D D M [12]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***


"Mantan itu hanya kata-katanya yang kemanisan selebihnya pahit"

***

Apa yang terjadi semalam, benar-benar di luar dugaan. Axelsen dan Adnan hampir saja berkelahi hanya karena tak ada yang mengalah untuk pulang lebih dulu. Jadi dengan terpaksa kuusir mereka dari rumah. Sebenarnya Axelsen ingin mengalah begitu saja. Tapi, karena Adnan yang terus memancing dengan kata-kata meremehkan, jadinya Axelsen tak terima. Aku tak tahu apa yang terjadi setelah mereka pulang dari rumahku. Semoga saja mereka tak membuat onar dan aku besyukur Ayah dan Ibu tak melihat kejadian tersebut. Mereka telah tidur lebih awal. Kata Ayah mau mengadakan ritual rutin sama Ibu. Kalau untuk kekayaan tidak mungkin? buktinya aku tak kunjung kaya, eh. Entahlah apa maksud dua insan tersebut.

***

Aku turun dari angkutan umum, tepat tak jauh dari toko tempatku bekerja. Karena aku ingin membeli beberapa tusuk sate untuk sarapan. Setelah membelinya, aku langsung menuju toko. Namun harus terhenti tiba-tiba. Aku sembunyi di balik sebuah tempat sampah besar, sesekali harus menahan napas. Apa aku tidak salah lihat? Di depan toko, sudah ada Ardi, Rian, dan juga Sarwan. Apa yang ingin mereka lakukan di sini? Apa mereka ingin memborongiku? Astaga! Aku harus pulang saat ini juga. Merogoh saku mencari ponsel, lalu kukirim pesan ke Anita untuk tak hadir hari ini. Sebenarnya aku ingin izin langsung dengan bos. Tapi bosku sudah berpesan untuk tidak menghubunginya selama dua minggu, dia lagi sibuk. Makanya kami agak bebas di tempat kerja. Tapi ada seseorang yang dimandatkan untuk mengabsen kami, namanya pak Sean, itupun dia tak terlalu mengawasi kami. Aku berjinjit setelah aku yakin pesanku telah di baca oleh Anita.

Ai,Ai,Ai,
I'm your little butterfly,
Green, black, and blue,
making colors in the sky.

Memperhatikan kanan dan kiri ternyata suara itu berasal dari ponselku. Bagaimana bisa Widia menggantinya lagi dan dari mana Widia menemukan nada ponsel seperti ini. Sebuah nada yang mengingatkan masa kecil. Nada dari ponsel mainan. Kenapa pula Anita menelponku diwaktu yang sangat tidak tepat. Padahal sudah kujelaskan secara rinci di pesan. Apa otaknya lemot karena terlalu banyak menggunakan bahan kimia di lipstick?

"Ghita!" teriak Ardi. Tuh, kan mereka semua jadi berbalik ke arahku. Tak kupedulikan ponsel yang terus berbunyi. Ardi tersenyum mesum, Rian tersenyum menakutkan, dan Sarwan kurasa sulit tersenyum dengan bibir tebalnya. Kutatap kakiku yang mulai menampakkan urat. Semoga aku tak terkena penyakit varises . Sekali lagi aku harus berlari. Seolah-olah hidupku hanya habis untuk menghindar dengan cara tersebug. Mereka mengejarku. Langkah mereka cepat sekali atau aku yang terlalu lamban? Celingak-celinguk, aku harus ke mana? Ku lempar sate satu-persatu ke belakang dengan sekuat tenaga. Tapi hanya wajah Sarwan yang kena. Rian malah menangkap sateku lalu memakannya, dasar rakus. Ardi berlari sangat kencang, kalau begini terus aku bisa ketangkap. Keadaan ini membuat aku mengingat sebuah adegan film yang di mana tokoh utamanya dikejar zombie. Intinya jangan berbalik melihat mereka.

Saat tak tahu arah aku mengingat sesuatu. Rumah Reski tak jauh dari sini. Kupacu lari dan segera tiba di depan rumah Reski. Nafasku memburu. Letih jelas menggelayuti. Lutut kujadikan sebagai tumpuan tangan. Aku kira telah lolos, nyatanya itu hanya khayalku. Mereka masih mengejarku seperti kesetanan. Ah, mantan kan, memang setan, jadi wajar.

"Reski bukain pagarnya!" teriakku sekuat tenaga. Syukur saja Reski ada di halaman rumahnya. Dia berlari ke arahku.

"Kamu kenapa?" Reski tampak kaget. Apalagi melihat tampilanku mulai amburadul. Mungkin salah satu alasannya karena make up-ku sudah luntur. Soalnya aku pakai yang murah. Menyedihkan.

"Pokoknya kalau ada yang nanyain aku, bilang kamu nggak kenal." Aku langsung masuk saat Reski membuka pagarnya. Rumah Reski sangatlah besar, dia anak orang kaya. Tapi dia tak pernah menyombongkan diri. Dia malah terkesan sangat sederhana.

"Kamu nggak lagi dikejar rentenir kan!?" ucap Reski sedikit teriak.

Aku hanya melambaikan tangan tanda bahwa pernyataan Reski itu salah.

"Kamu lihat perempuan yang lewat sini nggak?"

"Kamu Reski kan? Temannya Ghita!"

"Pasti dia sembunyi di sini!"

Sayup-sayup terdengar suara mereka. Aku baru ingat kalau Sarwan mengenal beberapa temanku. Entah siapa yang berucap. Aku tak ingat suara jelek mereka. Apa peduliku, lagi pula itu tak penting. Tapi aku malah sering berpikir tentang mereka? Jangan salah, aku berpikir keras karena mereka dan bertanya kenapa dulu aku bisa suka sama mereka.

"Hei! Jangan masuk!" Reski berteriak. Gawat! Mereka menerobos. Satu tempat yang harus kucari. Tempat persembunyian. Niatnya mau masuk ke rumah Reski. Tapi, melihat ibunya berada di depan, sepertinya tak jadi. Ibuku dan Ibu Reski sama-sama punya radar kepo yang tinggi. Tentu kalian tahu alasannya mengapa aku tak jadi masuk. Ibu Reski akan bertanya banyak hal dan itu akan menghambatku.

"Ghita!"

"Dimana kau!?"

Kenapa mereka jadi seagresif ini. Tak ada yang mau berhenti mengejar. Apa aku punya salah yang besar.

"Dimana kau!?"

Lagi pula mereka menginginkan apa dariku?

"Keluarlah!"

Aku berlari ke arah kolam renang. Tak ada tempat lain. Mereka sudah sangat dekat.

Byurr

Aku melompat, mengambil napas sebanyak yang kubisa lalu menenggelamkan seluruh tubuh. Dari dalam air aku bisa melihat mereka berjalan di pinggir kolam. Menutup mata karena perih.w Aku sudah tak kuat, tak bisa lagi menahannya lebih lama. Aku bukan penyelam handal yang bisa menahan nafas lebih dari tiga puluh detik.

Hwaaahhh!

Aku bernapas lega. Hampir saja. Syukur mereka tak lagi di sini. Reski bertindak tepat pada waktunya. Semuanya diseret satpam keluar dari sini.

"Aku tak akan berhenti sampai kau menikah!" Lagi-lagi Ardi yang berteriak. Bahkan teriakanya mampu membuat merinding meski aku berada di dalam kolam. Sebenarnya mereka punya rencana apa? Apakah ini karma karena aku terlalu membenci mantan. Makanya hidupku tak kunjung tenang.

"Astaga Ghit! Sampai segitunya mantanmu. Aku pribadi sih, bakalan takut!" Reski datang sambil menarikku naik dan duduk di pinggir kolam bersamaku.

"Makanya itu Res, aku minta solusi dari kalian," ucapku gemetaran karena dingin. Dengan sigap pembantu di rumah Reski membawakanku handuk dan juga teh hangat. Sungguh bagusnya pelayanan di rumah ini.

"Bukannya aku udah kasih solusi. Kamu harus nikah!"

Aku menyesap teh, hangatnya terasa sampai ketenggorokan. "Tapi aku masih muda. Baru juga dua puluh tahun. Masih gemes-gemes."

"Bentar lagi kan, dua puluh satu. Usia ideal menikah untuk perempuan ya, dua puluh satu tahun."

"Situ aja belum nikah! Hahah"

"Jangan salah aku sudah punya calon." Reski menaik turunkan alisnya.

"Apa! Kok nggak pernah bilang!"

"Nih udah bilang, haha."

Kruyukk

"Kayaknya ada perut yang lapar, nih."

Aku cengengesan. "Iya, aku lapar banget, nih!" Ngomong-ngomong soal lapar aku jadi sedih mengingat sate yang kubeli. Mana aku belum sempat mencicipinya.

"Ayo masuk! Sekalian ganti baju juga." Reski berdiri dan menyuruhku untuk mengikutinya. "Hanya mengingatkan saja, solusi yang kuberi perlu kau pertimbangkan. Melihat kejadian tadi aku takut mereka akan berbuat lebih," Reski membawaku masuk ke dalam rumahnya melewati pintu samping. Kalau aku yang tinggal di rumah ini bakalan pusing dengan pintu-pintu yang ada. Mereka sangat banyak dan bervariasi.

"Tapi?"

"Satu lagi, bagaimana kalau mantanmu muncul semakin banyak saja. Hmm?"

"Kau benar! Sepertinya itu solusi yang terbaik. Sebenarnya Ayah dan ibuku mau menjodohkanku," ucapku.

"What? Dengan siapa?"

"Adnan."

"Selebgram itu?"

"Iya."

"Dan kau mau?"

"Entahlah."

"Sebaiknya jangan." Reski membawaku masuk ke dalam kamarnya. Beralih ke lemari dan mengambil beberapa pakaian yang mau aku pakai.

"Kenapa?" tanyaku.

"Karena aku juga mau dengannya. Hahahha." Langsung kujitak dahi Reski.

"Terus calonmu kau kemanakan?"

"Tetap akan kunikahi dan Adnan bisa jadi cadangan. Hahahah." Reski tertawa sangat keras.

"Hahahah"

"Ganti baju dulu sana!"

Aku menuju kamar mandi sambil mengumamkan nada-nda lagu.
"Argghh!" teriakku. Reski langsung mendorong pintu kamar mandi.

"Kamu kenapa? Arghh!" Reski berteriak juga membuatku keheranan.

"Kok kamu teriak juga?"

"Di dekat kakimu ada kecoa!"

"Oh kecoa." melirik ke bawah dan satu kali hentakan kaki, kecoa itu meregang nyawa alias mati. Aku sama sekali tak takut.

"Lah, kamu bukan teriak karena itu ya?"

"Bukan! Tapi karena ini!" Aku menunjukkan ponselku yang telah basah. Melupakan satu hal, kenapa aku tidak kepikiran ponsel saat melompat ke kolam. Tanpa ponsel kehidupanku akan kelam. Oh sungguh kejam.

"Urusan ponsel biar kita ke konter nanti."

"Kamu yang bayar, ya?" ucapku dengan wajah berbinar-binar.

"Oke deh!"

"Ahhh makasih." Aku menghampiri ingin memeluknya. Tapi Reski malah langsung menutup pintu dan akhirnya jidatku yang jadi sasaran.

***

Voment ya^^
Terimakasih 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro