Chapter 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Denting gelas bir memenuhi bar Angel City Brewery berbarengan asap-asap rokok membumbung mendesak tiap-tiap sudut ruangan. Meja-meja dipenuhi gelas maupun kaleng bir olahan mereka sendiri. Manalagi interiornya juga didesain sedemikian rupa; graffiti di tembok bergambar sayap, tengkorak, hingga wajah perempuan bergincu merah nan sensual. Rak kayu berpelitur gelap tempat penyimpanan botol-botol bir beraneka rasa dan sensasi yang sengaja dibuat sesuai musim. Meski bangunan ini adalah bangunan tua, tidak menjadikan bar yang ada di distrik seni dekat Little Tokyo LA terasa usang. 

Diiringi musik Goo Goo Dolls, Louisa dan Theo duduk di salah satu sudut bar dengan dua botol bir dan dua piring camilan sebagai teman bicara. Sesekali mereka menyanyikan bait demi bait lagu Slide dan tidak menyangka bahwa mereka menemukan kesamaan. Mereka tertawa terbahak-bahak hingga wajah Louisa memerah dibuatnya, sementara Theo curi-curi pandang setelah dipuji suaranya cukup enak didengar. 

"Kau terlalu berlebihan, Lou," elak Theo meraih botol bir untuk dituangkan ke dalam gelas kemudian menenggaknya. 

"Aku berkata yang sebenarnya," kata Louisa menyandarkan punggung ke kursi, melipat tangan di dada. "Suaramu bagus, kau pandai bermain piano, dan sedikit lihai berdansa. Aktingmu juga keren. Benar-benar mempresentasikan James."

"Kecuali di bagian James memperbudak Abby," komentar Theo. 

Louisa mengangguk-anggukkan kepala, menggigit bibir bawah menyetujui hal tersebut. Setidaknya kepribadian Theo lumayan asyik dibandingkan Dean yang selalu menjeratnya dengan pergumulan panas sebagai solusi ketika dilanda masalah. Walau beberapa jam mengenal pria pirang bermata amber itu, Louisa merasa bebas bisa berinteraksi dengan orang lain dan bertukar sudut pandang. Bukannya adu mulut untuk memperdebatkan hal-hal kecil tentang batas-batas yang tidak boleh dilalui. 

Terpujilah untuk Tuhan yang sudah mempertemukanku dengan pria ini, batin Louisa meniup trompet. 

"Tapi, aku tidak pernah mendengar namamu sebelumnya, Theo, sorry," tandas Louisa penasaran. 

"Sebelumnya aku fokus ke pertunjukan teater dan festival musik. Kalaupun film, lebih banyak menjadi cameo, Lou, itu saja tidak sepenuhnya memperlihatkan badanku atau satu adegan utuh," terang Theo menggosok dagunya dengan tangan kiri, meraba-raba bakal janggut yang tumbuh di sana. "Sampai pada akhirnya aku ditawari seseorang untuk mengikuti casting Last Dancing, mereka bilang fisikku cocok dengan James. Tapi, aku tidak tahu apakah akan berhasil sementara kandidat lain jauh lebih hebat."

"Peluang kita 50:50, aku pun tidak yakin meski kita tadi mendapat respons positif," ujar Louisa menuang bir miliknya ke dalam gelas. Membelai bibir gelas selagi teringat ucapan Rachel dan Jean kalau dia ikut karena ada campur tangan Christine yang notabene kakak Dean.

"Harusnya kau mengajak Cory ke mari," ucap Theo membuyarkan lamunan Louisa. "Manajermu pasti khawatir aktrisnya berada di luar tanpa pengawasan."

Louisa tergelak lalu meneguk birnya melewati kerongkongan. "Kau pikir aku bayi? Aku juga butuh ruang tersendiri dan Cory paham. Meskipun hubungan kami sebagai manajer dan artis, tapi sejujurnya kami lebih daripada itu. Cory sudah kuanggap kakakku sendiri. Tentu saja dia tadi mengomel bukan main, tapi aku berhasil mengatasinya."

"Tapi, aku melihat banyak keresahan di wajahmu, Lou," kata Theo menopang dagu dengan tangan kanan. "Tak perlu sungkan jika ingin bercerita."

"Wah ... pria seperti kau ini tipikal mencari kesempatan dalam kesempitan," cibir Louisa menenggak birnya lagi hingga habis. 

"Apa karena ada selentingan gosip kau ikut casting karena seseorang merekomendasikanmu?" terka Theo seperti bisa membaca isi kepala Louisa. "Aku mendengarnya dari beberapa kandidat yang berbisik-bisik saat kau lewat."

Bola mata Louisa membeliak tidak menyangka dengan indra pendengaran Theo yang begitu peka. Dia menggeleng pelan seraya berkata, "Tidak juga. Aku sama sepertimu, Theo. Hanya saja nilai plusku, aku pernah memenangkan kejuaraan balet di Jerman."

"Ach so ... das ist Super, Schatzi!" puji Theo membuat Louisa terpingkal-pingkal mengetahui lelaki itu bisa berbahasa Jerman. "Aber ... ich finde dich suß."

(Oh begitu ... itu bagus, Sayang. Tapi, kupikir kau manis.)

"Kau merayuku?" tanya Louisa. "Du bist witzig."

(Kau lucu)

"Ja ... Ich bin glücklich wenn du da bist, Lou. " Theo memainkan jarinya di bibir gelas dengan tatapan malu-malu. "Aku pernah tinggal di Hamburg beberapa tahun sebelum ke sini. Jadi, setidaknya bahasa Jerman sangat berguna saat bertemu wanita cantik sepertimu, Lou." 

(Ya ... aku senang ketika kau di sini, Lou)

Tak berapa lama ponsel Louisa di sisi kirinya berdering menunjukkan nama Dean terpampang di sana. Sudah hampir dua belas jam Louisa mengabaikan lelaki itu. Dia mengira setelah mematikan sambungan internet, Dean tidak akan menghubunginya. Namun, Louisa salah, Dean bukan tipikal orang yang akan menyerah begitu saja. Tangan kiri Louisa menekan ikon merah untuk menolak panggilan tersebut dan memilih menonaktifkan ponsel agar tidak seorang pun bisa mengganggu. Dia menuang botol bir ke dalam gelas sampai tak tersisa kemudian meneguk hingga habis ketika gumpalan kekesalan tentang keegoisan Dean padanya kembali menari di kepala.

Perasaannya teraduk-aduk setiap mengingat nama Dean, kalimatnya yang meresahkan hati, juga buaian Dean yang menggairahkan. Definisi kenikmatan juga kemurkaan jadi satu, menciptakan gelenyar aneh yang melilit perut, mendesak ke rongga dada sampai timbul sensasi menyakitkan. Apalagi setelah Cory memberi pertanyaan terkait perasaan Louisa terhadap Dean. Dia makin gelisah bukan main. 

Menangkap raut menyedihkan di wajah Louisa, Theo mengacungkan tangan ke arah bartender untuk membuatkan dua gelas negroni kemudian berpaling ke arah gaids itu dan berkata, "Kekasihmu?"

"Ya dan tidak," jawab Louisa geleng-geleng kepala. "Hubungan kami ... terlalu rumit. Oh, sorry, harusnya aku tidak merusak obrolan kita, Theo."

"Tidak, tidak apa-apa. Setidaknya itu mengurangi bebanmu, Lou. Tidak semua kisah cinta itu berjalan mulus. Jadi, apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Theo.

Ada jeda panjang di antara mereka berdua, Louisa menundukkan pandangan mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja menimang apakah perlu berbagi rahasia kepada orang lain. Manalagi semua orang di Amerika rasanya sudah tahu dia menjalin asmara dengan petinggi agensi Cross. Setiap komentar yang mendukung maupun yang menghujatnya masih membekas dalam ingatan. Dia mendongakkan kepala, mengamati langit-langit bar untuk melonggarkan dada yang terasa sesak akibat kegalauan tak berujung. Bertanya-tanya dalam hati apakah Dean bakal merasakan apa yang dia rasakan? 

Bahwa mereka diciptakan bertemu karena kebutuhan untuk saling mengisi satu sama lain. 

"Dia pria menyebalkan yang begitu egois," lirih Louisa mengetatkan rahang. "Tidak percaya komitmen tapi melarangku ini dan itu. Dia tidak pernah menyukai hubungan jangka panjang tapi tidak ingin melepaskanku."

Alis Theo berkerut mendengar penuturan Louisa yang tidak masuk akal. "That's so complicated."   

Pelayan berkepala plontos dengan tato memenuhi kedua lengannya datang membawakan pesanan Theo, kemudian menyerahkan satu gelas tersebut kepada Louisa. "Selamat menikmati," ucapnya.

"Minumlah. Setidaknya itu bisa membuatmu lebih tenang," tandas Theo menyuruh Louisa meneguk negroni.

Louisa menurut, menyeruput minuman klasik tersebut menuruni kerongkongan. Paduan vermouth yang terasa manis di lidah begitu terasa elegan bersanding dengan jeruk segar. Seketika ada perasaan tenang menyelimuti benak Louisa setelah berbagi dengan Theo, lelaki yang mau memahami. Setidaknya sejauh ini banyak hal yang menurutnya jauh lebih baik dibandingkan Dean. Bersama tukang perintah itu, Louisa serasa diajak menaiki bukit terjal lalu terjun tanpa mengenakan pengaman. Menyakitkan tapi tak berdarah. Sementara Dean selalu memberikan sentuhan sensual yang tidak pernah bisa Louisa lupakan. 

Apakah ini yang dikatakan Cory dulu? batinnya gelisah. Bahwa banyak perempuan yang bakal terobsesi untuk bisa memiliki hati Dean. Apakah seperti ini juga rasanya ketika Dean secara tidak langsung memanfaatkan diri Louisa untuk kesenangan semata?

Theo memegang tangan Louisa, menyunggingkan seulas senyum tipis bahwa Louisa bakal melewati masalah ini dengan tidak menyiksa batin lebih lama dengan pria yang meneleponnya. Namun, kilatan mata Theo tidak bisa disembunyikan manakala ada unsur ketertarikan pada sisi cantik gadis itu. Jujur saja, Theo akan berkata bahwa dia jatuh cinta pada pandangan pertama walau tahu Louisa telah dimiliki oleh seseorang. Dia berpikir, mungkinkah ada celah untuk bisa masuk di antaranya?

"Aku ada di sini jika kau mau berbagi hal lain. Kuharap kita bisa sering ketemu seperti ini, Lou."

"Thanks, Theo," ucap Louisa menyunggingkan senyum samar. "Senang bisa bertemu denganmu."

"Kau mau pergi ke suatu tempat?" tawar Theo. "Cuaca di luar bagus untuk menghabiskan malam bersama."

Louisa mengangguk. "Iya, tentu. Aku tahu tempat yang bagus," ucapnya menyiratkan sebuah arti. 

###

Japanese Village Plaza adalah salah satu tempat yang paling direkomendasikan Theo ketika singgah di distrik Little Tokyo. Pohon sakura menghiasi jalanan dan makin tampak menakjubkan dengan bunga-bunga merah muda bermekaran. Lampion-lampion berwarna merah dan putih bertuliskan huruf kanji menggantung dan melintang dari bangunan satu ke bangunan lain, sementara ada beberapa poster festival musim semi yang akan memeriahkan perayaan tahunan ini. 

Di sini banyak toko-toko menjual barang seperti baju tradisional Jepang, aksesoris dan pernak-pernik anime, hingga jajanan khas Asia Timur. Theo menjelaskan beberapa restoran yang sudah pernah dikunjungi termasuk Mitsuru Café yang menjual imagawayki--kue kacang merah yang baru diisi, takoyaki, atau mitarashi dango--pangsit tepung beras. Sesekali mereka berhenti untuk mengisi perut yang tidak akan kenyang jika dipenuhi dua botol bir saja. 

Louisa menjajal imagawayki yang terasa manis dan lembut di lidah terutama kacang merahnya dan berkomentar kalau teksturnya mirip pancake. Theo terkekeh dan membersihkan sudut bibir Louisa yang berlepotan dengan tisu. Gadis itu terpaku atas perlakuan Theo padanya sampai-sampai salah tingkah dan buru-buru mengambil cermin kecil dari dalam tas selempang yang melingkar di bahu. 

"Wajahmu masih menawan, Lou," tandas Theo mengerlingkan sebelah mata. "Mari kutunjukkan tempat lain," ajaknya menunjuk kedai Mikawaya. "Di sana ada mochi yang baru dibuat. Kau tahu kan?"

"Aku tahu melalui siaran televisi saja. Sejujurnya aku belum pernah mencoba makanan Asia," ucap Louisa jujur.

"Kau harus mencoba, makanan mereka tidak kalah enak," kata Theo. "Aku sudah menjelajahi sebagian dari negara di Asia, mungkin aku akan berkunjung ke Indonesia."

"Apa ucapanmu mengisyaratkan sebuah undangan terbuka?" tanya Louisa yang dibalas tawa. 

"Jika kau mau," balas Theo mengerlingkan sebelah mata. 

Louisa menggigit kue berbentuk ikan itu dan tiba-tiba Theo menunduk untuk menghabiskan sisanya kemudian berlari menerobos kerumunan. Louisa menjerit, mengeluarkan umpatan mengapa lelaki itu tidak menyisakan kue yang sudah menjadi favoritnya ini. Tidak memedulikan tatapan risi orang-orang di sana, Louia tetap berlari hendak melayangkan pukulan kepada pria tinggi itu.

"Theo!" teriak Louisa tak terima dan melayangkan cubitan maut di lengan kanan. 

Theo mengaduh kesakitan hingga ke ujung sarafnya, lantas membalas Louisa dengan sebuah kecupan singkat di bibir. Membekukan degup jantung Louisa, melenyapkan senyum yang tadinya mengembang di bibir gadis itu. 

"I like you," bisik Theo jujur. "Kuharap kau jangan pernah bersedih lagi, Lou."

###

Tubuh tanpa sehelai benang yang tertutup selimut itu saling memeluk, mengabaikan jejak matahari yang menelusuk masuk melalui jendela. Irama napas senada saling beradu pun sama dengan detak nadi yang mengalir lambat di setiap pembuluh darah. Louisa bergerak merasakan panas mentari mulai membakar kulit hingga dia memayungi wajah dengan tangan lalu terbangun. Dia mengernyit, mengerjap-ngerjapkan mata kemudian bergeser sedikit dari badan Theo yang masih terlelap setelah percintaan panas mereka semalam. 

Sial! rutuk Louisa tersadar akan sebuah janji. 

Buru-buru dia memungut pakaian yang teronggok di lantai untuk segera pergi sebelum Cory memarahinya karena ada jadwal pertemuan dengan salah satu perusahaan bra. Dia berpaling sebentar ketika selesai mengenakan kembali bajunya, mengamati Theo sebelum mengendap-endap keluar kamar hotel. Lelaki itu sialan seksi, batin Louisa. 

Tapi, tidak bisa menghilangkan pesona dan rasa dominan Dean dalam kepalaku.

Begitu menutup pintu sepelan mungkin, Louisa berjalan cepat menyusuri lorong hotel untuk masuk ke dalam lift yang ada di ujung seraya menyalakan kembali ponselnya. Fuck! umpatnya dalam hati. Bola mata Louisa nyaris mencuat mendapati begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab yang didominasi Dean. Bukan masalah itu yang membuatnya takut, melainkan Cory mengirim pesan teks dengan huruf balok yang terkesan seperti murka terhadap sikap Louisa yang semena-mena dan tidak memberinya kabar sejak kemarin.

Cory : KAU DI MANA!

Cory : JAWAB TELEPONKU LOUISA!

Cory : DEAN MENGAMUK!

Cory : Lou, please. Kalau kau membaca ini, temui Dean karena dia tidak percaya ucapanku.

Tak sabar, Louisa menelepon manajernya sambil masuk ke dalam lift dan tak lama suara Cory memanggil seolah-olah telah menemukan orang yang hilang bertahun-tahun. Ada rasa lega dalam nada bicara Cory namun dia terdengar marah karena Louisa menonaktifkan ponsel demi bisa berduaan dengan Theo. Cory mencerocos tanpa henti bagaimana Dean memakinya karena tidak becus mengawasi Louisa dan membebaskan gadis itu pergi dengan orang lain tanpa seizinnya. 

"Sorry, aku kemarin terlalu asyik mengobrol bersama Theo tapi Dean meneleponku terus," protes Louisa. "Ini tak sepenuhnya salahku kan?"

"Come on, Sayang. Kau tahu berhadapan dengan siapa, Lou. Kalau bukan karena aku, Theo mungkin sudah tak bernyawa pagi ini," jelas Cory menyiratkan sebuah kekhawatiran tak tahu apa yang akan dilakukan Dean nanti. "Dia menunggu di kantor dan sudah menunda pertemuan kita dengan Covame."

"Serius?" pekik Louisa tak percaya. "Baiklah. Aku akan ke sana. Thanks! Kau masih marah padaku, Cory?" tanyanya ragu-ragu. 

"Marahku akan reda jika kau segera datang! Jadi, jangan terlambat!" ketus Cory lalu memutuskan sambungan telepon. 

***

Baca lebih cepat + extra part di Karyakarsa atau di website nihbuatjajan. Link ada di bio ya genks.

Naskah baru trope she fell first he fell harder tersedia di Karyakarsa.Ada dua versi, teks dan audiobook (bikinan sendiri). Khusus audiobook berbayar ya mengingat proses editingnya sampe seharian per bab wkwkwkw. Jadi, bagi yang berkenan boleh pilih audiobook. Sample bisa dilihat di Instagramku Ry_kambodia.

Danke vielmals, Schatz!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro