Chapter 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebenarnya Louisa tidak paham apa yang ditakutkan Dean terhadap sosok perempuan manis berkulit pucat di depannya ini. Seraya menyendok es krim vanila dalam mangkuk kecil, dia mengamati Christine sedang membuka bungkus makanan bertuliskan biskuit khusus balita. Amat sangat jelas bahwa tidak ada karakter nenek sihir yang pantas disematkan seperti ucapan Dean. Namun, aura mahal seperti seorang woman boss langsung terasa saat Christine melangkah masuk dan menyapa sang adik. 

Di sisi lain, Louisa sempat terperangah kaget pertama kali menjumpai Christine. Bagaimana tidak, wajahnya sungguh jauh berbeda dengan Dean kecuali rambut tembaga yang menjuntai hingga bahu. Selain itu, Louisa mengenal nama Christine Norris karena tahu bahwa dia adalah  sebagai salah satu produser ternama dalam layar lebar bertajuk The Perfect Bride Wars yang pernah digarap bersama sutradara Terry Randall. Film tersebut berhasil  mendapatkan penghargaan Palme d'Or di festival film Cannes ke-74. 

Louisa mengagumi film tersebut karena berhasil mengaduk-aduk perasaannya di mana kedua karakter bertemu kembali setelah kehilangan kontak selama hampir empat puluh tahun. Kondisi Bruce, karakter pria yang berprofesi sebagai tentara tersebut mengalami cacat total usai kakinya tak sengaja menginjak ranjau ditambah PTSD berulang setiap kali mendengar suara ledakan. Sementara Alice, karakter wanita yang dulunya anak dari salah satu pejabat tinggi yang beralih menjadi florist dan mengirim hasil karangan bunga ke rumah jompo setiap akhir pekan. Dari situlah, dia mengetahui Bruce hidup sebatang kara dengan kondisi mental tak stabil dan menjalin komunikasi kembali seperti awal mereka bertemu.

"Aku tidak menyangka bisa berjumpa denganmu, Mrs. Norris," ucap Louisa antusias lalu senyum di bibirnya seketika lenyap ketika Christine menyorot gaya berpakaiannya. "Ah, sorry, bajuku--"

"Aku baru melihat Dean berani membawa perempuan ke mari," sela Christine. "Congrats!"

Apakah itu pujian atau sindiran? batin Louisa tak mengerti.

"Santai saja denganku, Ms. Bahr," lanjut Christine membaca ekspresi tak nyaman di wajah Louisa. "Aku hanya kaget adikku bisa mengajak perempuan ke rumah ini. Kau paham kan betapa bajingan dia?"

"Aku mendengarmu, Chris!" seru Dean sambil menyeka dahi dengan handuk kecil usai berolahraga sebentar di ruang gym pribadinya. Peluh keringat berkilauan akibat terkena pantulan pendar mentari membasahi tubuh berotot Dean memberikan efek bagai manusia abadi di cerita fiksi. Manalagi riak-riak biseps mengendur dan mengetat mengikuti pergerakan Dean saat menumpukan tangan di pinggir pantry, mengecup sebentar bibir Louisa untuk mencecap manisnya es krim. "Manis seperti tubuhmu, Babe."

Louisa tertegun setengah mati untuk ke sekian kalinya. Hampir saja meluruhkan jantungnya ke lantai mendapat ciuman tiba-tiba itu. Kalau tidak ada orang selain mereka berdua, Louisa akan menerima suka cita, tapi ini di depan kakak Dean yang notabene Louisa harus menunjukkan perangai baik. Namun, lagi-lagi sentuhan Dean itu tidak dapat ditangkis, begini saja tungkai Louisa mendadak lemah seperti meleleh di atas pemanggang super panas. 

Dia berdeham, menyingkirkan hasrat yang ingin menguasai otak, apalagi semalam adalah percintaan dahsyat di ruang galeri pribadi Dean. Lantas, Louisa menyendok es krim lagi tanpa berani melempar pandangan ke arah kekasihnya itu. Namun, diam-diam melirik garis bibir tipis Dean yang kemarin menerbangkannya ke langit membuat pusat bawah tubuh Louisa seketika lembap dan menginginkannya. Lagi. 

Please! Jangan belai bibirmu dengan jari itu, Dean! Ah, sial! rutuk Louisa mendapati Dean menyapu bibirnya dengan telunjuk kanan.

"Hei, ada balita di sini!" seru Christine mengingatkan. Sorot mata tajamnya seakan-akan ingin mencolok mata biru Dean dengan garpu.

Dean mengangkat bahu tak peduli, mengambil satu buah apel dari atas piring di depan Christine. "Kenapa kau datang ke sini? Tidak seperti biasanya," tanyanya mendudukkan diri di kursi bar sebelah Louisa.

"Aku bukan menemuimu, Dean. Tapi, kau, Ms. Bahr," tunjuk Christine. "Sulit sekali menghubungimu secara pribadi. Manajermu mengatakan kalau kau bermalam di sini."

Louisa nyaris tersedak mendengar penuturan Christine dan seketika wajahnya setegang kawat dan semerah delima sementara jantungnya kembali berdegup kencang. Apakah semua anggota keluarga Cross begitu lihai membolak-balikkan perasaan seseorang begitu mudah? Selain itu, bisa-bisanya Cory mengatakan hal tersebut secara blakblakan tanpa mengonfirmasi terlebih dulu. Dia mendehem pelan, mencoba mengatur ulang aliran darah yang berdesir cepat sekadar tidak ingin ketahuan bahwa semalam memang tidak sempat mengecek ponsel. Mungkin memang Cory sudah mencoba menghubunginya tapi Louisa tidak punya tenaga lebih selain tidur seharian. Siapa lagi kalau bukan karena ulah Dean dan sisi liarnya sendiri terlalu menggebu-gebu akan sentuhan demi sentuhan erotis nan menggelorakan jiwa.

Dia berpikir sejenak, menerka-nerka kenapa pula Christine ingin menelepon langsung bukannya berbicara dengan Cory selaku manajer? Apa karena dia mengencani adiknya sampai tersiar di internet? Atau Christine ingin mencegah Louisa agar tidak terpengaruh pesona Dean?

Terlambat untuk mencari selamat!

Harus Louisa akui, dia memang mengagumi Dean tapi bukan berarti cinta itu langsung hadir. Tidak! Dia sendiri terlalu takut untuk sakit hati di saat lukanya saja belum benar-benar mengering. Hanya saja, dia membutuhkan lelaki itu untuk menunjukkan kepada Troy kalau ada seseorang yang jauh lebih baik. Baik dalam hal mereka harus berpura-pura menjalin asmara. Seperti itu kan definisi friends with benefits? Ya ... meskipun Dean bukan manusia paling sempurna dengan sifat dominan yang sering bikin kepala melepuh. Di sisi lain, Dean adalah pendengar setia walau dalam beberapa hal mereka akan berdebat termasuk ketika ada perbedaan opini tentang artis-artis di bawah manajemen Cross. Dari situlah, Louisa bisa melihat sudut pandang lain yang tidak dilihat perempuan mana pun.

Seperti lukisan yang digambar khusus untuknya.

"Well ... ya, kurang lebih seperti itu," jawab Louisa gugup. "Ada apa memangnya?"

"Aku sedang mencari beberapa aktris untuk casting, Ms. Bahr, mungkin kau--"

"Aku mau!" seru Louisa bersemangat membuat Dean menaikkan alis dan geleng-geleng kepala. "Jadi, tentang apa ini?" tanyanya penasaran.

"Penari balet yang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang pianis. Di tengah cerita, ternyata pianis itu menjualmu ke orang lain untuk dijadikan pemuas nafsu pria dan mesin pencetak uang, kemudian kau bertemu seseorang yang mencintaimu tanpa syarat," terang Christine menaruh anaknya ke kereta bayi. "Happily, ever after!"

"Tidak ada yang namanya cinta tanpa syarat, Chris," sahut Dean mengomentari ide cerita kakaknya. "Inilah yang tidak kusuka dari film romansa. Mereka menyajikan cerita picisan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kalian dibodohi mereka."

"Apa salahnya? Dunia terlalu kejam dan ada baiknya kita sedikit bermimpi menemukan cinta seperti itu, Dean," timpal Louisa yang diacungi jempol oleh Christine. "Aku pun akan melakukan hal yang sama. Mencari orang yang mencintaiku tanpa syarat."

"Buktinya kau dicampakkan," sindir Dean terang-terangan. "Apa mantanmu pernah berkata seperti ini? Oh, Louisa, aku jatuh cinta padamu dan hanya kau di hatiku. Mari bangun masa depan bersama. Begitu bukan?" Dean tergelak seolah-olah kalimat tersebut sangat lucu walau mendapat tatapan dingin dari kedua perempuan di depannya. "Nyatanya dia hanya ingin menidurimu."

"Aku akan ikut casting," tegas Louisa mengalihkan pembicaraan daripada terbawa emosi dengan cemoohan Dean. "Akan kuberitahu Cory dan kirimi jadwalnya, Chris. Thanks! I've gotta go!" Dia langsung pergi meninggalkan si tukang sok tahu menyebalkan itu dan mengabaikan teriakan Dean yang menggema padanya.

###

Pintu apartemen bercat biru laut terbuka memunculkan wajah lesu Louisa seraya melepas boots dan menaruhnya di rak sepatu. Air muka yang tadinya bersemangat menerima ajakan untuk ikut casting berubah masam jikalau mengingat ucapan Dean yang menusuk-nusuk hati. Pria bermulut pedas yang selalu tidak mau kalah opini itu benar-benar berhasil membakar emosi Louisa. Ingin sekali dia melempar lelaki itu ke laut andai bisa, agar Dean mengerti kalau ada manusia di dunia ini pasti memiliki perasaan murni untuk saling mencintai tanpa pamrih maupun syarat. Memang kenapa dengan skrip yang akan ditampilkan Christine? Toh itu tidak menyinggung kehidupan pribadi Dean kan? Kenapa pula dia yang kebakaran jenggot?

Dasar sinting!

Mengenakan sandal putih, Louisa memaksakan kakinya untuk bergerak ke arah pantry dapur sekadar mengambil sekaleng bir untuk mendinginkan asap yang mengepul dari balik sela-sela rambutnya. Dia mendapati Cory sedang bergelut dengan bahan-bahan makanan seraya memutar lagu SZA, sesekali pula ikut bernyanyi dan jujur saja suara Cory patut diapresiasi di balik penampilan nyentrik. Cory mengalihkan pandangan, melempar senyum simpul sambil terus memotong beberapa stroberi dan blueberry dalam irisan tebal.

"Hei, Love bird, sepertinya malam kalian tidak berakhir menyenangkan," ujar Cory menangkap suasana tak mengenakkan yang menyergap perasaan Louisa. "What's wrong?" tanyanya sambil menaruh waffle yang baru matang di atas piring, menghiasnya dengan potongan buah berry dan sedikit krim kocok sebagai sentuhan terakhir.

Louisa terdiam beberapa saat untuk meredakan gejolak amarah yang masih menguasai hati, kemudian meneguk sampai habis bir dingin itu melewati kerongkongan lalu berlalu menuju ruang tengah. Jendela-jendela dibiarkan terbuka lebar membuat tirai putih transparan menari-nari mengikuti aliran udara yang masuk. Hiasan gantung terbuat dari bahan cangkang kerang maupun siput ikut bergoyang menimbulkan suara menentramkan jiwa. Ditambah panorama pantai Malibu tampak menakjubkan, air jernih memantulkan birunya langit juga sinar matahari sehingga terlihat bak taburan emas di atas air dalam wadah super besar. Deburan ombak tidakk terlalu tinggi, buih-buihnya sedang berciuman dengan bibir pantai maupun orang-orang yang menghabiskan waktu di sana.

Seindah apa pun pemandang di depan, menapa pikiran Louisa terasa kelabu seakan-akan bakal ada petir yang menyambar sel otaknya? Dia mengembuskan napas kasar, membanting diri di atas sofa empuk berbahan kulit kemudian memandangi langit-langit bercat putih gading. Dia mendecak, mengusap wajah dengan tangan kanan manakala sekaleng bir tidak mampu meredam emosi yang terlanjur bergemuruh dalam dada. Bagai ombak besar sedang menerjang Louisa dan berusaha menenggelamkan tanpa memberi jeda untuk menyelamatkan diri. Dan ombak menyeramkan itu adalah Dean. Dia memberi pelangi juga badai dalam waktu bersamaan. Sekarang, bukan perasaan gelisah yang melanda Louisa melainkan amarah dan kekesalan bercampur aduk jadi satu memenuhi lambung menjalar ke paru-paru memercikkan jilatan api yang hendak meledak jikalau tertahan terus-menerus. Apakah dia harus menenggak vodka atau wiski lagi?

Tidak habis pikir cara pandang Dean bakal menyeret hubungan Louisa bersama Troy yang sudah berakhir tragis beberapa waktu lalu. Dalam kepala Dean, Louisa terkesan seperti perempuan bodoh yang mau saja diselingkuhi sampai tiga tahun lamanya tanpa ada rasa curiga. Di sisi lain, hati kecil Louisa ingin membenarkan tapi tak bisakah Dean menyingkirkan logika sebentar untuk menghargai sebuah karya walau sebatas fiksi? Apa karena dia lelaki yang mudah mendapatkan wanita kemudian membuangnya seperti sampah, sehingga membentuk karakter Dean seperti itu?

Cih! Yang menjadi mantanmu itu orang buta, Cross!

Sedangkan tentang Troy, Louisa tidak menyesal pernah mencintai lelaki itu meski harus berakhir memilukan. Setidaknya di balik sebuah putusnya jalinan asmara selalu ada hal yang bisa diambil kan? Louisa jadi belajar bahwa perasaan manusia tidak ada yang abadi. Tapi, tidak ada salahnya juga berharap akan ada pria yang datang dan menawarkan cinta seperti kisah-kisah picisan? Toh akhirnya selalu bahagia. Hidup tidak melulu tentang kesedihan jadi Louisa masih menggantung harapan kalau dia pantas mendapatkan yang terbaik. 

"Apa kau bertengkar lagi dengan Dean?" tanya Cory membuyarkan lamunan panjang Louisa. Dia menghampiri gadis itu sambil membawa dua piring wafel selanjutnya diletakkan di atas meja. "Aku membuat satu lagi untukmu. Krim kocok manis bisa jadi pelipur lara."

Louisa membenarkan posisi duduk, menatap tak minat hidangan yang tampak menggiurkan saliva. Tapi, perutnya kembali keroncongan seolah-olah memendam amarah akibat berbeda pendapat dengan Dean mampu menguras energi sampai ke titik terendah. Kalau ada kaca atau cermin ultraviolet, pasti bakal terlihat ada kepulan asap membumbung tinggi dari sela-sela rambut Louisa. Dia menghela napas panjang, mengambil piring itu dan memotong sedikit wafel buatan Cory kemudian melahap seperti orang kelaparan. Shit! Makanan manis adalah obat terbaik untuk menaikkan suasana hati.

Paduan krim kocok ringan di lidah, irisan buah stroberi segar sedikit asam, dan wafel lembut memang berhasil menyenangkan hati dan perut Louisa. Manalagi tangan ajaib Cory memang selalu bisa diandalkan, di mana lagi dia mendapatkan manajer all in one sepertinya? Beruntunglah Louisa memiliki manajer serba bisa seperti Cory meski terkadang lelaki itu ceriwis melebihi ibunya sendiri.

"Jadi? Ada apa?" Cory kembali bertanya begitu tak sabar tentang apa yang mengusik diri Louisa. "Oh girl, harusnya aku memberi sirup madu bukan krim kocok atau menuang sedikit biar lebih manis," komentarnya menunjuk hasil karyanya ketika meledak dalam mulut.

"Come on, kebanyakan gula membuatmu tewas, Cory," balas Louisa.

Cory tertawa menunjukkan deret gigi rapinya. "Hanya untuk saat-saat tertentu, Sayang. Ah, maaf, jadi ada apa? Kau tidak mungkin pulang dengan wajah menyedihkan kalau bukan terjadi sesuatu. Katakan, Lou!"

Louisa menunduk dan mengamati wafel cukup lama seraya mengetuk-ngetuk piring menimang apakah Cory bakal bosan mendengar pertikaiannya dengan Dean. Tapi, mengetahui Cory sepertinya khawatir, akhirnya Louisa berkata, "Aku benci ketika Dean menganggap aku ini perempuan bodoh karena terlalu percaya cinta." Bibir Louisa bergetar dan mata berkaca-kaca tak sanggup menahan kemurkaan yang ditahan sedari tadi. Dadanya mendadak sesak seperti dijejal paksa ratusan kerikil kecil yang menusuk. "Ya ... kau tahu kalau aku ditinggal Troy tanpa alasan kan. Dia mengungkitnya ketika Christine menawariku casting."

"Casting? Serius?" Cory tercengang dengan kalimat terakhir Louisa. "Kau harus mengambil kesempatan itu, Lou. Lupakan ucapan Dean. Sudah saatnya kau bangkit dan tunjukkan pesonamu pada Troy. Louisa Bahr tetap bertahan walau ditinggal sang mantan," sambungnya sambil mengangkat tangan kanan seperti membaca headline news yang bakal keluar di Twitter.

"Aku memang mengambilnya, Cory, hanya kesal saja dengan sikap Dean," keluh Louisa mengusap bulir air mata yang sukses turun membasahi pipi. "Kalau seperti itu, aku tidak yakin di Milan nanti kami berdua akur."

"Sejujurnya, aku mengamati tingkah kalian yang begitu akur saat bercinta," tandas Cory membuat Louisa tersipu. "Aku bisa membaca berapa banyak kepuasan yang kau dapatkan selama bersamanya. Bahkan aromamu sama dengannya sekarang."

Seketika Louisa mencium ketiaknya sendiri, mengendus-endus wangi tubuh Dean yang mungkin masih menempel di tubuh. Apakah semuanya terlalu kentara sampai Cory tahu berapa kali dia mengajak Dean bercumbu? 

"Aku hanya memanfaatkan situasi," elak Louisa. "Semuanya terjadi begitu saja."

"Ya, aku paham. Tidak mungkin perempuan bisa menolak Dean Cross," kata Cory memutar bola mata. "Apalagi kau, perempuan malang yang menjadi umpan terbaik baginya."

"Hei!" sungut Louisa tak terima. "Jangan merusak mood-ku lagi."

"Maaf, aku cuma tidak mau kau seperti yang lain," bela Cory jujur. "Kita tahu track record bajingan tampan itu, Lou. Dan kau selalu dibuat marah sampai menangis seperti ini."

"Aku menangis karena kesal dan ingin menamparnya dengan apa pun, Cory," kata Louisa membela diri. "Ada saja yang dia perdebatkan termasuk ide naskah yang akan digarap Christine. Seperti hanya dialah yang paling memahami bagaimana cinta dan dikhianati."

"Kuberitahu, seorang Cross tidak pernah mengenal yang namanya patah hati, Sayang," ledek Cory kepada atasannya sendiri. "Justru dialah yang sering membuat patah hati banyak perempuan. Maka dari itu, aku sudah memperingatkanmu agar tidak terlalu terbawa perasaan sekali pun kalian menghabiskan satu dus kondom."

"Tidak akan. Aku sudah tahu bagaimana permainan Dean," elak Louisa geleng-geleng kepala.

"Kita lihat saja," lirih Cory kembali melahap wafel dengan pandangan penuh arti.

Yang tak sabar menanti, silakan baca di Karyakarsa. Di sana udah bab 22 versi revisi ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro