Chapter 34

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pengambilan video pertama untuk film Last Dancing berada di distrik teater Houston, Texas, ketika Louisa mengenakan gaun balet berwarna ungu berbahan tile. Di bagian pinggang dibuat berlapis-lapis mengingatkan pakaian yang dikenakan Tinkerbell, sementara korset ungu berwarna lebih gelap dihias kilau mutiara di bagian dada bergaya off shoulder. Rambut cokelat sebahu Louisa dibuat bergelombang dipermanis dengan poni dan jepit rambut bermotif bunga keperakan. Dia makin menawan di balik riasan natural yang menonjolkan pulasan eyeshadow gelap tuk mempertegas mata.

Di atas sepatu pointe, dia menari-nari begitu luwes bersama penari latar yang mengenakan kalasiris--kostum Mesir kuno--yang dimodifikasi menggunakan kain gliter hitam dibelah samping agar memaksimalkan pergerakan. Musik mengalun begitu dramatis berbarengan pencahayaan menyorot dirinya seorang bagai peri yang berpesta ria di tengah gelapnya malam. Gaun bawahnya berayun-ayun mengikuti setiap langkah Louisa saat berputar di atas satu kaki dan tangannya terangkat di atas. Dia tersenyum penuh penghayatan, membayangkan Abby begitu bangga bisa tampil di atas panggung megah Alley Theater. 

Begitu musik makin mengencang, dia bersama para penari latar mengelilingi panggung, melebarkan kaki dan melompat-lompat bersamaan membentuk harmoni bak angsa yang hendak terbang. Bersatu kemudian berpencar dilanjut formasi lingkaran di mana Louisa berpindah ke tengah. Cahaya redup silih berganti terang kemudian berubah warna dari kuning ke putih lalu kuning lagi. Sampai pada akhirnya Louisa menaiki anak tangga berpose seperti menyambut semburan sinar bulan ketika butiran-butiran kecil berkilauan menghujaninya. 

Penonton bayaran yang duduk di kursi-kursi berbahan suede merah langsung berdiri berbarengan seraya bertepuk tangan memberi apresiasi kepada Abby. Sutradara langsung berteriak, 

"Cut! Amazing, Lou! Amazing!"

Kru yang sedari tadi memerhatikan adegan pertama Abby benar-benar dibuat kagum, mereka juga ikut bersorak bahwa Louisa benar-benar terhipnotis karakter yang diperankan. Tak segan-segan ada yang merekam melalui ponsel untuk memberikan spoiler bahwa aktris yang dipilih tim casting sungguh berbakat di luar kontroversialnya bersama Dean dan Troy. 

Cory yang berdiri tak jauh dari area syuting pun berkaca-kaca penuh kebanggaan. Dia akhirnya bisa menyaksikan secara langsung bagaimana Louisa menari balet seolah-olah berada di kompetisi seperti yang gadis itu ceritakan. Cory sangat setuju kalau Louisa mendapatkan juara pertama dari tiap gerakan dan penghayatannya.

Louisa tampak tertawa seraya mengucapkan terima kasih dan menerima botol mineral dari salah satu kru. Kemudian dia berlari ke arah Cory dan berseru, "Menegangkan!"

Diteguk air mineral tersebut ketika ekor matanya mengarah ke arah Theo yang mengenakan kemeja longgar berwarna cokelat pucat bagai cairan late panas. Rompi senada menghiasi tubuh bidang pria itu ditambah celana pipa gelap membungkus kaki panjangnya. Rambut pirang Theo ditata rapi nan klimis sehingga terlihat seperti seorang pria bangsawan yang akan menghadiri acara formal.

Sembari membawa kertas berisi dialog James, Theo menyapa Louisa dan Cory dengan senyuman secerah langit musim panas. Matanya terlihat berbinar-binar kemudian berkata, "Kau mengagumkan!"

"Trims!" Louisa tersipu malu. "Aku tidak sabar kita menari bersama. Mengingatkanku adegan di film La La Land."

"Itu tap dance, Lou," timpal Cory. "Ke mana Antony?"

Theo terkekeh. "Kuharap kita bisa serasi seperti mereka." Dia mengerlingkan sebelah mata.

"Setelah ini adegan apa?" tanya Cory.

"James akan bermain piano dan mendapat banyak uang dari pertunjukan solonya," kata Theo. "Di pertengahan jalan, dia menjumpai Abby tengah dirampok dan nyaris diperkosa."

"I see, adegan menakutkan bagiku," komentar Cory. "Seharusnya Abby perlu belajar bela diri."

"Itu poinnya," sambung Louisa. "Perempuan perlu bela diri agar tidak diinjak-injak pria. Apalagi masalah bercinta."

Sontak saja Cory tergelak, Theo menaikkan alis mengamati reaksi pria nyentrik yang suka mengecat kukunya dengan warna neon. Sesaat kemudian dia ikut tertawa dan berkata, "Bercinta dan diperkosa adalah hal yang berbeda, Lou. Ketika suka sama suka, maka nafsu akan berubah menjadi Cinta satu malam. Kalian akan saling mendamba dan memohon kepada Tuhan agar malam panas itu tidak benar-benar berakhir. Dan tanpa disadari, hubungan tersebut mengikat dua perasaan."

"Absolutely!" timpal Cory menjentikkan jari menyetujui pendapat Theo. "Sayangnya, teorimu tidak sesuai kenyataan, Mr. Fillan."

"Tidak semua orang bisa jatuh Cinta secepat itu, Theo. Bahkan ratusan percintaan pun tak akan membuat seseorang benar-benar menaruh hatinya," tandas Louisa teringat Dean. "Bahkan aku sendiri."

Mendadak Theo salah tingkah mengetahui hubungan temannya masih belum benar-benar baik. Dia merasa kalau tidak sepatutnya Louisa meneruskan jalinan asmara bersama orang yang hanya memanfaatkan tubuh untuk kesenangan sesaat. Bagaimana pun juga, perempuan yang notabene lebih emosional sering kali mengalami fase-fase terbawa perasaan selepas bercinta.

Theo berdeham pelan dan tak lama seorang pria gembul meneriaki namanya agar segera bersiap diri mengambil adegan. Dia melambaikan tangan seraya mengangguk lantas berpamitan kepada Louisa dan ingin mengajak makan malam berdua selagi di Texas.

Cory geleng-geleng, menyipitkan mata mengawasi punggung lebar nan tegap Theo lalu berbisik kepada Louisa. "Dibanding Dean, entah kenapa aku lebih suka Theo."

Refleks Louisa menoleh, menaikkan sebelah alisnya dan berkata, "Kami hanya berteman, Cory. Aku tidak punya perasaan kepadanya."

"Teman yang kau tiduri," canda Cory dibalas cubitan di lengan berotot lelaki tinggi itu.

###

Selama menjalani proses pengambilan adegan film di Houston, Louisa lebih senang menikmati waktu-waktu di kota metropolitan bersama kru. Melepas penat sembari bersulang bir yang dibeli dari D&Q atas rekomendasi salah satu tim. Dilanjut berjalan di pusat kota berhias gemerlap lampu-lampu penerangan beraneka warna serta macam-macam toko menawarkan barang. Suara berisik klakson maupun deru kendaraan menambah atmosfer keramaian di sini. 

Restoran dan bar juga tidak mau kalah, menyajikan beragam olahan baik tacos, fajitas--olahan daging panggang yang dimakan bersama tortilla, dan cobbler--kue panggang berisi buah-buahan dan biasanya disajikan dengan es krim. Yang tidak kalah menarik adalah bir berkualitas tinggi di Texas, namun menurut Cory olahan D&Q-lah yang masih membekas di lidah dan hatinya. 

Hiruk pikuk kegiatan pembuatan film tak lantas membentangkan jarak di antara Louisa dan Dean. Lelaki itu beberapa kali mengirim pesan teks berisi ucapan betapa rindu dirinya merengkuh gadis itu dalam dekapan atau terlelap di sampingnya sambil menenggelamkan wajah di ceruk leher. Louisa membaca untaian kata-kata manis si perayu ulung, kemudian membalas bahwa semua rayuannya tidak akan mempan sekarang.

Bagaimana bisa Dean bersikap seolah-olah semuanya tidak pernah terjadi? Berkata bahwa dia cemburu atas kedekatannya kembali bersama Troy, berkomentar tentang pakaian yang akan dikenakan Louisa saat pengambilan adegan, sampai mengatur kepada siapa yang Louisa boleh berbincang. 

Cih! Munafik! 

Louisa : Sampai kapan kau mau berhenti mempermainkan hati wanita?

Dean : Aku tidak merasa seperti itu. 

Dean : Akhir pekan ini, aku akan ke sana. Ada tempat yang perlu kita datangi berdua. 

Louisa : Kedengarannya tak akan jauh dari ranjang. 

Dean : Haha. I want you so bad.

Louisa : Then, taste me!

Sebelum menutup aplikasi kirim pesan, Louisa memotret  es krim kebiruan dihias permen kapas, taburan sprinkle warna-warni, dan marshmallow bakar untuk dipamerkan kepada Dean. Dia terkekeh, menulis rangkai kalimat yang pastinya memancing hasrat lelaki itu untuk segera menghampirinya tanpa perlu menunggu akhir pekan.

Louisa : I'm wet for you. 

Dean : Don't tease me. 

"Hei, kurasa kau punya dunia lain," sahut Cory selepas keluar dari toilet dan mendapati Louisa tengah senyum-senyum sendiri sampai mengabaikan es krim di depannya. 

Louisa mengangguk dan menunjukkan isi percakapannya dengan Dean membuat Cory geleng-geleng kepala. "Kau memang selalu bermain-main dengan orang yang menyakitimu, Lou. Aku tidak paham."

Sebelum Louisa menanggapi kritikan Cory, ponselnya berdering menampilkan nama Troy. Refleks bola mata gadis itu membulat mengetahui sang mantan kembali menelepon setelah sekian lama mereka tidak berkomunikasi secara pribadi. Louisa memiringkan kepala, meragu untuk menjawab panggilan tersebut. Isi kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan atas sikap Troy yang berubah semanis kembang gula dan perhatian lelaki itu benar-benar membingungkan Louisa. Entah kenapa, sebagai mantan, Troy dianggap terlalu berlebihan memberikan perlakuan kepada Louisa termasuk membawakannya beberapa baju musim panas, sepatu, dan tablet vitamin supaya sang artis menjaga stamina. 

"Kenapa kau membelikanku semua ini?" tanya Louisa sebelum berangkat ke Houston. 

"Karena ini bisa membuatmu mengingatku," jawab Troy mengukir senyum penuh ketulusan. "Aku bilang kan, kalau aku benar-benar ingin kembali padamu, Lou?"

"Danke, aber ..."

(Terima kasih, tapi ...)

"Schatzi ... du bist mein Ein und Alles, oder?" Troy menarik tangan Louisa, menatap lurus ke dalam iris mata cokelat tersebut. "Ich mag dich, Lou."

(Sayang ... kamu adalah duniaku, kan? Aku suka padamu, Lou.)

"Biar aku yang menjawabnya," tukas Cory merebut ponsel Louisa dan membuyarkan kilasan yang berputar dalam kepala. Dia duduk agak jauh agar Louisa tidak terpancing janji-janji manis memuakkan dari bibir Troy. Dia benar-benar jengah atas kelakuan mantan-mantan Louisa yang mencoba mendekat kembali setelah mencampakkannya setengah mati. Tentu saja, satu telepon dari Troy bisa mengalihkan seluruh atensi Louisa untuk bisa move on dan menjalani hidup baru tanpa pasangan. "Cory di sini. Ada apa?"

Gadis itu menarik napas, memijat kening beberapa saat lantas berpaling ke arah sang manajer. Sungguh, dia benar-benar dibuat gelisah atas kembalinya dua manusia tanpa hati yang dulu membuangnya seperti bangkai dan sekarang menariknya lagi tanpa rasa malu. 

"Katakan apa maumu, Troy," ketus Cory seraya mengamati kuku-kuku cantiknya yang baru saja dicat warna oranye menyala. "Kau tahu kami sibuk untuk membesarkan nama mantan yang dulu kau singkirkan tanpa berpikir jernih. Kenapa kau sekarang menjadi penjilat?"

"Cory ..." Louisa mencubit lengan Cory agar tidak sembarangan berkata kasar. 

Yang ditegur hanya memutar bola mata dan menyiratkan Louisa untuk tetap diam. Dia kembali berdebat, "Sebatas berkata kau ingin kembali dan mencintainya? Troy, come on. Itu klasik sekali. Tidak ada manusia yang bisa memulai kembali hubungan lebih baik setelah mereka berpisah. Yang ada hanyalah manusia itu tak punya muka dan menjadi penjilat manis seolah-olah tidak ada yang terjadi."

"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Louisa kemudian merebut ponselnya sambil membelalakkan mata. "Sudahlah, kami hanya berteman."

"Otakmu sudah dicuci," sindir Cory kesal. 

Louisa merangkul Cory lalu menerima panggilan Troy. "Aku sayang padamu, Cory. Tapi, ini bernar-benar ..." dia berbisik agar mantannya tidak mendengar. "Aku tidak punya rasa apa pun, kami hanya berteman."

"Kau membuatnya tampak memberi harapan besar!" seru Cory.

"Ssst ... diamlah!" pinta Louisa kemudian memanggil Troy. "Hei, sorry, tadi ada masalah sebentar. Ada apa?"

"Kau di mana?" tanya Troy.

"Aku di Chinatown membeli es krim di toko Aqua S," kata Louisa. "Kenapa?"

"Ich vermisse dich," ucap Troy kembali menimbulkan gelenyar di hati Louisa. "Aku merasa sendirian di Manhattan. Apalagi jauh darimu."

(Aku merindukanmu)

Sialan! gerutu Louisa dalam hati. 

Kenapa para pria selalu membingungkan para wanita? Apa yang mereka inginkan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro