Chapter 35

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bersama Theo, Louisa tengah berdialog di mana Abby dan James tengah duduk dan bermain piano bersama. Menyanyikan sebuah lagu dari Bobby Caldwell yang pernah populer di tahun 70-an sambil sesekali melempar kerlingan mata sebagai interaksi kecil di antara dua tokoh utama. Tidak disangka bahwa suara Theo benar-benar merdu untuk didengar sampai-sampai Louisa merasa dirinya tidak sedang menghadapi James, melainkan diri pria manis tersebut. 

Selagi sutradara tidak menghentikan adegan mereka di sebuah restoran bertema vintage, Theo menarik tangan Louisa agar menari bersama seraya menjentikkan jari ke arah pelayan untuk memutar lagu dari penyanyi jazz Amerika itu. Pelayan berkulit hitam yang menjadi cameo mengangguk kemudian memutar musik dari piringan hitam. Aktor dan aktris yang dipasangkan oleh penulis naskah itu berdansa di bawah temaram lampu restoran. Bagai hanyut dalam bait demi bait yang dinyanyikan, Theo merengkuh pinggang Louisa, menempelkan keningnya dan masih terus melantunkan lagu. 

I came back to let you know

Got a thing for you and I can't let go

But then I only want the best, it's true

I can't believe the things I do for you

Louisa menggigit bibir bawah di balik pulasan lipstik merah menyala dan gaun polkadot selutut yang dikenakan. Dia menerima ciuman Theo begitu antusias sambil mengalungkan lengan di leher lelaki itu. Ciuman lembut nan romantis di bawah temaram lampu restoran yang sengaja diatur sang pelayan menjadi sedikit redup ketika Theo memberi isyarat dengan tangan kanan. 

"Abby, aku sungguh tergila-gila padamu," ujar Theo disela ciuman mereka. "Kau ... gadis paling menawan yang pernah aku temui."

"Jadi, ada berapa banyak gadis yang kau rayu, James?" bisik Louisa saat Theo menggesek-gesekkan puncak hidungnya ke hidung gadis cantik itu. 

"Only you, Darling," balas Theo.

"Cut!" teriak sutradara menghentikan adegan.

Theo langsung bergerak mundur diiringi semburat merah yang tercetak jelas di kedua pipi manakala scene tadi dinyatakan berakhir. Dia mengusap tengkuk lalu melirik Louisa yang tertawa malu-malu mendengar penuturan beberapa kru melihat aktingnya. 

"Lou!" panggil Cory sebelum Theo sempat menyebut nama Louisa. Pria bermata lentik dan beriris biru terang itu menyerahkan ponsel Louisa kemudian berbisik, "Si penjilat seksi sedari tadi meneleponmu."

"Kenapa kau tak bilang kalau aku masih syuting?" protes Louisa selanjutnya berpaling ke arah Theo. "Hei, aku terima telepon dulu. Thanks, Theo, aktingmu benar-benar luar biasa. Aku menyukainya!"

Theo melenggut ketika Louisa bergerak menjauhinya bersama Cory. Gadis itu menelepon balik Dean selepas membaca pesan-pesan yang dikirimkan si pria labil. Louisa menerima botol mineral dari Cory berbarengan lelaki itu menyeka bulir keringat yang bermunculan di dahi dengan selembar tisu. Mereka duduk di kursi kayu bercat hitam berpayung warna senada untuk melindungi mereka dari sengatan matahari. 

"Ada apa kau meneleponku?" tanya Louisa begitu mendengar suara Dean. "Kau tak tahu kalau di sini aku sibuk?"

"I miss you so bad," ujar Dean seketika melelehkan dinding pertahanan Louisa. "Kupikir ada beberapa dialog yang mengharuskan kalian bercumbu. Benar kan?"

"Itu hanya adegan biasa, Mr. Cross, ayolah ... jangan kekanakan," tandas Louisa kesal sambil menyandarkan punggung. Ekor matanya mencerling ke arah Cory yang menatapnya penuh tanda tanya. "Lagi pula hubungan kita sudah berakhir, Dean," lirih Louisa mengedarkan pandangan berharap tidak ada yang mendengar kalimatnya. 

"Tapi, kau tidak menolakku saat kita bercinta," goda Dean terkekeh tanpa rasa bersalah. 

Hanya satu kalimat itu saja, Louisa ditarik paksa di mana Dean menggodanya di balkon kala itu. Di mana bibir manis penuh rayu Dean membakar gairahnya ke puncak kenikmatan setelah mengatakan betapa dia menginginkan Louisa. Berbisik bagai seorang kekasih yang cemburu atas kedekatan Louisa dengan Troy dan beralasan bahwa kembalinya sang mantan bisa menimbulkan isu baru. 

Perut Louisa melilit bercampur timbulnya hasrat bahwa dia membutuhkan Dean sekarang, mencurahkan segala kerinduan yang diam-diam dipendam seorang diri. Membayangkan lelaki itu mengurung dirinya di bawah tubuh besarnya, mengecup dan memuja dirinya dengan belaian lidah Dean yang lihai membawa Louisa ke surga dunia. Bagaimana setiap kulit yang bersinggungan dengan kulit Dean menghantarkan Louisa ke dalam imajinasi liar bahwa bersama lelaki itu selalu membangkitkan sisi primitifnya. Merasakan diri Dean memenuhi Louisa dan berkedut di sana. 

"Aku tahu kau memikirkanku, Lou," lanjut Dean seolah-olah bisa membaca pikiran Louisa. "Aku juga melakukan hal yang sama."

"Tapi, tidak dengan hatimu," sembur Louisa menyadarkan diri bahwa tidak perlu membangun mimpi bersama Dean atas cinta yang dia berikan untuk lelaki itu. "Kau masih terbelenggu dengan perempuan itu."

Seketika Dean membisu cukup lama dan yang terdengar hanyalah gumaman tak jelas yang membuat Louisa mengernyit tak mengerti. Apakah ucapan Louisa telah menyinggung perasaan Dean? Kalau itu benar, Louisa tidak akan ambil pusing. Apa yang dilontarkannya kepada pria tampan dan sialan bajingan tersebut memang benar adanya. Perasaan tarik-ulur yang dilakukan Dean, benar-benar menciptakan rasa dilema yang bisa saja menghanyutkan Louisa tanpa ampun. Dia terombang-ambing selama beberapa waktu tanpa ketidakjelasan, lantas untuk apa Dean mengobral kata-kata mesra padanya?

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Dean," tukas Louisa memutus sambungan telepon sebelum Dean membalas kalimatnya. Dia mengembuskan napas melalui mulut, meniup poni yang menutupi dahi lebarnya lalu berpaling kepada Cory sambil melipat tangan di dada. "Aku benar kan?"

Cory mengacungkan jempol dan melempar senyum lebar penuh kebanggaan. "Pria seperti dia perlu ditarik-ulur juga. Lagi pula, aku heran kenapa dia masih saja mengejarmu setelah menolak mentah-mentah. Dasar aneh!"

"Entahlah. Aku pusing," ujar Louisa geleng-geleng kepala.

"Troy? Gimana kabarnya?" tanya Cory menyilangkan kaki, mengibaskan rambut yang mulai memanjang sebatas tengkuk. Dia terlihat seperti Troye Sivan versi tan dan lebih kekar. 

"Dia masih di New York. Dia berencana akan menetap di sana," ujar Louisa. "Sialan, kenapa baru sekarang dia pindah? Kenapa tidak sedari dulu saat aku belum terpikat Dean?"

"Girl, dunia ini berputar begitu juga dengan percintaan setiap manusia. Siapa tahu otaknya baru bekerja secara benar usai kalian berpisah dan dia putus dari kekasih barunya itu," kata Cory. "Kau jangan terkecoh hanya karena dia tinggal di New York, hubungan akan berakhir sama ketika kau mengulanginya lagi, Lou."

"Aku tahu, Cory."

"Kulihat kau terpesona dengan Theo, ciumanmu ... aku menangkapnya agak lain," goda Cory mengerlingkan mata. "Apa akan timbul hot gossip di antara kalian, huh?"

Louisa tergelak. "Tidak. Jangan sampai. Kami hanya melakukan apa yang tertulis di skenario. Dia tahu hubungan kami hanya sebatas rekan kerja, tidak lebih."

"Kau benar-benar populer di antara para pria, Lou," puji Cory menggosok dagunya dengan tangan kiri. "Maka dari itu, jangan pernah menangis hanya karena ditinggal satu pria. Aku yakin banyak pria yang rela antre untuk memiliki hatimu."

"Kurasa sebagian besar dari mereka lebih memilih bagaimana rasanya tidur denganku, Cory," timpal Louisa. "Seperti Dean."

"Ah, Shit! Lagi-lagi Dean. Yah, kau benar," cibir Cory tersenyum masam. "Adik kecilnya memang digilai banyak wanita termasuk kau."

"Hei!" seru Louisa tersipu malu. 

###

"Kau sudah mengetahui di mana dia menginap?" tanya Dean kepada asistennya ketika mereka baru saja sampai di bandara George Bush. Dia melepas kacamata hitam dan menggantungkannya di tengah-tengah kemeja putih yang dikenakan. 

Mendadak Dean menjadi pusat perhatian para penumpang yang akan terbang maupun yang baru saja datang. Bagaimana tidak, pria tinggi bermata biru terang tersebut berjalan seraya melipat lengan kemeja putihnya sebatas siku dan pemandangan sederhana itu saja sudah menjadi sebuah atensi tersendiri. Memamerkan lengan berotot, sorot mata tajam yang dominan, serta bibir tipis nan kemerahannya melengkung membentuk senyum manis. Dean berjalan bagai dewa Yunani menebar pesona ke kaum hawa sampai-sampai beberapa perempuan memuji Dean ketika melintas dan berkusu-kusu kalau mereka mengenal pria itu sebagai pimpinan muda dan paling seksi di Amerika. 

Dean membalas tatapan-tatapan mereka begitu datar seolah-olah tidak ada yang menarik perhatian kecuali Louisa. Mungkin seseorang bisa mengatainya penjilat, namun ... dia benar-benar tidak bisa mengelak kalau daya pikat Louisa sudah mempengaruhi alam bawah sadar Dean. Tanpa dia ketahui sebelumnya. Usai mereka berpisah, lebih tepatnya ketika Dean menolak perasaan Louisa, ada sesuatu yang kosong menggerogoti diri Dean. Dia akan mengelak dengan tegas kalau sesuatu itu menyinggung nama Anastasia. 

Tidak!

Posisi Anastasia tidak akan pernah dan tidak akan bisa digeser oleh siapa pun di hati Dean. Kenangan bersama sang mantan terlalu mengakar sampai ke sel saraf Dean termasuk rasa bersalahnya terhadap gadis itu telah merenggut nyawa kekasihnya juga bayinya. Mana mungkin Dean melepas perasaan berharga itu? 

Lalu, bagaimana kau bisa menyusul Louisa dan bercinta dengannya tanpa ada rasa bersalah?

Langkah kaki Dean terhenti tiba-tiba. Mr. Reese yang berjalan di samping kanan Dean seraya mendorong troli berisi koper menoleh dengan kerutan dalam di kening. "Ada yang salah, Mr. Cross?"

Dean terpaku beberapa saat, tenggelam dalam isi kepalanya sendiri. Dia jelas-jelas salah dan tahu betul kalau sedang mempermainkan perasaan Louisa. Namun, dia juga tidak mengerti kenapa pula harus Louisa yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya selama beberapa hari ini? Kenapa pula gadis itu yang selalu memenuhi otak Dean ketika sedang bekerja? Atau ... kenapa bayangan Louisa selalu mengikuti ke mana pun Dean pergi?

Tidak mungkin jikalau aku menaruh perasaan lain, kan? Bagaimana dengan Anastasia?

"Tuan?" panggil Mr. Reese tampak khawatir. "Apakah Anda baik-baik saja?"

Ekor mata Dean beralih melirik sang asisten lantas menggeleng pelan. "Aku hanya memikirkan sesuatu yang membuatku merasa kalau semua ini terasa gila."

Yang diajak bicara menelengkan kepala mencerna setiap kata dari bibir Dean. "Apakah ini tentang Ms. Bahr?"

"Menurutmu?" tanya Dean balik. 

Mr. Reese salah tingkah, menggaruk tengkuk lehernya sambil terkekeh tak tahu harus menanggapi ucapan atasannya seperti apa. "Yang kutahu ... sepertinya Anda menaruh ketertarikan."

"Sedari awal," sambung Dean membenarkan. "Tapi, ada yang lain."

"Cinta?" tebak Mr. Reese menaikkan bingkai kacamatanya yang melorot. 

"Tidak mungkin." Dean mengelak seraya memicingkan mata. 

"Kenapa tidak? Cinta tidak bisa dikendalikan manusia, Tuan. Dia akan hadir bahkan ketika Anda tidak menyadarinya. Dan kurasa ... itu hal wajar saat Anda menjalin hubungan dengan Ms Bahr," komentar Mr. Reese jika menilik kembali interaksi antara bosnya dan aktris kebanggaan agensi. 

"Kami hanya berpura-pura, kau tahu itu," kata Dean.

"Apa karena Anastasia?" terka Mr. Reese lagi.

Dean melenggut mantap. 

"Ah, apa Anda datang untuk menemuinya juga?" tanya Mr. Reese kini dibuat penasaran dengan perasaan Dean yang mudah berubah-ubah. "Saya baru ingat kalau dia di kota ini."

Dean tersenyum tipis, menepuk pundak asistennya dan berjalan mendahului tanpa menjawab pertanyaan itu. Sementara Mr. Reese terdiam beberapa saat sebelum mendorong kembali troli, mengekori jejak Dean sambil bertanya-tanya dalam hati kalau sejujurnya Dean terlalu munafik untuk mengakui perasaannya sendiri. 

Jadi, mana yang akan dia pilih? Perempuan yang mengkhianatinya atau perempuan yang dia campakkan? batin Mr. Reese. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro