Chapter 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Audi hitam mengilap nan tampak mewah itu membawa Dean dan Louisa di area gedung observatori Griffith. Bangunan berkubah gelap tersebut terlihat gagah di lereng selatan gunung Hollywood, dinding-dindingnya bercat putih dan disorot lampu kuning dari bawah untuk kesan dramatis. Di halaman gedung yang sangat luas ditumbuhi rerumputan hijau ada sebuah monumen memanjang juga teater Yunani. Biasanya ada pertunjukan, namun malam ini ditiadakan demi event lain yang lebih menarik. Dari sini mereka juga bisa melihat papan bertuliskan Hollywood sebagai ikon kota yang tidak boleh dilewatkan. 

Walau memakan waktu sekitar lima belas menit menggunakan roda empat, butuh usaha lagi agar bisa sampai ke puncak, sementara Dean melihat Louisa mengenakan boots berhak tinggi yang tidak memungkinkan gadis itu untuk berjalan lebih jauh. Untung saja tempat ini memiliki fasilitas uber atau bus agar pengunjung tak perlu susah payah melewati jalanan terjal nan curam.

Dari puncak mereka bisa melihat bentang kota Downtown seperti jutaan kunang-kunang yang bergerombol jadi satu wadah super besar. Jika menengadah ke arah langit malam, dia seperti mengamati cerminan gemintang dari dua sisi dan serasa masuk ke dunia paralel seperti film Upside Down. Dean sengaja mengajak Louisa ke mari karena ada satu event yang sempat lewat di beranda Twitter. Pihak observatori mengumumkan kalau malam ini akan ada okultasi mars ke bulan, fenomena di mana planet keempat tata surya tersebut melewati bulan. Jika cuaca cerah, proses pergerakan mars akan tampak jelas tanpa harus menggunakan teleskop.

Dean berpaling ke arah Louisa yang sedari tadi diam karena sibuk mengagumi betapa dirinya begitu kecil jika berada di puncak. Iris mata lentik itu terlihat antusias mengamati pendar lampu-lampu kota seperti menemukan stoples raksasa berisi bubuk cahaya.  Dia menebak kalau boots yang dikenakan tak akan menimbulkan rasa lelah di betis gadis itu ketika perhatiannya masih tertuju pada lanskap Downtown. Merasa diawasi, Louisa menoleh ke arah Dean begitu salah tingkah kemudian berkata, "Kau membawaku ke sini--"

"Melihat sesuatu yang belum kau lihat seumur hidupmu," sela Dean menarik tangan Louisa dan mengangkatnya tinggi-tinggi membuat gadis itu berputar bertumpu di atas jempol kaki. "Menarilah untukku, Lou."

"Kenapa?" tanya Louisa melingkarkan lengan Dean ke lehernya, mencuri-curi wangi tubuh lelaki itu. Tangan kirinya terangkat tuk membelai bulu-bulu janggut berharap bahwa bisa merasakan sensasi gelitik itu di antara kedua pangkal paha saat bercinta. Sial! Lagi-lagi Louisa memikirkan hal kotor dalam kepala. Semua ini karena pesona si Cassanova!

"Hanya ingin tahu. Katamu aku bisa meminta semua yang ada pada dirimu bukan?" Dean mengingatkan janji Louisa sewaktu di restoran tadi.

"Ah, benar. Tapi, tidak dengan sepatu ini," elak Louisa. "Apa kau sering ke sini bersama perempuan sebelumnya?"

Dean menggeleng cepat. "Kau yang pertama."

"Apa ada alasan khusus, Mr. Cross?" Louisa mengerutkan kening saat Dean mendekapnya erat dalam pelukan. "Aku penasaran apa saja yang kau lakukan dengan barisan mantanmu."

"Tidak ada yang menarik, Lou. Kami melakukannya ketika saling membutuhkan pelampiasan," ungkap Dean. "Jujur saja, aku bosan jika polanya terulang lagi dan lagi. Dalam artian ... ah, kau tak akan mengerti."

"Hubungan ranjang saja?" tebak Louisa dibalas anggukan dan bibir yang terkatup rapat seolah-olah hal itu memalukan untuk dibicarakan. "Tidak ada deep talk di antara kalian?"

"Tidak. Aku tidak suka mereka mengusik hal pribadiku, aku lebih suka mendengar cerita mereka," tandas Dean jujur. 

"Cih! Egois sekali!" ejek Louisa memukul dada bidang Dean.

"Aku berkata yang sebenarnya, Babe, kisahku tidak menarik untuk dibagi," timpal Dean mencolek puncak hidung mancung Louisa.

"Begitu juga orang lain, Dean, tidak semua bisa kau ulik sampai ke akar. Adakalanya mereka membutuhkan privasi," balas Louisa mematahkan stigma yang selama ini dipegang teguh oleh Dean. 

Lelaki itu mengedikkan bahu tak mau berdebat kusir selagi suasana hatinya baik. Dia menghargai opini Louisa tapi tidak serta merta menerima pendapat tersebut dalam benaknya. Dean berkelakar kalau kisah hidupnya selama ini memang tidak menarik. Lagi pula semua orang di Amerika juga hafal siapa dirinya dan silsilah keluarga Cross, bahkan di laman internet saja begitu mengetik nama Cross pasti yang muncul pertama kali adalah dirinya. Jadi, untuk apa diceritakan kembali? Membuang-buang waktu saja kan?

"Indah sekali," kata Louisa begitu kagum ketika masuk ke lobi observatorium.  

"Seperti dirimu," bisik Dean memuji gadisnya menimbulkan rona merah di pipi Louisa.

Mereka disambut seorang lelaki tambun dengan ekspresi tak ramah. Mungkin terlalu lelah, pikir Louisa. Selanjutnya, dia mengarahkan Louisa dan Dean ke loket jika ingin menonton pertunjukan di planetarium bertajuk Signs of Life. Meski antrean cukup panjang, akhirnya Dean mendapatkan dua tiket kemudian diarahkan untuk masuk ke ruang bertuliskan Samuel Oschin Planetarium. Ternyata di sini banyak pengunjung dari berbagai usia sekadar menikmati tontonan mengenai bagaimana hukum kimia dan fisika mendorong evolusi kosmik dan diajak melakukan perjalanan tata surya di galaksi bimasakti. 

Bagai tenggelam dalam galaksi tanpa batas, Louisa takjub sampai-sampai merangkul lengan Dean dan menunjuk planet Saturnus dengan batu-batu asteroid yang mengelilingi membentuk cincin. Dilanjut komet-komet hingga meteor yang pernah terlihat di bumi selama beberapa dekade terakhir, tak lupa menunjukkan Vega-alpha Lyrae sebagai bintang paling terang kelima di luar tata surya 25,3 tahun cahaya dari bumi. Iris mata bulat nan lentik Louisa tengah mengabadikan momen manis seperti ini dan rasa gundah gulana akibat memikirkan Troy langsung hilang tanpa bekas. 

Dean memang bajingan juga perayu ulung, tapi cara dia memperlakukan perempuan patut diacungi jempol. Meski ... dalam beberapa hal, Dean lebih suka mengetahui kehidupan orang lain daripada orang mengetahui kehidupannya sendiri. Entah apa yang disembunyikan Dean, padahal menurut Louisa, lelaki itu sosok sempurna bagai dewa Yunani tengah menebar banyak cinta dan kasih sayang.

"Aku melihat cahaya bintangnya dari matamu," bisik Dean. "Memesona."

Louisa tersipu malu, jantungnya sudah berdebar tak karuan mendengar perkataan Dean yang benar-benar mampu membuat wanita mabuk kepayang. Dia memiringkan kepala lantas dibalas Dean dengan cumbuan singkat bahwa tidak ingin hari seperti ini berakhir. Dean menyisir untaian rambut Louisa yang terjatuh menutupi kecantikan gadis itu seraya berbisik,

"Siap untuk melihat mars?" tanya Dean mengerlingkan sebelah mata.

"Selalu siap selama kau bersamaku," jawab Louisa mengecup bibir Dean lagi.

###

Puas menonton pertunjukan Signs of Life dan melihat benda-benda bertema astronomi di museum yang mengagumkan. Mereka berdiri bersama pengunjung lain untuk mengamati Tesla Coil, di mana ada semacam ruang kecil yang dibatasi kaca dan kawat-kawat sementara di tengahnya ada semacam bola dengan dua ujung yang menghantarkan listrik berkekuatan tinggi. Didampingi seorang lelaki pirang yang terlihat antusias menyambut pengunjung, dia menjelaskan kalau penemuan tersebut dikembang oleh Nicola Tesla yang ingin menyediakan listrik tanpa kabel.

Beberapa menit kemudian, cahaya kebiruan bagai petir keluar. Seketika anak-anak di depan Louisa berdecak kagum lalu bertepuk tangan bahwa itu seperti melihat sambaran petir yang menyentuh tanah. Dean meminta Louisa untuk naik ke atas di mana ada beberapa teleskop tersedia bagi mereka yang ingin melihat bintang lebih jelas. Louisa mengangguk senang, lalu berjalan keluar dengan tangan Dean menggandeng dirinya erat seakan-akan tengah dimabuk asmara. 

Naik satu persatu anak tangga menuju lantai atas yang tersambung dengan ruang observatori di mana ada teleskop raksasa. Kemudian mereka bergerak keluar dan disambut pemandangan bukit dan lereng juga kota Downtown yang makin menawan. Louisa berlari kecil menghampiri salah satu teleskop dan mengarahkannya ke langit. Dia menganga lebar memuji kuasa Sang Pencipta lalu berseru, 

"Fantasis!"

Dean mengikuti gerakan Louisa, memandang banyaknya gemintang yang tidak bisa dia hitung dengan jari. Lalu dia menunjuk ke arah bulatan kecil kemerahan dan berkata, "Itu mars! Kau bisa melihatnya tanpa teleskop, Lou!"

"Indah sekali. Kau memang jago, Mr. Cross," puji Louisa menengadah ke arah angkasa mengamati pergerakan mars yang mendekati bulan. Beruntung cuaca hari ini cerah sehingga dia bisa berlama-lama mengabadikan momen itu melalui ponsel, termasuk memotret dirinya bersama Dean. "Aku tidak menyangka bahwa pimpinanku benar-benar manis."

Dean menyunggingkan senyum bangga, menarik pinggang Louisa untuk dekat dengannya lalu menyisir untaian rambut gadis itu yang terurai oleh embusan angin. Louisa melingkarkan lengannya ke leher Dean, menatap dalam-dalam iris biru samudra itu. Merasakan betapa hangat tubuh Dean di antara dinginnya udara menusuk kulit. Namun semua itu tak berarti ketika dia benar-benar bersyukur bisa merasakan hal romantis seperti ini padahal status mereka hanyalah teman tidur semata. Sekarang, apakah dia bisa menyingkirkan persepsi bahwa Dean hanyalah playboy yang memanfaatkan wanita?

"Aku mencoba menjadi kekasih yang baik untukmu, Lou," tandas Dean. "Menyenangkan bisa jalan berdua denganmu."

"Aku juga. Apa kau pernah merangkul mantanmu di depan publik seperti ini?" tanya Louisa. 

"Beberapa kali, ini sesuatu yang wajar. Tapi, mengunjungi tempat ini, jalan ke pusat kota dan berbaur dengan manusia lain ... semua itu hal pertama bagiku," ucap Dean.

"Lantas, kejutan apalagi yang akan kau berikan Mr. Cross?" tanya Louisa. "Aku menantikannya."

Dean terkikik lalu memiringkan kepala seraya berbisik, "Bercinta dengan keras bersamamu sampai kau tidak sanggup lagi meneriakkan namaku, Ms. Bahr." 

"Justru kau yang akan  kubuat begitu, Mr. Cross," balas Louisa. 

"Mari kita lihat nanti," timpal Dean dengan mata berkilat lalu memagut bibir Louisa penuh gairah, memantik kembali gelombang nafsu yang menerbangkan mereka hingga ke langit tertinggi. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro