Chapter 32

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Telunjuk kanan jari bercat merah menyala itu mengusap bibir gelas, sesekali menghidu aroma kopi yang menenangkan pikiran kalut selagi berhadapan dengan pria bermata hijau emerald di kafe. Tidak ada percakapan, melainkan helaan napas yang berulang kali terdengar seolah-olah beban yang dipikul pundak Louisa berton-ton beratnya. Dia melirik sebentar ekspresi datar Troy dari balik bulu mata lentiknya. Pria itu tak jauh beda, sibuk tenggelam dalam isi kepala dan bingung harus memulai perbincangan setelah lama tak berjumpa.

Louisa menarik napas lagi, mengembuskannya melalui mulut lantas berpaling ke sisi kiri menyorot lalu lalang kendaraan. Mungkin sebuah langkah gila saat Louisa justru mengajak Troy minum berdua tuk menghindari Dean yang mengejarnya dari ruang pertemuan. Dan kini, mereka berdua dibelenggu atmosfer kaku. 

Troy mengangkat cangkirnya, menyesap sebentar latte untuk menghilangkan suasana canggung yang benar-benar terbentang. Kemudian dia berkata, "Kupikir ..."

Ucapannya mendadak menguap tanpa bekas. Ada nada ragu yang tersirat di sana karena takut salah. Dia menggigit bibir bawah tanpa berani memandang bola mata Louisa, mengetatkan rahang lantas melanjutkan kalimat,"Ada sesuatu yang salah tentang kita."

Louisa mengerutkan kening tak mengerti. "Apa maksudmu?"

"Aku ..." jemari Troy memeluk cangkir putih dan mengamati latte yang tersisa setengah. Selanjutnya menatap iris mata Louisa. "Aku menyesal menyakitimu, Lou. Dan ... aku juga menyesal bahwa hatimu sudah diisi pria lain."

Apa maksudnya? batin Louisa menebak-nebak ke mana arah pembicaraan Troy. Apakah Tuhan sudah memberinya hukuman setimpal atas rasa sakit yang dia derita? Apakah kekasih Troy melakukan hal yang sama dengan sang mantan sampai dia mengatakan sebuah penyesalan?

"Aku berpisah dengan kekasihku," sambungnya sebelum Louisa menimpali ucapan Troy. "Dan aku pantas mendapatkannya."

Ada jeda cukup panjang bagi Louisa mencerna pernyataan Troy yang terlalu tiba-tiba tersebut. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada rasa senang di hati Louisa karena semua doa yang dia panjatkan kepada Tuhan benar-benar dikabulkan. Kehidupan di dunia akan selalu berputar dan semua yang manusia lakukan akan selalu menimbulkan dampak di masa depan. Termasuk kelakuan Troy di masa lalu padanya. 

Di satu sisi, dia juga iba atas apa yang menimpa Troy. Dia tahu betul bagaimana rasanya dicampakkan oleh orang yang sudah mengikrarkan janji untuk saling mencintai. Lihat saja wajah Troy yang sama sekali tidak menunjukkan raut bahagia pun sinar matanya juga meredup bagai kehilangan penopang hidupnya. 

Louisa mengangguk pelan. "Oleh sebab itu kau datang ke sini?"

Troy mengangkat kedua bahunya, menyunggingkan seulas senyum kecut. "Aku tidak tahu. Kebetulan saja aku mendapat proyek pemotretan di San Diego dan kupikir ini yang bisa membuatku lari dari masalah kemarin."

"Aku turut prihatin," ucap Louisa memberikan simpati pada sang mantan kekasih. "Cinta tak selamanya indah, Troy. Tidak ada yang abadi di dunia ini sehebat apa pun cinta yang kau berikan." Dia menoleh ke arah jalanan manakala bayangan Dean kini menelusuk masuk dalam pikiran. Potongan momen ketika mereka berada di observatorium tuk menonton keagungan alam di malam hari, melihat bulan dan bintang dari teleskop, sampai ciuman lembut yang bisa dia rasakan hingga sekarang. 

Semua terpatri begitu sempurna walau Louisa berusaha mengikisnya. Bersama Dean memang singkat tapi semua terasa luar biasa termasuk bagaimana lelaki itu mengabadikan dirinya dalam sketsa lukisan. 

Dan sekarang gambarku menjadi salah satu dari deretan mantannya. 

"Apa kau ada masalah dengan kekasihmu?" tanya Troy penasaran. "Sorry, tapi aku melihat kalian di depan pintu pertemuan dan kau meninggalkannya seorang diri."

"Maybe," lirih Louisa menerawang bayang-bayang Dean. "Sekuat-kuatnya hubungan, selalu ada celah untuk merobohkannya, Troy. Aku ... sudah tidak percaya lagi." Bibir Louisa bergetar menahan isak tangis yang kapan saja bisa pecah. Dia tidak ingin terlihat mengenaskan di depan Troy atas kisah cinta bertepuk sebelah tangan terhadap Dean. 

"Apa dia membuatmu terluka?" tanya Troy. 

Louisa menggigit bibir bawah lalu mengangguk pelan. Lidahnya terlalu kaku untuk melontarkan semua yang mengganjal dalam hati. 

Tangan kanan Troy terulur menyentuh jemari Louisa menimbulkan gelenyar aneh dalam dada gadis itu. Dia tidak menolak namun tidak juga menerima. Hatinya terlalu hampa, terlalu sakit, dan sekarang dia terombang-ambing oleh sesuatu yang tidak jelas. 

"Mach dir keine Gedanken darüber," ujar Troy. "Mungkin ... kita bisa memulai lagi apa yang dulu telah hilang, Lou." 

(Jangan khawatirkan itu)

Tatapannya berubah seteduh awan dan berucap penuh harap kalau masih ada sisa hati untuknya yang disimpan Louisa. Dia merasa kalau hanya Louisalah perempuan yang selalu memahami dan mencintainya tanpa pamrih. Apalagi hubungan yang mereka jalani dulu tidak satu bulan atau dua bulan. Bertahun-tahun mereka menjadi sepasang kekasih semenjak pertemuan pertama ketika Louisa memenangkan lomba balet di Berlin. Dan sekarang, Troy ingin mengulang kebersamaan seperti waktu itu. Hanya dia dan Louisa.

"Akan kupikirkan kembali, Troy."

###

Dean memanggil ...

"Ponselmu berdering terus, Lou," ujar Cory ketika mereka berdua duduk di ruang tamu sembari meluruskan kaki dan memangku berondong jagung. "Apa dia sekarang jadi penjilat tampan, huh?"

Louisa tertawa menolak panggilan yang sudah kesepuluh kali kemudian menonaktifkan ponselnya. Mengerlingkan sebelah mata lalu berkata, "Aku menyukai lidahnya berada di tubuhku."

Cory melempar satu pop corn ke arah wajah Louisa sambil mencebik kesal. "Kurasa otakmu sudah dipenuhi bagaimana kalian menghabiskan malam-malam bersama."

"Memang. Itu kenyataan pahit, Cory," tandas Louisa mengarahkan pandangan ke layar televisi yang menampilkan film Redeeming Love.

Dia menyandarkan kepala ke bahu Cory sembari mengomentari akting Tom Lewis yang benar-benar menjadi pria idaman semua wanita di dunia. Bagaimana dia berusaha untuk meyakinkan Angel yang diperankan Abigail Cowen untuk menjadi pujaan hati. Kisah cinta pada pandangan pertama menurut Louisa tidak selamanya indah, sama seperti ketika Dean menyatakan diri mengagumi Louisa menjadi Cecilia di From The End. 

"Ah, bagaimana dengan Troy? Kau belum cerita padaku," tukas Cory mengingatkan kalau hari ini Louisa memberanikan diri mengajak mantan kekasihnya minum berdua. "Apa dia membual lagi?"

Louisa mengangguk. "Dia menginginkan hubungan kami kembali."

"What!" pekik Cory mendorong Louisa. Mengamati ekspresi wajah gadis itu dan mencari-cari apakah ini sebuah lelucon. Jika itu benar-benar candaan, maka Cory menganggapnya tidak lucu. "Seriously? Atas dasar apa dia mengajakmu ... oh, dia putus dengan kekasih jalangnya itu kan?" 

"Absolutely," jawab Louisa. "Dia tahu kalau ini sebuah karma karena pernah meninggalkanku."

"Dia pantas mendapatkannya, Lou, astaga ... aku benar-benar muak! Kenapa pria selalu menyesal dan memohon-mohon seperti pengemis ketika mereka dicampakkan orang lain?" omel Cory kini tak lagi minat terhadap film di depan mereka. "Troy dan Dean adalah dua pria menjijikkan. Mereka berdua membuangmu dan kini ... lihat, ponselmu sedari tadi tidak berhenti berdering. Troy mengajakmu berkencan seolah-olah dia sudah lupa akan dosanya di masa lalu. Apa dia gila?"

"Calm down, Mr. Conley," kata Louisa menepuk paha Cory. "Kau tahu aku tidak menerima begitu saja, Cory. Aku hanya bersimpati padanya."

"Simpati adalah cikal bakal kau bisa membuka hati lagi, Lou!" sembur Cory tak suka.

"Tidak." Louisa menggeleng mantap. "Tidak ada ruang lagi untuk Troy, Cory. Entah dia memohon dan menangis darah, aku tidak akan kembali. Menjalin pertemanan, ya, tapi kekasih? Kurasa itu ide buruk."

Cory menyipitkan mata tuk mencari-cari apakah ada kebohongan lain tengah disembunyikan gadis itu. Dia ingat betul betapa Louisa memuja-muja bak dewa turun dari surga sampai akal sehatnya dikaburkan kenyataan kalau Troy bermain belakang. Dia mengunyah berondong jagung lagi, berpikir apakah Louisa bisa menepati ucapannya untuk kali ini. Sungguh yang bakal kerepotan menghadapi gadis itu ketika patah hati adalah Cory. Bukannya tidak ikhlas menjadi manajer, hanya saja dia harus menerima banyak telepon sekadar memberikan klarifikasi yang tidak penting.

Melelahkan!

"Jadi?"

"Sejujurnya, aku memikirkan Dean." Louisa memeluk wadah pop corn erat, menatap lurus ke arah layar televisi ketika tokoh di depan mereka tengah berciuman panas. Seberkas ingatan tentang kecupan-kecupan Dean langsung menggerayangi pikiran Louisa. Betapa dia merindukan lelaki itu berada di dekatnya. Menyesap kuat aroma tubuh maskulin Dean. Tersenyum penuh bahagia ketika mencapai klimaks bersama hingga perdebatan yang tidak pernah absen selama mereka menjalin hubungan tanpa status.

"I know it well from your eyes," ujar Cory menunjuk bola mata Louisa dengan jari tangan kanannya. "Pikirmu aku tidak tahu kalau kalian bertemu di gedung AnB dan berciuman mesra seperti orang yang dipisahkan jarak selama bertahun-tahun?"

Louisa menganga sebentar mengapa Cory tahu isi kepalanya saat dia sendiri belum membuka cerita.

"Cek Instagram, Sayang," pinta Cory menyuruh Louisa mengambil ponselnya lagi dari atas meja kaca. Buru-buru Louisa menarik cepat IPhone tersebut dan membuka akun miliknya yang dikelola Cory. Tangan kirinya langsung membungkam mulut, bagaimana bisa pencari berita atau siapa pun memotret Dean sedang mendekap erat dan memagut bibir Louisa.

"Mereka memotretmu dan menyebarkan berita kalau Dean datang hanya untuk memamerkannya dirimu kepada Troy. Menurut berita, Dean sudah tahu jika mantanmu menghadiri acara tersebut," jelasnya lagi.

"Ck, dasar mereka sinting," gerutu Louisa membaca banyak komentar. "Apa mereka benar-benar mendoakanku putus?"

"Absolutely!" Cory melenggut. "Mereka juga tahu kalau kau bertemu, Troy dan minum berdua. Seperti episode kedua hubunganmu yang kandas."

"Mereka tidak tahu apa-apa."

Cory mengangkat bahu dan tidak lama terdengar suara ketukan di balik pintu kamar apartemen. Mereka saling bertatapan mengirim sinyal serta menerka siapa yang datang. Louisa menyikut tulang iga Cory, menaik turunkan alisnya.

Pria kemayu itu memutar bola mata laku berdiri untuk menyambut siapa pun tamu tak diundang di sana. Sementara Louisa mengambil ponsel milik sang manajer dan melihat kembali potret dirinya bersama Dean di laman Instagram. Ciuman tanpa aba-aba itu masih terasa menyapu bibir dan menggetarkan seluruh bulu romanya. Gila memang tapi Louisa merasa kalau hanya Dean yang mampu membangkitkan gairah bercampur obsesi,  buktinya dia sama sekali tidak tertarik pada Troy.

"Tapi, dia tidak menyukaimu balik, Lou," gumam Louisa tersenyum kecut.

"Sampai kapan kau melihat foto kita berciuman?" sahut seseorang membuat Louisa refleks melempar ponsel Cory dengan bola mata membesar.

Shit!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro