Chapter 27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ketiga ... adalah mimpi burukku, Lou."

Louisa memutar kembali ingatan ketika Dean membuka diri padanya. Sebuah luka menganga yang tidak bisa dibayangkan Louisa jika menjadi lelaki itu. Bagaimana dia menanggung sebuah dosa besar itu sendirian di balik tanggung jawab seorang pemimpin agensi yang diturunkan dari keluarganya. 

Tanpa sadar air mata Louisa kembali mengalir mengamati Dean yang terlelap di sampingnya bagai anak-anak dibuai mimpi indah. Begitu menenangkan dan tampak damai. Tidak ada ekspresi dengan alis mengerut, bibir yang melontarkan pendapat yang memicu pertengkaran, atau gesture posesif yang dipancarkan jika melihat Louisa bersama pria lain. Semua tampak berbeda ketika Dean benar-benar terbaring seperti ini. Walau beberapa kali raut wajah Dean mengerut seperti menggumamkan sesuatu. 

Louisa bergerak perlahan, mengangkat tangan kanannya untuk membelai rambut cokelat tembaga yang diterpa temaram lampu tidur kemudian turun ke kulit pipi yang tampak hangat. Lantas membelai ukiran tato geometri di lengan berotot Dean yang jika ditilik kembali ada sebuah keloid agak memajang. Lelaki itu bergerak seolah-olah menerima sebuah tempat ternyaman saat Louisa mendekap lebih dekat, merasakan irama mereka naik-turun bersamaan.

"Mimpi buruk? Kenapa?" tanya Louisa penasaran. 

"Masuklah dulu," kata Dean. "Akan kutunjukkan satu lukisan dirinya."

"Aku iri padanya," lirih Louisa merasa bahwa hati Dean tidak akan mudah terbuka untuk orang lain. 

Kini dia paham mengapa semua wanita hanya lalu lalang di kehidupan Dean manakala cinta pria itu sudah dibawa oleh masa lalu. Enggan kembali pun enggan untuk diberikan kepada perempuan yang mengharapkan dirinya. Louisa merasa bahwa Dean lebih suka berkubang dalam masa lalu sementara raganya bermain-main bersama perempuan lain tanpa memikirkan betapa remuk hati mereka. 

Tadi, Dean menunjukkan sebuah mahakarya yang tertutup kain putih di ruang tersendiri yang belum pernah dijamah Louisa. Sebuah ruang kecil di bawah tangga di mana dinding-dindingnya putih gading dan penuh lukisan serta foto-foto berbingkai emas di sana. Lampu-lampu sorot memfokuskan objek perempuan berambut panjang dengan senyum merekah di bibir merah alami. Lesung di pipi kanannya membuat gadis manis itu tampak menawan dan tak bosan dipandang. 

Bagai orang kolot, Dean mengabadikan setiap momen ketika masih dimabuk asmara seperti surat cinta, foto berdua maupun foto yang diambil diam-diam, hingga sebuah kalung bertakhta berlian dalam kotak kaca yang ada di tengah-tengah ruangan. Dunia mungkin mengenal Dean sebagai lelaki playboy yang bisanya memanfaatkan perempuan untuk kenikmatan sesaat. Tapi, tidak tahu bahwa di balik kata-kata manis dan ekspresi penjerat cinta yang ditunjukkan Dean, ada sesuatu istimewa yang mungkin tidak dilakukan pria lain. Hal sekecil apa pun Dean menyimpannya begitu rapi, membuat Louisa takjub bukan main. 

Betapa dia menghargai cinta dan wanita pada hakikatnya. 

Lukisan besar itu menampakkan seorang perempuan tengah bergaun biru muda dengan renda-renda di bagian dada berpotongan V, rambut cokelat terang dicepol tinggi memamerkan leher jenjang serta jemari lentik sedang menekan tuts demi tuts piano. Hidungnya mancung, kulitnya putih bersinar seperti mutiara yang diterangi binar mentari, kaki tanpa alasnya juga tampak jenjang solah-olah dia adalah bidadari turun dari surga untuk memainkan sebuah lagu indah untuk Dean. 

"Dia adalah kekasihku, belahan jiwaku. Anastasia," ucap Dean menyentuh lukisan cat minyak tersebut dengan pandangan menerawang, membolak-balikkan masa lalu yang membuat hidupnya serasa menaiki roller coaster. Ada rindu yang terselip di wajah Dean yang bisa ditangkap Louisa, ekspresi yang tidak pernah lelaki itu pamerkan kepada publik. 

"Dari mana kau mengenalnya?" tanya Louisa menahan rasa sakit bertubi-tubi dalam dada mengetahui dirinya tidak akan berpeluang menjadi pemilik hati Dean. 

"Saat SMA. Cinta pertama dan terakhirku, Lou," kata Dean. 

Selama itu? batin Louisa makin nelangsa. 

"Kami jatuh cinta selama bertahun-tahun, berpisah sebentar untuk mengejar mimpi kemudian bertemu untuk menyatukan janji hidup semati," lanjut Dean dengan mata berkaca-kaca. "Namun, dia datang bersama seorang lelaki yang mengaku sudah menghamilinya. Berkata kalau tidak ada yang abadi di dunia sekalipun itu kesetiaan."

Seperti Troy?

"Aku marah. Sangat marah," sambung Dean menitikkan air mata. "Hingga tanpa sengaja aku menghajar lelaki itu seperti monster. Kehilangan kendali sampai pria itu tewas."

"Astaga ..."

"Aku juga menyakiti Anastasia, nyaris membunuhnya akibat dikuasai kekecewaan," kata Dean dengan bibir bergetar. Dia berhenti sejenak, memejamkan mata sambil memijit pelipis. "Aku tak sengaja membuatnya keguguran."

"Dean ..."  Louisa langsung merengkuh Dean dalam dekapan saat tangisnya pecah begitu saja. "Hei, ada aku di sini."

"Dia membenciku sejak saat itu, Lou," ujar Dean sesenggukan. "Semua yang kulakukan untuknya tidak pernah berarti. Dia bilang bahwa kematiankulah yang bisa membayar nyawa kekasih dan bayinya."

Dean kembali bergerak lalu membuak mata mendapati Louisa memerhatikannya dalam diam dan air mata berlinang. Alis tebalnya mengerut beberapa saat lalu berkata, "Kenapa kau menangis?"

Louisa menggeleng pelan. "Aku hanya senang melihatmu bisa tidur."

"Dengan bantuan obat, Lou," jawab Dean menarik seulas garis tipis di bibir. Tangannya terangkat untuk membelai wajah Louisa lalu memberikan sebuah ciuman di kening. "Tidurlah, Babe. Kau harus beristirahat."

 Lelaki itu beranjak membuat Louisa menahan lengannya berharap Dean tidak pergi ke galeri untuk melukis. Setidaknya malam ini. "Jangan tinggalkan aku sendiri, Dean."

"Lou."

"Kau tahu maksudku," ucap Louisa. "Setelah mendengar ceritamu, kurasa ... kau perlu jeda sejenak, Dean. Beri ruang untuk dirimu sendiri bukan untuk merenungi kesalahan yang sudah bertahun-tahun lalu. Lagipula, bukankah kau sudah minum obat?"

"Hanya bertahan beberapa jam, Lou," kata Dean masam. "Selebihnya aku sering terjaga sampai pagi." 

"Kalau begitu berbaringlah di sampingku, Dean," pinta Louisa. "Please."

Dean menimang beberapa saat sebelum mengiyakan permintaan Louisa untuk tetap berada di ranjang, merebahkan diri di sisi gadis itu sementara hatinya tidak yakin bisa terlelap kembali. Masih beruntung Dean tidak mengigau karena mimpi buruk karena bantuan obat tidur. Jika tidak, mungkin dalam mimpinya Dean bakal melempar umpatan juga ketakutan yang tidak ingin Louisa terluka karenanya. 

Louisa menarik selimut kembali, meninggikan posisinya daripada Dean sehingga mendekap kepala lelaki itu di dadanya. Menepuk-nepuk pelan lengan Dean seraya berbisik, "I want you, Dean."

"I know."

I want you like crazy, but I know that your heart isn't here anymore, batin Louisa. 

###

Dengan pikiran yang dipenuhi bayang-bayang masa lalu Dean, Louisa mengikat tali satin merah jambu sepatu pointe di area pergelangan kaki. Kemudian dia berdiri dan menghadap cermin mengamati diri dalam balutan leotard hitam tanpa lengan, membatin bahwa tidak seharusnya Louisa berlarut-larut dalam kisah cinta bertepuk sebelah tangan seperti ini. Bahkan dia merasakannya kedua kali. 

Raut wajah Louisa yang muram disertai lingkaran hitam di bawah mata tidak bisa menyembunyikan bahwa ada banyak hal yang sedang menggelayuti benak, sekalipun bibir sensual itu dipaksa mengulum senyum kepada semua orang. Dadanya sedang dipenuhi ratusan pisau, meratapi puing-puing harapan yang sempat dilambungkan ke langit bahwa kembalinya Dean kepadanya adalah pertanda baik. Nyatanya Louisa salah besar!

Dean hanya menginginkan raganya bukan hatinya!

Kornea gadis itu memerah, merasakan hatinya makin pedih mengingat tiap kalimat Dean dalam kepala. Dia menengadahkan kepala tidak ingin orang lain tahu kalau dia sedang dilanda dilema tanpa ujung. Kemudian mengembuskan napas dari mulut dan melakukan peregangan di ballet barre--pegangan besi di pojok studio balet. Mengangkat satu kaki yang disanggah barre lalu menekuk punggung sehingga Louisa mencium lutut seraya melurukan tangan selama beberapa menit. 

Selepas melakukan peregangan, diiringi musik Christina Aguilera yang mengalun merdu, Louisa menari di area practice centre dan menenggelamkan diri ke dalam bait demi bait Hurt. Emosi yang semalaman terendap di dasar lubuk hati kini mencuat tanpa bisa dikendalikan manakala suara sang diva makin mengeraskan suara. Meruntuhkan pertahanan diri Louisa hingga gadis itu bercucuran air mata mengingat semua sikap dan perlakuan Dean yang berhasil menyakitinya berulang kali. Yang tanpa disadari Dean ada cinta yang ingin ditunjukkan Louisa namun terpaksa redup setelah mengetahui kebenaran. 

Merentangkan kedua tangan bagai melepas beban kemudian melakukan gerakan grand jette--lompatan tinggi seraya meregangkan kedua kaki ke udara. Melengkungkan punggung bagai gelombang nada yang meliuk-liuk mengikuti irama lantas kembali meloncat-loncat seperti menemukan dunianya sendiri. Bahwa di sini, dialah perempuan paling tidak beruntung di dunia harus memendam cinta seorang diri. 

Kepopuleran tidak membuatku bisa menemukan keberuntungan dalam asmara. 

Louisa berputar begitu cepat dalam gerakan pirouette yang bertumpu pada kaki kiri berjinjit, sementara kaki kanannya di tekuk ke arah lutut kiri. Tangannya yang terbuka menyatu ke depan seolah-olah tengah merangkul mimpi yang bakal seterusnya menjadi khayalan untuk bisa memiliki hati Dean. 

Begitu musik berhenti, Louisa terengah-engah berpeluh keringat membanjiri kening. Namun, air matanya masih enggan berhenti sekalipun suasana hatinya sedikit membaik. Setidaknya begitu. Baginya balet adalah pelipur lara. Semua gerakan menyangkut semua anggota tubuh bakal mengalihkan sebentar setiap kegundahan yang menyapa. 

"Are you okay?" tanya Cory yang sedari tadi sengaja memberi ruang untuk Louisa mencurahkan emosinya. Lelaki nyentrik itu masih berdiam diri di sudut studio seraya memeluk kedua lututnya, menatap penuh iba ke arah gadis di depannya. 

"I'm not, Cory," jawab Louisa. "Hatiku benar-benar sakit."

"Kalau begitu katakanlah padanya, Lou," pinta Cory seperti memerintah. "Katakan padanya kalau kau merasakan sesuatu yang tidak bisa kau kendalikan lebih lama."

"Aku yakin dia akan menolak," kata Louisa frustrasi. 

"Kalau begitu pergilah darinya, Sayang," ujar Cory membuat Louisa termangu beberapa saat. "Kau mencintainya tapi kau juga tersakiti olehnya, Lou. Ini bukan tentang kau atau dia saja, tapi kalian. Dean terbelenggu masa lalunya dan kau terlanjur menaruh harapan. Dean sudah membuka diri padamu bahwa tidak ada perempuan lain yang bisa merebut hatinya selain Anastasia."

"Cory ..."

"Aku tidak bisa melihatmu terus-terusan seperti ini, Lou," ujar Cory ikutan stress lalu beranjak dari tempat duduknya. "Ambillah keputusan cepat atau lambat. Katakan padanya atau tinggalkan Dean. Itu pilihanmu saat ini."

"Tapi--"

"Kau punya tugas lebih berat daripada kisah roman seperti ini, Lou," kata Cory memandang lurus ke dalam bola mata Louisa. "Christine dan tim sudah memilihmu untuk memerankan Abby, jangan sampai hanya karena kisah cintamu bersama Dean yang menyedihkan akan menghambat penghayatan karakter. Aku cuma mengingatkanmu sebagai manajer sekaligus teman."

Bibir Louisa terkatup rapat, menundukkan kepala merasa bersalah bahwa apa yang dikatakan Cory adalah benar. Dia mengepalkan kedua tangan, menguatkan diri haruskah berkata jujur kepada Dean atau meninggalkan lelaki itu daripada harus terjebak dalam hubungan toksik. Dua sisi hati Louisa kini berkecamuk, saling melempar opini juga umpatan bahwa semua ini tidak akan terjadi kalau Louisa tidak menerima ajakan untuk berkencan sebagai ajang pamer kepada sang mantan. 

Nyatanya dia sendiri yang termakan jebakan. Terjerembap dalam pesona Dean dan benar-benar tidak menemukan jalan keluar untuk mencari selamat. Louisa seolah-olah berada di ujung jurang dan tidak diberi pilihan lain selain harus memilih salah satu dari mereka. 

"Kau tahu apa yang Theo katakan padaku?" ujar Cory.

Kepala Louisa terangkat, penasaran dengan apa yang diucapkan Theo kepada Cory. Dia sendiri pun belum menghubungi Theo semenjak Dean menyindir dan mengusirnya dari bar malam itu. Pasti saat ini Theo terbebani karena serasa menjadi orang ketiga di antara mereka. 

"Pria seperti Dean tak sepatutnya mendapatkan gadis sepertimu, Lou," lanjut Cory. "Kau hanya dimanfaatkan Dean untuk mengatasi kesepiannya saja."

"Cory..." Louisa menganga tak percaya sampai tidak bisa merangkai kata-kata. 

"Awalnya aku merasa tersinggung tapi ... setelah kupikir-pikir ada benarnya juga Theo mengatakan hal itu, Lou," balas Cory. "Dean membuangmu seperti sampah lalu memungutmu lagi seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Pertanyaanku? Apa dia pernah meminta maaf padamu? Mengatakan sebuah kejelasan hubungan kalian?"

"Tidak," lirih Louisa makin ditampar kenyataan. "Tapi dia menginginkanku."

"Secara harfiah dia hanya ingin menidurimu, Lou, bukan menginginkan seperti yang ada dalam imajinasimu," kata Cory. "Sekarang ambillah keputusan. Aku akan marah jika melihatmu menangis seperti ini lagi. Oke?"

"Aku tidak yakin, Cory," kata Louisa merasa disudutkan keadaan. "Aku tidak siap patah hati lagi."

"Tapi, patah hati membuatmu belajar bahwa di dunia cinta tulus itu hanyalah di dongeng, Lou. Manusia tidak pernah memiliki perasaan abadi kepada pasangannya," tandas Cory. "Dan Dean sudah menghabiskan cintanya kepada Anastasia, sisanya dia hanya melanjutkan hidup bersama wanita yang mau berbagi ranjang. Aku akan pergi ke agensi sebentar dan memberimu ruang untuk berpikir lebih jernih."

Tuhan, kenapa semua jadi rumit begini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro