Chapter 28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Salah satu cara untuk bisa berpikir jernih sebelum mengambil keputusan sekaligus menghapus satu persatu rasa yang mengendap di hati Louisa adalah menjauh dari Dean. Sebisa mungkin dia melakukan metode slow respond bahkan membiarkan pesan-pesan maupun telepon lelaki itu menumpuk. Mungkin kesannya Louisa sedang memantik masalah lagi, tapi ... bagaimana pun juga, apa yang dikatakan Cory benar. Dean dan dirinya hanyalah dua manusia yang dibutakan oleh nafsu dan tidak akan pernah terikat oleh cinta. Menurut Cory, tidak ada ruang lagi bagi Louisa untuk bisa mendiami hati Dean jika lelaki itu masih mencintai Anastasia dan terikat oleh kesalahan yang pernah dibuat.

"Kau hanya memiliki raganya, bukan hatinya, Lou. Dan itu akan membuatmu sakit hidup bersama orang yang pura-pura bahagia untukmu," ujar Cory.

Louisa lebih banyak diam, merenungi di mana letak kesalahan dalam seperempat abad hidupnya. Mengapa Tuhan memberikan ujian dalam tiap kisah asmara seolah-olah Dia tidak mengizinkan Louisa merasakan ketulusan hati orang lain. Atau ... Tuhan tengah melindungi dirinya agar tidak terlena dalam hubungan tanpa kejelasan? Mencoba menyatukan puing-puing hati Louisa yang terlanjur hancur agar tidak semakin hancur?

Entahlah. 

Dia menarik napas, mengembalikan fokus yang sempat buyar karena sedari tadi ponselnya bergetar menandakan notifikasi pesan dan panggilan dari Dean. Louisa mengedarkan pandangan di ruang rapat saat pembacaan naskah Last Dancing bersama para pemain juga sutradara, lalu mendengarkan dialog Theo yang akan memerankan James--pria manipulatif yang gila uang. 

"Percayalah padaku, Abby ... tidak bisakah kau merasakan hatiku bergetar untukmu?" ucap Theo menghayati karakter sang pianis. 

Louisa mengernyit merasa bahwa dialog itu mirip dengan perkataan Dean saat dia membuka diri di depannya. Malam di mana seharusnya dia menerima masa lalu pria itu sebagaimana Dean mau menerima Louisa. Namun, kenyataannya Louisa tidak bisa sekalipun sudah mencoba. Sisi egoisnya meraung-raung ingin memiliki Dean seutuhnya, bukan dibayang-bayangi oleh perempuan yang bahkan keberadaannya tidak diketahui orang lain. 

Dia menarik senyum kecut, meniti kalimat Abby bahwa dia akan menerima James hanya karena sudah menyelamatkan hidupnya dari perampok yang akan menyetubuhi juga menyembuhkan luka-luka yang diderita sampai mau menampung dirinya di rumah. Abby juga merasakan getaran namun karakter fiksi ini tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya James tengah membuat jebakan agar hidup Abby makin tersiksa. 

"Aku ..." Louisa mulai membaca bagiannya dengan mata berkaca-kaca seakan-akan terharu mendengar penuturan Theo. Louisa mengangguk seperti yang tertulis di skenario lalu berkata, "James, kau tahu aku mencintaimu. Dan aku bahagia kau juga mencintaiku. Tapi, apakah pantas sementara kau adalah musisi terkenal dan aku hanyalah penari jalanan."

"Abby." Theo melirik sebentar ke arah Louisa. "Cinta tidak membutuhkan semua itu. Aku hanya membutuhkan hatimu yang tulus itu, Darling."

Selesai pembacaan naskah, Louisa bertemu denga Antony--pemeran Adam--yang akan jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Abby selepas sang tokoh utama dijadikan budak pemuas pria hidung belang. Antony adalah lelaki bertubuh tegap, bermata biru terang seperti Dean, namun sorot matanya begitu cerah manalagi pipinya ikutan bersemu merah setiap dia tertawa akan lelucon-lelucon kecil. Rambut hitam nan ikal Antony tampak cocok dengan bentuk wajahnya yang tegas, seolah-olah Louisa tengah berbicara dengan Herny Carvill versi muda. Suaranya sedikit berat mengingatkan gadis itu pada jenis suara Dean yang sensual nan misterius dalam waktu bersamaan. Louisa menggeleng dalam hati, tidak ingin mengait-ngaitkan semuanya pada sosok Dean di saat ada banyak pria yang lebih menarik darinya. 

Bisakah?

"Kau mau minum secangkir kopi?" tawar Antony lalu berpaling ke arah belakang Louisa. "Hei, Theo. Kau mau minum kopi di kafe sana?" tunjuknya ke arah seberang gedung. 

"Ya, tentu saja," kata Theo menghampiri Louisa. "Aku ingin berbicara berdua dengan Louisa, bisakah?"

Antony mengatupkan bibir beberapa saat dengan kening mengerut seakan-akan dilanda penasaran. Dia mengangguk pelan lalu memberikan ruang untuk mereka berdua berbicara. Theo mengamati langkah kaki Antony sampai lelaki itu duduk di sofa yang ada di lobi gedung AnB Production kemudian menoleh kepada gadis yang sedari tadi tampak menyimpan sesuatu hingga tidak terlihat antusias walau bibirnya terus mengulum senyum kepada semua orang. 

Sebelah tangan Theo merapikan poni yang menutupi dahi Louisa lalu bertanya, "Are you fine?"

"What do you think?" tanya Louisa balik. 

"Seperti bukan Louisa yang kutemui beberapa waktu lalu," jawab Theo melengkungkan bibirnya. "Ada masalah dengan kekasihmu?"

"Untuk waktu itu, aku minta maaf karena dia tidak sopan padamu, Theo," ucap Louisa merasa bersalah. 

"Aku juga minta maaf karena tahu dia bukan pria biasa, Lou. Bodohnya aku mendekati kekasih pria paling berpengaruh di kota ini," ujar Theo lalu terkekeh. "Bagai membangunkan singa tidur bukan?" sindirnya memutar kejadian bagaimana Dean menunjukkan keposesifannya terhadap Louisa.

"Dia memang seperti itu," kata Louisa geleng-geleng kepala. 

"Jadi, apa yang terjadi pada kalian?" tanya Theo lagi. "Bukankah harusnya kau bahagia memiliki kekasih seperti Mr. Cross?"

Louisa menggeleng, mengusap wajahnya begitu frustrasi entah harus menceritakan hal ini kepada Theo atau memendamnya. Matanya kembali memerah, menahan perasaan seorang diri ternyata jauh lebih sakit. Dadanya seperti sedang dicabik-cabik secara paksa hingga berdarah-darah. Namun, jikalau jujur kepada Dean, tentunya itu akan mengubah hubungan mereka kan? Manalagi Dean juga berkata kalau dia tidak bisa menerima cinta dari perempuan lain lagi. 

Bagai di tepi jurang yang disiap di dorong untuk jatuh ke dasar sampai hancur berkeping-keping, Louisa merasa putus asa. Dia meremas dada, begitu sesak diimpit oleh bebatuan yang makin lama makin memenuhi rongga paru-parunya. Seolah-olah tidak mengizinkan Louisa untuk bernapas dengan tenang, sebelum gadis itu berhasil mengutarakan perasaannya kepada Dean. 

"I love him," kata Louisa membuat Theo mengaga tidak mengerti. 

"Jika kau mencintainya kenapa tidak kau katakan?" tanya Theo. "Kalian--"

"Kami tidak seperti yang kalian kira, Theo," sela Louisa. "Banyak rahasia yang tidak bisa kubaca dari mata Dean. Pria itu ... dia membentengi dirinya sendiri dan tidak menyilakan orang lain masuk."

"Ya ampun ..." Theo langsung merengkuh Louisa sebagai seorang teman yang membutuhkan sandaran. "Hei, ada aku di sini. Kau bisa menceritakannya padaku, Lou. Setidaknya itu bisa mengurangi beban batinmu, oke?"

Louisa mengangguk dan melepaskan pelukan tersebut. "Secangkir kopi mungkin bisa menenangkan pikiran. Ayo kita pergi sebelum Antony marah."

###

"Mr. Reese!" seru Louisa terperanjat kaget mendapati asisten Dean mendadak muncul di gedung AnB. Seakan-akan pria berpakaian formal itu adalah sosok hantu yang mengekori ke mana pun Louisa pergi. Manalagi dia baru saja keluar dari lift bersama Antony setelah selesai membuat janji untuk mulai latihan balet bersama pelatih yang ditunjuk khusus oleh sutradara juga Christine. 

Pria berkacamata itu menaikkan bingkai kacamata yang sedikit melorot, melambaikan tangan sambil melempar senyum tipis. Melempar tatapan ke arah Antony agar segera pergi dari gadis yang sedang dicari oleh tuannya secara pribadi. "Secara teknis, aku diperintah Mr. Cross menjemputmu, Ms. Bahr."

"Ah, kurasa ... aku diusir lagi," cibir Antony. "Semoga harimu menyenangkan, Lou!" pamitnya melambaikan tangan lalu pergi dengan cepat. 

"What? Ada apa?" Louisa menaikkan alis bahkan belum sempat dia membalas kalimat perpisahan teman barunya.

"Mr. Cross tidak memberikan detail, tapi kurasa ada hubungannya mengapa kau sulit sekali dihubungi bahkan manajermu ikutan tutup mulut," jawab Mr. Reese mengeluarkan ponsel dari balik jas abu-abu bercorak garis vertikal tersebut. Kemudian, dia menunjukkan berapa banyak panggilan keluar dan semuanya adalah nama Louisa. "Aku sudah mencoba meneleponmu  tapi ... semua panggilan sepertinya diarahkan ke mailbox."

"Aku sibuk, Mr. Reese," elak Louisa mencoba membela diri, walau alasan mendasarnya adalah menghindari sosok Dean. 

Tak lama, ponsel berlogo apel milik asisten Dean berdering lalu lelaki itu menunjukkan nama sang pemilik agensi kepada Louisa dan menjawabnya. "Saya sudah di lokasi, Tuan."

"Suruh dia ke kantorku!" perintah Dean dengan nada ketus. 

"Baik, Tuan," jawab Mr. Reese lalu memutus sambungan telepon. "Kau diperintah--"

"Aku tak akan ke sana," potong Louisa. "Katakan padanya aku sibuk, please." Dia bergegas pergi daripada harus berinteraksi lebih lama dengan Mr. Reese. 

"Ms. Bahr!" teriak pria itu kesal karena diabaikan. 

"I'm fucking busy, Man!" balas Louisa dengan nada tinggi. "Kalau dia butuh sesuatu, dia tahu di mana aku berada bukan menyuruhmu datang seperti ini, Mr. Reese!"

###

Pintu apartemen terbuka ketika Cory tengah duduk bersila sembari menonton Netflix dan memangku semangkuk popcorn karamel buatan sendiri. Sudut matanya melirik Louisa yang datang dengan wajah lesu seperti tidak ada sinar mentari yang terpancar di sana. Dia memasukkan berondong jagung seraya memicingkan mata menatap betapa kesal dirinya menghadapi si kepala batu. Sampai mulut berbusa pun, Louisa seperti diombang-ambing oleh perasaannya sendiri. Padahal sudah terlihat jelas bahwa hubungannya bersama Dean tidak akan bisa berjalan dengan baik dan bahagia seperti yang ada dalam imajinasinya.  

Lihat saja dia! Si paling menderita! cibir Cory dalam hati.

Louisa melepas sepatu kets putih dan menaruh di atas rak yang berada di samping pintu tanpa mengatakan sesuatu, lantas bertemu tatap dengan sang manajer yang beberapa hari ini ikut mendiaminya. Pun Louisa juga tidak ingin mengucapkan kalimat daripada diajak berdebat yang akhirnya membuat suasana makin memanas. Dia berpaling, memaksa kaki yang begitu berat menuju dapur untuk mengambil air sekadar mendinginkan perasaan gelisah juga pikirannya yang terasa kacau.

Meneguk air mineral dari dalam kulkas yang menyegarkan kerongkongan keringnya, Louisa mengamati Cory yang makin acuh tak acuh. Dia mendongakkan kepala merasa tak bisa menahan diri berada di satu ruangan tapi serasa di neraka. "Sampai kapan kau mendiamiku, Cory?"

Cory berpaling tapi tidak benar-benar memandang Louisa sebagai mana mestinya. "Kau tahu apa yang kuinginkan untuk kebaikanmu," jawabnya datar. 

"Aku butuh waktu," kata Louisa. 

"Waktumu sudah terlalu banyak untuk mengambil keputusan," cibir Cory. "Sudahlah, aku sedang tidak ingin merusak suasana hatiku."

Dia beranjak, mematikan siaran televisi lalu pergi ke kamar dan menutup pintu begitu keras bagai mencampakkan Louisa. Hati gadis itu makin tersayat-sayat, manajer sekaligus teman baiknya dirasa memperkeruh keadaan bukan sebaliknya. 

Tak berapa lama pintu apartemen diketuk seseorang dan belum sampai Louisa membuka, sosok pria mengenakan kemeja biru dengan rambut yang acak-acakan dan mata biru samudra yang tampak menggelap itu langsung mendorong Louisa ke dinding. Tidak ada ucapan selamat datang, melainkan tangan kanan Dean langsung mencengkeram rahang gadis itu dan memberinya ciuman penuh tuntutan mengapa si gadis keras kepala seperti Louisa begitu mudah berubah-ubah. Dia tidak mengerti sekali pun ingin memahami apa yang diinginkannya. Dia bukanlah cenayang yang bisa membaca isi pikiran wanita hanya dari sikapnya semata. 

Dean tidak memberikan Louisa kesempatan untuk bernapas barang sedetik. Lidahnya membelai, menyesap, dan bibirnya menggigit bibir bawah Louisa. Menyadarkan gadis itu bahwa dengan menghindarinya seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah yang ada. Dean makin menggila manakala tidak ada satu pesan atau telepon yang dijawab Louisa, seolah-olah dia telah melakukan kesalahan lagi. 

"Dean..." racau Louisa hendak mendorong Dean. 

"Tutup mulutmu, Lou," ancam Deam kini mencengkeram kedua tangan Louisa ke atas. Melempar tatapan nyalang ke dalam bola mata gadis itu. "Pikirmu bagus merajuk seperti anak-anak, huh?" Sebelah tangannya turun untuk menyentuh pusat tubuh Louisa yang lembap, membuat gadis itu membusungkan dada menerima sentuhan sensual Dean. "Kau menginginkanku tapi egomu terlalu tinggi, Lou."

"Kau tidak akan mengerti," balas Louisa menahan diri untuk tidak terlena oleh Dean. Sial sungguh sial, mendadak hasratnya membumbung tinggi dan tentu saja sisi lain darinya kini berteriak membenarkan kalau dia menginginkan Dean lebih dari apa pun. 

Fuck!

"Lalu buat aku paham, Lou," pinta Dean terdengar seperti perintah, memaksa masuk ke dalam diri Louisa menimbulkan gelenyar aneh yang mengaduk-aduk pertahanan diri gadis itu. "Bukankah kita sudah sepakat, huh?"

"Dean ..." Louisa makin hilang kendali saat jemari Dean begitu lihat mempermainkan dirinya. Dia nyaris tenggelam dalam pusaran yang dibuat lelaki bajingan itu, kemudian memohon agar Dean memberinya sesuatu yang telah lama dia rindukan. "I want you..." racaunya dengan wajah memerah. 

"You know, i want you too. Then what?" bisik Dean nyaris mendorong Louisa ke dalam jurang kenikmatan, kemudian menarik jemarinya dari pusat tubuh sang kekasih. "Aku sudah memberikan semuanya padamu."

"Kecuali hati," balas Louisa membuat lelaki itu langsung mengendurkan cengkeraman tangannya. Louisa menarik napas, mengatur kembali irama jantungnya yang tadi berdentum cepat oleh sentuhan yang begitu dia dambakan. Dia menunduk merasa malu seolah-olah pendiriannya tidak menentu, satu detik dia begitu membenci Dean dan detik berikutnya dia memohon agar lelaki itu berada di sisinya. 

Bukan sebagai kekasih pura-pura yang saling memuaskan nafsu di ranjang. 

"I love you, Dean," lirih Louisa mengibarkan bendera putih. "I love you and it's fucking hurt me."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro