Chapter 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kembali ke Los Angeles dengan segudang kegiatan rasanya membuat Louisa ingin melarikan diri sebentar di Milan. Setidaknya di sana dia bisa menciptakan ruang sendiri bersama Dean untuk mengulik lebih jauh kepribadian lelaki itu. Namun, pesan teks yang dikirim oleh Christine tentang jadwal casting mengurungkan niat Louisa, sehingga dia terpaksa mengekori Dean kembali ke Amerika di penerbangan paling awal. 

Di satu sisi, Louisa lebih banyak diam, merenungkan tiap kata yang dilontarkan Dean di katedral. Menyambungkan satu-persatu benang yang mengaitkan antara ketidakpercayaannya terhadap cinta, masa lalunya yang masih misterius, serta sebuah komitmen. Dean memang tidak secara langsung mengajukan poin terakhir kepada Louisa, hanya saja setiap kali gadis itu ingin pergi , Dean selalu menahan dan berpendapat kalau komitmen hanya diberikan jika dia sudah menaruh sebuah kepercayaan. 

Bukankah itu membingungkan?

Dean tidak percaya dirinya. Tapi, Dean tidak ingin Louisa pergi darinya. 

Dean selalu berbisik kalau Louisa adalah kebutuhannya.

Seperti sekarang ketika pesan dan telepon dari lelaki itu harus Louisa abaikan sementara waktu. Membentangkan jarak supaya si tukang perintah yang katanya tidak mau menaruh kepercayaan bisa merasakan arti kehilangan seseorang. Mungkin terlalu cepat menyimpulkan hal ini, hanya saja ditilik dari kelakuan Dean selama masa-masa penuh gairah, Louisa tahu bahwa Dean paling tidak suka didiamkan tanpa sebab. 

Dean : Babe, kau di mana?

Dean : Apa kau ke tempat casting?

Dean : Kau menghindariku beberapa hari ini

Dean : Apa ada yang salah?

"Dasar sinting," gerutu Louisa mematikan jaringan internet ponselnya dan memasukkan ke dalam tas jinjing.

"Siapa?" tanya Cory mengalihkan pandangan dari kertas naskah di tangan kanannya.

"Kau tahu sendiri siapa, Cory," jawab Louisa malas.

Cory hanya mengangkat alis tanpa memberi tanggapan daripada merusak suasana hati Louisa yang bakal mempengaruhi aktingnya nanti. Mereka berdua duduk di bawah rindang pohon, membaca sekaligus mencoba improvisasi tiap dialog yang akan digunakan untuk casting karakter Abby McMilan di film Last Dancing. Mengikat rambut membentuk sanggul kemudian menggaris bawahi kata kunci yang akan menjadi bagiannya nanti dengan bolpoin. Sesekali dia mencoba menghafal dibantu Cory untuk menilai ekspresi wajah dan nada bicara supaya emosi yang disampaikan bisa mengena hati juri. Tak segan pula Louisa membentak hingga menangis tersedu-sedu manakala mengetahui tokoh Abby akan dikhianati male lead yang berprofesi sebagai seorang pianis. 

Hal yang lebih penting menurut Cory adalah kemampuan balet Louisa benar-benar patut diacungi jempol. Setidaknya itu poin plus di mata tim casting sehingga Louisa tak perlu bersusah payah belajar dari nol untuk mendapatkan peran seorang penari balet. Ya ... walaupun memiliki bakat itu belum tentu akan lolos mengingat yang diajak bersaing juga banyak. Tadi, dia sempat bertemu Rachel Reyes atau Jean West yang merupakan langganan produser film dan pernah mendapat penghargaan besar beberapa tahun lalu. Dia menyapa sebentar dan memperkenalkan Louisa sebagai aktris pendatang baru yang ramai diperbincangkan media. 

"Apa dia mendapat undangan ini atas rekomendasi Mr. Cross?" tebak Jean dengan nada menyindir melempar tatapan penuh arti ke arah Rachel. "Kita semua tahu produsernya adalah kakak Dean Cross, wah ... aku tidak menyangka kalau Louisa punya banyak koneksi."

"Apa rahasianya sampai dia bisa menggaet Mr. Cross?" sambung Rachel.

"Come on girls, Louisa tidak semurah itu menerima tawaran dan ya ... memang kenapa kalau ada koneksi? Toh orang-orang menghubunginya karena tahu bakat gadis itu bukan karena komentar tak mendukung seperti kalian," balas Cory seraya melihat cat kuku neon miliknya. Menyiratkan Louisa untuk tetap diam daripada menyulut masalah. "Kukira padi makin berisi makin merunduk, ternyata aku salah besar," sindirnya lalu melambaikan tangan dan menarik Louisa meninggalkan si rubah. "Good luck!"

"Kukira mereka itu baik seperti yang ditampilkan di internet," bisik Louisa geleng-geleng. 

"No dear, kau tahu internet itu dunia penuh kepalsuan, Lou," kata Cory,"mereka sengaja berlagak seperti malaikat untuk mencari simpati. Aku juga tidak menyangka aktris papan atas seperti mereka ternyata menaruh dengki. Maka dari itu kau perlu menyaring siapa yang pantas menjadi temanmu atau bukan."

Daripada memikirkan hal yang tidak jelas, Cory memusatkan perhatian ke detail wajah Louisa ketika gadis itu tengah melafalkan adegan di mana Abby dipaksa menjadi seorang pelacur. Ekspresinya tampak menggebu-gebu mengetahui male lead bernama James akan menjualnya padahal di awal-awal cerita mereka adalah sepasang kekasih yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Louisa seakan-akan mewakili perempuan saat perasaannya tidak dihargai oleh pria. Cory menelengkan kepala, bertanya-tanya dalam hati apakah telah terjadi sesuatu antara gadis itu dengan Dean? Dia mengayunkan tangan bak terhanyut dalam kalimat-kalimat yang diucapkan Louisa, namun tersendat ketika gadis itu mendadak terdiam. 

"Kenapa kau diam?" tanya Cory mengerutkan kening. 

"Kenapa aku merasa si Abby ini terlalu lemah? Harusnya dia bisa pukul kepala James dengan botol bir selagi bisa atau membenturkannya ke piano," tutur Louisa. "Lelaki seperti James benar-benar manipulatif. Aku membencinya."

"Itu hanya konflik awal kan? Aku baca skripnya di belakang, Abby akan melawan si pianis dan berhasil membakar habis rumah bordil meski dia menderita luka bakar," balas Cory membolak-balikkan salinan skrip. "Sekarang coba lagi. Tadi kau sudah bagus tapi langsung buyar ketika kau membahas di luar naskah ini, Lou."

Louisa mengusap wajahnya sebentar lalu menunjuk Cory dengan mata melotot. "Diam kau, Bajingan! Ini tubuhku, James! Kau seharusnya tidak--"

"No ... no... ledakan emosimu kurang, Lou," potong Cory. "Sudah kubilang jangan memikirkan hal lain kecuali naskah ini. Ah, coba bayangkan kau sedang memaki Dean. Keluarkan umpatanmu padanya, Sayang."

Louisa mengangguk. "Hanya dia yang bisa membuatku marah. Kurasa."

"Dan membuatmu mencapai klimaks," goda Cory memunculkan semburat warna merah di wajah Louisa.

"Hei!" Gadis itu memukul dada Cory dengan gulungan kertas skrip akibat salah tingkah. Dia berdeham lalu mencoba menata kembali emosi yang sempat buyar untuk adegan kedua. "Diam kau, Bajingan! Kau tidak berhak atas tubuhku, James!"

"Bagus," lirih Cory mengoreksi dialog. 

"Apa! Kau pikir aku takut?" Louisa berkacak pinggang, memukul dadanya dengan mata memerah dan berkaca-kaca. "Aku tidak takut kematian kalau itu bisa melepaskanku dari siksaan ini! Ayo, bunuh aku, James! Bunuh! Bukankah ini yang kau inginkan setelah menjualku, huh!"

"Bravo! Good girl!" teriak Cory bertepuk tangan. "Nah begitu. Pertahankan cara bicara Abby seperti itu dan tetap bayangkan kau menghajar adik kecil Dean. Oh iya, sejak dari Milan, kulihat kau agak menjauh darinya. Ada apa?"

"Aku?" Louisa menunjuk dirinya sendiri. "Aku merasa perlu jaga jarak, Cory."

"Maksudmu?" firasat Cory ternyata benar, pantas saja semenjak tiba di Los Angeles dia merasa ada yang aneh atas sikap temannya itu.

"Banyak hal yang kontras di antara kami. Aku menyukai hari-hari bersamanya. Dia juga begitu. Tapi, ketika kami mulai membicarakan sesuatu yang serius, Dean selalu berkata kalau dia tidak mempercayai cinta dan berkata semua itu fucking bullshit!" jelas Louisa tersulut emosi. "Yang aku tak pahami adalah atas dasar apa dia sampai begitu? Aku memang baru di agensinya, tapi aku tidak bodoh untuk mencari latar belakang keluarga Cross yang sialan kaya dan harmonis itu, Cory. Tidak ada masalah yang membuat Dean punya rasa trauma kan?"

"Iya, benar."

"Dia sering membuatku marah tapi ketika aku ingin pergi, dia bilang, tunggulah sebentar lagi," ujar Louisa menirukan kalimat Dean. "Dia pikir aku ini apa? Pelacurnya? Ah! Sial, hidupku jadi mirip Abby."

"Hei, kau tidak sama dengan Abby. Kecuali ..." Cory menyipitkan mata menangkap gelagat lain yang tersirat di wajah gelisah Louisa. 

"Apa? Kenyataan bahwa aku mulai menyukainya?" timpal Louisa seperti tahu isi kepala sang manajer.

Tentu saja Cory melenggut mantap, memangnya apalagi? Kalau Louisa sampai menganalogikan kisah cintanya seperti Abby dan James maka benang merahnya adalah dia menyukai Dean sejak di Milan. 

"Kurasa ... tidak," lirih Louisa lesu. "Sudahlah, jangan bicarakan si bajingan itu lagi."

Bibir Cory terkatup masih menerka-nerka apa yang sebenarnya dipikirkan Dean tentang Louisa. Selana ini Cory tahu kalau CEO agensi Cross sering mencampakkan perempuan tanpa alasan kadang hanya beralasan bosan. Menyebutkan bahwa menjalin asmara dengan banyak wanita adalah hal yang tidak bisa dia lakukan di masa depan ketika usianya tak lagi muda. Kekanakan memang, tapi Cory meyakini satu hal dan merasa kalau hubungan Dean dan Louisa terjalin lebih lama dibanding wanita-wanita sebelumnya. 

Berdasarkan teori 'Siapa yang menjadi korban Dean' yang selama ini disematkan oleh orang-orang di internet bahkan dirinya sendiri, dua manusia yang berinteraksi hingga bercinta secara intens harusnya menimbulkan suatu percikan. Apalagi selama di Milan, Cory sengaja memberi ruang untuk Louisa dan Dean sekadar menguji seberapa lama gadis itu bertahan dengan si perayu ulung. Apakah ini sebuah kesalahan atau justru membuka teori baru? Dia memiringkan kepala, menerka-nerka apakah Dean punya ketertarikan selain lain?

"Kau yakin adik kecil Dean mengacung dengan gagah seperti cerita-cerita yang kudengar?" tanya Cory melupakan lanjutan dialog Last Dancing malah tertarik dengan cerita Louisa.

Yang ditanya mendecak seperti mengejek Cory yang pura-pura tak tahu. "Tanpa kujawab, kau paham, Cory."

"Apa dia seorang bi?" goda Cory. "Mungkin kita bisa berbagi."

"No! Absolutely not!" seru Louisa tak terima. "Ah, sudahlah. Kenapa kau malah membahas bajingan itu?"

"Tidak, Sayang. Jangan salah paham, aku hanya ingin menarik hipotesis tentang hubunganmu dan dia. Pertama, bagaimana denganmu, Lou? Maksudku, kalian nyaris tak terpisahkan saat di Milan. Apa tidak ada--"

"Ada," sela Louisa menundukkan kepala tak berani memandang wajah Cory jika disinggung masalah perasaan yang sudah beberapa hari ini dipendam. Gelenyar aneh yang bermunculan dan meninggalkan butterfly effect tiap mengingat momen-momen bersama Dean di Milan. Di Duomo, Navgili, katedral, hingga menyematkan gembok cinta di jembatan Ponte Milvio seperti dalam adegan film I want You. Saat membisu seperti ini, dia masih bisa merasakan kehadiran Dean ada di dekatnya, memunculkan benih-benih rindu yang tadinya ingin dihapus dari benak Louisa.

"Tapi terpaksa padam saat tahu Dean tidak bisa menerimanya, Cory. Aku merasakan getaran itu, tapi ... Aku memilih diam dan melakukan cara lain untuk memancingnya, Cory," sambung Louisa akhirnya memberanikan diri menatap manajernya. Mengulum seulas senyum tipis dibalik matanya yang berkaca-kaca.

"Serius? Apa?" Cory membeliakkan bola mata kembali dirundung penasaran. 

"Melanggar aturannya." Louisa tersenyum penuh arti.

###

Tiba giliran Louisa menunjukkan skill sandiwara di depan tim casting yang dihadiri langsung oleh Christine dan disambut senyum sehangat mentari. Kaka Dean yang katanya seperti nenek sihir itu nyatanya berlaku baik kepada Louisa dan memberi dukungan penuh kalau dia bakal bisa memerankan karakter Abby. Louisa senang bukan main, hatinya langsung berbunga-bunga menerima sentuhan positif dari produser sekelas Christine walau ada tatapan tak menyenangkan yang dilontarkan rivalnya, Rachel dan Jean. Louisa tidak peduli dan memilih menunjukkan bakat agar bisa membungkam mulut mereka yang meragukan kemampuannya. 

Bersama seorang lelaki berperawakan tinggi besar dengan rahang tegas yang membingkai wajah juga sorot mata dalam di balik iris amber, Louisa mengucapkan dialog-dialog Abby penuh penghayatan. Terutama ketika juri memintanya menampilkan adegan di mana Abby merasa dikhianati kekasihnya sendiri, disuruh menjadi pemuas nafsu lelaki setelah menunjukkan gerakan balet di atas sepatu pointe

Semua yang ada di sana terpukau dengan detail gerakan yang ditunjukkan Louisa begitu lincah mengikuti irama musik swan lake. Seolah-olah bukan Louisa Bahr yang mereka lihat, melainkan Abby McMilan versi nyata yang tengah dilema akibat cinta tulus dihancurkan begitu saja oleh sang kekasih. Dalam skrip, Abby selalu melampiaskan kesedihan melalui tarian hingga jempol kakinya terasa nyeri kemudian menangis tersedu-sedu memaki betapa tak beruntungnya dia. 

Tanpa mereka tahu, ada kemiripan yang dirasakan Louisa dan karakter Abby. Sama-sama memendam rasa kepada pria yang tidak mempercayai cinta dan komitmen sama seperti Dean, hanya saja alasan dasar tokoh James sudah kentara di pertengahan cerita. James seorang manipulatif yang hanya memanfaatkan Abby untuk kesenangan semata. Sementara Dean? Bahkan Louisa yang sudah menghabiskan banyak waktu bersama lelaki itu saja tidak bisa membuka lapisan demi lapisan di kepalanya. Apakah Dean juga memiliki motif yang sama dengan James?

Ketika menari dan berputar dengan satu kaki yang bertumpu pada jempol, Louisa membayangkan Dean mengajaknya berdansa seperti saat mereka di Milan. Sehingga ketika juri meminta lelaki di depannya menari, Louisa terbawa perasaan dan semakin lincah dilanjut meregangkan kaki seperti melompati batu terjalsebelum pasangannya menahan punggung Louisa dengan tangan kanan. Mereka saling tatap dan sesuai naskah akan ada ciuman yang manis dan dalam.

Dia memiringkan kepala nyaris menempelkan bibir kalau tidak ada bel berbunyi di tempat itu. Louisa melepas pelukan dengan canggung lantas meminta maaf.

"Tidak masalah," ucap lelaki itu. 

"Bagus sekali!" puji Christine yang dibalas anggukan sutradara dan penulis skrip. "Chemistry kalian begitu bagus padahal baru pertama kali bertemu. Aku menyukaimu, Ms. Bahr! Kau sungguh menakjubkan!"

Louisa membungkuk sambil tersenyum bahagia lantas mengacungkan jempol ke arah Cory yang bertepuk tangan atas umpan balik yang diterima. Tim casting menyilakan Louisa dan lelaki yang bersamanya tadi meninggalkan panggung lalu memungut tas juga jaket denim di sudut area pertunjukan. Lelaki di sampingnya berpaling lalu mengulurkan sebelah tangan kanan tuk memperkenalkan diri, 

"Theo Fillan."

"Ah, Louisa Bahr," tandas Louisa menerima jabatan tangan itu. 

"Aku harap kau bisa diterima, Ms. Bahr," kata Theo.

"Kau juga," balas Louisa menghampiri Cory yang menyodorkan sebotol air mineral. "Ini manajerku, Cory Conley," tunjuknya mengenalkan Cory kepada Theo.

"Akting kalian bagus. Benar-benar luar biasa," ujar Cory kembali bertepuk tangan. "Semoga peran itu jatuh di tanganmu, Lou."

"Eng... Ada waktu?" tanya Theo sebelum Louisa menanggapi kalimat Cory. "Maukah kau pergi ke bar malam ini? Sekadar melepas penat setelah casting?"

Beberapa saat Louisa melempar isyarat kepada Cory bahwa inilah yang dia maksud dengan melanggar aturan Dean. Dia mengiyakan seraya tersenyum lebar menyebut nama bar yang cukup bagus untuk duduk sekadar menghabiskan malam bersama sebagai teman baru. 

Sekarang kita lihat sejauh mana kau bisa melarangku, Dean.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro