Chapter 30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cukup lama Louisa mematut diri di depan cermin kamar mandi, memerhatikan betapa memilukan penampilannya sekarang. Lingkaran hitam tampak kentara akibat sering terjaga di malam hari, bibirnya mengerut masam seakan-akan telah kehilangan cara untuk tersenyum, sorot matanya ikutan suram bagai tidak ada pendar cahaya dari sana. Dia berusaha menarik sudut bibir, namun tetap saja orang bakal menangkap ada ratusan kesedihan terpancar dari sana.

Menyalakan keran air lalu membasuh muka, kemudian mengamati sekali lagi. Louisa merasakan dirinya jauh lebih kurus dibanding terakhir kali dia bersama Dean. Merenung bahwa sudah seminggu lebih dia mengasingkan diri dari dunia untuk merenungkan betapa mengenaskan kisah cintanya. Bagaimana tidak, semenjak lelaki pecundang itu mematahkan semua ekspektasinya, Louisa enggan makan maupun minum sampai Cory menyuruhnya memasukkan sesuap pancake atau sedikit salad sebagai pengganjal lapar. Seluruh waktunya dihabiskan untuk menangisi Dean dan bodohnya, Louisa yakin kalau pria itu tidak menitikkan air mata sebanyak dirinya. Kini hati Louisa begitu hampa dan tak bisa merasakan apa pun selain rasa sakit yang ditinggalkan Dean.

Diambil gunting dari sisi kiri, selanjutnya memangkas lapis demi lapis rambut panjangnya sampai batas bahu tanpa ragu. Membentuk layer-layer hingga tampak seperti messy hair. Kata orang, cara inilah yang bisa membuang kesialan setelah mengalami patah hati terhebat sekaligus membuka lembaran hidup baru meski ... mungkin akan terasa sulit.

Aku harus bisa, batinnya menguatkan diri.

Susah payah dia berhasil mengumpulkan pecahan hatinya yang terlanjur hancur walau tak lagi utuh. Sekarang yang bisa Louisa lakukan adalah melanjutkan hidup seperti yang dikatakan Cory padanya. Bahwa manusia tidak akan mati hanya karena dipatahkan oleh cinta, banyak hal yang lebih baik daripada sekadar menangisi lelaki yang tidak pernah belajar menghargai orang lain.

Dia memaksa kedua sudut bibirnya melengkung ke atas, menguatkan batin kalau tanpa Dean hidupnya tidak berakhir begitu saja. Lantas, menghapus ingatan demi ingatan tentang pria pecundang itu yang masih melekat dalam kepala. Biarlah kenangan-kenangan indah bersama Dean, Louisa simpan di dasar hati yang paling dalam, kemudian mengunci hingga tak seorang pun bisa membukanya lagi.

Dia keluar dari kamar mandi selepas mengenakan riasan agak tebal karena harus menyamarkan lingkaran hitam di bawah mata. Memulas lipstik merah menyala di bibir sehingga memberi kesan badass, apalagi crop top berwarna lilac dengan belahan dada terbuka nan berani yang hanya dipisahkan rantai emas kecil di tengah. Dipadu celana denim, Louisa benar-benar merasa keluar dari persembunyian untuk menunjukkan kepada dunia bahwa inilah dia yang baru.

Suara ketukan di balik pintu kamar terdengar, Cory membuka pintu kayu tersebut seraya menerima panggilan lalu tercengang beberapa saat melihat penampilan Louisa tampak lebih segar daripada biasanya. Dia hanya mengacungkan jempol kiri lalu berkata kepada si penelepon, "Kami akan berangkat, Sayang. Ayolah ... dia akan tampil lebih berani daripada yang kalian kira. Dan ... kita akan memulai latihan itu. Ya tentu! Kalian lihat saja bagaimana dia memukau mata-mata kalian dengan tarian baletnya!"

Usai memutus sambungan telepon, Cory berjalan masuk dan berseru, "Oh damn! You're so fucking hot, Girl! Aku suka gaya rambutmu."

"Thanks! Kupikir ini salah satu untuk buang sial atas kisahku yang menyedihkan itu," kata Louisa mengambil tas kecil dan memasukkan ponsel, parfum, dan lipstik. Kemudian berjalan mendekati Cory dan memberikan ciuman di pipi sebagai ucapan terima kasih kepada sang manajer juga teman terbaiknya selama masa-masa suram kemarin. Dia pikir Cory akan mendiaminya terus-menerus akibat kebodohan yang membutakan logika Louisa, namun nyatanya tidak. Cory telah membantunya keluar dari kegelapan yang menjeratnya bersama Dean. "Terima kasih juga kau sudah membantuku, setidaknya merahasiakan masalah ini dari orang-orang."

"Masalahmu adalah masalahku, Lou. Artinya sekecil apa pun yang menimpa dirimu, pasti mereka akan menyerangku dengan pertanyaan," kata Cory. "Ayo kita berangkat. Pelatihmu, Theo, dan Antony sudah menunggu, mereka bilang kita bakal seharian di sana."

"Good! Hei, biarkan aku yang menyetir hari ini!" pinta Louisa membuat Cory refleks melempar kunci mobil kepada gadis itu.

Selagi mendengarkan lagu yang mewakilkan hati Louisa, dia menginjak pedal dan melaju begitu cepat melintasi jalanan di sepanjang 110 North menuju Pasadena. Pendar matahari yang begitu cerah bagai menyambut Louisa setelah sekian lama bersembunyi di balik selimut. Pepohonan tinggi yang memayungi jalanan pun turut melambai-lambai bak mengiringinya menyanyikan lagu favoritnya itu. Dia melaju makin jauh, meninggalkan debur ombak pantai Malibu yang tak pernah bosan mencumbu bibir pantai, berganti lanskap kota yang dihias gedung-gedung tinggi dengan dinding-dinding kaca yang menyilaukan.

Sesekali Louisa berteriak mengimbangi suara sang vokalis Daughtry yang disahuti Cory. Lelaki nyentrik dengan anting-anting emas itu menurunkan kacamata hitamnya, menjentikkan jari bahwa hidup tidak melulu soal cinta jika uang dan ketenaran sudah ada di depan mata. Menyadari bahwa sebagai manusia yang gagal dalam percintaan, mereka masih memilih orang-orang terkasih di sekitarnya.

Well, I never saw it coming.

I should've started running a long, long time ago.

And I never thought I'd doubt you.

I'm better off without you.

More than you, more than you know.

Cory memotret Louisa tengah menyetir kemudian mengunggahnya di akun Instagram dengan memberikan caption yang langsung diserbu oleh para penggemarnya.

'You do you, I'll do better.'

"Bagaimana menurutmu?" tanya Cory menunjukkan ponselnya. "Aku upload di akunmu, sedikit menyindir Dean kalau dia masih punya kepekaan."

Louisa menoleh sebentar ketika berhenti di depan lampu merah lalu mengangguk. "That's tight! Every cloud has a silver lining, right? Aku sudah tidak peduli Dean mau peka atau tidak."

"That's my girl!" seru Cory kegirangan.

###

"Jangan memberi pernyataan apa pun tanpa sepengetahuanku," titah Dean saat menerima berita kematian salah satu aktor di bawah agensinya. "Kita harus menunggu hasil autopsi dari kepolisian."

"Wartawan terus mendesak penyebab kematian Mr. Hyde, Tuan," kata Mr. Reese mendampingi manajer Javier Hyde yang masih terguncang akibat kematian mendadak pria 35 tahun itu. "Mereka menyangkut pautkan masa lalu Mr. Hyde yang menjadi korban pelecehan seksual dan kecanduannya terhadap heroin."

"Dan kasus perceraiannya," sambung Scott--manajer Javier. "Padahal minggu depan kami akan tanda tangan kontrak dengan rumah produksi, Mr. Cross. Anda tahu nama Javier tengah melambung kan?"

Kepala Dean serasa ingin pecah saat ini juga, menghadapi banyak masalah tengah menyergap perusahaannya tanpa henti. Kemarin setelah menyelesaikan proses hengkang salah satu penyanyi yang merasa tidak cocok dengan aturan agensi Cross, dia sempat mendapat beberapa kritikan dari netizen yang merasa kalau Dean menganak emaskan Louisa.

Carol12 : Pertanyakan kebijakan agensinya mengapa sampai Javier meninggal!

JacobHr : Pantas saja jika agensi ini mulai terombang-ambing, pimpinan mereka hanya memedulikan satu wanita.

Dean mengangguk, mengaburkan imajinasinya terhadap komentar pedas orang-orang di dunia internet lalu berpaling ke sang asisten dan berkata, "Sudah kau kabari istri Javier?"

"Sudah, Mr. Cross, dia langsung terbang dari Spanyol kemarin malam," jawab Mr. Reese menaikkan bingkai kacamatanya yang melorot.

"Baiklah. Sementara jangan mengatakan apa pun sampai ada ijin dari pihak keluarga walau mereka sudah bercerai. Tetap jaga privasi Javier jangan sampai bocor," kata Dean.

"Baik, Tuan."

Begitu dua orang tersebut keluar, Dean beranjak dari kursi seraya melonggarkan ikatan dasi abu-abu yang terasa mencekik. Udara di dingin di ruang kerja sepertinya tidak mampu mendinginkan emosi yang membakar diri Dean. Kepalanya berdenyut-denyut, memikirkan bagaimana menyelesaikan masalah demi masalah yang menerpa agensi. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah ada yang salah dengan gaya kepemimpinannya? Apakah ada yang salah dengan segala aturan yang dia berlakukan selama menjadi bagian agensi Cross?

Toh, aku tidak pernah melarang mereka ini dan itu. Hanya harus menjaga attitude selama menjadi publik figur. Apakah ini berlebihan? Aku juga yang rela turun tangan mengurusi bedebah itu!

Sambil berkacak pinggang, sorot mata biru samudra Dean menggelap menyorot gedung-gedung pencakar langit yang ada di sekitar sambil mengembuskan napas kasar. Cuaca yang cerah di luar tak lantas menenangkan hati Dean. Rahangnya mengeras, membayangkan bagaimana jika insiden kematian Javier akan memicu konflik lain. Manalagi para pemegang saham sudah mewanti-wanti Dean akan skandal-skandal yang menerpa para artis-artis di bawah naungannya. Dia tidak seberapa takut akan hal tersebut, toh Dean adalah pemegang saham paling besar dibanding yang lain.

Yang aku takutkan bagaimana jika mereka tidak menaruh kepercayaan untuk menjadi terkenal melalui agensiku. Bagaimana jika nama baik Cross yang sudah dibangun selama bertahun-tahun runtuh hanya karena ulah segelintir orang yang tidak memikirkan masa depan.

Dia mengusap wajah sambil menggeram seolah-olah kesialan yang menimpa perusahaannya belum benar-benar berakhir.

Apakah ini sebuah kutukan? pikir Dean.

Namun, apa salahnya? Toh, dia merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa. Atau ... hanya karena meninggalkan Louisa karena kejujuran gadis itu membuat perusahaan hiburan yang dipimpin Dean mendadak anjlok? Tak lama ponsel Dean berdering tak sabar, buru-buru dia mengambil benda itu dari atas meja dan mendapati nama sang ayah--Adolf Jr. Cross--berada di sana. Dia memutar bola mata bersiap-siap menebalkan telinga bila ayahnya melempar umpatan.

"Ya, Dad?"

"Apa yang terjadi, Dean? Semua berita membicarakan agensimu!"

"Hanya ... masalah kematian Javier, Dad. Bukan masalah besar," jawab Dean berusaha tenang. "Maksudku, dia ditemukan tergeletak di apartemen oleh manajernya. Kami masih menunggu hasil pemeriksaan dari kepolisian."

"Mereka menyebutnya bunuh diri, Dean! Mana yang harus aku percaya, hah! Kalau kau sampai menurunkan popularitas perusahaan, aku bisa menyeretmu keluar dari sana!" ancam Adolf seperti menodong sebilah pisau tajam ke dada anaknya.

"Aku sedang menyelesaikan masalah satu persatu, tolong mengertilah, Dad!" keluh Dean memijat keningnya.

Memilih tak menimpali perkataan putranya, Adolf langsung memutus sambungan telepon membuat Dean nyaris membanting ponsel ke lantai. Kemudian, dia menghubungi asisten kemudian berkata, "Hei, coba kau hubungi istri Javier. Aku perlu membicarakan beberapa hal dengannya."

"Baik, Tuan. Setelah dia mendarat esok pagi, saya langsung memintanya datang ke mari."

"Tidak, jangan di sini. Minta dia langsung ke kantor polisi, aku akan menyusulnya ke sana."

"Baik, Tuan."

###

Louisa terkejut bukan main setelah mendengar berita tewasnya salah satu aktor yang baru melejit namanya selama beberapa tahun belakangan ini. Dia memang tidak mengenal secara personal, hanya bertemu beberapa kali saat acara besar semua bintang-bintang Cross agency . Menurutnya, Javier bukan tipikal orang yang akan mengakhiri hidup begitu saja. Namun ... kesehatan mental seseorang siapa yang tahu? Bisa jadi kan Javier memang memiliki masalah besar yang benar-benar tidak bisa diselesaikan sampai kematianlah yang menjadi pilihan terakhir.

Dia menyeruput secangkir latte di kafe yang bersebelahan dengan studio balet selepas latihan selama berjam-jam. Tangan kirinya menaik-turunkan laman berita meniti satu demi satu kalimat yang menyatakan kalau Dean Cross dinilai terlalu mencekik para artis-artisnya.

"Kurasa bukan salah Dean, hanya saja dia terlalu lama memberi pernyataan resmi," komentar Cory membaca berita di ponsel. "Yang kudengar dari orang-orang di agensi, kalau kematian Javier itu ada hubungannya dengan rasa kecanduan dan depresi. Kau tahu kan kalau dia bercerai dari istrinya?"

Louisa melenggut. "Bercerai bukan akhir segalanya, Cory. Masih banyak jalan menikmati hidup meski tanpa pasangan."

Cory mengibaskan tangan tak menyetujui pendapat temannya karena sudah mengenal lebih lama siapa Javier itu. "Dia pria dimabuk asmara, Lou. Dia berhenti mengonsumsi heroin setelah menikahi pujaan hatinya itu tapi ... baru-baru ini saja dia kembali ke kebiasaan lama sampai hampir overdosis. Gosipnya, istrinya itu seorang bi."

"What?" Louisa memekik hampir tersedak latte.

"Javier pria lurus yang posesif dan setia. Meski dia pecandu, harus aku akui kesetiannya mengimbangi seekor anjing. Kalau aku berada di posisinya, aku juga kaget mengetahui istriku menyukai pria dan wanita secara bersamaan," kata Cory geleng-geleng kepala. "Apalagi mereka sudah memiliki bayi lucu."

"Sayang sekali. Tapi ... memang menyakitkan kalau kau berbagi cinta dengan orang lain," timpal Louisa mengedarkan pandangan ke arah jalanan di belakang Cory.

Mendadak wajahnya tegang sampai cangkir latte yang hendak dia tenggak terhenti di tengah-tengah. Bola matanya membeliak menangkap sosok tinggi mengenakan kaus putih polos yang dipadu celana jeans juga sepatu kets senada. Rambut cokelat tembaganya bergoyang diterpa embusan angin. Seberkas bayangan akan kebersamaannya langsung terbuka tanpa permisi manakala lelaki itu mendorong pintu kaca kafe yang berdekatan dengan Louisa.

Seperti dalam adegan film, mereka bertemu tatap dengan ekspresi campur aduk. Canggung. Tercengang. Dan ada secuil rindu di sana. Bibir Louisa terbuka lebar seraya berkata lirih,

"Troy."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro