Chapter 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari pertama tanpa Dean dipenuhi air mata yang sama seperti ketika Troy mendadak meminta berpisah dari Louisa. Hatinya seperti dilubangi kemudian ditaburi garam dilanjut ditusuk ribuan duri sampai-sampai rasa nyeri itu menjadi teman yang membayangi Louisa. Walau sudah menelan pil tidur dan pereda pusing, nyatanya tidak ada obat yang benar-benar menghilangkan kesedihan dalam satu kali jentikan. Sejak kemarin, meringkuk dalam kamar dan berlindung di bawah selimut seakan menolak kehidupan yang berjalan di sekeliling Louisa, termasuk mengabaikan banyak panggilan bahkan dari Karoline.  

Alhasil, Corylah yang kelabakan menjawab satu persatu telepon mengapa bintang yang sedang bersinar itu mendadak menghilang. Sengaja tidak mendatangi Covame seperti perjanjian sebelumnya membuat tim pemasaran terpaksa membatalkan kerja sama serta mengolok Louisa sebagai perempuan tak profesional. Mau tak mau sebagai manajer yang membawahi sang aktris tak terima, Cory meminta maaf seraya menjelaskan kepada pihak marketing bahwa saat ini Louisa sedang menderita alergi parah sampai tidak sempat memberi kabar. Lidahnya begitu lihai merangkai cerita padahal mereka tidak tahu bahwa ada gadis yang kini menyudutkan diri di dalam kamar tanpa mau membuka pintu.

"Kami tidak mau tahu, Mr. Conley," kata seorang perempuan dengan nada ketus melalui sambungan telepon. "Kami sudah menunggu berjam-jam dan baru hari ini kau memberi kabar. Sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang publik figur."

Cory melirik pintu kamar Louisa yang masih terkunci tanpa menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan dari dalam sana, seraya memijit kening dia bergerak ke pantry tuk mengambil air mineral yang bisa membasahi bibirnya yang kering. Siapa yang tidak akan marah kalau semua komplain masuk ke telinga Cory tanpa jeda, mungkin sebentar lagi dia perlu ke THT untuk mengecek apakah indra pendengarannya masih bertahan menampung kritik. 

Di satu sisi, dia ingin marah tapi kalau belum mendapat kejelasan dari Louisa sepertinya itu menjadi sebuah kesalahan lain. Dia menerka-nerka apakah semua ini berasal dari atasan mereka sendiri. Ah, seharusnya Louisa bisa memilah mana urusan pribadi mana urusan umum, pikir Cory. Jika seperti ini dia pasti akan dilabeli artis tak kompeten yang mencampuradukkan kehidupan pribadi dan pekerjaan. 

 Semalam saat Louisa pulang bagai anak anjing tersesat dengan maskara luntur dan hidung memerah, tanpa menyapa Cory gadis itu langsung masuk dan mengunci diri sampai Cory tidak sempat bertanya. Jika ditilik dari sikap Dean yang murka, Cory menebak sejoli itu tengah bertengkar hebat untuk ke sekian kalinya. Tapi, baru kali ini sang manajer melihat Louisa begitu hancur seolah-olah baru kalah perang. 

"Aku sungguh minta maaf," ujar Cory sekali lagi. "Jika kalian ingin membatalkan perjanjiannya akan kuurus karena saat ini Louisa sedang tidak bisa diganggu karena kesehatannya."

"Ck! Baiklah!" sembur si perempuan. "Besok datanglah karena hari ini kami harus mencari seseorang yang lebih profesional untuk menjadi bintang iklan kami," sindirnya secara terang-terangan.

Tanpa ucapan perpisahan yang pantas, sambungan telepon terputus begitu saja membuat Cory menggeleng keheranan. Beruntung stok kesabarannya masih banyak, jika tidak dia bakal membalas lebih kejam pihak Covame yang menjelekkan nama baik Louisa. Dia pikir aktris itu bukan manusia yang harus mengerjakan sesuatu seketika itu juga?

Dasar gila! rutuk Cory. 

Selanjutnya, Cory berjalan mendekati kamar Louisa, mengetuk pelan pintu yang tak kunjung terbuka itu sembari bertanya, "Lou? Bisakah aku masuk?"

Hening. 

"Lou, aku tahu kau sedang ada masalah tapi bisakah kita membicarakan apa yang terjadi di antara kalian berdua?" tanya Cory mulai cemas. "Kau bahkan tidak makan apa-apa pagi ini, Sayang."

Dia menempelkan telinga ke pintu berharap Louisa bisa memahami yang dimaksud, kalau menarik diri seperti ini tidak akan menemukan jalan keluar. Sekalipun patah hati, setidaknya manusia harus tetap makan agar tetap waras. Ya ... walau hanya meneguk satu botol anggur yang bisa memenangkan pikiran. 

Beberapa saat pintu terbuka sedikit, Cory langsung menyerbu masuk ketika mengamati Louisa membanting dirinya di atas kasur. Menutup tubuh itu dengan selimut seolah-olah dunia tidak boleh tahu bahwa ada gadis malang yang mengalami patah hati tidak kurang dari satu tahun. Iris mata biru terang Cory mengitari sekeliling betapa berantakan kamar Louisa seperti badai besar baru menerjang tempat ini. 

Tisu-tisu berceceran di lantai, pakaian yang dia kenakan smealam juga teronggok tak berdaya di sebelah stiletto, tas jinjing juga bernasib sama seakan-akan sang empunya tidak lagi memedulikan mereka. Cory berjongkok, memunguti barang-barang Louisa dan menaruhnya di atas kursi lantas mendudukkan diri di pinggir kasur mencoba menyingkap selimut tebal itu. 

"Could you tell me what happened?" tanya Cory bak seorang kaka yang tidak ingin adiknya menangis. "Apa yang dilakukan Dean kepadamu,  Sayang."

Louisa membisu memilih mengucurkan air mata yang enggan berhenti sekalipun otaknya memerintah agar tidak menangisi bajingan itu lagi. Sudah tak mampu lagi lidahnya merangkai kata mana yang pantas untuk menggambarkan betapa remuk redam perasaan Louisa saat ini. Bahkan sejak semalam, dia berharap bahwa yang dilontarkan Dean hanyalah sebuah lelucon belaka. 

Cory menarik napas, membuat sebuah kesimpulan lalu bertanya begitu hati-hati, "Do you love him?"

Louisa membuka selimut yang menunjukkan kepalanya saja lantas mengangguk samar dengan mata berkaca-kaca. "Dia menyuruhku pergi. Rasanya sakit, Cory. Semua telah berakhir bahkan ketika aku mengatakan menginginkannya."

Kontak Cory bergabung dengan Louisa di atas kasur, mendekap penuh kasih sayang gadis malang itu dan mengecup keningnya. "Oh girl ... Bajingan itu memang benar-benar mempermainkanmu, Lou. Aku sudah pernah bilang kan. Jangan terlena dengan Dean sekali pun kau merasakan surga. Dia lelaki berengsek yang tak segan-segan mencampakkanmu, Lou," tandas Cory. "Hei, sudahlah, jangan tangisi pria tak punya hati seperti Dean. Dia bakal menyesal kehilanganmu, Lou. Percayalah!"

"Kurasa tidak, Cory," ucap Louisa frustrasi. Bibirnya bergetar tiap mengingat kata yang diucapkan Dean. Tidak mungkin dia bakal merasa kehilangan setelah hubungan mereka berakhir. "Dia sendiri yang mengusirku pergi dari kantornya."

"Ck, dasar gila!" geram Cory. "Apa dia tahu kau menyukainya?"

"Mungkin. Aku tidak yakin, tapi kurasa tidak. Aku tidak mengatakannya secara langsung," jawab Louisa. "Aku hanya mengatakan bahwa aku menginginkannya untuk terbuka denganku, tapi dia menolak dan dia menyuruhku pergi. Dia berkata bahwa aku keterlaluan padanya."

"Ya ampun ... dasar sinting! Aku tidak memahami otak Mr. Cross itu terbuat dari apa," omel Cory ingin menghajar Dean saat ini juga. "Hei, jangan menangis lagi, Sayang." Dia menghapus jejak basah yang menghiasi pipi Louisa. Tampak menyedihkan dan menyakitkan baginya. "Kau terlalu berhaga untuk pria murahan sepertinya."

"Maafkan aku, Cory," ucap Louisa. "Kau harus menanggung semuanya gara-gara aku."

Cory menggeleng kemudian mengamati langit-langit kamar Louisa. "Tadinya aku ingin marah padamu, tapi sekarang rasanya aku ingin mematahkan kemaluan Dean. Kau tahu kan aku pria yang jago berkelahi?"

Louisa terkikik, menarik ingus mendengar selera humor Cory.  "I know you."

###

Dean mendengarkan penjelasan salah satu petinggi perusahaan manakala ada artis yang tersandung skandal di Twitter. Berawal dari komentar negatif tentang menyindir mengapa orang harus bekerja begitu keras di saat banyak privilege yang mudah didapat. Kemudian menyindir artis lain yang dinilai memiliki privilege seperti koneksi dengan sutradara atau penulis skrip walau aktingnya tidak Bagus. Menyombongkan diri seolah-olah dialah yang pantas mendapat tawaran itu. 

Di jaman sekarang, sangat mudah mendapatkan popularitas tapi juga mudah untuk kehilangannya. Sebagai publik figur, Dean berpendapat pembentukan karakter di agensi sangat penting. Tapi, sekeras apa pun dia berusaha untuk memberi aturan kepada semua bintang di bawah agensinya, ternyata ada saja yang merusak tatanan tersebut.

Walhasil, Cross agensi yang selama ini identik dengan bintang-bintang beretika baik telah tercoreng. Mereka beradu argumen, mencari-cari kesalahan lain sekadar menjatuhkan karier sang artis.  

Tentunya Dean murka bukan main, memaki manajer sebagai orang yang bertanggung jawab atas artis yang dinaungi juga menegur bahwa penggunaan media sosial harus di bawah pengawasan manajer. Menyuruh si pembuat onar untuk bungkam sementara baik di media sosial atau kepada wartawan. Membatalkan semua acara yang akan diisi oleh artis tersebut agar tidak menyulut masalah lagi. 

"Suruh dia bikin surat pernyataan meminta maaf dan menghapus postingannya," pinta Dean. "Kalau dia tidak mau melakukannya, silakan hengkang dari agensiku!"

"Baik, Mr. Cross," tandas seorang perempuan berkulit eksotis. Air mukanya menunjukkan sebuah ketakutan sampai-sampai dahi lebar yang tertutup poni samping dibasahi peluh keringat.

"Saya ingin memberi saran, Mr. Cross," ucap salah seorang lelaki berambut klimis. "Jika seperti ini, bukankah kita seperti pabrik pencetak karakter? Menurut saya, bukankah sebaiknya kita membebaskan mereka berekspresi? Kita berada di negara demokratis, Mr. Cross."

Dean menaikkan alis, mengetuk-ngetukkan jemari di atas meja lalu berseru,"Kau menyidirku? Kau pikir aku tidak tahu arti demokratis?Aku membebaskan mereka, Mr. Smith. Tapi, semua ada batasannya. Kita menaungi publik figur yang menjadi contoh masyarakat bahkan remaja. Kalau kita tidak bisa memberikan dampak baik, untuk apa? Biarkan saja mereka mencemooh agensi ini sebagai pabrik, silakan. Tapi perlu diingat, persaingan bisnis ini tidak akan berjalan baik sampai sekarang jika tidak ada aturan yang kubuat dan kita sepakati bersama. Paham?"

"Apa ini termasuk hubungan Anda bersama Ms. Bahr?" celetuk yang lain.

"Apa maksudmu?" tanya Dean ketus.

"Tidak. Hanya saja ada beberapa selentingan bahwa Anda terlalu pilih kasih, Mr. Cross. Anda dinilai fokus pada artis yang sedang naik daun. Ms. Bahr mendapat banyak penawaran sementara ada artis lain yang dirasa lebih cocok," ucap lelaki itu.

"Aku tidak pernah pilih kasih! Mereka menawari kerja sama bukan karena dia adalah kekasihku. Memangnya salah kalau seseorang tengah populer mendapatkan banyak kesempatan untuk melebarkan ketenarannya? Toh, kalian bisa lihat bagaimana kualitas Ms. Bahr bukan?" elak Dean meninggikan suaranya

"Tapi kami mendapat surat komplain dari Covame. Mereka bilang Ms. Bahr tidak profesional untuk bekerja sama dengan perusahaan mereka," sahut pria berkaca mata kotak.

"Mereka belum tanda tangan kontrak, apa yang mesti ditakutkan? Mereka minta ganti rurgi? Aku bisa menuntut balik mereka, Tuan-tuan," ancam Dean emosi. "Kirim salinan e-mailnya kepadaku. Aku akan menghubungi Covame."

"Lagi-lagi yang diselamatkan hanyalah Louisa Bahr," bisik seorang perempuan. "Kita lihat saja ketika Louisa kena skandal, apa dia masih bicara seperti itu."

Baca lebih cepat sampai tamat di Karyakarsa ya. Ada extra part buat kalian di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro