Chapter 18 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fuck!

Umpat Louisa dalam hati menyadari bahwa pria di sana bukanlah sebuah fatamorgana dalam batas kenangan yang sudah dihapus dalam benak. Penampilan Troy masihlah sama seperti dua tahun lalu ketika terakhir kali mereka berjumpa pada acara fashion week di Paris. Ketika Louisa berusaha meluangkan waktu untuk terbang jauh-jauh demi menemui orang yang kala itu ternyata sudah menjalin asmara bersama wanita lain. Rambut cokelat gelap Troy jadi lebih panjang dari yang diingat Louisa, nyaris menutup dahi namun tidak menghilangkan aura model papan atas. Walau hanya mengenakan celana jeans gelap dikombinasi kaus putih dan jaket kulit senada, Troy tetap menawan di mata wanita.

Apakah karena itu dia mudah dirayu perempuan lain?

Iris mata amber Troy melebar dan enggan berkedip seolah-olah tidak menyangka bahwa Louisa berada di Milan, menggandeng seorang pria berbadan tegap yang jauh lebih tegap ketimbang dirinya. Banyak kalimat yang tertahan di ujung kerongkonan Troy, namun tidak satu pun bisa meluncur begitu saja. Mungkin orang lain juga tidak bisa memahami arti pandangan mantan kekasih tersebut. Penyesalankah? Amarah? Atau justru kerinduan yang tak sengaja menyelinap keluar?

Seluruh pergerakan di dunia mendadak berhenti manakala pria bajingan bermulut buaya masih terpaku di sana tanpa mengucapkan kata-kata yang menandakan penyesalan. Bahkan setelah dia melayangkan kata putus tanpa alasan dasar dilanjut menghilangkan jejak sehingga hujatan-simpati-hujatan menjadi makanan sehari-hari Louisa. Di satu sisi, cara pandang Troy membuat Louisa ingin berpaling, walau hatinya kini mendidih hendak memukul lelaki itu hingga babak belur. Lantas, kenapa terasa sulit dilakukan? Kenapa pula atmosfer di sekitar terasa mencekik padahal jelas-jelas tadi udara senja membelai lembut kulitnya? Tidak mungkin hanya karena bertemu dengan sang mantan suasana menjadi secanggung ini? 

Aku punya Dean, batin Louisa.

Sialnya, pertemuan ini justru memunculkan lembaran kenangan yang sudah dikubur Louisa dalam-dalam di dasar hati. Potongan momen saat mereka bersama-sama, pertama kali kenalan setelah Louisa memenangkan kompetisi balet, hingga saat di mana dia menelepon dan mengatakan ingin berpisah begitu saja. Semuanya berputar membentuk pusaran yang kini berhasil menenggelamkan Louisa sampai tidak sempat menarik napas untuk menyadarkan kewarasannya. Dia hanyut di antara kenangan-kenangan itu hingga tanpa sadar matanya berkaca-kaca. 

Luka-luka yang dulu dipendam dan terendap di bawah lapisan momen bersama Dean mendadak mencuat tanpa ampun. Harusnya Louisa tidak menangisi bajingan itu lagi kan? rutuknya dalam hati. Harusnya dia memamerkan Dean seperti perjanjian mereka sebelumnya. Walau tahu saat ini Dean merengkuh seolah-olah menandai wilayah agar tak terjamah Troy, tetap saja Louisa masih dipaksa masuk ke dalam kehidupan lamanya. 

Gadis itu merasa terimpit dua benda besar. Nyaris meremukkan diri manakala Troy berjalan mendekat tak melepaskan perhatian. Louisa ingin menjauh atau menghilang saat ini juga. Sial sungguh sial, tungkainya justru tak bisa digerakkan dan terasa lengket. Apakah pusat magnet bumi sudah berpindah di bawah flat shoes hitam yang dikenakannya? Dia ingin mengumpat, mengutuk Troy saat seorang perempuan bertubuh molek dengan baju minim keluar dari bar, merangkul lengannya. 

Jadi dia?

"Siapa dia?" suara tegas Dean berhasil memecah kecanggungan. Melayangkan sorot tajam ke arah Troy seraya menaikkan alis mengetahui gelagat Louisa yang menandakan bahwa pria di depan mereka adalah orang yang mencampakkan gadis itu. "Kau mengenal kekasihku?" tatapan awas Dean memindai Troy agar tidak semena-mena mengambil apa yang telah menjadi miliknya. 

Troy tergelak, menjilat bibir bawah sambil geleng-geleng kepala kemudian mengulurkan tangan kanan dan berkata, "Troy Austin."

"Ah, ini mantanmu, Babe?" tanya Dean tanpa mengalihkan pandangan menjabat erat tangan Troy seperti ingin meremukkannya dalam satu genggaman. "Dean Cross."

Aura Dean mendominasi, merasakan teritorialnya bakal diusik namun berhasil membalikkan keadaan bahwa dialah yang berhak melayangkan tatapan nakal kepada Louisa bukan mantan kekasih yang berusaha menjilat ludahnya sendiri. Lantas berpaling ke arah perempuan bertubuh sintal dan berkulit agak tan terlihat kebingungan lalu tercengang saat berjumpa dengan Louisa. Dean memeluk pinggang Louisa makin erat, memamerkan bahwa dialah sang pemenang.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Troy. 

"Pikirmu apa?" Dean menyela dengan nada sinis. 

"Aku tanya pada Louisa, Mr. Cross," ujar Troy kesal. 

"Come on, Troy, apa hanya aku yang dilarang menjejakkan kaki di sini? Di tempat kita sering bercinta dulu huh?" Louisa akhirnya bisa meluncurkan kalimat itu membuat kekasih Troy melotot dan merapatkan garis bibirnya. "Ayo, Bunny, kita pergi dari sini," tambahnya seraya mencium pipi Dean mesra. 

Dean menyunggingkan senyum samar, menarik tangan Louisa pergi dari hadapan dua manusia yang pernah menyakiti gadisnya. Sengaja Dean menurunkan sebelah tangannya untuk meremas bokong sintal Louisa, menandai kepemilikan lalu berbisik, "Aku tak suka kau menyebut tempat ini sebagai tempat di mana kalian pernah bercumbu, Lou."

Louisa memutar bola matanya. "Bukankah kau seperti itu juga dengan wanita sebelum aku? Jangan sok suci, Dean."

"Aku tidak merasa seperti itu. Aku hanya tidak suka mendengarnya seakan kau ingin mengulang bersama si bajingan itu."

"Apa!" seru Louisa tak terima, mendorong tubuh Dean menjauh darinya. "Kau pikir aku ini apa, Mr. Cross? Bukan tipeku untuk memohon kepada lelaki yang sudah berkhianat."

"Benarkah?" Dean menelengkan kepala tak percaya sambil menyipitkan mata. "Yang kulihat, kau begitu merindukan Troy sampai mau menangis."

"That's wild, Mr. Cross!" Louisa mengibaskan tangan mengelak tuduhan Dean. "Sudahlah, aku tidak ingin kita bertengkar, Dean. Kenapa kau selalu mempermasalahkan hal yang tidak perlu?"

"Seperti kau," balas Dean. "Kuingatkan lagi lusa kemarin kau marah karena hal kecil yang kukatakan padamu. Sekarang, apakah kita ini takdir, Ms. Bahr? Dua api yang tidak bisa mengalah sekalipun ingin padam?" Tangannya menarik Louisa mendekat mengirimkan kecupan di leher gadis itu. 

"Karena kau menginginkanku?" Louisa melunak, terkikik dengan imajinasi Dean tapi dia membenarkannya. Mereka tidak akan bisa saling mengalah sekalipun di atas ranjang. Dia menerima kecupan Dean selagi tangan lelaki itu kembali memegang pantat Louisa untuk mengirim sinyal betapa besar gairahnya sekarang. Louisa mengulum senyum lalu berbisik, "Malam kita masih panjang untuk saling memuaskan, Mr. Cross. But, thanks, kau sudah menolongku dari rasa canggung tadi."

"Seperti yang kukatakan dulu. Kita memiliki hubungan timbal balik yang menyenangkan, Lou," timpal Dean lalu melumat bibir Louisa. "Ayo makan. Aku butuh energi sebelum bercinta denganmu."

###

Dean terbangun di tengah malam ketika Louisa masih terlelap di sisinya dengan selimut menutupi tubuh telanjang gadis itu, menyisakan bahu yang naik-turun secara teratur seperti dibuai mimpi setelah percintaan hebat mereka. Dia bangkit, mengambil celana panjang longgar yang teronggok di lantai lalu berjalan menuju lemari di mana buku sketsa miliknya tersimpan di sana. Di mana pun Dean pergi, dia selalu membawa benda kesayangannya itu tiap kali tidurnya terganggu oleh mimpi buruk.

Bukan obat atau rokok yang bisa menenangkan Dean, melainkan garis demi garis yang diukir di atas kertas bagai menguliti satu-persatu ingatan yang tak diinginkan. Ketika tangannya sibuk menggambar, dia bisa melupakan hal-hal di masa lampau yang selalu menghantui tiap malam. Sejak lima tahun lebih tepatnya, semenjak mimpi buruk itu datang. Seakan-akan mereka tidak menginginkan Dean dimanja mimpi indah barang sedetik pun. 

Duduk di atas kursi di sisi kanan kasur, Dean terus mengabadikan tubuh Louisa dalam bentuk sketsa. Garis-garis yang tadinya abstrak kini membentuk sosok sang pujaan sedang tertidur posisi menyamping menonjolkan lekuk pinggang ramping. Untaian rambut cokelat Louisa menutupi sebagian wajah, tapi tidak menghilangkan betapa cantik dirinya sekarang. Sesekali bibir gadis itu terbuka dan melengkung ke atas membuat Dean dilanda penasaran apa yang sedang diimpikannya. Dia menggosok dagu dengan tangan kanan kemudian beranjak mendekati Louisa setelah meletakkan sketsa itu di atas meja. 

Diamati sekali lagi garis wajah Louisa, menyingkirkan helai rambut ke belakang telinga secara hati-hati agar tidak membuyarkan tidur pulasnya. Dean menarik napas, bertanya-tanya kenapa ada perempuan seperti Louisa yang begitu bodoh memahami makna cinta? Tidakkah dia tahu kalau cinta itu hanya bisa menyakiti tanpa mengobati? Padahal dia sudah mengalami patah hati terhebat tapi kenapa masih berharap bisa menemukan cinta sejati?

Jujur saja Dean memang tidak pernah percaya adanya cinta. Dia menganggap hubungan dua manusia sekadar melampiaskan nafsu sampai di titik bosan. Dean juga selalu memanifestasikan kalau mencintai seseorang berarti menginvestasikan hidup kepada orang yang belum tentu membahagiakan seperti dia menyenangkan diri sendiri. Sudah terlalu banyak Dean melihat orang-orang menangis sampai bersujud memohon kepada semesta dan orang yang dikasihinya untuk tetap bertahan tapi berakhir dicampakkan.  

Louisa bergerak dan mengerjap-ngerjapkan mata mengumpulkan berkas-berkas cahaya untuk melihat dengan jelas Dean yang entah sejak kapan terbangun dan melihatnya intens seperti itu. Dean melengkungkan bibir lantas bergabung, membaringkan diri di sebelah Louisa ketika gadis itu menguap. Dia menyandarkan kepala di atas dada Dean selagi berbagi kehangatan dan mendengarkan irama jantungnya yang begitu menenangkan. Louisa mendongak sebentar mengamati Dean masih saja memandanginya kemudian bergumam, "Berhentilah mengawasiku, Dean. Wajahku buruk saat tidur."

Dean terkikik. "Kau cantik meski mulutmu menganga, Babe."

Louisa mengerang manja, berusaha mengumpulkan sisa-sisa nyawa yang melayang di alam mimpi. Mengangkat tangan untuk menelusuri pahatan dada berotot Dean terutama memainkan bulu-bulu halus di sana. Kemudian turun ke perut sixpack hingga bagian favoritnya, merasakan otot-otot itu mendadak menegang setiap kali menerima sentuhan Louisa. Bulu di bawah pusar yang tegak lurus menuju pusat gairah. Terlintas ide nakal, Louisa bangkit dan menaiki tubuh lelaki itu di antara temaram lampu tidur. 

Memerhatikan lebih lama dan detail betapa menggiurkan diri Dean; dan saat ini dia adalah miliknya. Tato geometri di lengan kanan atas bila diamati mirip serigala. Sang alpha. Cocok dengan kepribadian dominan Dean, batin Louisa. Ah, jangan lupakan tato sayap di punggung yang dianalogikan Louisa bahwa Dean tipikal penyuka kebebasan. Louisa jadi bertanya-tanya apakah Dean memiliki alasan tersendiri atas karya seni itu?

"Aku menyukai tatomu," puji Louisa namun jemarinya malah menelusuri ceruk leher Dean.

"Dan aku menyukai dadamu," timpal Dean mengulurkan sebelah tangan untuk menangkup milik Louisa yang bebas tanpa tertutupi apa pun. Menarik ujungnya seolah-olah ingin membangunkan hasrat Louisa lagi. "Sangat indah."

"Jangan menggodaku, Mr. Cross," racau Louisa merasa sekujur sarafnya menerima sengatan listrik yang diberikan Dean. Dia menarik tangan Dean, lantas menunduk kemudian memberikan kecupan-kecupan kecil di bibir, leher, dada hingga bermain-main di pusar lelaki itu. 

Dean mengumpat pelan menerima serangan tanpa aba-aba, namun menikmati perlakuan Louisa atas tubuhnya. Membiarkan gadis itu bergerilya memanjakan diri Dean lagi dan lagi. Dia menumpukan kepala di atas lengan, mengamati Louisa yang kini menggoda pusat tubuhnya. Begitu perlahan dan konstan. 

"Ada yang ingin kutanyakan padamu, Dean," ujar Louisa mengunci iris biru samudra Dean yang mulai berkabut dilanda gairah. Lantas mencium lembut dan membelai milik pria itu yang sudah terbangun oleh hasrat, berdenyut selaras debaran jantungnya sekarang. 

"Katakan padaku, Babe," kata Dean sensual diselingi erangan tertahan. 

"Kenapa kau selalu tidak bisa tidur setelah kita bercinta?" tanya Louisa menghentikan aksinya sebentar.

"Don't stop," pinta Dean memohon. "Aku ... hanya terbangun saja, Lou," tandasnya. 

Louisa menaikkan sebelah alis tak percaya. "Sungguh? Aku sering memperhatikanmu terbangun, Dean. Kalau ada sesuatu, kau boleh bercerita padaku," tawar Louisa melanjutkan kegiatannya tadi, memanjakan milik Dean dengan lidah sebelum memenuhi mulut, merasakan betapa hangat nan penuh juga pembuluh darah yang berdenyut-denyut. Louisa bergerak naik-turun, melempar tatapan yang sudah terbakar nafsu, mengaburkan akal sehat manakala benda itu makin lama makin membesar. 

Sebelah tangan Dean terulur, menahan kepala Louisa untuk tetap berada di sana supaya cepat mengantarkannya ke puncak kenikmatan yang tidak bertepi. Napas Dean beradu seiring irama dadanya makin lama makin cepat, melebarkan setiap pembuluh darah dan berpusat di sana. Dean terbakar oleh rayuan Louisa dan sialnya dia menyukai apa pun yang dipersembahkan gadisnya. Karena semua yang berhubungan dengan Louisa adalah candu. 

"Lou ... shit!" umpat Dean manakala Louisa menerbangkan jiwanya ke angkasa ketika pelepasan itu datang. Membanjiri mulut manis itu dengan miliknya, menjilati sisa-sisa pelepasan dengan gerakan sensual membuat Dean terkekeh menikmati pemandangan erotis di depannya. "Dasar gadis nakal!" ledeknya terdengar seperti pujian di telinga Louisa.

"Aku sudah memberikannya padamu, Dean. Sekarang kau harus menjawab pertanyaanku, Bunny," balas Louisa merangkak dan membaringkan diri di atas dada Dean. "Is there something wrong to you? Kenapa kau sering terbangun sendiri seakan-akan ada mimpi buruk? Kadang menyimpan masalah dalam dadamu seperti menelan bebatuan, Dean. Menyakitkan."

Dean mengelus rambut Louisa, menyingkirkan peluh keringat di kening gadis itu setelah permainan panasnya. "Benarkah? Yang kulihat, sebagian besar dari mereka hanya ingin tahu tanpa memberi solusi, Lou. Jadi aku lebih suka memosisikan diriku sebaliknya. Aku suka memberi solusi, tapi tidak dengan menceritakan diriku sendiri. Itu adalah batas yang tidak ingin dijamah orang lain."

"Itu artinya kau tidak percaya orang lain?" tanya Louisa terperangah kaget.

Dean mengangguk membuat Louisa bangkit dari posisinya. "Sekali pun denganku?" tanya gadis itu menunjuk diri sendiri.

Bibir Dean terkatup rapat seolah-olah tidak bisa mengiyakan ucapan Louisa yang memang dirasa benar. Dia tidak bisa mempercayai orang lain untuk mengetahui sisi gelap dan masa lalu yang rapuh. Dean tidak ingin ada orang menyelinap masuk ke dalam zona itu lalu mengobrak-abriknya tanpa permisi. Biarlah dia menyimpannya dalam hati, sementara dia bisa menyenangkan diri bersama Louisa. 

"Dean?" panggil Louisa. "Kau tidak percaya denganku?" tanyanya tak sabar.

Tak kunjung memberi jawaban, akhirnya Louisa menarik selimut dan berdiri dari kasur untuk tidur di sofa. Ah! Tidak! Sepertinya keluar dan berjalan-jalan sebentar bisa menghilangkan kemurkaan yang mendadak datang membelenggu Louisa mengetahui Dean tidak menaruh kepercayaan padanya. Lantas hubungan macam apalagi yang harus dilakukan di saat mereka telah melewati banyak waktu bersama? Dada Louisa seperti ditusuk besi panas, merasakan sakit sampai ke ujung saraf sampai obat apa pun tidak bisa menghilangkan betapa kecewa dirinya pada Dean.

Alhasil, Louisa memungut pakaiannya kembali hendak pergi dari kamar daripada harus satu ruangan bersama si pengecut. Dia membutuhkan dua sampai lima kaleng bir atau mungkin sebotol wiski yang bisa meredam kemarahannya nanti. Buru-buru mengancingkan blus merah setelah mengenakan celana jeans yang disampirkan di kursi. Dean menarik lengan Louisa, mencegah gadis pergi namun ditepis kasar.

"Lou!" seru Dean.

"Kau egois, Dean!" pekik Louisa dengan mata berkaca-kaca. 

"Aku tidak bermaksud seperti itu," elak Dean tidak ingin disalahkan. 

"Dengan tidak mempercayaiku, kau tidak ingin dipanggil egois? Oh, fuck! Dean ... kau bajingan sinting! Untuk apa hubungan ini jika tidak dilandasi rasa percaya, huh?" Louisa makin meninggikan suara, mengeluarkan gumpalan batu yang menyesakkan dada. "Kau bisa mengorek semua informasi tentangku, masalahku, bahkan masa laluku. Tapi kenapa aku tidak? Kenapa kau tidak membolehkanku mengetahui masa lalumu, Dean?"

"Lou, dengarkan aku--"

"Apa! Dengarkan apa lagi? Kau akan mohon ampun? Tapi, kau masih membatasiku mengetahui dirimu yang sebenarnya?" potong Louisa tak sabaran.

"Ya! Kenapa kau tidak memahamiku, Lou? Apa kau tidak paham sedari awal aku tidak suka orang lain mengusik kehidupan pribadiku!" pekik Dean membelalakkan mata, ikut tersulut emosi. "Aku sudah mengizinkanmu masuk ke galeriku yang tidak pernah ada satu orang pun bisa datang ke sana dan bercinta, Louisa!"

Kontan mata cokelat Louisa membeliak mendengar kalimat Dean yang benar-benar meremukkan hati. Dada Louisa terasa sesak seoalh-olah oksigen di sini tak mampu melonggarkan keresahan yang merantai Louisa dengan aturan tak masuk akal. Air matanya pecah membanjiri pipi, bibirnya bergetar tak mampu membalas kalimat Dean yang menyudutkan Louisa. Bagaimana bisa lelaki seperti Dean memiliki aturan sendiri dan egois seperti itu? Bukankah dia sendiri yang mengiyakan, lantas kenapa justru menyalahkan orang lain? 

"Jadi, kau tidak berhak memerintahku lagi, Louisa!" tambahnya menunjuk wajah Louisa seperti kesetanan. 

Louisa menarik napas sebentar, menghapus jejak basah kemudian menatap nyalang sambil berkata, "Baiklah. Asal kau juga tidak melarangku melakukan apa yang kusuka, Dean. Lihat saja."

Baca lebih cepat di Karyakarsa, di sana udah tamat yaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro