Chapter 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gunakan topeng ini lalu berjalan pelan-palan memasuki ruangan. Anggaplah kau sedang menghadiri pesta mewah, Lou. Pancarkan ekspresi memukau ketika kau bertemu lawan mainmu," jelas seorang lelaki berambut keriting dengan hidung besar nan bengkok persis karakter kartun. Penampilannya persis seperti Cory hanya saja bentuk tubuhnya sedikit lebih pendek sehingga harus menggunakan wedges mencolok. Dia sibuk memberikan arahan untuk apa yang harus dilakukan Louisa dan pasangannya nanti. 

Louisa melenggut paham dan bersiap untuk pengambilan video iklan parfum Ellie edisi musim semi. Parfum bertemakan aroma floral yang dikemas dalam wadah kaca baby pink melengkung di kedua sisi berhias ukiran vintage sehingga  tampak elegan di kaca display. Dia sempat mencoba sedikit aromanya sebelum ganti kostum karena diminta mengulas oleh pihak marketing. Dia memang bukan penggila parfum seperti artis lain, tapi cukup memahami selera pasar. 

Begitu disemprot di area pergelangan tangan, aroma yang pertama kali muncul adalah manis pir, leci, dan bergamot. Louisa mengerutkan kening mengendus-endus bahwa hidungnya mencium pir dan bergamot secara bersamaan disusul wangi bunga mawar. Mungkin beberapa orang tidak akan menyukai kombinasi ini karena terlalu strong dan menyengat. Tapi, baginya Louisa tidak masalah selama base notes bukan powdery

"Wanginya unik," komentar Louisa. "Terasa lembut dan begitu feminin untuk perempuan. Aku membayangkan ini cocok untuk karakter wanita kalem dan ceria."

"Nanti Nathan akan muncul dari puncak tangga dan kalian berdua berpandangan. Bagaimana?" sambung si penata gaya membuyarkan lamunan Louisa.

"Ide bagus," jawab Louisa mendengarkan penuturan sambil mangut-mangut ketika hair stylish menata ulang tatanan rambut cokelat dan menyemprotkan hair spray. Rambut sebahunya disanggul ke atas menonjolkan dahi lebar Louisa, menyisakan sedikit anak-anak rambut di kening. Untuk menyamarkan bagian itu, mereka memberi contour. Sementara di bagian riasan, penata make up memulas eye shadow keperakan untuk memberi kesan glamor dan lipstik coral nude.

Yang mereka tekankan adalah gaun mewah keemasan berbahan satin dari Versace. Sebuah model terbaru dengan korset berpotongan V rendah dan menyempit di bagian pinggul. Sedangkan di bawahnya melebar dan memanjang dengan aksen seperti bulu burung dan terbuka hingga pangkal paha tuk memamerkan kaki panjang Louisa. Tidak hanya itu saja, di bagian punggung ada semacam sulur emas memajang serta kalung senada. Sepasang stiletto bertali menghiasi kaki membuat Louisa makin terlihat bagai dewi Yunani menebar keglamoran. Penampilan ini benar-benar seimbang dengan parfum yang akan dipamerkan. 

"Aku tidak salah memilihmu untuk menjadi bintang untuk produk kami, Ms. Bahr. You look so gorgeous," puji Amy--perempuan pirang yang menjadi salah satu tim marketing produk Ellie.

"Sure thing, she is very easy on the eyes," timpal yang lain.

"Thanks!" balas Louisa mengulum senyum merekah bagai bunga di musim semi. "Aku di sini berkat kalian."

"Oh ... kau sangat rendah hati sekali, Lou. Pantas Mr. Cross tertarik padamu," sahut si penata rambut dibalas gelak tawa.

Ingin sekali Louisa memuntahkan isi perutnya mendengar bualan seperti itu. Cih! Menggelikan! Dean tertarik padanya? Mana mungkin, pikir Louisa kesal setengah mati. Yang ada hubungan timbal balik yang dijalani Louisa sebatas percintaan panas di ranjang untuk saling memuaskan nafsu. Itu saja karena godaan Dean kan? Dia menawari hubungan ini pun agar Louisa bisa pamer kekasih baru ke semua orang terutama Troy. Nyatanya dia seperti dicekik rantai kapal. 

Sejak kemarin, Dean terus menghubungi Louisa mungkin menyulut emosinya lagi atau sekadar meminta maaf. Louisa menolak panggilan tersebut mengelak kalau Dean bakal mengucapkan kata maaf karena paham kalau lelaki itu bakal mengulangi kesalahannya lagi. Kesal panggilan telepon dialihkan ke mailbox, Dean mengirim ratusan pesan yang mengatakan bahwa kemarin hanyalah salah paham. Louisa tidak peduli, dia hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya. Mungkin masalahnya sepele, tapi bagi Louisa pendapat Dean itu tidak bisa diterima kalau menyangkut harga diri. Dia benar-benar paling benci dikatakan sebagai manusia bodoh.

"Done!" seru Amy melihat Louisa selesai dirias. "Good job girls! Sekarang kita persiapan pengambilan gambar. Di mana Nathan?" tanyanya berjinjit di atas heels setinggi tujuh senti seakan-akan sepatu itu tidak dapat membuatnya menemukan si model pria.

Tak lama seorang pria berambut tembaga dengan tatapan biru samudra masuk ke ruangan dengan setelan tuksedo hitam yang melekat pas di tubuh disertai dasi kupu-kupu. Penampilan lelaki itu makin terlihat maskulin manakala rambutnya dibuat sedikit lebih bervolume. Orang-orang di sana bagai terhipnotis dan langsung melontarkan pujian sementara si lelaki melempar kerlingan nakal ke cermin. Tak lupa sudut bibirnya tertarik ke atas seolah-olah ingin membuktikan bahwa tidak ada perempuan yang bisa menghindar sekalipun semua notifikasi ponsel dinonaktifkan.

Seperti disambar petir di siang hari, Louisa mengerjap-ngerjapkan mata bukan memandang penampakan dirinya sendiri melainkan lelaki bajingan yang sangat ingin dihindari sejak kemarin. Dia berbalik, memastikan bahwa pria itu hanya sekadar fatamorgana, menggairahkan tapi tidak untuk jadi kenyataan mengingat Louisa masih memendam rasa amarah. Namun, dewi fortuna sepertinya tidak sedang memihak tatkala Dean berjalan anggun menghampiri Louisa. Auro dominan lelaki itu seketika memenuhi ruangan, mengisap habis udara di sini. Mungkin sebentar lagi Louisa mengalami hipoksia akut. 

Refleks, Louisa membeliakkan bola mata hampir menggelindingkannya ke lantai bergerak mundur tapi tertahan meja rias. Dia merasa bahwa ruangan ini mulai menyempit dengan sendirinya atau memang sekujur badan Louisa  bereaksi hebat atas kedatangan Dean secara mendadak itu. Di sisi lain, alam bawah sadar Louisa memaksa untuk tetap tegar menghadapi si tukang perintah, walau sebenarnya tidak ingin berdebat di saat mood yang dibangun sejak pagi tadi nyaris sempurna. Yang diinginkan Louisa hanyalah melakukan sesi foto tanpa ada hambatan bukan godaan seperti ini.

"Fuck! What are you doing here!" desis Louisa meremas pinggiran meja rias.

"For you," jawab Dean menyunggingkan senyum menawan. Sebelah tangannya terangkat untuk membelai wajah cantik kekasihnya tanpa memedulikan keterkejutan orang-orang termasuk tim marketing. Louisa memundurkan wajah menghindari sentuhan bagai heroin yang bakal meluluhkannya.

"Mr. Cross? Kukira--"

"Aku menggantikan Nathan hari ini karena ada sesuatu yang penting. Untuk kontraknya akan kuurus nanti dan uang kontrak pemotretan ini kau berikan saja kepada Nathan sebagai ucapan terima kasihku," ucap Dean terdengar sombong menyela kalimat Amy.

Amy menganga sebentar lalu melirik Louisa seperti bisa membaca apa yang sedang terjadi di antara sejoli itu. Dia mengangguk tanpa banyak komentar kemudian meminta kru lain untuk bersiap-siap. Malas satu ruangan bahkan bersinggungan dengan Dean, Louisa mengikuti jejak Amy namun lengannya tertahan oleh Dean. Lelaki itu menelengkan kepala mengamati garis wajah Louisa yang benar-benar menawan kemudian menyalurkan satu kecupan lembut di bahu telanjang Louisa. Mengirimkan jutaan volt listrik yang menggetarkan setiap sel saraf sampai tulang ekor. Dia malas membalas iris biru samudra itu, memilih bungkam dan berusaha melepaskan diri ketika Dean bertanya,

"Kenapa kau mengabaikanku?"

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan," bisik Louisa mengedarkan pandangan agar tidak seorang pun tahu kalau mereka sedang bertengkar.

"Kau marah dengan ucapanku kemarin?" tanya Dean lagi.

"Ck, Bisakah kita profesional, Mr. Cross?" tandas Louisa lirih namun penuh penekanan.

"Aku tidak ingin kita bertengkar." Pandangan Dean tertuju pada bibir sensual Louisa yang terlihat makin sensual. Dia mengangkat tangan kanan hendak membelai bagian favoritnya itu. Namun, Louisa berhasil menepis kasar.

"Aku juga tidak ingin menusuk matamu dengan stiletto ini," balas Louisa makin kesal.

Lelaki itu tertawa geli. "Aw, it must be so hurt."

Jezz ... apa dia tidak tahu malu?

Louisa geleng-geleng kepala, mengangkat gaunnya agar bisa segera pergi dari sini daripada terus-menerus bersama Dean. Sekarang dia tidak tahu harus bagaimana lagi membangun suasana hatinya yang luluh lantak tanpa sisa. Dia menarik napas sebanyak mungkin untuk mengisi rongga paru-paru dan aliran darah agar kewarasannya tetap terjaga. Louisa menerima topeng hitam dari Amy dengan pinggiran keemasan, bagian atasnya ada renda tipis sementara sebelah kanan ada bunga mawar dan hiasan agak memanjang diberi bulatan kecil sebagai pegangan. Sementara ada dua mawar kecil berwarna emas di sisi kiri.

Dean menyusul di belakang, ikut menerima topeng dengan warna yang hampir sama hanya saja motifnya berbeda untuk menunjukkan karakter pria. Sehingga di atasnya hanya ada ukiran burung dan wajah dewa. Kemudian dia melirik kembali ke arah Louisa tapi dibalas sinis. Dia mengangguk ketika mendapat arahan dari pengarah grafis bahwa Dean harus berdiri di puncak tangga menanti Louisa muncul. Bersikap seakan-akan menjadi lelaki misterius penuh pesona.

###

"Action!" teriak seorang pria menyuruh Louisa berakting lalu fokus ke layar monitor dengan kerutan dalam di kening.

Gadis itu berjalan seraya memegang ganggang topeng dan mengedarkan pandangan ke sekeliling mengagumi bangunan bersejarah yang kini digunakan sebagai galeri seni. Mengusung gaya romanesque revival--gaya bangunan pada pertengahan abad ke-19 berciri khas lengkungan jendela atau di atas pintu masuk yang lebih simpel. Dinding-dindingnya dominasi batu atau bata yang berat dan terasa kasar, warna cat cokelat kemerahan di bagian dalam masih awet padahal bangunan ini sudah ada sejak tahun 1927, sementara di luar dibiarkan tanpa cat untuk mempertahankan warna putih serta detail rumit tuk menimbulkan kesan betapa mewah dan megah pada masa itu. Tiap pilar yang menahan bangunan ini ada patung perempuan memakai kain yang disampirkan di pundak, sedangkan di atas pintu jendela bagian dalam ada ukiran berbentuk segitiga dengan hiasan bunga dan ditengah-tengahnya lagi-lagi ada wujud pahatan manusia.

Meski tidak diperintah berakting pun, Louisa benar-benar dibuat takjub memperhatikan satu demi satu mahakarya ala Romawi seperti membuka dimensi waktu. Tidak perlu jauh-jauh ke Eropa kalau dia bisa merasakan arsitektur di Fine Arts Building. Manalagi di tengah-tengah lobi ada air mancur yang terdapat tiga patung anak-anak. Salah satu di antara mereka memainkan seruling, dua lainnya duduk berjongkok seperti menikmati dinginnya air.

Ketika dia hendak menaiki anak tangga yang melingkar menuju lantai kedua, Louisa tersendat mendapati Dean berdiri di atas sana. Mereka bertemu tatap cukup lama mengagumi diri masing-masing sementara bibir Dean yang terkatup rapat menerbitkan senyum tipis nan menantang. Louisa menelan saliva, membangun dinding setinggi dia bisa mengabaikan godaan luar biasa itu. Lantas kaki berbalut sepatu pantofel mengilap nan mahal, Dean berjalan menuruni satu persatu anak tangga di luar skenario yang telah dibicarakan. Namun, tidak ada teriakan untuk menghentikan itu, melainkan mereka masih terus membiarkan bagaimana interaksi mereka.

Louisa mengikuti permainan, menaiki tangga dan tak melepaskan pandangan dibalik topeng terhadap sosok keras kepala bermulut pedas di sana. Sialnya, hasrat mendadak membakar diri Louisa mengetahui Dean mengejar sampai di sini tanpa ada sebuah kata maaf. Bahkan ingin sekali Louisa menyambar bibir Dean, menggigit lidahnya agar tidak sembarangan mengatai bodoh ke perempuan.

Shit!

Kenapa dentum jantung Louisa mendadak bertalu-talu ketika Dean makin lama makin mendekat? Seolah-olah jantungnya akan keluar dari tulang dada dan kabur untuk bersembunyi di balik pintu di ujung sana. Hingga tanpa sadar kakinya tak bisa bergerak di tengah-tengah tangga bagai diberi perekat super sampai sekuat tenaga pun Louisa tidak mampu berpindah. Dean berdiri di depannya, mengangkat tangan kiri dan menarik dagu Louisa agar tak berpaling darinya sedikit pun. Lelaki itu menunduk, melepas perlahan topeng hitam yang dipakai lalu berbisik,

"Aku benci kau mengabaikanku, Lou." 

Louisa tersenyum sinis. "Dan aku benci kau meremehkanku, Dean." Dia menarik paksa kakinya, menaiki tangga dan sengaja membuka belahan gaun di kaki kanan untuk menggoda Dean. Lagi. Suranya begitu lirih mengarahkan sorot mata cokelat hazelnya ke arah lekuk bibir Dean. Nyaris meraup dan melumat penuh gairah tuk membungkam keangkuhan lelaki itu..

"Cut! Cut!" teriak si sutradara merasa video yang direkam jauh dari ekspektasi. "Oh, Man, kalian benar-benar hot!"

"Bravo!" teriak Amy merasa bangga.

Dean menarik senyum simpul, menarik paksa lengan Louisa sambil berseru, "Aku harus membicarakan sesuatu dengan kekasihku. Bisakah kami bicara berdua di sana?"

Sutradara itu mengangguk membuat Dean menoleh ke arah Louisa dengan pandangan penuh arti.

"Aku menanti hukuman macam apa yang kau berikan untukku, Mr. Cross," ujar Louisa seakan tidak memiliki rasa gentar di hati. 


Halo, Schatz! Kalian bisa menikmati cerita ini di Karyakarsa atau Bestory sampai tamat + extra part ya. Bisa dibeli satuan atau paketan berlaku seumur hidup.

Danke vielmals!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro