Chapter 31

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Troy tertegun cukup lama mendapati Louisa duduk di sana dengan bola mata membeliak ke arahnya. Dua manusia yang pernah terikat oleh cinta tersebut hanya bisa saling memerhatikan tanpa ada yang memulai menyapa. Membeku di tempat masing-masing seakan-akan waktu ikutan membeku di sekitar atau ... dunia sengaja berhenti berputar untuk memberikan satu ruang kepada mantan pasangan tersebut. 

Sementara Louisa serasa mendapatkan serangan jantung, dadanya berdebar begitu keras mengentak-entak menimbulkan rasa sakit sampai ke tulang. Rasa canggung terlanjur membentang dan tidak akan musnah begitu saja sekali pun Troy menegur dengan senyuman ramah. Bahkan ... atmosfer yang ada di kafe Moonbuck mendadak sedingin antartika merasakan aura mereka membekap kuat.

Bagi Troy, masa lalu yang buruk bersama Louisa tidak akan bisa mengubah segalanya menjadi mudah termasuk mencoba menjalin pertemanan. Semenjak pertemuannya di Milan dan mengetahui Louisa berhasil menduduki peringkat teratas sebagai artis, Troy mencari celah untuk memberi ucapan selamat walau sebatas di media sosial. Bagaimana tidak, sebagai lelaki yang pernah mengisi hati gadis itu, Troy patut bangga bahwa usaha Louisa menuai hasil memuaskan. Louisa memang pantas mendapatkan penghargaan itu karena pada dasarnya dia memang berbakat, pikir Troy. Sayang, kalimat yang seharusnya dibalas antusias di Instagram atau Twitter malah mendapat cibiran dari penggemar fanatik Louisa.

Jika seperti ini haruskah dia melengang pergi dan berpura-pura menjadi orang asing? Ditambah tatapan pria di depan Louisa seperti sedang mengasah pisau untuk ditusuk ke dada Troy secara bersamaan. Dan dia sadar diri di mana letak kesalahannya, batin Troy.

"Hei," sapa Troy tampak kaku dari nada bicaranya saat memutuskan untuk menghadapi sang mantan kekasih. Dia memuji dalam hati kalau penampilan baru Louisa luar biasa seksi dan menggoda. Menekankan pulasan lipstik merah yang kontras di bibir sensual, membuat ratusan perhatian mengarah padanya. Troy menerka, apakah penampilan Louisa terutama gaya messy hair sebahu tersebut untuk peran film baru? Karena seingatnya, sang mantan lolos casting menjadi gadis penari balet. 

Sangat cocok untuk Louisa, batin Troy masih terkagum-kagum. 

Kemudian iris mata hijau emerald Troy berpindah ke arah pria berambut blonde berdandan nyentrik yang melempar sorot tajam seolah-olah tengah menabuh genderang perang kepadanya. Troy menelan saliva, mengangkat sebelah tangan tuk memanggil manajer Louisa. "Hei, Cory, lama tidak bertemu."

Yang diajak bicara hanya melempar senyum simpul dan menaikkan sebelah alis mengisyaratkan bahwa Cory tidak akan lupa bagaimana Troy melukai perasaan Louisa. Sampai-sampai dia malas menggerakkan bibir sekadar membalas sapaan formal tersebut. Sementara Louisa masih bergeming akibat otaknya sibuk mencerna apakah sosok di sana itu nyata atau sebuah halusinasi setelah mengalami patah hati. Jauh di dalam sanubari, dia juga bertanya-tanya mengapa Troy tiba-tiba ada di San Diego bukannya di Paris. Mengapa pula dia datang seorang diri bukannya bersama wanita jalang berlagak bagai malaikat yang selalu menempel padanya seperti hama. Apakah dia punya project di kota ini? 

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Louisa akhirnya memaksa alam bawah sadar untuk menanggapi kehadiran sang mantan. Sisi lain dalam diri gadis itu menampar Louisa bahwa kedatangan seseorang di masa lalu tidak akan mengganti keadaan yang pernah terjalin. Bahkan tak segan-segan dia memutar kembali potongan-potongan kenangan menyakitkan di mana Louisa dicampakkan tanpa alasan. Batinnya memerintah kalau Louisa harus bersikap seakan-akan perasaan yang tertinggal jauh di dalam hatinya benar-benar tinggal cerita. Memasang topeng kembali kalau Dean adalah kekasih yang dia gilai setengah mati. 

Sorry Dean, namamu harus kusematkan lagi, batin Louisa menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.  

Troy mengusap tengkuk leher, mengukir satu garis di bibir yang tampak kikuk. Menandakan kalau dia benar-benar tak nyaman akan pertemuan kedua ini. Andai saja tidak ada Cory di sana, Troy bisa lebih leluasa mengajak berbincang dengan sang mantan tanpa rasa takut kemaluannya dihajar sang manajer. "Akan ada pameran mode di New York minggu depan, hanya saja aku juga diminta datang untuk pemotretan bersama Repptrix sampai lusa. Dan ... lokasinya tak jauh dari sini," jelas Troy sangat berhati-hati melontarkan ucapan.

"Oh." Louisa mengangguk paham. Lidahnya kembali kehilangan kata-kata padahal otak gadis itu sedang merangkai banyak pertanyaan. Dia meraih cangkir latte tanpa menyuruh Troy duduk bergabung bersama dan saling bertukar cerita layaknya teman lama. Malah mengedip-ngedipkan mata ke arah Cory kalau Louisa juga tak nyaman. 

"Kurasa aku harus membeli kopi," tukas Troy bisa membaca ketegangan di antara dirinya dan Louisa. "Mungkin ... jika kau mau, kita bisa minum kopi bersama, Lou. Banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu."

Nyaris menjatuhkan cangkir, Louisa salah tingkah bukan main. Alhasil, dia hanya melambaikan tangan kanan menyiratkan kalau Troy bisa pergi sekarang juga. Cory yang mengamati interaksi sekaku benang hanya bisa geleng-geleng kepala lalu berbisik sambil sesekali melirik ke arah sosok tinggi itu sedang di meja kasir. 

"Apa semua pria jaman sekarang pandai membolak-balikkan hati?"

Louisa menggeleng pelan.

"Aku benci dia setengah mati kalau mengingatmu menangis seperti orang gila," ketus Cory meneguk lattenya lagi sampai tak tersisa. Seolah-olah berjumpa dengan Troy menguras energinya hingga ke titik terendah. 

"Artinya kau membenci Dean?" tebak Louisa masih mengamati air muka Cory.

Cory mengangguk. "Jujur saja, dia pria pecundang, Lou. Lagaknya saja sok tangguh!"

"Kau membicarakan atasanmu sendiri, Cory. Itu tidak baik."

"Atasanku adalah mantanmu. Yang berarti dia bisa menjadi musuhku, paham?"  Cory mengangkat cangkir kosongnya dengan begitu anggun. 

"I got it!" balas Louisa mengerlingkan mata menyetujui ucapan manajernya. 

###

"Lou!" panggil Troy ketika berpapasan kembali dengan Louisa yang akan masuk ke gedung AnB untuk jumpa pers bersama pemain Last Dancing. Pria itu tampak lebih santai saat Cory tidak ada di samping Louisa yang selalu menunjukkan tampang bagai singa siap menerkam musuh. Di sisi lain, penampilannya juga jauh lebih kasual karena rambut cokelatnya dibiarkan berantakan, juga kaus abu-abu berlengan panjang melekat di badan rampingnya. Mata hijau emerald Troy tampak bersinar manakala lelaki itu menerbitkan senyum lebar.

Louisa melepas sebelah earphone membalas tarikan simpul di bibir yang refleks muncul begitu saja dari wajah. Detik berikutnya, dia mengernyitkan alis dan bertanya-tanya kenapa pula dia harus melakukan hal itu kepada Troy? Dan kenapa pula dia bertemu pria itu lagi?

"Hei," sapa Louisa. "Kau--"

"Kebetulan yang aneh kita bertemu di tempat yang sama," sela Troy terdengar percaya diri. Dia menjilat bibir merahnya merasa malu-malu kemudian berkata, "Aku mendengar bahwa kau akan menghadiri konferensi pers."

Louisa mengangguk. Mungkin Troy terlalu antusias menjadi pengikutnya di Instagram sehingga selalu up to date melebihi fans berat. "Kau pasti terlalu banyak membaca berita tentangku," ujarnya. "Sorry, akunku dipegang Cory kalau komentarmu dibalas olehnya." 

Troy melenggut paham karena tidak mungkin Louisa sempat bermain-main media sosial di tengah kesibukan. Dia mengulurkan sebelah tangan untuk memberi ucapan semangat. "Aku turut bahagia atas pencapaianmu, Lou."

Ragu-ragu, akhirnya Louisa membalas jabatan tangan itu. "Dan aku juga turut bahagia bisa terlepas darimu," balas Louisa serasa meruntuhkan harapan di hati Troy. 

"Maafkan aku." Troy mengatupkan bibir. "Bisakah kita minum berdua selepas acaramu?"

Ada apa ini? batin Louisa berdentum tak karuan. 

"Jika aku tidak sibuk," tukas Louisa tak langsung menyetujui ajakan Troy. "Aku harus pergi."

Dia bergegas meninggalkan sang mantan daripada harus bercengkerama lebih jauh. Selain itu, Louisa menangkap gelagat lain dari cara pandang Troy yang tampak ingin membicarakan sesuatu. Banyak spekulasi dan pertanyaan bermunculan di kepala Louisa dan berputar-putar membentuk pusaran yang bisa menenggelamkannya pada lapisan kenangan di antara keduanya. Dia membatin, apakah Troy berpisah dari kekasihnya lalu kabur ke sini dan beralasan sedang ada pekerjaan? 

Kemungkinannya seimbang. Tapi, Louisa tidak ingin bersenang hati dulu sebelum benar-benar mendengar kebenaran Troy telah berpisah. Bisa jadi tidak ada masalah dan kekasihnya yang hamil besar itu memang tidak diperbolehkan terbang jarak jauh demi keselamatan sang bayi.  

Begitu memasuki lobi gedung AnB seraya menyapa orang-orang, Louisa melangkahkan kakinya yang berbalut sepatu jinjit mencolok menuju aula pertemuan. Benaknya masih dibuat penasaran dengan sikap Troy. Pertemuan yang entah disengaja atau tidak. Ajakannya untuk ke kafe berdua dengan pembicaraan yang tidak bisa diterka Louisa. Ingin sekali dia menggigiti kuku jari, meraba-raba apa yang direncanakan pria tinggi itu.

"Mr. Cross!" seru salah seorang lelaki berbadan kekar dengan setelan formal memandang ke belakang Louisa membuat gadis itu kontan berpaling. 

Fuck! Dean ada di sini!

Seketika tungkai Louisa serasa meleleh dalam hitungan detik melihat pria yang sudah lama tidak ditemui. Dua minggu? Dua bulan? Dirinya tidak yakin. Terakhir kali hubungan mereka benar-benar tidak berjalan bagus dan masih ada rasa sakit yang tertinggal atas ucapan Dean kepada Louisa. Bagaimana lelaki itu menolak cintanya secara terang-terangan. 

Sialnya, kenapa hanya dengan menatap sekilas pria bermata biru tajam tersebut meningkatkan detak jantung Louisa? Seolah-olah dirinya adalah manusia tanpa nyawa yang kini telah menemukan jiwa. Merasakan tarikan gairah yang terpancar dari aura Dean, terutama bingkai wajah tanpa bakal janggut, menonjolkan pahatan rahang tegas yang diukir oleh Sang Pemilik Alam. Air liur Louisa nyaris menetes mengamati penampilan Dean dalam balutan jas biru terang yang pas di tubuh atletisnya. Manalagi pandangan Louisa mengarah ke jari-jari Dean yang pernah menjelajahi tubuhnya serta memuaskan dirinya hingga ke langit tanpa batas.

Damn! He's fucking fine!

Louisa nyaris lupa cara bernapas ketika pria itu mendekatinya dengan tatapan penuh arti. Kedua alis Louisa mengerut dalam, menyadari bahwa di balik jas biru tersebut ada kemeja senada yang pernah dia hadiahkan sewaktu di Milan. Otomatis dia menggigit bibir bawah saat Dean menunduk membisiknya pernyataan sensual yang menggetarkan bulu roma, meruntuhkan seluruh dinding-dinding yang dia bangun selama fase perpisahan dengan lelaki bajingan itu. Menahan diri untuk tidak membawa Dean ke tempat sepi di mana hanya ada mereka berdua yang berlumuran hasrat. 

"I miss your lips," lirih Dean. "Don't bite like that, Babe!"

Dean menegakkan tubuh berbarengan kilatan sensual dari iris matanya sambil menaikkan sudut bibir. Kemudian berjalan cepat mendahului Louisa yang masih tertancap di tempatnya berdiri. 

Louisa memaksa kepalanya berputar mengekori jejak Dean yang kini berbicara dengan pria berbadan besar tadi di depan pintu ruang pertemuan. Dewi batinnya mengumpat keras dan tidak percaya atas apa yang dia dengar. Apakah Dean sedang menarik ulur perasaan? Untuk apa Dean menggodanya seakan-akan lelaki itu tidak bisa jauh dirinya?

Tak lama Dean menoleh lalu berkata, "Apa kau akan berdiri di sana sampai acara selesai, Ms. Bahr?"

What?

Dia berjalan menghampiri Louisa, mengulurkan tangan kanan, namun pandangannya beralih ke arah Troy yang datang untuk menghadiri konferensi pers mantan kekasihnya. "Let me do what your ex couldn't." Kontan dia merengkuh pinggang ramping Louisa, memberikan sebuah ciuman panas untuk gadis itu tanpa sempat ditolak. Menahan tengkuk gadis itu dan menyesap penuh kerinduan bibir sensual Louisa walau hati Dean masih terpaut oleh masa lalu. Dia melirik ke arah Troy yang berdiri canggung di belakang Louisa selanjutnya berkata lirih, 

"Relax Babe." Jempolnya membelai bibir Louisa yang basah.

"Jangan menggodaku, Dean," balas Louisa memejamkan mata merasakan kebutuhan akan diri Dean dalam dirinya. Mengepalkan kedua tangan untuk tidak mendekap tubuh Dean saat ini juga. Dia adalah godaan terpanas yang harus Louisa jauhi setelah bayang-bayang menyakitkan berputar dalam kepala. Louisa membuka mata, menguatkan diri bertemu tatap dengan iris biru samudra Dean lantas berkata lagi, "Kau tahu kita bukan apa-apa. What do you want from me?"

"You." Dean berkata pelan namun tegas. "I still want you, Lou. Terlepas dari apa yang kukatakan kemarin."

"Don't play with me, Mr. Cross," ujar Louisa terdengar kecewa bercampur kesal. "I'm not that girl anymore. Aku tahu Troy ada di belakang kita, maka dari itu kau menciumku tiba-tiba seolah-olah aku masih milikmu. Aku sudah tidak peduli lagi, Dean. Kalian hanyalah pecundang di mataku."

"Lou ..." panggil Dean mencoba menahan Louisa. 

"Aku bukan budakmu, Dean," balas Louisa lebih tajam lantas meninggalkan Dean seorang diri tanpa menoleh ke arah Troy.

Sialnya kenapa hari ini harus bertemu dua mantan bajinganku? ketus Louisa dalam hati. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro