Chapter 38

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Puluhan pasang mata tertuju pada mobil Lamborghini hitam yang berhenti di area parkir Buffalo Bayou. Deru mesin terdengar maskulin di telinga membuat siapa saja bakal menebak bahwa sang pemilik adalah lelaki dominan nan berkharisma juga pemikat wanita. Dan mereka tahu siapa yang memiliki mobil tersebut hingga mengundang bisik-bisik orang-orang yang menaruh rasa iri pada perempuan yang duduk di sampingnya. Tidak mudah menjadikan diri mereka pantas di sisi pria di sana, walau harus mengeluarkan banyak air mata sekali pun. Seleranya tidak pernah main-main, bahkan untuk saat ini.

Begitu pintu terbuka dan mengarah ke atas bagai burung tengah mengepakkan sayap, Dean keluar seraya melepas kacamata berbingkai keemasan dan menggantungkannya di bagian kerah kemeja biru gelap. Sabuk kulit yang dia kenakan di pinggul sebagai aksesoris celana denim gelapnya, bergoyang seksi seirama pergerakannya mendekati sang pujaan. Iris biru samudra Dean beredar, melempar seulas senyum tipis yang menggoda, namun penuh rahasia. Dia melambaikan tangan membalas sapaan seorang pria berkepala plontos dengan wajah bulat juga pipi kemerahan bagai apel yang terlalu matang. Dean ingat bahwa lelaki tersebut adalah sutradara yang sering menggarap film bersama Christine dan harus diakui pula kalau hasil karyanya memang tidak main-main.

Dean berpaling ketika Louisa keluar dari mobil, mengikat rambut pendek sebahunya asal membuat lekukan leher jenjang itu makin kentara. Dia menelan saliva, menahan hasrat untuk tidak mendaratkan kecupan manis di ceruk leher yang menjadi tempat favoritnya untuk meninggalkan jejak samar sebagai tanda kepemilikannya. Tidak kehabisan ide untuk menunjukkan siapa yang berhasil meluluhkan hati Louisa, Dean menarik lengan gadis itu dan memberikan ciuman lembut tepat di nadi karotis begitu intim lantas berbisik,

"Kurasa aku cemburu jika melihat orang lain menciummu. Apalagi pria yang kau sebut Theo itu."

Louisa tertawa geli, kecupan Dean seketika membangunkan hasrat yang tengah beristirahat selepas pergumulan mereka. Menciptakan jutaan kupu-kupu yang beterbangan di perut menimbulkan sensasi gelitik hingga ke dada, melambungkan separuh jiwanya untuk sekali lagi. Dia memukul dada bidang Dean, membalas ciuman tersebut dengan gigitan sensual di bibir bawah kekasihnya. "Mereka tahu aku milikmu, Mr. Cross."

"Always, Babe. Jika mereka masih ingin bernapas," ujar Dean terdengar bagai ancaman, menangkup wajah Louisa seakan-akan aktivitas di sekeliling mereka hanyalah fatamorgana yang tidak perlu dipedulikan. Memiringkan kepala untuk memperdalam pagutan bibir mereka, menghubungkan aliran-aliran penuh nafsu yang tidak pernah bisa reda. Kulitnya terasa panas bersentuhan dengan kulit Louisa yang lembut, bahkan ingin rasanya Dean berlutut untuk mencecap setiap jengkal tubuh gadis itu. "I want you." Suara Dean lirih tapi menggema hingga menggetarkan setiap sel saraf di tubuh Louisa.

"Aku harus bekerja, Mr. Cross," balas Louisa berusaha menahan diri untuk tidak menyeret pria itu sekadar melakukan hal tak senonoh di tempat sepi. Liar dan panas. "Kau adalah atasanku."

"Aku suka berada di atasmu, mendekapmu di bawahku sampai kau tidak bisa lolos," goda Dean membuat Louisa kembali memberi pukulan lemah di dada bidang pria itu. "Aku serius. You're my drug, Babe."

"Dasar gila." Dia mendorong tubuh Dean agak menjauh, tapi Dean kembali menggaet lengan Louisa sekadar memamerkan betapa mereka tengah dimabukkan gairah dan hasrat yang tidak bisa padam. Mencium punggung tangan gadis itu seraya mengerlingkan sebelah mata dan berkata,

"I am."

Mereka berdua menghampiri kru film, membalas sapaan bahwa pimpinan agensi Cross datang untuk melihat proses pengambilan video untuk film terbaru kekasihnya. Tak lama mereka disambut Christine yang kini tampil berbeda dibanding saat dia berkunjung ke rumah Dean beberapa waktu lalu. Rambut cokelat tembaga yang mirip adiknya itu tampak berkibar tertiup angin membuat wajahnya seperti disapu tirai namun tidak menghilangkan betapa menawan anak turunan keluarga Cross. Christine memeluk Louisa penuh kehangatan lalu memberi tinju ke dada Dean sambil berkata,

"Kupikir kau akan membiarkan Louisa seorang diri di sini bersama pria-pria kami, melihat kebiasaanmu--"

"No way," elak Dean memotong kalimat kakaknya lantas mendekap bahu Louisa erat. "Lewati dulu mayatku jika ingin merebutnya."

Christine terbahak-bahak seraya geleng-geleng kepala masih ragu kalau adiknya benar-benar jatuh hati pada Louisa. Di sisi lain dia merasa senang jika Dean memang sudah berhenti berpetualang dan menaruh cintanya kepada satu wanita bukan berlarut-larut atas masalah di masa lalu yang membuat sang adik melampiaskan kepada mereka. Alis Christine mengerut beberapa saat, mengingat Houston adalah tempat mantan kekasih Dean tinggal. Apakah lelaki itu akan mencuri-curi kesempatan?

"Mari kita lihat," ujar Christine. "Hei, Lou, aku perlu berdiskusi beberapa hal untuk adegan selanjutnya. Bisakah kau biarkan Louisa bekerja?" tandasnya kepada Dean.

Yang dimarahi langsung melepaskan tangan, memancarkan ekspresi wajah kesal. "Oke, daripada kau mengamuk seperti macan."

Louisa tergelak melihat interaksi kakak-beradik itu, kemudian mendekati Christine untuk menanyakan apa yang harus dilakukan untuk adegan terakhir sebelum pindah lokasi di sekitar Brooklyn. Di tempat ini, scenes romantis lebih banyak ditampilkan termasuk ketika Abby menari di bawah derasnya hujan bersama James, bernyanyi bersama seperti sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Lantas mereka bercumbu dan Abby mengaku jika dia menyukai James.

"Jadi, bayangkan saja kau menari untuk kekasihmu, tunjukkan ekspresi kau ingin menunjukkan bakat sekaligus merayu James dalam satu waktu, Lou," jelas Christine. "Bradd! Aku benar kan?" teriaknya pada sang sutradara yang tergopoh-gopoh menghampiri produsernya.

"What?" tanya Bradd ngos-ngosan. "Ah, tentang adegan tarian? Ya, ya, aku suka idemu tadi Christine. Kami membicarakannya sebelum kau datang, Lou."

"Oke, baiklah," ujar Louisa mengeluarkan lembar skrip naskah dan membaca cepat dialognya. "Aku hanya perlu menari kemudian menyatakan cinta dan kami berciuman."

"Mesra, liar, dan penuh gairah," sambung Bradd yang dibalas anggukan Christine. "Kuharap Mr. Cross tidak keberatan melihatmu bercumbu bersama Theo."

Louisa mengerutkan kening. "Astaga, ini hanya film kenapa dia harus cemburu? Aku dan Theo tidak ada hubungan apa-apa."

"Kami melihatnya berbeda," lirih Bradd tak takut bahwa Christine masih ada di sampingnya. Dia salah tingkah saat kakak Dean itu melempar sorot tajam. "Sorry, Aku hanya berkata yang sebenarnya."

"Sejujurnya aku setuju kalau ada cinta segitiga di antara Louisa, Theo, dan adikku. Supaya dia tahu bagaimana cara mempertahankan perempuan secantik Ms. Bahr," ujar Christine dibalas gelak tawa. "Dia bajingan kecil yang bisanya pamer ketampanan dan kekayaan, pria seperti Dean perlu diberi ganjaran, Bradd."

"Ayolah ... " Louisa geleng-geleng kepala. "Aku harus siap-siap kan?"

"Yeah, ganti bajumu dulu, Lou, kau akan pakai dress musim panas yang indah dan benar-benar menonjolkan lekuk tubuhmu!" Christine antusias menunjuk mobil van yang terparkir tak jauh dari posisi mereka. "Theo sudah menunggumu di sana."

"Trims!"

###

Dean berdiri begitu angkuh mengamati adegan tiap adegan yang dilakukan Louisa bersama Theo. Melipat tangan di dada seraya menyipitkan mata menahan diri untuk tidak menarik paksa gadis itu dari tangan lawan mainnya yang dirasa mencuri-curi kesempatan. Bolak-balik dia mendengus kesal, mengusap tengkuk lehernya yang terasa panas seolah-olah seseorang tengah membakar diri Dean dari belakang. Dan makin membara manakala Louisa membalas pagutan Theo begitu rakus bagai mengeluarkan sisi liarnya lagi.

Christine berbisik agar Dean pergi dari lokasi syuting daripada merusak suasana karena semua adegan sudah disetujui oleh kedua belah pihak, termasuk risiko kekasih adiknya itu menjalani scene dewasa. Dia juga menjelaskan kalau adegan di Cistern yang ada di taman Buffalo Bayou ini mereka tengah dimabuk asmara. James si pianis kaya dan pemilik pub malam tersebut membuat kejutan untuk Abby dengan mengajaknya berkencan. Mengelilingi pilar-pilar beton yang diterangi oleh lampu-lampu kuning hangat juga gema nyanyian menambah dramatis. Disusul dansa romantis dan diakhiri sebuah ciuman lembut dan pernyataan cinta.

"Aku mulai muak," komentar Dean jengah. "Kau bisa lihat dia begitu menikmati ciuman kekasihku."

Christine terbahak-bahak sampai wajahnya memerah. "Sangat tidak masuk akal. Itu adalah pekerjaan mereka, Dean. Bukankah harusnya kau paham bahwa dunia hiburan itu seperti ini? Risiko seorang aktor adalah mereka mau menjalani semua adegan tanpa stuntman."

"Aku tahu."

"Pergilah, Dude. Tempatmu di balik meja dan mengurusi artismu bukan turun langsung ke sini," pinta Christine terdengar seperti pengusiran secara halus.

"Aku akan menunggunya di luar, katakan padanya untuk meneleponku jika selesai," tandas Dean kemudian melengang pergi.

Dia mengeluarkan ponsel saat benda itu berdering dan menunjukkan nama sekretarisnya memanggil. Dean mendecak kesal kemudian menerima telepon yang terkesan mendesak lalu berseru, "Sudah kukatakan, aku tidak ingin diganggu!"

"Sayangnya, Anda harus melihat berita di internet, Mr. Cross," tandas Mr. Reese. "Lihatlah, saya sudah mengirim linknya."

Dean mengerutkan kening lalu mengeklik alamat website tersebut dan dalam hitungan sekian detik, sebuah foto terpampang di halaman utama di mana dirinya dan Louisa berada di lobi hotel sembari berpelukan. Sejujurnya jepretan biasa itu tak berarti sampai Dean membaca judul yang dituliskan oleh seseorang. Sebuah isu yang bakal memunculkan beragam spekulasi dan tentu saja pasti menyeret nama Louisa untuk ke sekian kali.

Hubungan Louisa dan pimpinan Cross Agency sepertinya memiliki rahasia.

'Diketahui bahwa jalinan asmara antara aktris pemeran From The End dan pimpinan agensi Cross hanyalah sebuah sandiwara belaka.'

"Shit!" desis Dean kesal membaca salah satu kalimat dalam paragraf berita itu.

"Semua orang tahu dan saya rasa sebentar lagi Louisa bakal murka, Mr. Cross," ucap Mr. Reese menerka apa yang bakal terjadi di antara bosnya dan kekasih pura-puranya itu. Dia sebagai orang ketiga yang mengetahui rahasia tersebut tidak habis pikir dengan siapa yang berani-beraninya membocorkan hal yang tidak seharusnya.

"Biarkan saja," tandas Dean. "Itu hanya gosip kan?"

"Gosip hanyalah permulaan, Tuan, selanjutnya akan menjadi masalah dan ... Anda bakal diserang orang-orang atas perlakuan istimewa Ms. Bahr di agensi," jelas Mr.Reese mengingatkan. "Anda ingat kan pertemuan terakhir bersama petinggi yang menyindir Louisa seenaknya berbuat apa pun terhadap perusahaan yang ingin mengajukan kontrak kerja sama."

"Aku paham. Dan biarkan saja, mereka tidak akan tahu Mr. Reese kebenarannya. Kalau kita gegabah dan langsung memberikan respons, mereka berpikir kalau hubungan kami memang benar hanyalah sebuah permainan."

"Bagaimana dengan Ms. Bahr? Manajernya? Mereka tengah bertengkar kan?" tanya Mr. Reese khawatir.

"Kau atasi Cory, jangan sampai dia memantik masalah hanya karena bersitegang dengan Louisa," tukas Dean. "Oh iya, jangan sampai Louisa tahu kalau Anastasia ada di kota ini."

"Siap, Tuan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro