Chapter 26 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Serius?" Cory melontarkan ekspresi terkejut manakala mendengar cerita Louisa. Kemudian tergelak seraya melingkarkan jemari kanan ke kaki gelas koktail, menyesap pelan merasakan kombinasi vodka dan jus cranberry yang manis. Dia memiringkan kepala lalu berkomentar, "Dasar bajingan seksi yang aneh. Kupikir dia benar-benar ingin berpisah denganmu."

Louisa menjentikkan jari, menyandarkan punggung ke sofa bar ketika sorot matanya beralih ke sosok pria pirang yang berjalan mendekat dan melempar senyum lebar. Louisa mengangkat tangan membuat Cory berpaling. "Aku perlu menarik ulur hati Dean, seperti dia melakukannya padaku."

"Hei, girl," sapa Theo. "Hei, Cory."

"Hei, pirang," balas Louisa begitu Theo duduk di sisi kiri dan memberikan pelukan hangat seorang teman. "Kau belum memberiku kabar, Theo. Apa kau lolos?"

Theo terdiam beberapa saat lalu berseru, "Yeah! I did it!"

"Fuck man ... kalian akan jadi pasangan serasi," puji Cory tidak menyangka bahwa juri akan memilih lelaki itu. Walau sejujurnya kemampuan akting Theo masih dirasa kurang mendalami peran James. "Dalam film maksudku," ralatnya sambil menepuk pelan mulutnya. 

"Congrats! Kupikir kau sengaja tidak membalas pesanku karena tidak lolos. Aku tadinya kecewa," ujar Louisa melengkungkan bibir. "Jadi, siapa yang memerankan Adam?"

"Aku belum tahu," kata Theo lalu mengacungkan tangan kanan tuk memanggil pelayan. "Tapi, aku mendengar gosip kalau pemeran Adam adalah pria berbakat dari Washington."

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya pelayan berambut cepak. 

"Pilihkan minuman rekomendasi hari ini untuk kedua temanku dan camilan terbaik kalian," ucap Theo. "Kali ini aku ingin menraktir kalian," tambahnya memandang Louisa.

"Baik, tunggu sebentar."

"Jadi, bagaimana kabarmu?" tanya Theo menyilangkan kaki. "Kulihat wajahmu lebih ceria daripada terakhir kita bertemu."

Sebelum Louisa menjawab pertanyaan Theo, mendadak Dean muncul dengan setelan santai yang begitu menggiurkan. Kemeja putih yang bagian lengan digulung sampai batas siku, kancingnya dibiarkan terbuka menampakkan kalung emas dengan liontin kecil dan bulu-bulu dada yang mengintip dari sana. Sementara rambut cokelat tembaga Dean dibiarkan berantakan seperti ingin membaur dengan kehidupan malam bukan sebagai pria penguasa perusahaan besar, melainkan pria perayu yang ingin mengambil hati Louisa. 

Untuk beberapa saat Louisa tertegun, nyaris lupa bagaimana caranya bernapas jikalau tubuh menggoda Dean ada di hadapannya. Auro dominan lelaki itu langsung terasa menembus pori-pori kulit, memberikan sengatan listrik hingga ke ylang ekor. Menyakitkan tapi memabukkan. Manalagi tatapan dalam nan tajam itu menyiratkan bahwa Dean tidak akan pernah menyerah walaupun mereka bertengkar-putus-nyambung-bertengkar lagi. 

"Mr. Cross," sapa Cory dengan nada datar entah harus menyambut pria bermulut manis itu atau mengusirnya pelan. 

Ini bukan pestanya, kenapa dia bisa tahu Louisa di sini?

"Hai, Babe? Merindukanku?" tanya Dean mengabaikan pandangan dua lelaki yang merasa tak nyaman atas kehadirannya. "Dan kau ..."

"Theo Fillan," ucap Theo buru-buru berdiri dan menjabat tangan Dean.

"Kau masih punya harga diri setelah meniduri kekasihku, Mr. Fillan?" sindir Dean tiba-tiba membuat suasana mendadak tegang. Lantas dia terkekeh sambil mengusap wajah menangkap gelagat gelisah Theo. 

"Jangan membuat kekacauan, Dean," sela Louisa. "Duduklah, Theo."

Dean terdiam, namun bola matanya tidak lepas dari Theo yang kembali ke posisinya. Sementara Dean bergerak mendekat dan duduk di sisi kanan Louisa dengan senyum menawan penuh kerinduan. Tanpa sungkan, dia memberikan pagutan mesra  tanpa sempat dihindari, kemudian membelai bibir bawah Louisa seraya berbisik, "Aku cemburu, jujur saja."

"Kami hanya berteman, Dean, kau sendiri yang menyuruhku--"

"Aku sudah minta maaf padamu," potong Dean seolah-olah penyesalannya tidak berarti di mata Louisa. "Bahkan sekarang pun aku juga memaafkanmu karena mengundang pria itu. Aku tidak ingin berpisah darimu lagi."

Cory yang mendengar bualan Dean hanya bisa memutar bola mata, walau bisa menerka hubungan yang dijalaninya bersama Louisa tidak akan pernah seindah bayangan orang-orang. Bahkan dia mulai muak melihat Dean yang telah menyakiti Louisa lalu menghampiri seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Apakah otaknya sedang mengalami korsleting hingga Dean mengalami fase amnesia sementara? Atau justru pola kencan yang selama ini Dean lakukan mulai berubah?

"Ehm ... kurasa aku harus pergi," sahut Theo merasa tidak nyaman. "Aku akan membayar minuman yang tadi kupesan."

"Ya, pergilah. Kekasihku tidak membutuhkanmu lagi," sahut Dean tampak kekanakan.

"Aku menyusulnya," tandas Cory merasa tak enak hati dengan perubahan suasana hati Theo. "Kalian berdua bicaralah baik-baik."

Begitu Theo dan Cory menjauh dan menyisakan Louisa di ruang VIP, Louisa langsung bergerak menjauh dan berseru, "Kau gila!"

"Apa? Aku sudah bilang aku cemburu, tidakkah itu jelas di matamu, Lou?"

"What do you want, Dean? Aku tidak bisa memahami pikirnamu," ketus Louisa. "Theo adalah temanku dan kami lebih suka berbincang daripada kau hadir di tengah-tengah lalu merusak suasana. Kau pikir kau ini siapa?"

Dean menarik Louisa mendekat padanya, mengunci iris cokelat yang terkena pantulan cahaya warna-warni dari area dansa. Menggenggam tangan lembut itu untuk diletakkan di dadanya yang berdebar-debar tuk menunjukkan betapa Dean resah setiap kali Louisa didekati pria selain dirinya. Lelaki mana yang bakal tahan melihat wanitanya berbagi senyum menawan yang seharusnya hanya bisa dinikmati Dean seorang. 

Selanjutnya, Dean mengecup pelan punggung tangan Louisa sekadar meredam amarah yang bakal meledak dari dalam diri gadis itu. Dia sudah lelah jika beradu debat dengan Louisa dan ingin menikmati malam penuh gairah seperti sebelum-sebelumnya. Memecah kerinduan yang membelenggu dan begitu menyesakkan jiwa. 

"Kau milikku, Louisa. Selamanya milikku," ujar Dean lirih namun terdengar jelas di telinga Louisa. "Aku tidak ingin kau berbagi kenyamanan dengan pria itu lagi."

"Kau cemburu?"

"Kau tahu." Dean menempelkan keningnya ke kening Louisa. "Aku ... hampa tanpamu."

Louisa memejamkan mata, merasakan embusan napas Dean yang hangat membelai pipinya. Bagai menyelimuti tubuh yang menggigil di tengah badai. Dia menggigit bibir bawah, menahan desakan untuk tidak menerjang lelaki itu dengan ciuman kasar penuh tuntutan, menyuruh Dean untuk mempertanggung jawabkan karena hanya dialah yang membuat Lousia dimabuk asmara dalam diam. Bahkan ingin sekali Louisa membaurkan wangi tubuhnya dengan Dean, bergumul dalam satu kenikmatan yang tidak pernah bisa orang lain mengerti. Namun ... sesaat dia meragu, apakah ini jebakan atau memang ketulusan yang dipancarkan Dean. Cara dia memandang, semua kata-katanya nyaris berhasil mendobrak dinding pertahanan Louisa bahkan ketika menyentuh dadanya. Louisa bisa merasakan debaran jantung yang bertalu-talu bagai menemukan medan magnet besar yang menariknya ke dalam black hole

Dan medan magnet itu adalah mereka sendiri. 

"Tapi, kemarin kau menyakitiku, Dean," ujar Louisa membuka mata manakala lapisan kenangan pahit ketika Dean menorehkan luka padanya menyerbu tanpa permisi. Hari-hari ketika Louisa menangis dan memaki Dean yang enggan membuka diri dan menganggap hubungan ini sebatas permainan ranjang. Hingga sekarang pun rasa sakitnya masih belum hilang sekalipun Dean telah mengucapkan ribuan kata maaf. "Dan itu sakit sekali."

Dean menangkup wajah Louisa, mengirimkan ciuman lembut tuk mencurahkan bahwa dirinya benar-benar menyesal. Tidak mudah baginya untuk berbagi masa lalu, membocorkan luka batin yang belum kering walau sudah enam tahun berlalu, bahkan ... Dean tidak ingin orang-orang melihatnya sebagai pria pecundang yang tidak bisa mempertahankan seorang wanita. 

Louisa melenguh saat Dean bermain-main di mulutnya, mencecap dan mengisap lidahnya seakan-akan menemukan hal termanis di dunia. Hingga tanpa sadar melingkarkan lengan ke leher lelaki itu seraya memindahkan diri ke pangkuan. Merasakan diri Dean begitu menginginkan sebesar Louisa memujanya. Dia mendongakkan kepala manakala kecupan-kecupan Dean beralih ke leher jenjang Louisa, memberi jejak samar di sana lalu bertemu tatap dan berkata, "Izinkanlah aku membuka semuanya untukmu, Lou. Agar kau mengerti mengapa aku melakukan itu kepadamu."

Louisa mengusap wajah Dean yang terlihat memelas, menundukkan kepala untuk memberi ciuman lembut di dahi merasa bahwa saat ini yang dia hadapi bukanlah Dean si perayu ulung, melainkan pria malang yang berusaha berkata jujur atas masa lalu penuh kepedihan. 

"Tanpa rahasia?" Louisa meminta ketegasan.

"No more secrets between us."

###

Louisa : Aku ke rumah Dean.

Louisa : Mungkin menginap.

Louisa : Banyak hal yang harus kami bicarakan, Cory. 

Cory : Ingatkan dia untuk tidak mengecewakanmu lagi, Lou.

Sebelah tangan Louisa diraih Dean saat gadis itu membalas pesan teks dari Cory di mana Theo sempat tak enak hati sudah hadir di tengah-tengah hubungan mereka yang renggang. Meski tidak menampik malam-malam penuh gairah itu, Theo merasa sungkan mengucapkan selama tinggal kepada Louisa sehingga menitipkan salam kepada Cory. 

"Bisakah kau simpan ponselmu, Lou?" pinta Dean sembari menyetir juga memegang jari-jari lentik gadisnya. "Kau seperti menduakan aku dengan dunia lain."

"Dasar tukang cemburu!" ledek Louisa menjulurkan lidah.

"Jangan tunjukkan lidah indahmu padaku," ancam Dean mengerlingkan mata. "Kau tahu kalau setiap inci yang ada pada dirimu membuatku gila."

"Jangan merayuku di saat kau belum memenuhi janjimu, Dean," ujar Louisa saat mobil memasuki area Beverly Hills. 

Lampu-lampu jalanan berjajar bagai penjaga yang menyambut Audi milik Dean, sementara pohon-pohon kelapa melambai-lambai bak menyanyikan lagu cinta bahwa ada sejoli yang kembali merajut asmara setelah perpisahan. Belum lagi mobil-mobil mewah tampak lalu lalang, entah akan bepergian untuk menghabiskan sisa hari atau sekadar singgah. Dean membelokkan kemudi ke kanan ketika pagar tinggi secara otomatis terbuka dan disambut hunian nyaman di mana hanya Louisa seorang yang menginjakkan kaki di sini. 

Begitu mesin mobil berhenti, Dean berpaling dan mengecup punggung tangan Louisa sambil berkata, "Pertama, aku pernah jatuh cinta dan kami ... memimpikan sebuah rumah besar seperti yang kau lihat sekarang, Lou."

What?

Louisa menganga, menyadari bahwa setiap sudut bangunan rumah Dean memiliki kenangan bersama masa lalu yang katanya tidak ingin dia bahas. Ada rasa iri yang menyelinap di hati Louisa betapa Dean dulu sangat menghargai dan memberi cinta sepenuh hati kepada wanita. Dia jadi bertanya-tanya seperti apa sosok yang mampu menaklukkan pria menawan di sisinya ini? Kisah seperti apa yang membuat Dean bisa berubah dan bermain-main dengan perasaan wanita?

Dean membuka pintu mobil, meminta Louisa ikut keluar kemudian mengulurkan sebelah tangan menyiratkan gadisnya mendekat. Ragu-ragu karena dipenuhi banyak spekulasi seperti apa rasa sakit yang diderita Dean, Louisa termangu beberapa saat. 

"Sebenarnya wanita seperti apa yang kau inginkan, Dean?" tanya Louisa sebelum menerima uluran tangan Dean. 

Bibir Dean langsung terkatup rapat lalu menengadah mengamati atap rumah di bawah naungan langit malam bertabur gemintang. Dia menarik napas sebentar untuk meresapi kalimat yang lebih pantas dimaknai sebagai sindiran keras. Selama enam tahun belakang selepas dia berpisah dengan sang mantan, Dean sendiri belum memikirkan perempuan apa yang bisa menyembuhkan luka batinnya. Cantik? Pintar? Populer? Seksi? 

Tak kunjung menemukan jawaban, Dean hanya menggeleng kepala pelan lalu menoleh ke arah Louisa. "Kedua, dulu aku melukis wajahnya sebagai bentuk kasih sayangku padanya."

"Dan sekarang kau melukis untuk mengenang mantanmu?" balas Louisa mengerutkan kening.

"Tentu. Meski aku menyakiti mereka secara sadar, tapi kuhargai mereka dalam bentuk seni. Jika galeri terlalu penuh oleh ingatan-ingatan itu, aku mengirim hasil lukisanku kepada mereka secara anonim. Untuk memberi apresiasi," terang Dean. "Mr. Reese yang mengurusnya tanpa ketahuan."

"Apa kau akan melakukannya padaku?" tanya Louisa melipat tangan di dada. 

"Aku tidak ingin kau menjadi bagian ingatan buruk itu, Lou," balas Dean hendak menyentuh lengan Louisa. "Kau ... aku ..."

"Kita?" Louisa menaikkan alis tak sabar. 

"Aku tidak bisa jauh darimu."

"Karena?" 

"Karena aku memang tidak bisa. Aku masih mencari jawabannya dengan cara ini. " Dean menunjuk dirinya sendiri. "Seolah-olah aku terikat padamu, Lou. Tanpamu rasanya berbeda."

"Bagiamana dengan wanita yang dulu kau cintai?" tanya Louisa mengintimidasi. "Apa kau merasakannya seperti sekarang?"

"Almost. But I'm not sure," ucap Dean dengan wajah memerah seperti tengah diserang panik. Matanya langsung berkaca-kaca membuat Louisa buruk-buru menangkup wajah itu untuk melihat secara jelas apa yang sebenarnya terjadi di antara Dean dan wanitanya dulu. Mengapa sampai lelaki itu tak berdaya hanya dengan menceritakan dua hal. 

"Are you okay?" tanya Louisa khawatir. 

Dean melenggut pelan. "Karena yang ketiga ... adalah mimpi buruk, Lou."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro