Chapter 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pening!

Itu yang dirasakan Louisa ketika tubuhnya diseret Cory menuju apartemen mewah di Malibu. Kedua tungkainya sudah tidak sanggup lagi berjalan lebih jauh apalagi dalam kondisi setengah sadar seperti ini. Pemandangan di sekeliling gadis itu sepertinya sedang berputar-putar hingga beberapa kali Louisa harus mengeluarkan isi perut di sepanjang perjalanan. Beruntung tak sampai mengenai dasbor mobil Cory atau sweater yang dipakai lelaki nyentrik itu. Kalau ya, mungkin Louisa akan menjadi bahan omelan selama sepekan.

Begitu sampai di kamar bermandikan sinar bulan yang menembus dari tirai jendela kamar, Cory dan Louisa membanting diri di atas kasur empuk lalu tertawa seakan-akan apa yang terjadi malam ini bakal menjadi pembuka atas kesuksesan yang didapat. Walau badannya lemas akibat mengeluarkan seluruh isi lambung, Louisa masih mengingat pencapaian terbesar selama seperempat abad dalam kehidupannya. Benar-benar terasa mimpi menjadi kenyataan, pikir gadis itu. Dia juga tidak menyangka bahwa menerima penawaran dari salah satu rumah produksi bisa membawa namanya menjadi seperti ini. Kemudian, dia membenarkan posisi tidur, mengamati langit-langit kamar ketika Cory berkata,

"Ini malam menakjubkan selama karier kita berdua."

"Kau sudah mengatakan hal itu berulang kali, Cory," tukas Louisa mengibaskan sebelah tangan. "Ah, besok kita akan jumpa fans. Aku begitu gugup untuk pertama kali."

Sebelah tangan Louisa meraba tuk mencari clutch hitam selanjutnya merogoh ponsel berharap ada satu notifikasi saja dari sang kekasih. Layar IPhone tersebut sudah menunjukkan pukul satu malam artinya di Paris sekitar sepuluh pagi. Bibir Louisa mengatup rapat menelan kenyataan pahit saat menatap ponsel kalau masih belum ada tanda-tanda Troy mau meluangkan waktunya sekadar memberi selamat meski hanya pesan teks. Apakah Troy begitu sibuknya hingga tidak memiliki jeda? Bahkan setelah Louisa berusaha mengirim ratusan pesan pun, Troy mendadak lenyap ditelan Bumi.

Gadis itu menghela napas panjang berusaha mengeluarkan bongkahan batu yang memenuhi dada seraya meletakan kembali ponsel dengan tak minat. Banyak spekulasi kini bergentayangan dalam benak Louisa walau hati kecilnya berkata tidak. Dia selalu berupaya memahami kesibukan Troy bukan hanya sekali ini saja, lantas mengapa lelaki itu tidak berbuat hal yang sama padanya? Padahal jauh-jauh hari sebelum peluncuran film, Louisa sudah membuat daftar hal-hal yang bakal dilakukan bersama-sama jika Troy benar-benar datang. Atau jika memang dia sibuk dan tak sempat terbang ke LA pun, Louisa masih punya satu rencana cadangan yaitu makan malam dan menonton film melalui sambungan video call. Nyatanya ... dia hanya ditemani sepi di antara keramaian.

"Kau kenapa?" tanya Cory menggeser tubuh agar lebih dekat dengan Louisa. Dia mengernyitkan alis seperti bisa membaca isi kepala gadis itu. "Oh, maafkan aku, Sayang. Troy sepertinya benar-benar--"

Belum sempat menyelesaikan ucapan, panggilan telepon dari orang yang dinanti-nanti akhirnya muncul menimbulkan semringah di wajah Louisa. Harapan yang tadinya suram kini muncul dan makin membesar berharap akan segera terlaksana. Gadis itu langsung memberi isyarat kepada Cory bahwa Troy pasti akan menelepon ketika sudah selesai dengan proyeknya. Sedangkan sang manajer hanya bisa memutar bola mata, masih tidak mempercayai lelaki yang digilai Louisa. Namun, dia tidak bisa memaksakan pendapat ketika Louisa tengah dimabuk asmara.

Buru-buru Louisa bangkit dari kasur, mengabaikan sensasi pening di kepala untuk mencari privasi sambil menerima panggilan tersebut. Suara berat Troy yang menggoda seketika menghilangkan rasa gundah gulana yang sempat merangkul Louisa. Kaki telanjang yang tadinya pegal akibat berjam-jam menari di lantai dansa mendadak terasa ringan bagai menapaki kapas lembut. Kehadiran Troy adalah pelipur lara atas rasa lelah yang dirasakan Louisa. Bahkan kalau lelaki itu ada di sini, Louisa akan betah berlama-lama memeluk dada bidang dambaan hati atau sekadar bercumbu sampai bibir bengkak. Baginya, seburuk apa pun dunia akan terlihat baik-baik saja selama ada Troy. Malaikatnya.

Dia berdiri di balkon dan membiarkan angin di akhir musim dingin menyapu penat di wajah. Sementara ombak yang menjadi pemandangan sehari-hari Louisa tengah bercumbu mesra dengan bibir pantai. Dia membayangkan berjemur atau bermain voli pantai bersama Troy seperti waktu-waktu liburan bersama sebelum kesibukan memisahkan mereka. Rambut panjang Louisa bergoyang-goyang mengikuti aliran udara ke arah pantai Malibu. Rasa rindu yang terpendam selama beberapa hari ini akhirnya terbayar tuntas saat suara Troy memanggil namanya. 

"Schatz (Sayang)!" seru Louisa memanggil kekasihnya. "Kau ke mana saja? Sudah hampir tiga hari kau--"

"Aku rasa kita akhiri hubungan ini, Lou," sela Troy tiba-tiba, meluruhkan senyuman di wajah Louisa.

Butuh waktu cukup lama untuk Louisa mencerna ucapan tak masuk akal Troy sampai-sampai dia mengorek telinga kanan, takut ada sumbatan yang menghalangi pendengaran. Dia menengadah ke arah langit bertabur gemintang lalu menunduk melihat jari-jari kaki beralaskan sandal yang menapak balkon. Jelas kalimat itu bukanlah mimpi siang hari atau halusinasi, tapi kenapa terlalu menakutkan untuk jadi kenyataan.

"Apa maksudmu?" Louisa masih denial atas apa yang diucapkan Troy, tapi kenapa hatinya mendadak ditusuk-tusuk ratusan pisau tajam? Kenapa dadanya begitu sakit mendengar keputusan mendadak Troy? Apa yang salah?

"Aku hanya ingin kita berpisah, Lou. Kuharap kau akan baik-baik saja di sana. Selamat tinggal," pamit Troy lalu memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu tanggapan Louisa.

Tuhan ... aku sedang mimpi buruk kan?

###

Jiwanya sudah melayang jauh meninggalkan raga ketika ucapan Troy masih terngiang-ngiang di telinga. Semakin lama suara Troy semakin melubangi hati Louisa, menorehkan luka menganga yang begitu pedih bak ditaburi garam. Sesak. Louisa memukul dada dengan kepala tangan, berharap gumpalan menyakitkan ini bisa keluar dari sana. Udara di sekitar pun tak mampu menjernihkan akal sehat Louisa, malah meneriaki kalau kisah asmara yang dijalani bertahun-tahun kandas tanpa sebab.

Kaleng-kaleng bir berserakan di balkon, tapi tidak mampu menghapus kesedihan Louisa. Semalaman dia duduk di sana seorang diri dan tidak membiarkan Cory menemani. Bergulat dengan isi kepala, mengorek-ngorek kilasan pernyataan teman-temannya tentang sikap Troy yang sama sekali tidak menunjukkan sebagai kekasih setia. Sekarang dia tenggelam dalam kubangan penderitaan akibat terlalu berpikiran positif pada Troy, padahal sudah terlihat jelas kalau lelaki itu tidak seperti dulu lagi.

Aroma cokelat hangat terendus di hidung Louisa ketika Cory mendekat membawa dua cangkir minuman hangat. Gadis itu berpaling, buru-buru menghapus jejak basah di pipi dan memaksakan diri untuk tersenyum walau otot-otot wajahnya terasa kaku.

Cory menaruh cangkir tersebut lantas mendudukkan diri di samping Louisa dan berkata, "Minumlah dulu untuk membuat perasaanmu lebih baik, Lou."

Jemari Cory memeluk cangkirnya sendiri, menerawang ke arah pantai Malibu yang tak jauh dari apartemen yang mereka tinggali lalu menoleh mengamati garis wajah Louisa. Seperti anak ayam kehilangan induknya, Louisa begitu menyedihkan. Sejujurnya, dia merasa kasihan dengan Louisa meski di sisi lain ada perasaan lega kalau Troy memutuskan hubungan. Baginya Louisa patut mendapatkan lelaki yang lebih baik dari sang mantan manalagi di sini aktor-aktor lebih menawan dan sedikit-banyak Cory hafal karakter mereka.

"Bisakah aku tidak hadir dalam jumpa fans hari ini, Cory?" tanya Louisa meraih cangkir cokelat hangat. Begitu menyentuh kulit, kehangatan langsung tersebar menyelimuti setiap aliran darah. Disesap sebentar cokelat itu melewati kerongkongan dan turun ke lambung. Coklat memang sesuatu paling baik untuk menenangkan dan rasa resah itu mulai membaik walau tak sepenuhnya. "Aku merasa belum bisa bertemu orang-orang dengan kondisi mataku bengkak seperti ini. Aku takut mereka akan menerjangku dengan banyak pertanyaan."

"Iya itu benar. Terkutuklah Troy! Aku bersumpah suatu saat dia akan merasakan apa yang kau rasakan hari ini, Lou," kata Cory berharap semesta mendengar munajatnya. "Tapi ... kaulah yang ditunggu mereka, Sayang. Masih ada waktu empat jam lagi, Lou. Aku bisa membantumu mengompresnya agar tidak terlalu bengkak. Nanti kau pakai saja kacamata hitam. Bagaimana?"

"Aku ... sungguh tidak berminat, Cory. Tubuhku belum istirahat, mood-ku benar-benar buruk. Aku takut di depan mereka malah menangis."

Tak berapa lama ponsel Cory berdering nyaring sebelum lelaki itu menimpali permintaan Louisa untuk tidak datang ke acara fans meeting. Cory mendecak kesal karena seseorang mengganggunya di saat genting seperti ini. Buru-buru dia berlari menghampiri gawai yang tergeletak di kamar Louisa sejak semalam. Alis tebal Cory mengerut mendapati asisten pimpinan agensi menghubunginya secara tiba-tiba. Dia mendadak gugup setengah mati, nyaris saja jatuh ke lantai kalau bukan kesadarannya yang memerintah untuk menjawab panggilan mendesak itu. Cory mendaratkan pantat ke pinggiran kasur, meremas dada dan bertanya,

"Ada apa, Mr. Reese?"

"Aku mendapat perintah untuk menyampaikan pesan kepadamu agar mengatur jadwal pertemuan Ms. Bahr dengan Mr. Cross malam ini," jawab Mr. Reese.

"Ma-malam ini?" Cory berdiri, berjalan cepat menuju balkon di mana Louisa masih duduk memeluk kedua lututnya dengan tatapan kosong. "Apakah bisa hari lain, Tuan? Karena kemungkinan kami akan--"

"Mr. Cross menginginkan jadwal itu hari ini, Mr. Conley," potong Mr. Reese seakan tidak mau menerima penolakan.

Louisa menengadah, menautkan alis penasaran siapa yang menelepon sampai membuat ekspresi Cory sepucat mayat. Cory menyiratkan Louisa diam sejenak dengan menempelkan telunjuk kiri di bibir, manakala telinganya masih mendengar penjelasan asisten Mr. Cross. Begitu Cory menyetujui dan memutuskan sambungan telepon, dia mengembuskan napas seraya memutar bola mata merasakan kepalanya akan meledak saat ini juga. Undangan langka dari Dean Cross tentu saja tidak boleh dilewatkan, pikir Cory. Tapi, dia juga dilema karena psikis Louisa tidak memungkinkan untuk menyambut pimpinan tertinggi agensi dengan ramah.

Pernah sekali waktu, mungkin tahun lalu seminggu sebelum perayaan natal ketika Louisa bertengkar dengan Troy saat syuting di salah satu film. Walau sebatas figuran, terkadang Louisa mementingkan suasana hati sehingga proses pengambilan gambar jadi lebih lama. Dia tidak segan memarahi balik kalau ada yang mengusik emosinya. Oleh karena itu, bolak-balik Troy mengingatkan Louisa agar pintar-pintar mengatur amarah dan tidak mencampur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Sekecil apa pun masalah yang datang, seharusnya sebagai artis yang terlanjur menyelam di dunia perfilman harus bersikap profesional, bukannya berdiam diri dan menangisi lelaki bajingan seperti Troy.

"Kau diundang Mr. Cross malam ini," tandas Cory, "setelah acaramu di San Diego."

"Mr. Cross? Untuk apa?" tanya Louisa tak mengerti.

Cory berlutut di depan Louisa, memegang kedua tangan kurus nan lentik artisnya sambil menatap penuh harap. "Dengar Lou. Selama aku bekerja di bawah agensi Mr. Cross, belum pernah aku mendengarnya mengundang artis untuk bertemu secara pribadi. Kita lihat sisi positifnya sekarang, bisa jadi kan kalau Mr. Cross memberimu peluang lebih? Teman kencan? Uang? Atau merekomendasikanmu ke beberapa produsen film?"

"Cory ..." Louisa nyaris menolak ketika Corcy mengeratkan genggamannya.

"Aku sayang padamu, Lou. Dan sungguh menyakitkan melihatmu dicampakkan Troy. Sekarang tunjukkan pada bajingan itu bahwa tanpa dia, kau masih bersinar, Sayang," ujar Cory menggebu-gebu seperti ada nyala api di kedua bola matanya. "Kalau aku jadi kau, akan kulakukan apa pun agar bisa berduaan dengan Mr. Cross. Tapi ingat, berhati-hatilah padanya."

"Kau bilang menerima ajakannya, sekarang berhati-hati. Kau tidak konsisten sekali," cibir Louisa kesal. "Jikalau seperti itu, lebih baik aku menolaknya secara tegas kan?"

"Ck! Bukan seperti itu, My Lady," tandas Cory gemas. "Maksudku, jika dia menawarimu untuk tidur dengannya jangan mau. Karena banyak wanita yang akhirnya terbawa perasaan dan mengejar-ngejar Mr. Cross seperti orang gila. Kau boleh patah hati dan menyenangkan perasaanmu pada lelaki, tapi tetaplah gunakan logikamu, Lou. Lelaki bakal menjadi sebaik malaikat dan segarang singa ketika menemukan wanita tak berdaya."

"Jadi, aku harus menerimanya tapi juga berhati-hati dengannya?" ulang Louisa.

"Tepat sekali, Sayang. Jika dia menawarimu peluang untuk karier, maka ambillah! Kalau dia menawarimu adik kecil di balik celananya, jangan!" titah Cory mengerlingkan sebelah mata.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro