Chapter 37

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Louisa membuka matanya malas ketika dering ponsel membangunkan seluruh mimpi indah yang sedang berputar di bawah alam sadar. Mengumpat pelan manakala tangannya tak kunjung menemukan benda sialan itu. Dia mendecak kesal tidak melihat ponsel di atas laci, melainkan tergeletak tak berdaya di lantai tepat di atas tumpukan pakaiannya. Dia mengernyit, menajamkan penglihatan membaca nama sang ibu menelepon. 

Louisa menguap lebar, mengumpulkan nyawa lalu berpaling ke arah sosok Dean yang seharusnya masih terlelap di sampingnya. Sialan! rutuk Louisa dalam hati. Sepertinya, menghilang menjadi kebiasaan baru Dean selepas percintaan hebat mereka semalam. Namun, Louisa mendapati secarik kertas di atas bantal Dean. Apakah itu semacam surat cinta? batinnya. 

"Ja, Mama, was ist los?" tanya Louisa menekan loudspeaker kemudian menaruh ponsel di atas laci dan memungut pakaiannya untuk dikenakan lagi. Dia berpaling, meraih kertas tersebut dan senyum mendadak mengembang di bibir. 

(Ya, Mama, ada apa?)

Dia melukisku lagi. 

"Hanya ingin mendengar kabarmu, Lou. Bagaimana syutingmu? Ist alles okay?" tanya Karoline.

(Apakah semua baik-baik saja?)

"Ja, Mama. Alles ist okay. Keine Sorge. Apa kau dan Papa baik-baik saja di sana?" tanya Louisa balik sembari membelai kertas di mana hasil goresan pensil membentuk tubuhnya tengah terlelap tampak indah. Menampilkan gundukan dada yang tidak tertutupi selimut juga bibir sensual yang setengah terbuka. 

Dia mencium kertas itu seolah-olah wangi tubuh Dean tertinggal di sana. Aroma maskulin khas Dean yang selalu memabukkan diri Louisa melebihi candu segelas vodka atau sebutir heroin. Hati Louisa seketika dipenuhi bunga-bunga bermekaran di musim semi dan makin membuncah mengamati untaian kalimat yang ditulis Dean. Sebuah ucapan yang berhasil melambungkan diri Louisa sampai ke langit. Apakah ini yang dia maksud memulai dari awal?

(Ya, Mama. Semua baik. Jangan khawatir.)

We're perfect each other, aren't we?

I'd be lost without you, Angel.

-Dean-

"Kami baik-baik saja, Sayang," jawab Karoline. "Jadi, apa kau masih bersama kekasih--"

"Dean? Doch! Walaupun hubungan kami tidak terlalu berjalan mulus," ujar Louisa memotong kalimat ibunya. "Aku jatuh cinta padanya, Mama," sambungnya begitu jujur seraya mengamati ukiran tangan Dean di selembar kertas itu, mengulum senyum penuh kebahagiaan. 

"Terlalu cepat kau menyukainya, Lou. Namun aku tetap mendukung apa pun yang lakukan, Sayang," ujar Karoline. "Hei, apakah kita bisa bertemu setelah kau selesai syuting? Mungkin merencanakan liburan bersama sekaligus berbincang dengan kekasihmu itu."

"Akan kutanyakan padanya nanti," kata Louisa. "Mungkin pergi ke Hawaii? Atau ... cukup di rumah dan menikmati masakanmu?"

Karoline tergelak merasakan gumpalan rindu dalam dada terhadap putri bungsunya itu. "Das ist interessant! Deine Schwester will  aus dem Belgien kommen. Dia akan memberimu kejutan lagi, katanya."

(Itu menarik! Kakakmu akan datang dari Belgia.)

"Sonja? Astaga, bahkan kami jarang menelepon kecuali keponakanku sering mengirim pesan teks untuk meminta mainan," protes Louisa geleng-geleng kepala. "Biar kutebak, apa dia akan memberiku keponakan lagi?"

"Hahaha ... aku tidak tahu, yang jelas dia menantikanmu datang," ujar Karoline. "Kabari saja jika kau pulang ke München, Lou."

"Ya, tentu aku datang, Mama. Akan kubicarakan bersama Dean, kalian perlu bertemu secara langsung untuk makan malam dan beberapa gelas wine," tandas Louisa dengan pipi bersemu merah membayangkan kalau perjumpaan keluarganya dan Dean akan terasa manis. Berkencan di kota kelahirannya dan mengunjungi beragam bangunan bersejarah seperti saat mereka di Milan. "Aku harus bersiap-siap syuting, mereka bilang ini hari terakhir kami di Texas."

"Oke. Viel Erfolg!"

(Semoga sukses)

Setelah menutup telepon dengan percakapan yang membuatnya semangat, Louisa mengirim pesan teks kepada Dean untuk menanyakan di mana pria itu sekarang. Kemudian membereskan kamar tidur secepat mungkin sembari berteriak memanggil Cory yang mungkin sudah bangun lebih pagi. 

"Hei, love bird," sapa Cory menyodorkan secangkir kopi manakala Louisa menyusulnya di pantri. Pria bermata biru cerah yang kulitnya menjadi kemerahan semenjak di Houston itu melempar senyum simpul. "Kudengar obrolanmu di telepon menyenangkan."

"Ibuku bilang kalau dia ingin liburan bersama sekaligus bertemu Dean. Bagaimana menurutmu?" tanya Louisa merangkul cangkir dengan jemari lentiknya. Menghidu sebentar aroma biji kopi arabica berkualitas tinggi untuk meredakan sedikit sensasi pusing karena jam tidurnya hanya beberapa jam. Maklum saja, semalam usai bercinta begitu liar dan panas sampai-sampai pangkal paha Louisa masih berdenyut merasakan diri Dean ada di sana, menguasainya. 

Cory berpikir sejenak, menaikkan sebelah alis tebalnya kemudian menyisir rambut pirangnya yang mulai memanjang sampai di tengkuk leher. Mata biru cerahnya sedikit menggelap mengetahui rencana Louisa akan berlibur bersama Dean. Entah kenapa sejak tahu mereka berdua kembali merajut kasih tanpa kejelasan, Cory merasa Louisa tidak bisa memegang teguh prinsip yang selalu diagungkan padanya. 

"Kau yakin? Maksudku, Dean--"

"Dia bilang kami bisa memulai segalanya dari awal, Cory," potong Louisa menyesap pelan kopi buatan Cory. Seketika cairan hangat itu menenangkan perut sekaligus dadanya yang berdegup setiap kali mengingat bagaimana Dean memanjakannya semalam. Ada semburat merah tercetak jelas di pipi Louisa dan tentu saja lagi-lagi pria menawan itu yang berhasil membangkitkan gairah lagi dan lagi. "Mencoba membuka hati."

"Lalu?" Cory masih tidak percaya. Ada segelintir perasaan tak menyenangkan melihat Dean menarik ulur perasaan Louisa. Dan tuk ketiga kalinya, gadis itu terlena seolah-olah di dunia ini tidak ada pria lain selain Dean Cross. Cory mengambil bubuk krim, menambahkan sedikit creamer sembari bertanya-tanya dalam hati kejutan dan drama apa lagi yang akan Dean berikan kepada Louisa. Bahkan dia tidak lagi penasaran atas akhir kisah cinta Louisa jikalau bolak-balik lelaki itu datang kemudian menghilang. 

"Dia bilang kalau akan berusaha untuk terbiasa dengan sebuah komitmen antara kami. Mencoba melupakan Anastasia karena menurutnya sudah saatnya untuk menyingkirkan masa lalu, Cory," ujar Louisa panjang lebar. "Dan kurasa ... itu keputusan yang terbaik mengingat ... tahu sendiri kan jika dia selalu datang lagi?"

"Dan menyakitimu lagi. Biar kuperjelas itu, Lou," sahut Cory. "Apa kau tidak lelah dengan semua yang terjadi di antara kalian?"

"Apa maksudmu?" ketus Louisa merasa sang manajer kini tak lagi berpihak pada dirinya. "Kau tidak menyetujuinya?"

"Kau mau aku jujur sebagai teman? Dan jawabanku adalah tidak, Louisa. Kurasa kalian terlalu cepat memutuskan segalanya, Lou," ucap Cory menahan diri untuk tidak menyembur Louisa dengan kemurkaannya. "Katakanlah kalian saling jatuh cinta, tapi kalian selalu dilanda rasa tidak percaya satu sama lain. Kau takut hatimu terluka dan Dean takut dikhianati seperti yang diperbuat Anastasia padanya. Luka yang kalian alami belum sepenuhnya sembuh, tapi kalian ..." Cory menunjuk Louisa di antara rasa putus asa menghadapi dua manusia egois. "Kalian memilih bersatu untuk saling menyakiti, Lou."

"Tidak sepenuhnya, kami hanya perlu saling berkomunikasi, Cory, kenapa kau tidak mendukungku?" Suara Louisa meninggi seiring gelombang sentimen merangkak naik memenuhi rongga dada. Bergulung-gulung memunculkan rasa sesak lalu menjalar hingga ke ubun-ubun bersiap-siap meledakkan diri. Dia bergerak mundur karena sudah tidak memiliki minat untuk menghabiskan kopi yang susah payah manajernya buatkan. 

"Kau salah paham, Louisa!" seru Cory. "Aku hanya berpendapat secara logika sebagai seorang pria. Aku hanya tidak ingin kau dikecewakan lagi oleh bajingan itu atau lelaki lain yang berusaha memanfaatkan ketenaran dan tubuhmu, Louisa! Kau menyadari hal itu kan?"

"Apa salahnya jika dia ingin memulai segalanya dari awal, Cory?" teriak Louisa mengamuk. "Dia tahu aku mencintainya dan aku tahu dia menaruh ketertarikan padaku, lalu salahnya di mana?"

"Kau dibodohi, Louisa Bahr!" pekik Cory tak mau kalah membanting sendok kopi di atas meja pantri. Dia berkacak pinggang, mengusap wajahnya frustrasi atas sikap manipulatif Dean yang sukses membalikkan keadaan. "Jesus! Segalanya? Persetan dengan segalanya jika dia masih mempermainkanmu, Louisa!" tunjuknya sambil membelalakkan mata. "Kau tidak tahu isi kepala pria! Yang kau tahu, bagaimana mereka bisa memuaskanmu, Louisa Bahr!"

"Cory!" jerit Louisa merasa harga dirinya diinjak-injak seperti kotoran. "Shut the fuck up!"

"Jangan menangis padaku kalau Dean melakukan hal itu lagi, Lou!" teriak Cory ketika Louisa pergi meninggalkannya dan membanting pintu kamar.

Tak lama kemudian, gadis itu keluar seraya membawa koper besar berisi pakaian sekaligus alat-alat make up. Dia berjalan cepat mengabaikan panggilan Cory untuk tetap berada di tempat ini. 

"Shit!" rutuk Cory memandangi pintu kamar hotel yang telah menelan Louisa dalam lubang penuh amarah. 

###

Louisa duduk seraya melipat tangan di dada ketika Dean memintanya duduk di lobi hotel. Tak lama, pria yang mengenakan setelan kasual berupa celana denim dipadu kaus berkerah putih keluar dari lift dekat resepsionis. Seketika dia menjadi atensi orang-orang yang lalu lalang di lobi, terlebih saat Dean melepas kacamata hitam yang membingkai matanya. Melempar kerlingan nakal penuh arti ke arah Louisa. 

Perempuan mana pun bakal meneteskan air liur melihat mahakarya Sang Pencipta di sana. Termasuk Louisa. Matanya tak dapat berkedip untuk beberapa detik mengamati langkah kaki tegas dan tegap Dean, setiap jejak kaki yang dia tinggalkan tampak pasti dan memancarkan aura dominan yang membekap lawan. Apalagi dengan kaus putih sedikit ketat itu malah menonjolkan lekuk lengan berotot, perut yang terpahat sempurna, hingga tato geometri di lengan kanan yang mengintip malu-malu. Rambut cokelat tembaga yang biasanya ditata rapi kini dibiarkan acak-acakan membuat penampilan Dean seperti remaja baru keluar dari kelab malam. 

Di antara banyaknya hiburan yang bisa meredakan ketegangan setelah berdebat dengan Cory, Louisa akan selalu memilih Dean sebagai tempatnya bersandar dan menurunkan emosi yang membakar dada. Gadis itu beranjak dari sofa lalu menghamburkan diri begitu Dean tiba, menyesap kuat aroma tubuh lelakinya memenuhi rongga paru-parunya. 

"Ada apa?" tanya Dean melirik sebentar ke arah perempuan berpotongan pendek tengah mengenakan headphone seraya membaca novel. Dean mengeratkan pelukannya, mencium puncak kepala Louisa penuh cinta dan kerinduan walau semalam mereka telah menghabiskan banyak energi untuk memuaskan satu sama lain. "Maaf, tadi aku langsung pergi tanpa berpamitan karena Mr. Reese membutuhkanku untuk penandatanganan beberapa perjanjian dengan salah satu perusahaan hiburan di New York. Padahal sudah kubilang aku tidak mau diganggu," lanjutnya agar Louisa tidak cepat salah paham mengapa dia menghilang tanpa pamit.

"Hidupmu benar-benar sibuk, Mr. Cross," kata Louisa menyandarkan dagunya ke dada Dean, menatap lurus ke dalam bola mata lelakinya lalu memberi kecupan singkat di bibir. 

"Aku lebih suka menyibukkan diri bersamamu, Lou," goda Dean lalu mengalihkan pandangan ke arah koper merah menyala di sisi kirinya. "Kutebak kalian bertengkar."

"Cory gila," desah Louisa kesal mengingat ucapan Cory. "Dia tidak menyetujui bahwa kita bersama lagi, Dean. Dia mengira bahwa kita akan mengulangi kesalahan itu lagi."

Untuk sesaat bibir Dean terkatup rapat dengan kening mengerut tak suka kalau ada orang lain sok tahu atas apa yang dijalaninya sekarang. "Cory mungkin lupa berhadapan dengan siapa," gerutu Dean. 

Louisa mengangkat bahu tak mau membahas manajernya itu lebih jauh. "Jadi, di mana kamarmu? Aku ingin menaruh barangku. Dua jam lagi syutingku akan dimulai."

"Baiklah. Kau bisa membersihkan dirimu di sana dan kita berangkat bersama ke lokasi," tawar Dean mendapat respons tak terduga dari Louisa. Dia menerima kecupan gadis itu kemudian berbisik, 

"Thanks untuk lukisannya, dadaku terlihat menawan."

"Bagian favoritku," lirih Dean meremas bokong Louisa dan memagut bibir sensualnya. "Ayo, pergi sebelum terlambat. Kau sudah makan?"

"Hanya setengah cangkir kopi buatan Cory," jawab Louisa. "Dan sekarang aku lapar, Mr. Cross."

Dean tergelak mengetahui arti tersembunyi dari ucapan Louisa. "Baiklah, aku anggap itu sebagai undangan terbuka, Ms. Bahr. Kita bisa makan berdua di kamarku," tandasnya merengkuh pinggang Louisa dan menyeret koper merah milik kekasihnya.

Ketika sejoli tersebut berjalan menuju lift yang akan membawa mereka ke hotel, tanpa disadari oleh siapa pun seorang perempuan berkacamata hitam yang sedari tadi duduk sembari membaca buku dan mengenakan headphone berhasil mendengar percakapan mereka. Dia menelengkan kepala bertanya-tanya mengapa sampai detik ini, pria Cassanova yang selalu memutuskan hubungan dengan para wanita tidak lebih dari dua minggu kini terjerat bersama seorang aktris bawahannya sendiri. Manalagi ada pertikaian yang terjadi di antara mereka. Dia menerka sembari menyebut nama Cory yang jelas-jelas tidak asing di telinga. 

Dia menaikkan bingkai kacamata, mengukir senyum penuh arti lalu berkata lirih, "Sepertinya ada rahasia besar yang tidak kami ketahui."

***

Siapa tim Cory?

Siapa yang pengen nampol Louisa sama Dean?

Aku nyediain jasa tampol online buat mereka wkwkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro