Chapter 23 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berdiri di belakang dinding kaca yang menampilkan lanskap Downtown tak lantas membuat pikiran Dean langsung tenang. Gedung-gedung tinggi yang berdiri kokoh di sekitar agensi Cross seakan-akan ingin menghalangi keberadaan Louisa sekarang. Manalagi gerombolan awan yang menggantung di birunya langit tak sama dengan iris mata Dean yang menggelap dan menyorot tajam, mengamati mobil-mobil lalu lalang memenuhi tiap ruas jalan tidak dapat mengalihkan pikirannya dari Louisa. Rahangnya sesekali mengetat, menggeram dan menahan gejolak amarah jikalau bidikan paparazzi yang tersebar di media masih berputar dalam kepala. Andai orang lain bisa melihat, kini kepala Dean dipenuhi asap hitam yang mengepul akibat sikap kekanakan Louisa yang memancing emosi. Lagi dan lagi.

Dia melonggarkan ikatan dasi yang terasa begitu mencekik leher, berharap oksigen di sekitar lelaki itu bisa leluasa masuk ke dalam rongga dadanya agar tidak berbuat gila. Sedari tadi dia menahan diri untuk tidak hengkang dan mencari pria asing yang mencuri gadisnya. Begitu berani menikmati senyum indah Louisa yang seharusnya itu milik Dean dan mendekap hangat tubuh yang seharusnya menjadi tempatnya bersandar di malam hari.

Sayang, sisi lain Dean mendobrak-dobrak agar lelaki itu segera pergi dan menyeret paksa Louisa. Bila perlu mengikat gadis itu ke dalam galerinya, meminta pertanggung jawaban atas amarah yang sudah terbakar hingga ke ubun-ubun. Dean makin tidak bisa berpikir jernih, ketika kilasan imajinasi tentang Louisa sedang memuaskan pria asing itu. Tidak! Louisa adalah miliknya. Dean akan menyingkirkan siapa saja yang berani mengusik teritorial tanpa permisi.

Satu pertanyaan menggelayuti benak Dean. Lantas dia memiringkan kepala, merapatkan garis bibir dan bertanya-tanya dalam hati. Apa ini ancaman Louisa padanya? Kenapa?

"Apa yang kau inginkan sebenarnya, Lou?" gerutu Dean. "Aku sungguh tidak bisa memahamimu."

Suara ketukan di balik pintu membuyarkan lamunan panjang Dean. Dia berpaling dan mendapati sang asisten memberitahu bahwa Louisa telah datang. Gotcha! batin Dean bersorak tak sabar memberi ganjaran yang pantas untuk gadis pembangkang itu. Dia mengangguk cepat dan berkata,

"Beri aku waktu sekitar satu jam sebelum pertemuan berikutnya, Mr. Reese."

Pria berambut ikal itu mengiyakan titah bosnya lalu melempar senyum ramah kepada Louisa. "Silakan, Ms. Bahr," ucap Mr. Rees menyilakan Louisa masuk.

"Thanks," kata Louisa terdengar begitu santai padahal lelaki yang menunggunya ini sedang kebakaran jenggot. Bahkan tanpa rasa takut, Louisa melempar senyuman paling manis yang tidak bisa Dean terima. Seolah-olah perempuan itu merayu asistennya secara terang-terangan.

Bola mata Dean membesar, mengamati penampilan Louisa benar-benar seperti jalang baru pulang dari kelab malam. Lihat saja dia, gaun mini bercorak bunga itu terlalu terbuka di bagian bahu dan potongan dada sangat rendah yang bisa membuat pria meneteskan air liur. Seolah-olah dadanya akan tumpah ruah jika seseorang menarik sedikit kain yang menutupinya.

Dean nyaris tidak bisa bernapas. Bagai seseorang sedang menekan paksa tenggorokan dan menjejali kenyataan bahwa gadis itu sengaja memancing pertikaian lagi. Seluruh aliran darahnya berdesir cepat, berdenyut-denyut hingga ke ubun-ubun menimbulkan sensasi pening entah harus bagaimana lagi menghadapi si pembangkang. Dia makin murka dan ingin menghajar pria asing yang meniduri Louisa. Dean yakin dengan penampilan seperti itu, pria mana pun akan melancarkan ribuan kata manis untuk menjerat wanita ke ranjang.

"Dari mana kau?" tanya Dean ketus seraya berjalan menghampiri Louisa seperti ingin mengurung gadis itu ke dalam ruangan di mana tidak akan ada yang bisa menolongnya. Dia melepas ikatan dasi hendak mengikat Louisa di sofa dan menghunjam tubuh gadis itu dengan miliknya sampai tidak ruang untuk orang lain di sana.

"Apa urusannya denganmu, Mr. Cross?" balas Louisa melipat kedua tangan di dada membuat dadanya makin menyembul. Nyaris tumpah. "Kita hanya teman tidur yang tidak ada kaitannya dengan perasaan, Dean. Aku sadar ucapanmu akan hal itu."

Karena hanya aku yang terperangkap di sini, bukan dirimu.

Sebelah tangan Dean mencengkeram rahang Louisa sambil memicingkan mata, menghidu aroma gadis itu. Bau alkohol masih terendus di mulut bercampur aroma-aroma lain yang dia hafal bukan wangi tubuh gadisnya. "Tidak ada maksudmu?" ulang Dean tidak suka. "Dengar, Lou. Apa pun yang kita jalani, aku benci kau menggoda pria lain seperti wanita murahan."

"Murahan?" Louisa mengulang kalimat terakhir Dean seperti sedang menginjak harga dirinya. Menepis tangan Dean dan tanpa ada rasa takut, dia membalas tatapan nyalang pria keras kepala itu dengan gertakan. "Oh ... lantas kenapa kau memaksaku menjadi kekasihmu, Dean? Kau bahkan tidak bisa berperilaku layaknya kekasih, Mr. Cross. Kau selalu merasa dirimu benar, merasa kau terintimidasi oleh kemauanku yang sangat sepele, bahkan .... bahkan kau adalah pria yang tidak bisa kupahami, Dean!"

"Omong kosong!" seru Dean.

"Itu kenyataannya Mr. Cross!" jerit Louisa nyaris memutus urat nadinya melihat Dean masih tidak mengerti tentang apa yang diinginkannya. Dia bergerak menjauh, mengusap wajah begitu frustrasi menghadapi keegoisan lelaki itu dan menganggap semua ini tidak ada artinya. Louisa berpaling, menatap Dean nyalang lalu menunjuk dan berseru, "Oh, benar! Hubungan yang kita jalani ini hanya omong kosong seperti ucapanmu! Kau menjamah privasiku, Dean, tapi, aku tidak bisa melakukan sebaliknya. Kau juga tidak bertanya padaku bagaimana perasaanku melihat kau melukis semua mantanmu, Mr. Cross!"cerocosnya makin menggebu-gebu mengungkit inti masalah yang selalu membelenggu.

Masa lalu yang membuat Dean membangun tembok yang tidak bisa kupanjat sekalipun ingin.

"What the fuck are you talking about, Lou!" pekik Dean makin disudutkan Louisa atas tuduhan yang sama sekali tidak berdasar. Memangnya kenapa kalau dia membatasi diri? Bukankah sejak awal dia tidak masalah akan hal itu? Bahkan di Milan Louisa mau mengerti tentang kondisinya yang masih membutuhkan waktu untuk membuka diri. Kenapa sekarang malah diungkit-ungkit lagi?

"Kau sudah tahu alasannya kan? Itu hanya lukisan, Louisa! Memangnya apa yang kau harapkan, Lou!" Dean makin meninggikan suara memenuhi tiap sudut ruang kerja. Dia berharap bahwa pertengkaran ini tidak sampai terdengar oleh asisten maupun sekretarisnya di depan. Bodohnya, dia tidak memberikan dinding kedap suara di sini dan dipastikan gosip-gosip perdebatannya bakal tersebar dalam hitungan jam.

Sialan! rutuk Dean.

"Kau, Dean!" tandas Louisa membuat Dean menganga lebar.

Pertahanan yang seharusnya berhasil dia bangun nyatanya luluh lantak saat Louisa begitu menginginkan Dean. Kristal bening mengucur tanpa henti membasahi pipi Louisa sampai hidungnya memerah. Dia menggigit bibir bawah, meremas dadanya sendiri yang terasa seperti dijejali bongkahan batu besar. Sesak dan menyakitkan. Dia hanya menginginkan Dean bisa terbuka dan memberinya sebuah kejelasan bahwa hubungan yang mereka jalani ini bukan sekadar sentuhan fisik belaka. Bukan juga hubungan yang saling membutuhkan hanya untuk mencari kenikmatan seksual. Tidak!

Aku menginginkan hatimu, Dean ... Masa lalumu sepahit apa pun itu. Aku menginginkannya. Tapi, kau tidak mengizinkanku masuk, kau hanya menjamuku di depan pintu tanpa sempat menikmati lubuk hatimu, batin Louisa yang tidak bisa diucapkan melalui kata-kata. Terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan yang membebani gadis itu hingga hanya isak tangis yang mewakili betapa semua ini begitu rumit.

Secara langsung ketika mereka bercinta, Dean telah merajut sebuah benang yang melilit Louisa. Menumbuhkan sesuatu yang baru gadis itu sadari. Dia berusaha menepis kenyataan itu. Namun, makin lama makin membesar dan kini dia tidak dapat membendung perasaan sekalipun lidahnya ingin berkata jujur. Louisa tahu Dean bukan tipikal orang yang bakal menerima pengakuan cinta secara terbuka. Dean juga tidak sanggup menjalani komitmen jika yang dia cari hanyalah kebebasan.

Bukankah ini menyedihkan?

Salahkah Louisa mencari pelampiasan agar rasa itu hilang? Toh dengan bertemu pria asing, mengobrol bahkan mengajaknya berkencan satu malam mampu mengobati hatinya yang sakit.

Dan Dean salah satu sumber rasa sakit hatinya.

"I want you, Dean," lirih Louisa seperti sebuah permohonan.

Kontan Dean menghampiri dan menarik tubuh Louisa dalam dekapan, menangkup wajah sang pujaan lantas mencumbu bibirnya untuk menyiratkan bahwa dia juga menginginkan gadis itu. Merasakan keputusasaan dan frustrasi yang dipancarkan Louisa atas harapan yang sengaja diombang-ambing Dean. Meredam emosi yang terlanjur meledakkan keduanya dalam kubangan hasrat yang berapi-api.

Louisa membalas pagutan itu, membenamkan jemarinya ke sela-sela rambut Dean seolah-olah dia adalah candu yang tidak ingin dilewatkan. Menyesap setiap rasa yang diberikan Dean dan mendamba sentuhan-sentuhan sensual nan liar, memenuhi rasa laparnya akan cinta juga kebutuhan untuk saling memiliki Dean seutuhnya. Pikiran Louisa seketika buram kala merasakan diri Dean juga menghendakinya, mendorong tubuh gadis itu ke dinding manakala tangan Dean menyingkap gaun mini yang dikenakan Louisa.

"Apa yang kau inginkan sebenarnya, Lou? Kau tahu aku menginginkanmu sebesar ini," racau Dean dengan iris mata menggelap, jemari kanannya membelai milik Louisa yang terasa lembap di sana. "Tapi, aku benci kau mengulang-ulang kalimat yang seharusnya sudah kita sepakati."

Louisa tak sanggup membalas saat pertahanannya makin diobrak-abrik tak karuan. Dia nyaris kehilangan kesadaran saat jari Dean menelusuk masuk seraya menggeram, "Di mana bajingan itu menyentuhmu, Babe? Katakan padaku!"

"Fuck you, Dean," umpat Louisa dengan bibir terbuka. Mencengkeram bahu Dean merasa kehilangan kendali, seluruh tulang belulangnya melunak menerima serangan itu. Dia menggigit bibir bawah yang bengkak akibat ciuman Dean lantas bertanya, "Bagaimana dengan mantanmu, huh?"

Kontan Dean menarik diri membuat Louisa langsung jatuh terduduk berbarengan napas terengah-engah setelah permainan panas itu. Dia menggerutu pelan karena sudah di ujung kenikmatan namun Dean tidak segera menuntaskannya. Buru-buru Louisa merapikan gaun yang sudah tak karuan, menengadah ke arah Dean yang melempar ekspresi tak terbaca. Menimbulkan sebuah spekulasi lagi, apa yang dilakukan mantan Dean hingga lelaki itu berubah sikap dalam hitungan detik?

"Pergilah, Lou," pintanya lirih namun menggema di telinga Louisa.

"Apa ini keputusanmu?" tanya Louisa merasa dicampakkan. "Kau memperdayaku dan sekarang--"

"Pergilah, Louisa!" jerit lelaki itu melontarkan tatapan nyalang.

Louisa mengepalkan tangan kemudian beranjak di antara puing-puing harga diri yang dihancurkan Dean. Lelaki itu yang memintanya menjadi kekasih seperti orang dimabuk asmara, namun lelaki itu juga yang mengusir seakan-akan telah melupakan semuanya. Yang Louisa lihat saat ini adalah orang asing yang baru saja memanfaatkan tubuhnya untuk kenikmatan sesaat bagai pelacur jalanan.

"Baiklah," kata Louisa mengusap air mata dengan punggung tangan. "Kita ... berakhir di sini, Dean," tambahnya seperti sedang menusuk pedang ke jantungnya sendiri.

Louisa memaksa kakinya pergi keluar, berusaha merangkak naik dari jeratan Dean yang benar-benar menyakitkan. Louisa tertawa sumbang atas kisah cinta juga karma yang tak berhenti menerjang. Entah kesalahan apa yang pernah diperbuat hingga merasakan patah hati yang lebih parah daripada saat ditinggal Troy. Atau mungkin dirinya memang tidak pantas dicintai.

"Lou," panggil Dean ketika gadis itu ujung pintu. "Kau hanya perlu tahu satu hal."

Louisa bergeming, menanti ucapan apa yang bakal keluar dari bibir lelaki itu.

"Aku takut hubungan jangka panjang, Lou. Dan kau terlalu memaksaku keluar dari batasanku," ucap Dean.

Louisa membalikkan badan. "Dan kau juga memaksaku untuk menuruti batasanmu, Dean. Jika kita sama-sama punya luka, bukankah lebih baik saling menyembuhkan?"

"Aku tidak bisa," tandas Dean.

"Kalau begitu biarkan aku pergi sesuai perintahmu, Mr. Cross," pamit Louisa sebelum pintu bercat hitam metalik itu tertutup sempurna, menyisakan kehampaan yang mendekap Dean atas masa lalu yang kini membayang-bayanginya.

***

Baca lebih cepat di Karyakarsa atau Bestory yaaa, di sana udah bab 44.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro