D D M [13]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


***

"Ibu! aku ingin menikah!" teriakku dari kamar setelah sekian lama berpikir. Benar yang Reski katakan aku kayaknya harus menikah. Biar ada yang cariin nafkah, eaaa, dan agar terhindar dari teror para mantan yang sangat melelahkan hayati.

Ibu berlari dari bawah. Dapat terdengar hentakan kakinya yang terburu-buru. Kemudian datang dan menongolkan kepala di pintu. Seperti film horor saja.

"Beneran?" ucap Ibu.

"Hooh" ucapku disertai anggukan. Muka Ibu langsung cerah dan bercahaya, matahari kali.

"Ayah!" Ibu melompat-melompat kegirangan, sampai segitunya. Aku kan baru memutuskan belum mengambil tindakan. Bisa saja aku merubahnya. Tapi melihat Ibu senang rasanya sangat tenang. Ayah datang sambil menggaruk ketiaknya. Sesekali dia juga mengendusnya. Sepertinya aku punya kebiasaan yang sama. Sifat itu ternyata turun dari Ayah. Oh aku juga baru ingat sudah dua minggu aku tak mencukur bulu ketiak. Pasti sudah rimbun seperti hutan Amazon, soalnya pada subur, gitu. Ayah hanya menggunakan sarung untuk menutupi pinggang sampai mata kakinya. Perutnya itu loh, mirip gendang.

"Ada apa, Bu?" Kali ini Ayah mengupil. Ibu tampak biasa saja.

"Ghita udah setuju mau nikah!" Ibu mendekatkan wajahnya ke Ayah. Sangat dekat. Kemudian Ayah mendorongnya dengan telapak tangan.

Muka Ibu mengerut. "Kok, tangan Ayah asin?" tanya Ibu.

"Gimana nggak asin ketek sama upil di mix." ucap Ayah. Kukira reaksi Ibu akan marah tapi Ibu malah membalas dan mengeluarkan upilnya. Astaga upil Ibu besar banget! Upilnya bisa dipakai buat lempar mangga.

"Jangan jorok di kamar Ghita donk!" Mereka berhenti saling berbalas dan menatapku.

"Ayah sih!"

"Ibu juga!"

Mereka saling menuduh. "Gitu aja sampai pagi!" Kutarik selimut menutupi badanku.

"Oke, kembali topik. Kok kamu cepat banget berubah pikiran?" tanya Ayah. Kalau dipikir-pikir memang iya.

"Entahlah, aku sendiri tak tahu." Aku keluar dari selimut dan duduk di pinggir ranjang. Ibu dan ayah juga ikut duduk bersamaku.

"Terus kamu nikahnya sama siapa?" tanya Ayah.

"Nah, gimana kalau Adnan saja atau pria yang bernama Axelsen?" sambung Ibu.

"Aduh, Bu! Mereka berdua kan belum ada hubungan denganku," jawabku menunduk frustasi. Kenapa aku tidak kepikiran sama sekali. Kalau menikah harus udah punya pasangan. Ya, kali, aku harus nikah dengan diri sendiri! Hampa dong.

"Kalau begitu Adnan saja, lagipula dia sudah pasti." Ibu memberi usul.

"Yang pasti, belum tentu sampai mati!" ucapku.

"Eaaaa!" Ayah mulai bertikah aneh.

"Ayah kenapa sih?" Aku dan Ibu menatap Ayah yang tersenyum dengan lebar memperlihatkan gusinya yang sedikit berwarna kecoklatan.

"Nggak!" Ayah menggeleng, "kata-katamu itu loh, keren!" lanjutnya sambil mengacungkan kedua jempolnya tepat di wajahku.

"Ayah alay deh!" Ibu menyentil puting ayah.

"Lagi dong, Bu!" Ayah sangat membingungkan. Disentil malah minta lagi.

"Ayah mesum, Ihh!" Mereka mulai saling colak mencolek. Tidak tahu tempat atau Ayah dan Ibu sengaja mempertontonkan di hadapanku.

"Mulai lagi deh!" tegurku. Menatap datar mereka secara bergantian.

"Eh iya, jadi solusinya gimana?" tanya Ayah langsung ke topik, biar aku tidak bete, mungkin. Aku hanya mengedikkan badan.

"Loh, kok mau nikah masih jomblo."

"Belum punya pasangan."

"Penyendiri."

"Kasihan banget."

Ayah dan Ibu berkata secara bergantian.

"Cukup!" teriakku. Ini orangtuaku apa bukan sih! Mereka malah memojokkanku.

"Oh iya, ponselmu mana? Ayah mau pinjam sebentar." Kalau sama Ayah topik cerita cepat sekali berganti.

"Ponselku rusak, ada di konter," jawabku dengan cuek.

"Lah, kok bisa?" ucap Ayah sambil mengaruk-garuk kepala lalu mencium kukunya.

"Jatuh ke air."

Mereka hanya ber 'oh' ria. Padahal aku kira mereka akan bertanya banyak hal.

"Yaudah, kalau gitu, cari pasangan aja dulu! Kan, kamu nggak mau dijodohin," ucap Ibu menarik lengan Ayah untuk keluar dari kamar.

"Lah, Ibu dan Ayah mau ke mana?"

Ibu menoleh dengan anggun sedikit mendongak. "Kan Ibu udah ada pasangan. Jadi Ibu mau dinner di luar sama Ayah."

"Aku sama Widia makan apa?"

"Udah Ibu siapin, Yuk, Yah kita siap-siap dulu." Mereka meninggalkan kamar.

Benar-benar tidak adil. Saat-saat seperti ini, biasanya ponsel menjadi pelampiasan agar tak bosan. Sekarang, ponsel itu sudah dibawa Reski. Dia hanya pergi sendirian untuk memperbaikinya. Ada acara mendadak dengan calonnya. Dia hanya mengantarku pulang dan urusan ponselku akan beres dalam waktu dekat, begitu katanya.

Agar tak terlalu tenggelam dalam kebosanaan, aku turun saja untuk membuat makanan. Lagi pula aku sangat lapar. Di meja makan dekat tudung saji Ibu meninggalkan secarik surat. Bahkan mereka tak minta pamit jika ingin berangkat, tega.

Masak sendiri ya sayang!
Ternyata Ibu lupa nyiapin makanan
Ibu malah keingat makanan yang kemarin
Widia juga tak di rumah, nginep sama temannya
Jadi selamat masak, Gilgil!

Mataku membulat sempurna menatap kertas tersebut. Ibu PHP! Padahal aku udah berharap bisa duduk santai di meja makan. Kubuka tudung saji dengan kesal. Benar-benar tak ada makanan, cuma secarik kertas lagi. Mereka pikir aku rayap, mau makan kertas. Walau pernah sekali makan kertas, sih. Nah, ada tulisan lagi.

Ibu kan udah bilang harus masak
Bukan buka tudung saji sayang ....

Sangat mengesalkan bukan? Bikin greget saja. Dengan langkah gontai aku menuju dapur untuk memasak. Kubuka kulkas, di dalamnya terdapat beberapa potong ayam. Sepertinya aku buat ayam goreng saja. Ada bumbu praktis dalam kemasan, jadi tak akan sulit. Kuambil wajan dan mulai menuangkan minyak ke dalamnya.

Tok tok tok
Bukan suara pintu diketuk. Tapi, suara orang yang menirukan suara ketukan.

"Selamat malam!" Orang tersebut mengulang suara ketukan.

"Iya sebentar!" Aku menuju pintu. Siapa lagi di luar sana. Di sini aku butuh asupan energi, ada tamu menghampiri. Jadinya acara memasakku harus terhenti.

"Siapa?" tanyaku sambil membuka pintu. Seorang pria dengan seragam khas pengojek online.

"Saya mau anterin pesanan, Mbak." Pria tersebut menyodorkan plastik dengan box makanan di dalamnya.

Aku menatapnya dengan bingung.
"Saya nggak pernah mesen apapun kok Mas." Baru saja ingin menutup pintu. Ojek online tersebut kembali membuka suara.

"Memang bukan, Mba, yang pesan. Kalau nggak salah namanya A... Alan."

Aku menaikkan sebelah alis. "Adnan maksudnya?"

"NAH!"

Aku terperanjat. Sumpah! Ojek online ini beneran bikin kaget. Hampir saja paru-paruku lepas?

"Mba?" Dia mengayunkan tangan di depan wajahku. Karena aku mulai melamun.

"Jangan panggil Mba deh Mas! Kedengarannya seperti manggil kambing!" ucapku.

"Itu mbeeee...." Dia menirukan suara kambing, mirip banget.

"Masa?"

"Daripada saya panggil mbakeke mbakeke cilukba!" Dia menari-nari tak jelas di hadapanku.

Aku memutar bola mata. "Udah-udah! Aku ambil pesanannya. Udah dibayar kan?" Aku menarik plastik dari tangan ojek online. Jangan sampai aku emosi, tahu kan, kalau orang lagi lapar mood-nya kayak gimana. Hancur.

"Udah Mba, silahkan tanda tangan di sini!" ucapnya dengan ceria.

Setelah itu dia pergi sambil terus bersenandung 'mbakeke mbakeke cilukba!'. Tampaknya dia masih muda. Mungkin saja mahasiswa.

Rejeki memang tidak ke mana. Isinya adalah martabak dengan ukuran jumbo. Menurutku agak berlebihan, mengingat aku lagi sendirian. Tapi tak apalah. Aku mengendus wangi martabak yang mengugah selera. Ngomong-ngomong Adnan perhatian sekali padaku. Dia bahkan tahu aku belum makan malam atau ada yang kasih tahu?

Suara pintu diketuk, kembali mengusikku. Aku menggerutu, kenapa ojek online itu kembali. Ku buka pintu dengan mulut hampir meledak. Tanpa melihat wajahnya aku mengoceh.

"Kan makanannya udah diterima, Mas! Kok balik lagi! Aku mau makan! Mas mau aku makan? Ha!?" Ada yang berbeda. Wangi tubuhnya tak sama. Aku mendongak menatap orang yang sedang berdiri di depanku. Pria tersebut tersenyum diikuti dengan kekehan kecil yang khas. Ternyata dia Axelsen. Ada yang bisa membantuku menghitung! Sudah berapa kali aku membuat malu diri sendiri di depan Axelsen.

"Jangan malu seperti itu. Aku ke sini mau minta maaf karena kejadian kemarin. Sekaligus mau ngajak kamu makan di luar. Gimana?"

"Soal kemarin nggak apa-apa kok." Aku mengigit bibir sambil berpikir. "Hmm gimanya ya? Bukannya nggak mau keluar. Aku udah ada makanan di dalam." Sebenarnya aku ingin sekali mengikuti ajakan Axelsen. Tapi, Adnan sudah memesankanku makanan. Jadinya aku menolak. Aku menghargai pemberian Adnan.

"Yah," ucapnya menunduk kecewa.

Sebuah ide muncul dikepalaku. "Bagaimana kalau kamu makan bersamaku saja di rumah. Tapi makannya di teras. Soalnya orangtuaku lagi nggak di rumah. Widia juga. Tak baik berduaan di dalam rumah yang sedang kosong," ucapku yang membuat Axelsen tersenyum ceria, dia mengangguk setuju. Mood-nya cepat sekali berubah. Lagi pula aku tak bisa menghabiskan martabak itu sendirian. Aku masuk ke dalam rumah dan kembali membawa martabak tersebut keluar. Axelsen sudah duduk manis di teras. Wajahnya sedikit tegang. Dia kenapa?

"Sebenarnya aku sudah menyiapkan makan malam romantis di cafe. Tapi, kurasa ini akan lebih romantis. Sebenarnya aku juga punya tujuan lain datang ke sini."

Menatapnya sambil mencomot sepotong martabak. Aku sudah tak bisa menahan lapar ini lebih lama.

"Aku.."

*

Voment
Best

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro