Chapter 42

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dean menggeram, melonggarkan ikatan dasi yang terasa mencekik saat mengetahui rekaman pembicaraanya bersama Anastasia tersebar tanpa bisa dicegah lagi. Beranjak dari kursi yang terasa panas jikalau dia hanya berdiam diri di sana tanpa memikirkan jalan keluar. Apalagi sedari tadi banyak panggilan masuk dari orang-orang yang menuntut Dean memberi klarifikasi atas ucapannya itu. Andai bisa, mungkin kepala Dean sudah meledak tak sanggup menerima banyak tekanan secara bersamaan apalagi menyeret nama-nama kekasihnya yang lain.

Yang tidak dia ingat kecuali Louisa.

Seraya berkacak pinggang, Dean berjalan mondar-mandir dan mendengarkan penjelasan Mr. Reese terkait pertemuan rahasia berujung bencana. Bentang gedung-gedung pencakar langit yang ada di Downtown seperti barisan manusia-manusia yang menunggunya di depan pintu agensi, menodong banyak pertanyaan membuat Dean jengah. Dia melirik sebentar pria berkacamata yang kini berdiri di sisi kanannya, masih mencerocos tentang kemungkinan besar pelaku perekam percakapan itu. Sang asisten berkelakar kalau mantan bosnya itu sengaja menerima permintaan Dean untuk memberi jera. Balas dendam lebih tepatnya.

"Yang ada di sana hanya kalian berdua, Mr. Cross," kata Mr. Reese mengamati punggung Dean. Dia mendekat, berdiri di sisi kanan sang CEO yang kini berkacak pinggang dan raut serius. "Bahkan saya pribadi meminta pengelola restoran tidak menyalakan CCTV, kami sudah mengeceknya dan tidak ada rekaman apa pun, tuan. Jadi, kemungkinan besar, Ms. Kenneth yang diam-diam merekam obrolan kalian."

"Itu tidak mungkin!" Dean masih berusaha mengelak.

Untuk apa dia merekam dan membocorkannya?

"99%, Mr. Cross, tidak ada seorang pun di sana kecuali Anda dan Ms. Kenneth," ujar Mr. Reese menaikkan bingkai emas kacamata kotak yang sedikit melorot dari batang hidung. "Saya kira ... dia masih menaruh dendam atas kematian bayi dan kekasihnya."

"Mr. Reese!" pekik Dean melontarkan tatapan nyalang sampai pria di sampingnya itu terperanjat kaget. "Berani-beraninya kau mengatakan itu padaku!"

"Maafkan saya, Mr. Cross." Pria itu bergerak mundur sambil menundukkan kepala. "Saya hanya mengatakan apa yang ada di pikiran saya."

Dean menggosok dagunya makin resah. Kecemburuan yang membutakannya waktu itu kini berbuah manis menjadi karma yang siap menenggelamkan dirinya. Memang secara tidak langsung Anastasia tidak menyebut kejadian nahas itu, namun tetap saja hal tersebut menimbulkan sebuah rasa ketakutan yang makin membesar di dada Dean. Dan alasan itu jugalah, dia tidak pernah bisa tidur nyenyak akibat dibayang-bayangi sikap gilanya yang mengerikan.

Dean yang obsesif.

Tak berapa lama pintu ruang kerjanya terbuka paksa, memunculkan Louisa dan Cory dengan langkah terburu-buru. Mata gadis itu terlihat bengkak, hidungnya memerah, dan bibirnya bergetar menahan isak tangis. Sorot mata penuh kemurkaan tersebut tak lepas dari Dean hingga detik berikutnya sebuah tamparan keras diterima.

"How dare you, bastard!" pekik Louisa memukul Dean, menumpahkan air matanya tuk ke sekian kali. "Why are you fucking doing this to me, Dean! How dare you, jerk! Bastard!"

Kedua tangannya ditahan Dean saat hendak menghajarnya lagi. Dada Louisa bergemuruh seperti ombak yang menggulung-gulung emosinya, menyeret ke dalam laut berisi penyesalan mengapa harus menerima bahkan memberi kesempatan kedua untuk pria pecundang seperti Dean.

"Ku-kupikir kau mencintaiku, Dean," lirih Louisa tergagap, melepaskan diri dari cengkeraman lelaki itu kemudian memukul-mukul dadanya yang terasa sakit. Sensai yang tidak akan bisa sembuh hanya dengan minta maaf atau sekadar pernyataan cinta untuk ke sekian kalinya. Louisa merasa bodoh sebagai manusia. Harusnya dia tahu bahwa berhubungan dengan Dean dan masa lalu yang belum selesai dalam hidupnya, tidak akan bisa berjalan ke arah yang diinginkan.

Dean tidak benar-benar memberikan hati untuk Louisa.

Hatinya seperti diiris-iris setiap kali suara percakapan yang ada di media sosial terngiang di telinga. Air mata Louisa makin mengucur ketika Dean berkata,

"Pernahkah kau mendengarku berkata kalau aku mencintaimu, Lou?"

"What the fuck--" sahut Cory namun tertahan Mr. Reese agar tidak ikut campur urusan mereka. "Kau gila, Mr. Cross! Louisa tidak tahu apa-apa kecuali kau merayunya, menjanjikan harapan padanya!" pekiknya mendorong Mr. Reese menjauh.

Katamu ..." Louisa makin lemas ditampar kenyataan. "Katamu ... kau ingin memulai segalanya denganku, Dean."

"Tapi, tidak dengan mencintaimu, Lou," tandas Dean. "Bukankah kau harusnya sadar bahwa hubungan kita sebatas teman tidur? Dan sekarang ... uruslah urusanmu sendiri untuk menyelesaikan skandal yang menimpa kita."

"Mr. Cross!" jerit Cory sudah kehabisan kesabaran dan hendak menyerang Dean. Lagi-lagi, dia ditahan Mr. Reese sampai hantaman di rahang diterima pria nyentrik itu. Cory jatuh terduduk, meraskaan nyeri berkumpul wajah bagian kanan akibat pukulan yang tidak sempat dilawan.

"Sorry, tapi kau terlalu ikut campur, Mr. Conley," ujar Mr. Reese.

"Dean ..." Jiwa Louisa seakan-akan melayang menyisakan kehampaan tidak menyangka bahwa Dean akan menyakitinya lebih dalam daripada yang Troy lakukan. "Kau ..."

"Ana adalah cintaku, kau hanyalah perempuan sesaat untukku, Lou."

"Kau pecundang, Dean, kau bajingan," olok Louisa kemudian bersumpah dalam hati agar Dean menerima karma yang lebih pedih. "Kau tak akan bisa mendapatkan apa yang kau inginkan, Mr. Cross. Kita berakhir di sini."

###

Begitu Louisa keluar dari gedung agensi dengan perasaan yang hancur berkeping-keping, wartawan menyerbunya. Melontarkan pertanyaan yang menyudutkan Louisa bahwa gadis itu mendapatkan popularitas hanya karena menjadi teman tidur pimpinan sendiri. Tak segan-segan pula mereka yang ingin tahu motif tersembunyi mengapa Louisa mau saja menjadi kekasih sementara Dean, apakah karena uang yang diberikan pria itu atau ketenaran mengingat banyak kontrak project film dan iklan.

Cory mendekap Louisa, menutup kepala gadis itu dengan jaket kulit miliknya sambil berkata,

"Kau tanyakan saja pada pimpinan kami, dialah yang memulai segalanya."

"Mulai kapan, Mr. Conley? Bisa kau jelaskan pada kami?" tanya seorang wartawan berambut pirang.

"Apa ini berarti film yang diperankan Louisa kemarin karena koneksi Mr. Cross dan kakaknya? Apakah benar peran itu diambil karena Louisa menagih janji kepada pimpinan agensinya?" sahut pria bertubuh gembul dengan pipi kemerahan.

"Bagaimana dengan Troy Austin? Kami mendapat info kalau kalian bertemu di Houston beberapa waktu lalu," timpal lainnya.

Cory tak sanggup membalas pertanyaan-pertanyaan itu dan memilih mendorong Louisa masuk ke dalam mobil. Lantas dia berlari, menerobos para pengejar berita untuk masuk ke kursi kemudi. Hingga salah satu dari mereka atau haters Louisa melempar telur mengenai kaca seraya berteriak,

"Kau tak pantas menjadi artis, Lou!"

"Kau tak lebih dari jalang!" sahut seseorang mengacungkan jari tengah ke arah mobil yang ditumpangi Louisa.

"Benar-benar gila," gerutu Cory mengambil kotak tisu dan diberikan kepada gadis malang di belakangnya. Kemudian dia menyalakan mesin dan melaju tanpa memedulikan mereka tertabrak atau tidak. Yang terpenting di sini bagaimana caranya bisa menyelamatkan mental dari hujatan. "Menangislah sampai kau puas, Lou," tambahnya melirik Louisa dari kaca mobil.

"Aku tidak menyangka dia seperti itu," keluh Louisa memijit keningnya yang terasa penat. Air matanya masih tak kunjung berhenti sekali pun otaknya memerintah untuk tidak menangisi bajingan seperti Dean.

"Sudah jangan pedulikan dia oke," tandas Cory ikutan kesal. "Pertama, lupakan dia. Kedua, lupakan dia. Ketiga, lupakan dia."

"Cory ..."

"Aku sudah bilang agar kau jangan memedulikan dia sekalipun Dean keparat itu menenggak racun," omel Cory ingin sekali menghajar kemaluan Dean. "Dia bahkan tidak mengurusi masalahmu bukan? Dugaan sekali lagi benar, Lou. Dia pengecut!"

"Apa yang harus kulakukan Cory? Aku takut jika Christine tiba-tiba memutus kontrak denganku dan mereka akan menuntut ganti rugi," lanjut Louisa merasa masalahnya datang bersamaan tanpa memberi jeda. "Film kami hampir selesai."

"Akan kuurus bagian itu, kau jangan khawatir," ujar Cory. "Selesai syuting, sebaiknya kau menenangkan dirimu."

"Aku ingin pulang, Cory," kata Louisa. "Aku ingin bertemu ibuku. Dia pasti kecewa mendengar berita ini."

"Hei, Karoline akan mengerti, Lou, sebaliknya, aku yakin dia ingin membunuh Dean saat ini juga. Percayalah," ucap Cory mempercepat laju mobilnya meninggalkan Hollywood menuju Malibu.

"Apakah kehidupanku bakal lebih baik?" tanya Louisa memandang pantulan dirinya dari jendela mobil. Begitu mengenaskan.

"Lou, Tuhan memberi manusia kesempatan kedua untuk menjadi yang lebih baik kan? Kenapa kau meragukan itu?" balas Cory. "Lagi pula, kita tidak hidup di salah satu negara yang mem-black list artis atau idol mereka. Kau masih punya kesempatan."

"Walau kecil?" Louisa tersenyum kecut merasa tak yakin kariernya akan kembali seperti sedia kala. Bahkan jika dia memutuskan untuk keluar agensi Cross dan memilih menjalani kehidupan sebagai aktris independent seperti mega bintang lainnya.

"Semua hal bermula dari sesuatu yang kecil. Begitu pula peranmu saat awal-awal di sini. Kau hanya menjadi pemeran figuran, cameo, hingga jadi peran utama. Semua butuh proses."

Louisa mengalihkan pandangannya, bertemu tatap dengan iris mata Cory dan merasa pria itu benar-benar peduli padanya. "Cory. Kenapa kau masih begitu baik padaku? Aku tidak pernah menemukan teman sebaik dirimu."

"Karena aku tahu rasanya tidak punya siapa-siapa, Lou. Kau tahu, aku hanyalah pria yang dibesarkan di panti asuhan. Beruntungnya aku memiliki keluarga yang hangat sampai bisa mandiri seperti ini. Maka dari itu, aku memahami bagaimana perasaanmu," jelas Cory.

"Terima kasih atas segalanya, Cory," kata Louisa dengan mata berkaca-kaca.

"Tidak perlu. Kau hanya perlu tunjukkan padaku bahwa kau wanita kuat," balas Cory. "Secepatnya kita berangkat ke Jerman. Kuharap malam ini adalah malam terakhirmu untuk bersedih, selepas itu mari kita bersenang-senang di Munchen!" tambahnya sambil mengerlingkan sebelah mata dari spion mobil.

###

Louisa berdiri di tepi pantai Malibu depan apartemen, merasakan semilir angin malam menerpa wajah juga menggoyangkan rambut sebahunya. Sementara gelombang air laut yang berbuih mencumbu kaki telanjang seperti berusaha melarutkan masalah yang menerpa gadis itu. Dia mendongak, ketika pelupuk matanya kembali dipenuhi kristal bening setiap kali bayangan Dean menyapa.

Bibirnya melengkung masam, menatap iri langit malam yang memamerkan keindahan bulan sedangkan dia kini berada di titik terendah hidup. Cahaya gemintang di atas sana berkelap-kelip, melambai-lambai seolah-olah mengejek betapa bodohnya Louisa mau saja menerima kebohongan Dean.

Ditambah hujatan di internet makin memperkeruh suasana hingga akhirnya telepon dari pihak produser The Last Dancing menghubungi. Mereka berkata akan mengganti peran utama Abby McMilan dengan kandidat aktris lain karena tidak ingin mengalami kerugian lebih besar jika masih mempertahankan Louisa. Selain itu, Louisa dan pihak agensi harus membayar sejumlah uang untuk mengganti semua proses pengambilan video yang memakan waktu berhari-hari.

"Tapi, itu tidak sepenuhnya salahku. Kenapa kalian melimpahkannya padaku? Salahkan Dean! Dia yang mengacaukan semua ini!" protes Louisa tak terima.

"Come on, Christ, kau tahu adikmu adalah biang keroknya. Louisa tidak tahu apa-apa. Kalian tahu bakatnya dan apakah kalian menyerah hanya karena skandal ini?" sahut Cory. "Memang apa salahnya meniduri pimpinan sendiri? Itu tidak penting kecuali Dean sudah beristri, bukan? Gunakan logikamu!"

"Apa dengan begitu kau bisa menjamin film ini bakal diterima?" sembur Christine tersinggung. "Aku sendiri juga terkejut mengapa Dean masih saja menemui kekasih gilanya itu!"

"Saranku, tunda syutingnya sampai semua kondusif, Christ," pinta Cory memohon. "Aku yakin kau bakal mengambil keputusan secara adil."

"Dasar keparat, mereka tidak tahu apa meminta maaf itu hal paling berat?" cerocos Cory menggulir layar ponsel seraya duduk di atas pasir putih di belakang Louisa. "Kadang aku heran dari mereka yang membencimu, kau salah apa? Kau tidak pernah menyenggol artis lain kan?"

Louisa menggeleng, enggan membalikkan badan agar Cory tak tahu bahwa dirinya kembali menitikkan air mata. "Aku tidak suka mencampuri urusan orang lain, Cory. Untuk apa?"

"Hatimu terbuat dari apa, Lou?" ledek Cory beranjak dari posisi duduknya dan mengantongi ponsel ke dalam kantong celana pendek longgar. "Kalau aku jadi kau, aku akan mengamuk seperti gorilla. Tapi, bagimu segalanya seperti bukan apa-apa kecuali hari ini."

"Tapi, semua membuatku lelah," keluh Louisa. "Kau sudah menonaktifkan akunku?"

Cory melenggut. "Rehat sejenak dari dunia penuh kepalsuan akan menyehatkan mentalmu, Lou. Sialan memang. Kuharap Dean atau Anastasia mendapatkan balasan setimpal telah membuat nama baikmu tercoreng seperti ini, Lou. Dasar maniak gila!"

"Hei, lihat saja, nanti namanya juga jelek sendiri," kata Louisa. "Hukum alam tetap berlanjut, Cory."

"Kau terlalu baik," sahut Cory tersenyum kecut, menepuk pundak kanan Louisa.

"Tapi, dibodohi," balas Louisa menghapus jejak basah di pipi.

"Dan kau terlena dua kali."

"Dan terluka sekian kali," lirih Louisa sambil mengetatkan garis bibirnya merasa kisah cinta yang dijalani tak selalu berjalan mulus.

"Kisah cinta tak perlu seperti Cinderella, Lou. Karakter fiksi saja harus melalui penyiksaan mental dulu sebelum bahagia, apalagi kita?" Cory menarik napas panjang, merangkul pundak gadis malang itu. "Bahkan ... aku juga tidak ingin jatuh cinta."

"Benarkah? Seingatku, kau menyukai salah satu karyawan di agensi." Louisa menyipitkan mata.

"Siapa? Tidak, Sayang," elak Cory. "Aku tidak mau jatuh cinta. Setidaknya sekarang. Banyak hal yang membuatku urung untuk menjalin asmara dengan seseorang."

"Termasuk aku ini?" tunjuk Louisa pada dirinya sendiri.

Cory mengangguk.

"Rasanya aku ingin amnesia sekarang," tandas Louisa. "Sialnya, pesona Dean terlalu kuat di kepala, Cory. Aku tidak yakin apakah bisa melupakannya.

"Kau pasti bisa. Hanya menunggu waktu bergulir, Lou. Maka semua akan kembali seperti saat kau tidak mencintai Dean."

"Kuharap begitu."

***

Panas...panas... Yang mau nimpuk Dean pake batu, aku sediain nih 🗿🗿

Lagunya Lany bener-bener mencerminkan Louisa banget. Pas aku nulis akhir-akhir cerita ini, aku nangis gaesssss 😭😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro