Chapter 40

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cukup lama dia mengamati garis wajah perempuan di depannya, menumpahkan rasa rindu yang dirasa terlalu lama dipendam seorang diri. Kelegaan menjalari seluruh tulang Dean bisa bertemu setelah sekian lama. Hatinya meletup-letup tak karuan seperti memenangkan undian besar walau perjumpaan ini harus dilakukan secara privat di sebuah restoran bergaya Jepang. 

Andaikan bisa, ingin rasanya Dean menghentikan waktu agar pertemuan yang susah payah direncanakan tak berlalu begitu saja. Dia akan selalu merasa betah walau di tempat terdingin sekalipun, asalkan bersama gadisnya. Belahan jiwanya yang telah lama hilang. Cinta lama yang tidak pernah bisa dia lupakan. 

Tidak dapat dipungkiri kalau masih ada perasaan terpendam yang dipancarkan Dean kepada Anastasia. Bagaimana pria itu menilik wajah cantik Anastasia tanpa kedip sambi melempar tarikan tipis di bibir. Matanya berkaca-kaca akibat terlalu banyak kenangan yang mereka lalui bersama sewaktu sekolah hingga kuliah sampai peristiwa menyakitkan itu terjadi. Dia menunduk sebentar merasakan gejolak sentimental tengah menerjang tanpa henti. 

Momen-momen manis hingga perpisahan pahit itu tidak akan sirna dari benak Dean. Terutama saat kekasih Anastasia meregang nyawa di depan mata akibat kecemburuan yang membutakan kewarasannya. Meski pada akhirnya Dean dibebaskan secara bersyarat karena pengaruh keluarga Cross di San Diego, luka itu mengendap di dasar hati membentuk sebuah trauma yang membentuk Dean menjadi seorang manipulatif terhadap wanita. 

Dan hanya kepada Anastasialah, Dean akan kembali menjadi Dean. Pria baik yang berusaha melindungi dan menyenangkan hati wanitanya, bukan pria yang bersenang-senang kemudian mencampakkan mereka. Dia rela menukar apa pun asal bisa bersama Anastasia walau gadis itu sempat berpaling darinya. 

"Kau makin cantik," puji Dean lembut. Sorot mata birunya yang seterang langit turun ke jemari Anastasia yang memeluk cangkir teh hijau. "Dan aku merindukanmu, Ana."

Harus diakui pula bahwa pesona Anastasia tidak lekang oleh waktu. Hanya perubahan riasan membuatnya tampak seperti wanita dewasa yang anggun dan elegan dalam waktu bersamaan. Lipstik merah menyala yang dipulas di bibir sensual Anastasia seperti mengundang Dean untuk mencicipi kelembutannya, memuaskan diri untuk meneguk sisa-sisa kenangan yang membanjiri mereka saat ini. 

"Sudah lama sejak kau bermain-main dengan perempuan lain lagi, Dean," tandas Anastasia terdengar tegas. Dia mengangkat cangkir, menyesap pelan teh hijau yang dikenal untuk merelaksasikan pikiran. Salah satu kebiasaan yang dia mulai setelah kepergian kekasih dan anaknya ketika pertengkaran hebat bersama Dean terjadi. 

"Untuk memancing perhatianmu," jawab Dean santai. "Kau tahu hatiku selalu ada untukmu, Ana. Tidak ada yang lain."

"Egomu masih tinggi, Dean," balas Anastasia meluruskan perhatiannya pada sang mantan.

"Karena kau milikku," timpal Dean. "Tidak ada celah untuk orang lain."

Anastasia terkekeh beberapa saat. Memamerkan deretan geligi rapi nan putih yang menaikkan pesona gadis bermata hazel itu. "Benarkah?"

Dean mengangguk mantap tanpa keraguan sedikit pun. "Apa aku pernah berbohong padamu? Aku hanya memanfaatkan mereka untuk kesenanganku sendiri, Ana. Selain itu, aku hanya mencintaimu."

"Louisa Bahr?" Anastasia menyebut perempuan yang dia tahu tengah menjalin asmara bersama Dean. "Kudengar dia adalah wanita yang paling lama berhubungan denganmu."

Dean terdiam beberapa saat. "Kami hanya bersenang-senang, Ana. Tidak ada yang lain. Jadi, apa kau memaafkanku, Love? Aku sudah membuktikan semuanya padamu kan? Kesetiaanku untukmu."

Anastasia melenggut, menyetujui ucapan Dean bahwa sikap loyalnya memang patut diacungi jempol. Saat Dean menyentuh dan membelai lembut tangan kanannya, Anastasia tidak menolak malah melempar senyum penuh arti seraya berkata, "Kau mau berkeliling sebentar sebelum kembali ke San Diego?"

"Tentu saja," jawab Dean kegirangan. "Satu hari yang tidak ingin kulewatkan bersamamu, Love."

###

Louisa berjalan mondar-mandir seraya menggigit kuku jari ketika telepon Dean tidak kunjung tersambung. Untuk ke sekian kali, Dean hanya meninggalkan kertas bergambar lukisan Louisa tanpa menuliskan pesan di sana. Bukan masalah hasil karya yang menakjubkan itu, melainkan keberadaan sang kekasih yang dinilai selalu menghilang seperti pria yang mengendap-endap pergi setelah bercinta. 

Dia mendecak kesal, kemudian mencoba menelepon sekretaris Dean tapi hasilnya juga sama. Louisa mengerutkan alis merasa ada sesuatu sedang terjadi atau sesuatu yang disembunyikan Dean darinya. Lantas apa? Louisa menggeleng tak mengerti. Bukankah mereka sudah sepakat untuk saling membuka diri atas dasar memulai semuanya dari awal? Bukankah Dean sendiri yang menegaskan ingin bersama Louisa untuk melupakan masa lalu?

"Apa mungkin dia sedang ada pertemuan?" gumam Louisa lalu melirik jam di layar ponsel. "Jikalau ada, harusnya dia memberitahuku kan?"

Louisa mendudukkan diri di pinggiran kasur, mengorek-ngorek ingatan apakah ada sesuatu yang terlewat. Namun, sebesar apa pun usahanya untuk mengais sisa rahasia yang disembunyikan oleh Dean, tetap saja dia tidak menemukan. Kemudian pikirannya teralih ke sang manajer yang benar-benar mendiaminya tanpa ada rasa lelah. Namun, jauh di lubuk hati, sejujurnya Louisa merindukan Cory dengan semua petuah jika ada masalah kecil seperti ini. Hanya lelaki itu yang bisa memberikan pencerahan ketika Louisa dilanda dilema. 

"Dasar sialan," gerutu Louisa berkacak pinggang ketika  emosinya tiba-tiba mendidih sampai ke ubun-ubun. "Harusnya dia mendukungku kan? Kenapa dia suka sekali mendiami orang lama-lama."

Dia membuka nomor kontak Cory hendak menelepon tapi tak berapa lama Troy menelepon membuat Louisa nyaris terperanjat kaget. Buru-buru dia menjawab panggilan tersebut saat Troy menyapa. 

"Aku masih di Houston, mungkin besok pagi kami balik," kata Louisa. "Ada apa?"

"Apa kau ada waktu? Aku baru sampai di Houston kemarin malam, mungkin kita bisa bertemu sebentar," ujar Troy. 

"Bukannya kau ada di New York?" Louisa menaikkan sebelah alisnya mendengar pernyataan Troy. Entah kenapa Tuhan menempatkan lelaki itu satu kota dengannya lagi dan lagi, seolah-olah Louisa tidak bisa keluar dari dua pria yang membayangi hidupnya. 

"Hanya untuk menemuimu sebelum menetap di sana," jawab Troy membuat sesuatu mengaduk-aduk perut Louisa. "Maksudku, aku hanya ingin meluangkan waktu untuk diri sendiri, Lou, pekerjaan kami benar-benar menguras emosi."

"Kenapa Houston?" Lousia masih belum puas mendapat jawaban dari Troy seakan-akan sinyal di kepalanya menangkap gelagat lain.

"Kukatakan untuk menemuimu, Lou. I miss you so bad," ucap pria itu lagi seperti sedang mengorek kenangan lama bersama Louisa. "Bisa kau rekomendasikan tempat? Aku bisa menjemputmu."

Louisa menimang ajakan Troy cukup lama. Satu sisi dia kesal bukan main karena Dean tidak memberinya kabar, sisi lain ajakan Troy sepertinya cukup mampu memancing sang CEO keluar. Walau tahu risiko terbesarnya adalah sebuah pertengkaran hebat, akhirnya Louisa mengiyakan permintaan Troy. 

"Akan kukirimkan alamatnya," ujar Louisa kemudian memutus sambungan untuk bersiap-siap menemui sang mantan. 

Setengah jam kemudian, Louisa keluar dari lift di lantai pertama hotel lantas mengedarkan pandangan mencari sosok Troy yang katanya sudah berada di lobi. Teriakan Troy yang menyebut nama seraya melambaikan tangan membuat Louisa melontarkan senyum simpul dan menghampiri pria tampan bermata hijau emerald itu. Bagai bertemu teman yang sudah lama tak jumpa, Troy merentangkan kedua tangan dengan senyum lebar dan penuh kebahagiaan menyambut Louisa dalam dekapan. 

"Kau manis sekali, Lou," puji Troy disambung sebuah kecupan singkat di pipi tanpa rasa sungkan. "Aku merindukanmu," lanjutnya lagi sebagai rasa sayang yang tidak pudar dalam diri pria itu.

Meski hanya mengenakan celana denim dan crop top yang memperlihatkan pusar dan lekukan pinggang bagai jam pasir, Troy berdecak kagum dalam hati kalau pesona Louisa tidak tertandingi dan bisa merasakan betul aura bintang. Apalagi gaya rambutnya sengaja diikat sebagian tanpa menghilangkan ciri khas Louisa yang selalu berponi untuk menutupi dahinya yang agak lebar. Tadi saat merangkul sang mantan, Troy mengendus wangi tubuh manis bagai cupcakes yang baru matang dari mesin pemanggang. Sepertinya Louisa berganti parfum kesukaan, batin Troy.  

"Ternyata tak jauh dari tempatku menginap," kata Troy. "Di mana Cory?"

"Kami sedang bertengkar, Troy," jawab Louisa mengikuti langkah kaki mantan kekasihnya keluar hotel. 

"Sayang sekali. Kalian selalu begitu," komentar Troy membukakan pintu mobil sport untuk Louisa, kemudian berlari dan masuk ke kursi kemudi. 

"Tapi, pertengkaran yang membuat hubungan kami awet daripada terlihat baik-baik saja tapi menusuk dari belakang," sindir Louisa menarik sudut bibirnya. 

"Kurasa itu mengarah padaku," balas Troy. "Aku minta maaf."

"Sudahlah, Troy," ucap Louisa tidak ingin tenggelam dalam drama yang dibuat sang mantan. "Katamu ingin bersenang-senang kan? Jangan libatkan masalah yang sudah terjadi dulu."

Troy melenggut kemudian menyalakan mesin mobilnya dan melaju menuju akuarium sebagai tempat mereka dulu berkencan. Dia jadi merasa percaya diri jika hati Louisa masih bisa ditembus untuk menyingkirkan sosok Dean dari dalam sana. Dia yakin bahwa sebenarnya mereka masih ditakdirkan untuk mencintai satu sama lain, hanya saja Troy harus berusaha lebih kuat agar Louisa percaya padanya.

Semoga saja. 

Dia disambut gedung-gedung megah yang mengingatkannya pada bangunan pencakar langit yang ada di New York. Meski belum lama pindah ke Amerika, Troy sudah dibuat jatuh hati di setiap sudut kota di sini. Seolah-olah banyak harapan yang digantung di atas langit bagi mereka untuk memimpikan bisa hidup dipenuhi kemewahan dan kemajuan teknologi. Ya, meskipun semua itu tersedia di Eropa namun sebagian besar orang masih memandang negeri Paman Sam adalah pusat dari segala pusat  hiruk pikuk dunia. Mungkin alasan itulah, Louisa memilih Amerika sebagai tempat memulai karier sebagai bintang Hollywood. 

Downtown Houston memiliki sejuta tempat yang bisa digunakan untuk kencan sederhana yang menurut Troy bakal terkesan intim. Termasuk mendatangi akuarium terbesar di kota yang mampu menampung hingga dua ratus ribu galon penuh hewan laut. Troy melirik Louisa ketika salah satu petugas menjelaskan kalau ada tur kereta bawah air supaya bisa melihat lebih dekat pesona ikan-ikan yang mengesankan. 

"Aku suka senyummu," puji Troy. "Kau seperti menemukan mainan baru melihat ikan di dalam."

"Kau tahu kan kalau aku suka dengan tempat-tempat seperti ini?"

"Tentu saja."

Usai membayar sebesar tujuh dolar, mereka diminta duduk di atas bangku-bangku kereta kecil bercat biru muda dengan jalur terowongan yang fantastis. Dari luar, Louisa sudah bisa melihat cahaya kebiruan yang dipantulkan air dari lampu-lampu di sekelilingnya untuk memberikan kesan dramatis. Dan makin tak sabar untuk mengabadikan penghuni di sana. 

Seorang pria berteriak untuk mengumumkan bahwa perjalanan akan dimulai dan tak lama kereta melaju perlahan-lahan berbarengan suara perempuan tengah menjelaskan ikan-ikan yang berenang bebas di akuarium tersebut. Seperti masuk ke dunia bawah air, Louisa menganga lebar dan takjub bisa mengamati hiu macan dari jarak dekat. 

Tanpa disadari Louisa, Troy memotret gadis itu dalam kamera ponsel sambil tersenyum betapa saat-saat seperti sekarang tak akan bisa terulang lagi. Louisa berpaling dan tatapannya bertemu Troy dan mengabaikan suara si pemandu tur yang masih sibuk menjelaskan berbagai macam hiu di dunia. 

"Apa permintaanmu masih berlaku?" tanya Troy terdengar seperti bisikan sensual. 

"Yang mana?" tanya Louisa balik.

"Aku ingin kita menjalin hubungan lagi, Lou," kata Troy. "Kau bilang kau akan memikirkan ulang, dan sekarang, apa kau sudah punya jawabannya?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro