perut? Ah, aku kan belum makan. Pantas sajalah.

Kaki lalu berpijak di eskalator menuju food court. Mampir ke toilet sebentar untuk memastikan penampilan. Kemeja baby pink berlengan panjang juga rok navy selutut yang kupakai masih tampak rapi, tidak kusut. Rambut yang sedari pagi terkuncir satu, kini sengaja kugulung. Cakep!

Hendak memasuki salah satu tempat makan di sini, tapi di seberang sana, terbatasi halaman, mata menangkap sesuatu yang luar biasa. Dada tiba-tiba merasa sesak dan mulut menganga. Tas dan kresek berisi buku di tanganku tanpa sadar terjatuh. Perlahan aku mundur hingga tubuh menyentuh pilar besar.

Dua orang di sana tampak melihat toko sepatu. Wajah keduanya tampak bahagia. Si lelaki pun tersenyum kepada wanita yang sedari tadi dia peluk sambil mencoba barang silih berganti. Sementara hatiku di sini bagai diremas kuat. Air mata menetes tanpa bisa kutahan. Begitu sakit rasanya.

Sekarang, apa aku bisa meyakinkan mata dan hati bahwa ini semua palsu?

Pandanganku tertuju pada lantai dengan tangan kiri menggenggam pergelangan tangan kanan. Sungguh tak sanggup melihat dua insan itu. Di mana si lelaki dengan pakaian khas kantor adalah suamiku sendiri.

Remuk sudah jantung ini. Luluh lantak kini kesetiaan itu. Semudah itu dia berkencan dengan wanita lain, padahal aku pun sedang menjaga cinta untuknya.

Mas Dewa, jadi inikah alasanmu pulang malam hampir setiap hari? Inikah lemburmu selain pekerjaan di hotel? Inikah alasanmu atas sedikitnya perhatian untukku? Inikah yang kamu namakan cinta, Mas?

Pernah aku menyesali karena memikirkan lelaki lain, Mas. Namun, tanpa kutahu kamu bahkan tanpa sungkan memeluk wanita lain. Lalu apa arti dari pernikahan kita ini, Mas?

Hancur sudah semua ....

"Bu, perlu bahu untuk menangis?" tanya seseorang.

Aku mengangkat wajah dan menemukannya berdiri tepat di depanku. Dia yang sedang aku coba lupakan karena merasa bersalah pada suami. Namun, kini dia yang ada saat aku perlu bantuan untuk mengumpulkan serpihan hati.

"Rayendra ...." Bergetar suaraku diiringi air mata yang semakin deras.

"Nangis di bahu saya aja, Bu ...."

Tbc

Repost: 08/03/2020

Btw, buat kamu yang mau baca sampai part 35 dengan ending yang bikin berbunga-bunga, cuss order bukunya ke reseller Karos langganan kamu. Atau ... bisa juga beli e-book-nya dengan judul Dikejar Berondong.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro