Chapter 20 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selagi di Milan dan mendapatkan keuntungan dari menjadi kekasih Dean, setidaknya itu yang bisa dia katakan setelah kemarin menyelesaikan masalah mereka. Tentu awalnya perdebatan hingga nyaris memutus urat nadi, berdebat tentang batas-batas yang tidak boleh dilewati mereka. Louisa merasa dirinya benar, kalau setiap hubungan sekecil apa pun haruslah ada kepercayaan meski kisah mereka sebatas saling memuaskan di atas ranjang. Awalnya Dean mengelak tegas, mengancam akan mencoreng nama baik Louisa. 

Tentu saja gadis itu tak mengenal rasa takut, malah menantang balik apakah Dean bisa menjatuhkan nama karena dia bisa membalikkan keadaan dan mengatakan kepada media bahwa agensi tidak memberikan jaminan perlindungan seperti di kontrak kerja. Merasa kalah telak, Dean hanya bisa mengucapkan kalimat, 

"Aku butuh waktu, Lou. Kau tidak akan mengerti."

"Tidak sampai kau mau menceritakannya padaku," tandas Louisa melipat tangan di dada. Masih saja tak menyerah sampai mendapat jawabannya.

Dean menggeram pelan, menarik tubuh Louisa untuk membungkam mulut penuh tuntutan itu dengan mulutnya. Louisa berusaha melepaskan diri, namun dean menahan tengkuk Louisa untuk tetap di sana selagi dia menyesap lidah yang selalu melawan tiap perkataannya. Dean menggigit bibir bawah Louisa, ketika gadis itu terlena dalam cumbuan dan membalas ciuman itu lebih liar bak singa kelaparan. Permasalahan tadi menguap tanpa jejak berganti kebutuhan yang harus diselesaikan saat ini juga. Melempar begitu saja satu persatu pakaian tanpa memedulikan di mana letaknya. 

Napas mereka beradu, saling mengunci tatapan bahwa di sana hanyalah hasrat yang terlanjur terbakar bersamaan peluh keringat membanjiri kening. Louisa menyentuh dada Dean, merasakan detak jantung lelaki itu berdebar kencang seperti miliknya. Seakan-akan mereka disatukan oleh sesuatu yang tidak bisa dipisahkan sekalipun saling melempar umpatan. Dean mengangkat tubuh Louisa, meremas bokong sintal itu dan menyesap ceruk leher bagai menemukan mata air. Louisa menundukkan wajah, mencumbu Dean ketika membawanya masuk ke dalam kamar.

Dan sekarang, Louisa pergi ke Quadrilatero d'Oro atau segitiga emas yang merupakan tempat belanja termewah selain Pourta Nouva, Cinque Vie, hingga Galleria Vittorio Emanuele II dekat teater La Scala. Lokasi segitiga emas ini berada jantung kota Milan yang menghubungkan empat jalan utama mulai dari Duomo, Monte Napoleone, Manzoni, Della Spiga sampai Corso Venezia. Semua rusuk-rusuk jalan itu akan selalu padat dikunjungi pelancong yang ingin menghamburkan uang untuk membeli barang mahal. 

Semua bangunan tersebut memiliki kelebihan masing-masing mulai dari arsitektur neoklasik yang glamor mencerminkan betapa hebatnya era Romawi, brand yang ditawarkan, sampai event tertentu diselenggarakan. Berbekal black card sebagai tanda penyesalan Dean walau belum ada kata minta maaf terucap, kecuali janji kalau Dean akan memberitahu Louisa suatu hari nanti. Gadis itu memborong barang-barang yang diinginkan dan bersumpah untuk menyenangkan hatinya dari toko satu ke toko lain. Mungkin menguras separuh isi kartu ajaib milik Dean, pikirnya. 

Kali ini dia ditemani Cory dan bakal bertemu Dean sekitar pukul empat sore nanti untuk makan malam berdua. Dean berkata bahwa dirinya ingin memberi ruang bagi Louisa agar tidak ada ketegangan di antara mereka masalah pendapat. Selain itu membiarkannya untuk bersenang-senang alih-alih marah tanpa alasan. Louisa setuju karena berada di dekat Dean rasanya tertarik ke dua sisi dalam waktu bersamaan, hasrat dan amarah membelenggu dan mencekik leher. Louisa sampai tidak pernah bisa berpikir jernih, setiap kali berdebat dengan Dean akan selalu berakhir di ranjang. 

"Hanya di ranjang kita bisa berdamai, Lou," ucap Dean.

Mengenakan setelan kasual nan stylish, Louisa berjalan sambil berfoto memamerkan hasil belanjaannya dari Gucci, Valentino, dan Giorgino Armani ke media sosial. Dia juga memotret heels beragam model dan merek mahal lalu menulis caption 'Thanks for treating me like a queen'. Selain itu, Louisa tak lupa membeli setelan berwarna cerah untuk Dean yang bisa dipakai ketika lelaki itu kerja. Sebuah jas dan celana pipa berwarna biru senada dengan iris mata Dean yang menggoda. Ditambah sebuah jam tangan yang cocok digunakan untuk lelaki dominan seperti penguasa agensi Cross. 

"Aku tidak tahu kalau kau bisa hafal ukuran tubuh Dean," komentar Cory, "pasti banyak yang terlewat di sini kan?"

Louisa tengah bercermin usai mencoba sebuah anting-anting emas berhias batu permata blue topaz yang konon katanya bisa memancarkan energi positif sang pemilik. Dia menyingkirkan untaian rambut ke belakang telinga agar penampakan perhiasan itu makin jelas lalu berpaling ke arah Cory sambil melebarkan senyuman. "Bagaimana?"

"Amazing. Cocok dipadu bersama gaunmu yang kemarin," puji Cory. "Aku melewatkan banyak hal kan?"

"Tidak, Cory. Hanya tanda terima kasih saja aku membelikannya pakaian. Lagi pula pakaian itu tidak dibeli dengan uangku," ucap Louisa melepas anting-antingnya. "Aku ambil ini dan cincin yang warnanya sama. Ah, tolong kacamata yang di sana juga yang warna hitam."

"Wow, kau benar-benar mengurasnya, Lou," ledek Cory geleng-geleng kepala.

"Kau mau juga? Belilah untuk self reward-mu, nanti aku yang membayar," tawar Louisa membuat Cory terbahak-bahak. "Aku serius, Cory. Kau manajerku sekaligus sahabatku selama di sini, oke. Ambillah yang kau suka, tidak perlu kusuruh baru kau membelinya, Sayang."

"As you wish, Sayang," ucap Cory menunjuk sebuah kalung rantai.

"Kacamata juga. Kau kan suka koleksi kacamata, mumpung kita di Pomellato beli yang kau suka, Cory," kata Louisa mengingatkan seraya menerima sebuah kacamata bentuk persegi besar yang dihias Swarovski di ganggang yang dibentuk seperti kepang. "Damn! Ini bagus! Aku ambil ini dua bersama temanku."

"Shit! Kau memang bajingan seksi, Lou," cibir Cory mengenakan kacamata yang tadi dikenakan Louisa. 

"I am."

### 

Dean berdiri dari kursinya begitu menangkap sosok Louisa dalam balutan rok mini kotak-kotak hitam dan abu-abu dengan atasan hitam yang menunjukkan bahu terbuka hingga tulang selangkanya bisa menjadi tempat ternyaman untuk mendaratkan kecupan. Tatapan lelaki itu turun ke arah kaki jenjang Louisa yang untungnya tertutup stoking hitam serta ankle boots senada. Sial, batin Dean mengagumi bahwa Louisa selalu bisa merayu sisi liarnya untuk mendamba gadis itu lagi dan lagi. Dia menyunggingkan seulas senyum tipis dan mata berkilat manakala Louisa mendekat menguarkan parfum manis yang terendus di hidung. 

"Hei, Babe. Mi manchi!" sapa Dean memberi ciuman di bibir Louisa lalu turun ke bahu telanjang gadis itu. "Kau sepertinya menikmati black card milikku."

(Aku merindukanmu)

"Jelas. Kau yang menawariku sebagai ucapan maafmu, Mr. Cross," protes Louisa mendudukkan diri setelah Dean menarik kursi untuknya. 

Beberapa saat dia mengedarkan pandangan melihat dekorasi restoran da Vic yang terkesan hangat, romantis, dan nyaman. Dinding-dinding batu bata dan perabotan berpelitur cokelat mengilap diterpa temaram lampu menciptakan suasana yang benar-benar bisa membuat seseorang merasakan kembali pulang ke rumah dengan masakan ibu yang selalu juara di lidah. Meja-meja dipenuhi mereka yang menikmati masakan laut khas Mediterania dengan sentuhan eksklusif dan imajinatif dari chef di dapur. 

"Tempat yang bagus, Dean. Apa kau lama menungguku?" sambung Louisa. 

"Tidak. Aku baru saja datang," kata Dean mendaratkan pantat di kursi di depan Louisa. Mengangkat sebelah tangan untuk memanggil pelayan. "Bagaimana harimu?"

"Perfect! Kau?"

"Sama. Ada yang memberi penawaran di agensiku untuk produk mereka. Kesempatan tak terjadi dua kali, jadi aku mengambilnya dan mengabari asistenku untuk menjadwalkan pertemuan bersama kandidat yang kiranya pantas untuk menjadi model L'amore, termasuk dirimu," jelas Dean menunjuk Louisa. 

Tak lama seorang pelayan bertubuh tinggi datang dan memberikan sebuah buku menu bersampul cokelat menghentikan percakapan dua manusia tersebut. Louisa membaca cepat deret makanan dan minuman yang ditawarkan kemudian dia berkata, 

"Aku pesan la gricia e il mare."

"Lo prendo il pescato, la gricia e il mare, il carosello dei golosi," kata Dean. "Dan dua gelas white wine. Grazie."

(Saya ingin pesan il pescato, la gricia e il mare, il carosello dei golosi )

(Terima kasih)

Louisa terbungkam beberapa saat tidak menyangka Dean akan merekomendasikannya dengan perusahaan lain untuk memasarkan produk mereka. Apalagi brand L'amore merupakan merk terkenal yang bergelut dalam industri perhiasan bertema vintage klasik sejak tahun 1900-an. Rasanya hal tersebut seperti mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan. Dia begitu ingin mengambil penawaran tersebut tapi disadarkan kalau dia masih menjadi bagian dari Ellie. Louisa ragu dianggap rakus karena menginginkan popularitas semata tanpa memperhitungkan adanya konflik antar perusahaan yang bisa saja terjadi. 

Setelah pelayan berkepala botak itu pergi barulah Dean melanjutkan kalimatnya yang tertunda. "Itu kesempatan bagus untukmu, Babe."

"Aku masih menjadi BA Ellie, mereka pasti tidak setuju jika aku menjadi BA brand lain, Dean. Bukannya menolak, hanya saja aku takut terlalu orang-orang menganggapku terlalu serakah."

"Serakah dan ambisi itu beda, Lou. Kau sudah berada di titik puncak di mana orang bisa melihatmu bersinar."

"Tapi, keputusan kembali padamu. Aku hanya merekomendasikannya kepada mereka," tandas Dean. "Apa ini artinya kita baikan lagi?"

"Tanpa kau menyadari betapa egoisnya dirimu?" ketus Louisa bersandar ke kursi. "Aku masih tidak menerima permohonanmu kalau kau menyodorkan black card saja."

"Ck, wanita ... kalian terlalu..."

"Berbelit-belit? Itulah kami dan sayangnya kalian selalu mengejar kami untuk kenikmatan sesaat kemudian membuang tanpa memikirkan perasaan," tandas Louisa mulai tersulut emosi. "Ah iya, untuk galerimu yang sudah kujamahi ... aku tak akan meminta maaf, Dean. Kau sendiri yang mengizinkanku masuk dan kita bercinta hebat di sana."

"Jangan memulai pertengkaran," kata Dean memperingatkan. Sorot iris biru samudranya mendadak menggelap seakan-akan tak terima jika galeri yang seharusnya hanya diketahui Dean seorang kini tercemar oleh kehadiran Louisa. "Aku memang menikmatinya, hanya saja ... itu batas privasi antara aku dan kehidupan kita, Lou."

"Aku tidak akan mengerti sampai kau menjelaskannya padaku, Dean." suara Louisa terdengar lirih nyaris menuju puncak frustrasi mengapa sisi gelap Dean tidak pernah bisa dia sentuh. Apa yang terjadi pada lelaki itu di masa lalu?

"Sudah kubilang bukan, akan ada saatnya, Lou. Tidak sekarang," jawab Dean menyentuh tangan Louisa. "Aku hanya ingin kita tidak berdebat dan menikmati malam ini sebelum kembali ke LA. Bisakah?" Dia menatap dengan pandangan memohon lalu mencium tangan Louisa dengan penuh kasih sayang. 

Louisa menyengguk pelan walau dalam hati dia masih bertanya-tanya apakah bisa menahan diri untuk tidak menyulut pertengkaran di saat lelaki di depannya ini memiliki ratusan lapisan berisi rahasia. 

###

Puas memanjakan lidah dengan hidangan laut yang terasa mewah dan kaya akan cita rasa olahan chef da Vic. Dean mengajak Louisa untuk bersepeda mengelilingi monumen kota, Arco della Pace di tepi taman Sempione yang membentang begitu menawan. Cuaca di malam hari sangat cerah manakala di atas langit bertabur gemintang yang berkelap-kelip sedangkan bulan tak malu-malu untuk menunjukkan pesonanya. Sungguh momen romantis yang wajib direkam bahwa hal seperti ini mungkin tidak akan terjadi untuk kedua kali. 

Kaki Dean mengayuh perlahan dan merentangkan sebelah tangan seakan ingin meraih gadis itu agar tidak jauh darinya. Sementara Louisa malah mempercepat laju sepeda sambil menjulurkan lidah ke arah Dean tanpa rasa takut terjatuh. Semburat merah di pipi terlihat jelas di wajah Louisa, seolah-olah gadis itu melepas sejenak sematan seorang bintang film di pundak. Dia hanyalah manusia yang sedang menikmati masa muda dengan segala kehidupan bebas yang belum tersentuh semuanya. 

"Lou, tunggu aku!" teriak Dean.

Mereka berhenti di beberapa spot untuk foto bersama dan tidak sungkan memberikan cumbuan panas serta rayuan yang menggetarkan hasrat. Dean menarik Louisa, menangkup wajah mungil gadis itu dan memagut bibir manis yang suka mengajaknya berdebat. Bagai sejoli yang dimabuk asmara tentu saja Louisa menerima ciuman dalam penuh tuntutan sampai bisa merasakan betapa Dean benar-benar menginginkannya di sini. Dean memberi kecupan dan gigitan kecil di leher jenjangnya meninggalkan jejak kemerahan yang samar bahwa itu adalah miliknya, teritorialnya. 

"Aku tidak sabar menghabiskan malam bersamamu di atas ranjang, Lou," bisik Dean membangunkan bulu roma di tubuh Louisa. "Mendengar suaramu meneriakkan namaku."

"Dan membuatmu berada di dalam tubuhku, Dean. Menggapai puncak bersama. Aku menantikannya," balas Louisa tak kalah sensual mengecup bulu-bulu janggut di sepanjang rahang tegang Dean. 

"Haruskah kita kembali sekarang? Kau membuatku bergairah, Sayang," pinta Dean terdengar seperti sebuah perintah. 

"Tidak sampai kita selesai berkeliling. Banyak tempat yang ingin kukunjungi," tukas Louisa menjauhi Dean dan kembali menaiki sepeda. "Come on, Bunny!"

Dean terkekeh, mengusap wajah untuk menurunkan bara api yang sudah membakar separuh jiwanya. Sialan, Louisa benar-benar ahli menyulut sisi liar Dean yang tadinya terlelap. Mereka melanjutkan tur sepeda itu ke sebuah gereja Santa Maria delle Grazie di mana tempat perjamuan terakhir Leonardo da Vinci juga lukisan The Last Supper yang menakjubkan. Louisa memutuskan untuk turun sebentar dan masuk ke dalam gereja sekadar menyapa Tuhan yang sudah lama dirindukannya. Dia memang bukan orang yang taat, tapi semenjak mendapatkan banyak keberuntungan, rasanya Louisa bakal menjadi manusia tak tahu diri jika tidak menyambangi Sang Pencipta. 

Begitu masuk, dia disambut oleh langit-langit yang menjulang tinggi dan pilar-pilar kokoh yang sudah berdiri sejak abada15 meski ada beberapa bagian yang katanya hancur akibat perang dunia kedua. Bangku-bangku cokelat tempat jemaat duduk dan bermunajat tampak diisi beberapa pengunjung, entah sekadar melihat-lihat atau memang mengadu kepada semesta atas masalah yang melanda. 

Louisa mendudukkan diri di salah satu bangku, memandang lurus ke arah tanda salib bercat keemasan yang terukir besar di belakang mimbar. "Apa yang paling kau takuti dalam hidupmu, Dean?" tanya Louisa merasakan Dean meliriknya dalam diam. "Aku ... aku takut ketika jatuh cinta lagi, seseorang akan menancapkan pedang lebih dalam."

"Maka jangan jatuh cinta, Lou," jawab Dean santai. "Walau Tuhan memberikan anugerah perasaan murni itu, sering kali manusia mengingkarinya dengan alasan rasa bosan. Berpura-pura melupakan apa yang sudah terjadi padahal dia hanya terlena dengan cinta sesaat."

"Jadi, kau pernah patah hati?" terka Louisa berusaha membaca lapisan demi lapisan tatapan mata Dena yang begitu menyimpan banyak rahasia. 

Wajah datar Dean tidak menunjukkan reaksi apa-apa kecuali garis rapat di bibir dan rahangnya yang mengetat. Dia menggeleng pelan lalu melipat tangan di dada. "Tidak."

"Apa kau pernah jatuh cinta? Setidaknya pada satu wanita?" Louisa menoleh ke arah Dean karena dilanda penasaran siapa yang pernah berhasil mendiami hati lelaki itu. 

"Tidak dan tidak pernah, Lou. Bagiku ... mereka hanya orang-orang yang bakal datang dan pergi tanpa mau tinggal lebih lama. Sementara aku seseorang yang tidak ingin berdiam pada satu tempat saja, Lou. Berpetualang. Aku lebih suka kehidupan bebas tanpa terikat dengan hubungan mencekik," tandas Dean yang justru merobek hati Louisa. 

Bibir Louisa terbungkam padahal isi kepalanya terasa penuh akibat pernyataan Dean yang terasa menyakitkan hati. Entah kenapa dia merasa dipermainkan oleh hubungan yang ditawarkan Dean padanya. Sementara hari-hari yang mereka jalani tidak serta merta hanya kontak fisik bahkan lebih dari itu. Hasrat menggebu, perdebatan, tawa, hingga amarah yang pernah menguasai apakah benar-benar tidak berarti di mata Dean?

Atau hanya akulah yang merasakan pergolakan batin ini?

Pasti ada alasan mendasar mengapa Dean berani berbicara seperti itu. Louisa hanya perlu bertahan dan mencari celah untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Jikalau memang Dean memang seorang bajingan, Louisa bersiap meruntuhkan harapan yang sempat digantungkan bahwa dia mulai terlena dengan lelaki di sampingnya. 

Perlakuan manisnya...

"Kau bisa mengatakan hal itu, Dean, tapi ketika kau menyadari bahwa orang yang menyayangimu pergi, kau akan menyesal seumur hidupmu," tukas Louisa sarat dengan ancaman mendalam. 

Baca lebih cepat di Karyakarsa ya. Di sana udah tamat + 4 ekstra part.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro