Chapter 13 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tangan kanannya sibuk memulas cat minyak di sebuah canvas yang sudah diberi dasar warna cokelat, menindih satu-persatu garis abstrak mulai dari walnut sebagai polesan di bagian pipi, telinga, hingga leher. Dilanjut hitam di bagian rambut yang menjuntai panjang menutupi bantal, sampai gradasi coffee di bagian tulang hidung, dahi, dan sedikit di area kelopak mata. Kemudian warna abu-abu untuk mengisi sisa ruang di atas warna gelap tersebut sehingga terlihat ekspresi seorang perempuan tengah terlelap dengan bibir sensual disinari cahaya rembulan dari sisi kiri. Dean berhenti sejenak, mengamati sebentar lukisan setengah jadi di ruang pribadinya lalu mengulum senyum tipis.

Mengabadikan wanita yang menghabiskan malam-malam bersamanya dalam sebuah canvas adalah hal yang tidak banyak publik tahu. Bagi lelaki itu, menggambar pose mereka sedang dibuai alam mimpi, mengenakan kemeja miliknya selepas percintaan hebat, sampai terlentang tanpa memakai sehelai benang jauh lebih mengagumkan daripada membidik melalui jepretan kamera. Mungkin terdengar aneh, tapi Dean memiliki sudut pandang sendiri atas apa yang dilakukannya ini. Serasa ada kepuasan sendiri ketika mampu mengetsa dan menyelesaikan lukisan kemudian memajang dalam galeri tanpa ada niatan untuk dijual.

Dia pernah berlama-lama berdiri menilik salah satu lukisan di mana salah satu perempuan yang sudah tidak diingat namanya sedang duduk sambil menyesap sebatang tembakau di balkon hotel. Selanjutnya, pikiran Dean terbuka seperti gerbang masa lalu yang menyuruhnya masuk untuk melihat kembali apa yang telah dilewatkan bersama mereka. Rayuan, cinta satu malam, pelampiasan, hingga perpisahan menyakitkan. Lapisan demi lapisan kenangan tersebut terendap dalam dasar otak mendadak bermunculan dan tersadar bahwa selama ini dia selalu menjadi pihak yang menyakiti perempuan akibat tak mau diajak berkomitmen.

Ah, Dean menggeleng entah harus bersusah hati atau bangga atas pencapaiannya. Apakah hubungan pria dan wanita harus dilandasi sebuah komitmen? Dia selalu bertanya-tanya tentang hal tersebut, namun tak kunjung mendapat jawaban karena selalu berbalikan dengan kenyataan di lapangan. Di luar sana, banyak orang yang memilih menjadi hubungan tanpa status sekadar mencari pelampiasan seksual saat dirundung sepi. Atau paling parah, salah satu dari mereka memberikan cinta sampai tumpah ruah tapi tidak dianggap. Bukankah lebih baik tidak jatuh cinta atau tidak memberikan janji?

Lalu bagaimana denganmu, Dean? batin Dean mengarahkan pertanyaan itu pada dirinya sendiri.

Dean mengangkat bahu tak mau tahu, memilih melanjutkan kembali untuk mengecat bagian tubuh bawah objek lukisannya yang tertutup selimut kecuali salah satu kaki jenjang yang sengaja tersingkap. Dia membatin bahwa mengukir tubuh mereka sama saja mengenang para mantan tanpa perlu dilupakan. Beberapa saat, Dean menelengkan kepala dan mengerutkan kening menolak alasan yang dulu diagungkan dalam hati. Apakah Louisa adalah pengecualiannya saat ini? Sisi lain hatinya mengolok dan memutar kembali kebersamaan Dean bersama Louisa yang terasa menyenangkan.

Aku tak yakin pada pendirianku sendiri.

"Dean?" panggil Louisa membuat lelaki itu menoleh ke sumber suara.

Louisa berdiri dan bertelanjang kaki, merangkul tubuh sintalnya dibalik kemeja putih Dean. Rambut cokelat gadis itu sedikit berantakan, namun tidak menghilangkan betapa menawan Louisa meski terbangun di tengah malam. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling di mana Dean duduk menghadap sebuah canvas di ruang bercat abu-abu sementara langit-langitnya berwarna putih. Ada dua lampu menggantung rendah untuk memberikan penerangan cukup, sedangkan di sisi kiri Dean terdapat jendela berukuran besar sebagai akses masuknya cahaya jika siang hari.

Untuk beberapa waktu, Louisa tertegun bukan main mengamati Dean hanya memakai celana panjang berwarna abu-abu yang membalut kaki panjang tanpa alas. Sementara dadanya dibiarkan terbuka begitu saja untuk menunjukkan tato sayap di punggung dan tato geometri di lengan kanan yang bergelombang mengikuti gerakan tangan Dean saat mengecat di canvas. Belum lagi perut sixpack dengan rambut tipis di bawah pusar sebagai tempat favorit Louisa memanjakan Dean. Rambut cokelat tembaga lelaki itu tampak acak-acakan yang justru kelihatan seksi nan menawan. Dia memegang papan palet di tangan kiri, sementara di tangan kanan menggenggam sebuah kuas. Ekspresi wajahnya tak dapat dibaca Louisa walau bibir Dean melontarkan senyum simpul penuh sejuta makna.

Louisa melangkahkan kaki, penasaran dengan ruangan yang tidak pernah dia tahu sejauh mengenal Dean. Seraya menyatukan alis, dia menangkap betapa banyak alat-alat lukis tertata rapi dalam kotak kayu dan diletakkan sudut-sudut ruangan, ada beberapa canvas kosong aneka ukuran dekat jendela, serta satu buah lemari kaca untuk menyimpan cat-cat warna di depan Dean. Di sisi ruangan yang tak seberapa besar ini ada pintu lain bercat hitam bertuliskan 'Querencia'. Sorot mata cokelat Louisa beralih pada objek di depan Dean dan seketika dia menganga lebar.

"Sepertinya aku mengenal siapa yang kau lukis," sambung Louisa hendak menyentuh lukisan yang masih basah itu. Dia menoleh ke arah Dean, mengagumi sekali lagi daya pikat Dean yang menawan. Apakah ada hal lain lagi? batin Louisa.

"Dari mana kau tahu aku di sini?" tanya Dean mengabaikan ucapan Louisa.

Gadis itu menyipitkan pandangan merasa ada nada tak suka dalam kalimat Dean. Apakah dia tidak suka jika hal ini diketahuinya?

"Aku mencarimu karena kau tidak ada di sampingku," jawab Louisa. "Dan melihat ruangan ini lampunya menyala. Apakah kau marah?"

Bibir Dean terkatup beberapa saat sebelum menghela napas panjang, lalu meletakkan palet serta kuas di atas meja di sebelah kiri. "Aku hanya kaget saja, Lou," ucap Dean.

Louisa melingkarkan tangan ke leher Dean, memberikan kecupan di tengkuk lelaki itu dan meraba dada bidangnya untuk merasakan bahwa detakan jantung mereka sama-sama cepat. Wangi baccarat bercampur keringat dan aroma cat minyak membaur jadi satu seperti feromon yang memabukkan. Dean berpaling membalas kecupan itu dengan ciuman dalam lalu berkata,

"Aku menggambarmu ketika tidur. Terlihat cantik."

"Benarkah?" tanya Louisa mendudukkan diri di atas pangkuan Dean. "Apa kau juga melakukan ini pada perempuan lain?"

Dean mengangguk mantap, ragu-ragu menyampaikan bahwa inilah kebiasaannya. "Tapi, tidak dengan membawa mereka ke mari. Aku tidak suka mereka menginjakkan kaki di sini, kecuali kau."

"Kuanggap itu perlakuan istimewa," kata Louisa. "Ah, pantas saja aku melihat banyak lukisan di rumah ini, ternyata itu semua karyamu?"

"Iya. Aku menyukai seni lukis sejak masih kecil setelah melihat Monalisa di Paris ketika diajak Ayahku ke sana," ungkap Dean membuat Louisa tercengang beberapa saat. "Tapi ... aku lebih suka lukisan berbau impresionis seperti Claude Monet, Berthe Morisot, atau Pierre-Auguste Renoir. Mereka lebih menonjolkan kesan pencahayaan daripada membentuk objek. Kau bisa lihat kan?"

Louisa meniti sekali lagi dan membenarkan apa yang dijelaskan Dean kepadanya. Sapuan kuas warna-warni begitu kontras di atas canvas membuat Louisa langsung mengenali kalau itu dirinya. Bagai dipotret dalam kamera, namun ukurannya jauh lebih besar. Seakan-akan Louisa menatap dirinya tengah dibuai alam penuh cinta manakala jejak rembulan menembus dinding kaca kamar Dean. Dia mengangguk kemudian bertanya, "Apa orang lain tahu kau menyukai ini?"

"Ada. Kau perempuan pertama yang tahu." Dean mencium bibir Louisa, merengkuh erat pinggang gadis itu seraya memainkan jarinya di balik kemeja yang dipakai sang pujaan. "Ada beberapa hal yang terasa baru untukku."

"Oh iya?" Louisa menelengkan kepala tak percaya. Membelai rambut Dean yang sedikit basah karena keringat. "Berapa banyak daya pikat yang kau miliki, Mr. Cross? Aku penasaran."

Dean tak menjawab, hanya tertawa mendengar pujian Louisa tentang dirinya. Sampai pada akhirnya mereka saling diam dan mengunci tatapan cukup lama. Mengagumi diri masing-masing bahwa hubungan seperti ini rasanya tak mau segera berakhir. Louisa memainkan rambut ikal Dean lalu memberi ciuman-ciuman kecil dan menggesek-gesekkan puncak hidungnya ke hidung Dean. Ciuman berujung lumatan penuh gairah itu merambat turun ke leher, menyesap lembut nadi karotis Dean seperti mencerup mata air menyegarkan sanubari.

Tangan Dean makin tak bisa diam, merambat naik menuju gundukan dada penuh Louisa dan memainkan ujungnya menciptakan sensasi geli sekaligus menyakitkan. Nyaris melumpuhkan tungkai Louisa, namun tidak dengan aliran darahnya yang berdesir begitu cepat. Berdenyut hingga ke ubun-ubun, melemahkan akal sehat tapi melambungkan jutaan kupu-kupu dalam perut.

Bagai singa kelaparan, pagutan bibir itu berubah menjadi cumbuan penuh tuntutan. Saling menyesap, menggigit, merasakan lebih dalam bagaimana manusia terhanyut dalam pusaran nafsu dan menyalakan kembali api yang sempat padam. Erangan tertahan memenuhi ruang lukis Dean diselingi rayuan bahwa mereka saling mendamba dan tak sabar menggapai puncak bersama. Tanpa sadar pula pinggul Louisa bergoyang merasakan sesuatu membesar di antara pahanya. Oh boy ... batin Louisa kegirangan berhasil membangunkan diri Dean. Di sana.

"Jangan merayuku, Lou, lukisan ini belum selesai," desah Dean dengan pandangan berkabut berselimut hasrat menggebu-gebu. Dia mengusap bibir bawah Louisa sementara gadis itu malah memainkan jemari Dean, memberi kecupan kecil lalu menjilatinya. "Gadis nakal."

"Apa kau akan membawaku ke galerimu?" bisik Louisa terdengar seperti permohonan sensual di telinga Dean. "Bercinta sambil melihat kembali wajah-wajah mantanmu?"

"Sialan ..." desis Dean terkekeh. "Kenapa harus? Aku punya kau, Lou. Bersamamu membuatku gila setengah mati."

"Bawa aku ke sana, Dean," pinta Louisa sekali lagi. "Bawa aku ke tempat yang belum kujamahi."

###

Aroma cokelat begitu menenangkan ketika Louisa mengamati detail interior hunian Dean. Berjalan perlahan menilik tiap sudutnya dengan takjub bahwa selera Dean benar-benar mahal. Hunian berkonsep modern dan futuristik tapi masih terasa hangat. Sangat cocok jika digunakan untuk acara makan malam atau pesta bersama teman-teman jika bosan dengan hiruk pikuk kota. Cat utamanya putih sehingga memberi kesan luas dan bersih, sementara di beberapa bagian dicat hitam dan cokelat bermotif kayu. Dinding-dindingnya dominan dinding kaca yang memungkinkan penerangan maksimal di siang hari.

Ketika di dapur tadi, mejanya saja terbuat dari bahan keramik dan ada lemari tersembunyi yang ternyata berisi mesin pemanggang, mesin pembuat espresso, dan microwave. Untungnya Louisa dibantu oleh pengurus rumah sehingga dia tidak perlu kebingungan seperti orang bodoh di sini. Maklum saja kan, apartemen di Malibu tidak memberikan fasilitas mewah seperti rumah Dean.

Dapur yang luas ini juga menyajikan panorama luar yang indah, bukit-bukit bagai penjaga rumah, pepohonan di sana seperti pagar tinggi hingga ada kolam renang memanjang tanpa batas seakan-akan Dean memiliki laut pribadi. Dinding kaca dapur bisa terbuka luas dengan tombol pintar yang ada di dinding, sehingga memungkinkan orang-orang yang datang bisa leluasa bergerak.

Sementara itu ruang utamanya terdiri dari beberapa sofa berwarna beige dengan perapian ganda. Lagi-lagi dinding perapiannya terbuat dari keramik sementara dinding ruangan ini juga dari kaca. Lampu-lampu kristal menggantung tampak glamor sementara di sisi kanan ada rak berisi botol-botol wine dan whisky mahal juga gelas-gelas kaca yang terkesan mewah.

"Lou?" panggil Dean masih memakai celana panjang abu-abu yang menggantung indah dan menonjolkan lekuk otot berbentuk V di pinggul. Bulir keringat membasahi tubuh Dean namun membuatnya seperti berlian yang berkilau diterpa matahari. Dia mengusap wajah dan leher menggunakan handuk kecil lantas menyapa Louisa dengan kecupan pagi di bibir. "Kukira kau pergi."

"Hanya mengagumi tempat ini," kata Louisa. "Seleramu bagus. Aku suka. Apa kau mendesainnya sendiri bersama arsitek?"

Dean menggeleng sambil berjalan menuju kulkas dan membukanya. Meraih sebotol air mineral dan meneguk cepat melintasi kerongkongan. Lagi-lagi gerakan jakun Dean yang naik-turun bisa menghipnotis Louisa untuk membelai dengan lidah. Seperti kemarin.

"Aku hanya bilang kalau menginginkan hunian futuristik, tapi eco friendly. Aku lebih suka pencahayaan alami daripada lampu yang menghabiskan biaya listrik," kata Dean menunjuk dinding-dinding kaca di sekeliling mereka. Dia kembali melangkah mendekati Louisa untuk bergabung menikmati secangkir cokelat hangat yang disediakan oleh asisten rumahnya. "Aku juga berpesan kalau menginginkan sebuah ruangan untuk menyalurkan hobi sehingga tidak perlu jauh-jauh keluar rumah."

"Oleh sebab itu kau memiliki gym sendiri, studio film, studio musik, sampai ruang lukismu?"

Dean melenggut membenarkan perkataan Louisa. "Biasanya rumah ini ramai didatangi kolegaku atau teman-temanku sekadar mengobrol sampai puas."

"But there was not only a woman, right?" terka Louisa sedikit cemburu.

"No. Only you, Babe," jawab Dean melihat ada sedikit cokelat di sudut bibir Louisa. Dia menarik Louisa lalu menjilat bagian tersebut selanjutnya menggigit bibir bawah gadisnya. "Apakah kau ini nikotin, Ms. Bahr? Aku tidak bisa tidak menciummu."

Sebelum Louisa menjawab, denting bel rumah tiba-tiba terdengar nyaring membuat Dean terperanjat. Buru-buru dia mendekat ke salah satu dinding yang menampilkan wajah seseorang yang ingin bertamu. Seketika bola matanya nyaris mencuat mendapati kakak perempuan--Christine--berdiri sambil berkacak pinggang dan membawa kereta bayi di sisi kanan. Dia menekan bel lagi membuat Louisa yang dilanda penasaran menghampiri Dean dan bertanya, "Siapa itu?"

"Kakakku, si nenek sihir."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro