Chapter 43

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pertemuan tertutup terpaksa dilakukan tim produser  termasuk Christine di gedung AnB untuk membahas pemeran utama mereka yang terlibat skandal. Beberapa orang tengah berbisik-bisik sesekali melirik Louisa yang duduk di ujung meja di dampingi Cory. Kebanyakan di antara mereka tidak menyangka bahwa artis itu mau saja dibodohi Dean untuk menjadi teman kencan. Siapa yang tidak tahu rekam jejak Dean bersama perempuan? Harusnya Louisa bisa memilah mana yang benar-benar mengajaknya kencan atau sekadar bermain-main, pikir mereka. 

Di sisi lain, suasana tampak tegang walau cangkir-cangkir berisi kopi tersedia di depan mereka sebagai penenang keadaan. Ditambah mesin pendingin turut membantu melenyapkan kepulan asap yang keluar dari kepala-kepala produser. Sayang, sepertinya semua itu tidak banyak membantu selama jagat internet ramai membicarakan Louisa dan Dean. 

Christine sebagai produser utama benar-benar dibuat pening atas kelakuan adiknya sendiri sampai menyeret nama Louisa. Dia paham betul artis di bawah agensinya itu tidak akan melakukan hal-hal lain jikalau tidak diajak bersekongkol dengan Dean. Kekasih pura-pura? Teman tidur? Bukankah itu hal sepele? batin Christine geleng-geleng kepala. 

Yang membuat skandal itu panas adalah kehadiran Anastasia dan pengakuan Dean. Seakan-akan mereka menyangkut pautkan nama Louisa sebagai tumbal untuk mencari pembelaan. Christine menarik napas sebanyak mungkin, melonggarkan dada yang terasa sesak bagai dijejali bebatuan besar. Menarik cangkir kopi yang mulai tak hangat lagi, menyesapnya pelan ketika seseorang berkata, 

"Kurasa pemeran utama perlu diganti."

"Benar," sahut yang lain. "Ini termasuk pelanggaran kontrak."

"Aku tidak melanggar apa pun!" bela Louisa emosi. "Memangnya apa yang kulakukan? Apakah aku terlibat skandal seks bersama pria beristri? Apa aku melakukan hal yang membuat banyak orang merugi? Aku hanya mengencani atasanku yang sialnya malah menyudutkanku seperti ini, Tuan-tuan!"  cerocosnya tanpa henti dengan mata memerah. 

"Tapi, kalau kami masih menggunakan jasamu, kerugian makin banyak, Ms. Bahr," timpal Bradd yang duduk di sebelah Christine. 

"Oh, come on, Dude!" Kini Cory membuka suara. "Bukankah aku sudah memberi saran? Kalian bisa meneruskan proyek ini dan menunda perilisannya sampai satu tahun. Kalian tidak akan rugi."

"Tetap ada kerugian, Mr. Conley, seharusnya film ini akan tayang awal tahun depan. Yang artinya kami punya waktu enam bulan sebelum peluncuran. Selain itu, kalau ditunda terlalu lama akan menghambat aktor lainnya," jelas Bradd menentang ide Cory. "Kecuali, Ms. Bahr mengundurkan diri dan membayar ganti rugi sesuai yang ada--"

"Tidak mungkin, Bradd!" seru Louisa. "Aku tetap pada pendirianku! Aku tidak salah! Christ, please katakan sesuatu. Kau tidak mungkin kan menyuruhku keluar hanya karena skandal adikmu dan mantannya?"

Christine melipat tangan di dada, mengedarkan pandangan seraya berpikir keras atas semua usulan yang masuk ke telinga. Sedangkan Louisa memandang penuh harap dan yang lain menuntut wanita itu untuk segera memberi keputusan karena cepat atau lambat, proyek harus segera digarap lagi. 

"Ada dua sisi," kata Christine memulai melontarkan pendapat. "Kurasa itu tidak adil untuk Ms. Bahr," tandasnya membuat Bradd membeliakkan mata. "Dengarkan aku dulu."

"Kau memihaknya?" Bradd terdengar ketus. 

Christine menggelengkan kepala. "Posisiku netral, Bradd. Tapi, coba kau dan yang lain lihat dari dua sisi. Sedari awal kita memilihnya sebagai peran utama karena bakat. Kemampuan akting dan baletnya benar-benar luar biasa saat di Houston, kalian menyadari itu. Kita juga tidak pernah melihatnya berperilaku buruk bukan?"

"Jadi, apa tanggapanmu?" tanya yang lain tak sabar. 

"Kita ubah klausul kontraknya dan teruskan penggarapan film ini," ucap Christine membuat Bradd mengempaskan punggung ke sandaran kursi. 

"I know that!" seru Bradd tampak kecewa. 

"Ini seperti judi, Bradd. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan."

"Kau bertaruh dengan semua uang kita, Christ!"

"I do. Tapi, aku yakin dia tidak sepenuhnya salah. Ini drama antara adikku dan mantannya dan kebetulan Louisa ada di sana, paham? Lagi pula, waktu yang tersisa tidak akan cukup untuk menyelesaikan film, Bradd. Aku sudah memikirkannya matang-matang."

"Terserah kau, Christ! Kalau sampai film ini mendapat rating buruk dan kita tidak menerima untung, aku bisa menuntut balik!" ancam Bradd kemudian beranjak dari ruang rapat membuat yang lainnya kembali berbisik-bisik ingin membenarkan perkataan sang sutradara. 

"Dasar gila," gerutu Cory menahan geram menghadapi sutradara itu. 

"Sudahlah, yang penting aku tidak dituntut finansial, Cory," kata Louisa menenangkan manajernya dengan harapan barunya. 

###

Selesai rapat dan menemui Louisa sebentar untuk mengetahui detail kronologinya, Christine memutuskan untuk mendatangi gedung agensi Cross. Alangkah terkejut perempuan itu mengetahui bahwa selama ini bualan Dean hanya untuk melampiaskan rasa ego terhadap mantan di masa lalu. Dia mengira kalau adiknya sudah benar-benar berhenti mempermainkan hati perempuan, alih-alih menjadikannya teman tidur semata. 

Tentu saja hal tersebut membakar emosi Christine. Dia paling benci ada drama kebohongan dalam keluarganya, apalagi menyangkut wanita. Tidak pernah kedua orang tuanya mengajarkan anak-anak mereka untuk bermain-main perasaan orang lain. Adolf Jr. Cross adalah pria setia dan seharusnya itu menjadi contoh bagi Dean, bukannya merusak nama baik yang sudah dibangun sejak lama. 

Dengan dada bergemuruh bagai ombak menerjang karang, langkah kaki berbalut sepatu kets putih Christine begitu cepat seakan-akan sedang diburu waktu. Dia hanya melambaikan tangan sembari menerbitkan garis tipis di bibir ketika staff agensi melihatnya. Saat pintu lift di depan terbuka, Chrstine berlari berbarengan beberapa orang yang akan naik ke lantai atas. 

"Halo, Mrs. Norris," sapa seorang perempuan berambut kemerahan. 

Christine hanya mengangguk sebagai balasan sapaan formal tersebut, manakala tangannya membuka kontak telepon untuk menghubungi asisten Dean. Tak berapa lama suara berat asisten adiknya itu terdengar, 

"Ada yang bisa kubantu, Nyonya?"

"Apa dia sibuk?" tanya Christine.

"Tidak. Tapi, Mr. Cross berkata kalau tidak ingin diganggu oleh siapa pun," ujar Mr. Reese. 

"Kecuali aku," balas Christine saat lift terbuka di lantai lima. Dia keluar dari kotak besi itu tanpa memedulikan pandangan orang-orang yang ada di sana. 

Dia disambut asisten Dean yang wajahnya memucat kalau sampai ada seseorang mengganggu ketenangan bosnya. Apalagi saat ini Dean masih kelimpungan menghadapi berita buruk tersebut. Ditambah banyak wanita yang merasa jadi korban pelampiasan Dean turut angkat bicara yang memperkeruh suasana. 

"Mrs. Norris--"

Tangan kanan Christine memutar kenop pintu bercat hitam metalik, mengabaikan peringatan Mr. Reese. Dean yang sedang berdiri menghadap dinding kaca seraya menekuk satu tangannya di pinggang, memutar kepala. Dia tampak berbicara bersama seseorang di telepon lalu berjalan cepat saat Christine membanting pintu ruang CEO begitu kasar. 

"Akan kuhubungi nanti," kata Dean kemudian memutus sambungan telepon. 

Sebelum dia angkat bicara untuk menyambut kakaknya itu, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanannya. Nyeri dan panas. Sensasi menyakitkan yang tidak terlalu terasa dibandingkan harga diri Dean yang mendadak diinjak-injak kakaknya sendiri. Dia menatap nyalang wanita itu sambil memegangi pipinya. 

"Apa kau gila, Dean?" rutuk Christine meninggikan suara. "Kau mengacaukan segalanya, bajingan!"

"Kenapa kau menyalahkanku?" protes Dean tak terima.

"Karena kau bodoh! Manusia paling bodoh yang kutemui!" bentak Christine menunjuk dada Dean. "Kalau kau ingin mengejar mantanmu itu kenapa menyeret nama orang lain? Kenapa kau harus membohongi kami, huh!"

"Ah ..." Dean mulai paham ke mana arah pembicaraan kakaknya yang dinilai terlalu ikut campur. "Kenapa kau tak tanyakan saja pada Louisa? Dia sendiri yang menerima kesepakatanku."

"Apa otakmu yang katanya pintar itu pernah memikirkan konsekuensi berkencan dengan anak agensi? Kau tidak lihat aku bertaruh dengan semua uang-uangku untuk tetap menggunakannya, Dean!" seru Christine berkacak pinggang. "Kami hampir rugi! Nama agensimu sedang dipertaruhkan juga, Dean! Berpikir jernihlah sebelum bertindak!"

"I did, Christ! I did!" teriak Dean membelalakkan mata menantang kakaknya. "Aku sedang mencari keberadaan Anastasia. Dia yang menyebabkan ini semua."

"Lalu? Kau akan melindunginya lagi, bukan? Pikirmu aku tidak ingat kisah kalian? Kau selalu membelanya atas dasar kesalahan masa lalu, Dean!" bentak Christine. "Kau telah dimanipulasi!"

"I love her, Christ! Sampai kapan pun aku tetap mencintainya! Dan gosip ini akan reda sendiri bukan?"

Christin menjauhi Dean, memilih mengamati lanskap Downtown dari balik dinding kaca gedung agensi. Sungguh kepalanya terasa ingin meledak, mendapati adiknya masih saja terbelenggu dengan perempuan yang jelas-jelas tidak akan membalas perasaannya. Kesalahan fatal yang dilakukan Dean tidak akan mengubah garis takdir bahwa kisah cinta adiknya telah usia bersama Anastasia. 

"Kau egois, Dean." Christine berada di ujung jurang, nyaris menjatuhkan dirinya sendiri ke lembah curam penuh keputusasaan menghadapi proyek besar yang digarap.

"Jangan campuri urusanku, Christ." Suara Dean terdengar memohon. "Aku tidak membutuhkan bantuan apa pun."

"Bagaimana dengan Louisa?" Christine membalikkan badan, mempertanyakan usaha Dean untuk menyelamatkan nama baik Louisa. "Dia tidak bersalah."

Dean membisu cukup lama. "Dia bisa mengatasinya."

"Kau tidak tahu betapa hancur gadis itu, Dean. Kau menyia-nyiakan perempuan yang mencintaimu."

"Sayangnya, aku tidak menaruh perasaan padanya, Christ," lirih Dean namun tegas.

"Kau akan menyesal, Dean. Kisahmu bersama Ana sudah berakhir, kau harus bangun, Dean. Dia tidak akan membalas perasaanmu atas kematian kekasih dan anaknya."

"Aku tidak peduli, asal dia mau bertemu denganku," kata Dean penuh keyakinan. "Kejadian itu sudah lama dan Ana sudah melanjutkan hidupnya dengan baik." 

"Mari kita lihat sejauh mana mimpimu, Dean," kata Christine lalu meninggalkan adiknya seorang diri. 

###

Nama Louisa masih menjadi trending topic di Twitter ketika Ellie memutuskan untuk mengakhiri kontrak kerja sama. Tentu saja hal tersebut mengundang beragam komentar bahwa Ellie dianggap terlalu cepat mengambil keputusan hanya karena takut barang-barang mereka terkena boikot. Di sisi lain, ada yang setuju dengan alasan menggunakan jasa Louisa sama saja menjatuhkan saham perusahaan sendiri. Mereka berkelakar untuk apa memakai visual artis yang menjadi teman tidur atasannya hanya untuk mencari koneksi?

Menghadapi banyak tekanan, sejujurnya Louisa benar-benar tidak tahan berada di Amerika. Dia ingin sekali menghilang ke tempat yang tidak diketahui orang. Sayang, bayang-bayang tuntutan sebagai sepuluh juta dolar atas ganti rugi selama syuting di Houston menari-nari di benak Louisa. Walau namanya sempat melambung setinggi langit, tetap saja uang sebesar itu dirinya tidak sanggup dengan sekali bayar. 

Dia lebih banyak berdiam diri kamar atau duduk sendirian di pinggir pantai Malibu seraya memeluk lutut. Membiarkan air bergerak maju-mundur membasahi kakinya dengan harapan semua mimpi buruk ini akan segera menemukan jalan keluar.

Semua perkataan Dean masih terngiang-ngiang di telinga Louisa. Makin lama makin menggema hingga akhirnya menyakiti perasaan sampai ke bagian terdalam. Setiap kenangan yang pernah dihabiskan bersama tentu saja tidak bisa dia lupakan sekali pun ingin. Dean terlalu hebat memainkan hati Louisa bagai boneka. Dia juga terlalu hebat meremukkan seluruh angan-angan Louisa yang ingin dibangun bersama. Kini semua itu menyisakan puing-puing yang tidak akan bisa disatukan secara sempurna. 

Dia merasakan ponselnya bergetar. Diambil benda kotak itu dan melihat nama ibunya tengah memanggil. Louisa mendongakkan kepala, menghapus kristal bening yang tidak kunjung mengering di pipi. Dia menarik napas sebentar, mengembuskannya melalui mulut agar tidak kentara kalau baru saja menangisi nasib tragisnya. 

"Halo, Mama?" panggil Louisa setelah mendengar suara Karoline. 

"Alles okay?" tanya Karoline khawatir. 

(Apa semua baik-baik saja?)

"Ja, Mama. Keine Sorge." Louisa menggigit bibir bawah, memukul dadanya yang terasa seperti dipukul dari belakang menahan beban seorang diri. Dia tidak ingin membuat orang tuanya resah karena atas berita miring yang menimpa sekarang.

  (Ya, Mama. Jangan khawatir)

"Kau bisa pulang jika ingin, Lou," pinta Karoline sedih. "Istirahatkan dirimu dari perfilman yang melelahkan."

"Aku menyukai pekerjaanku, Mama. Hanya saja ... Dean ..."

"Sedari awal, Mama sudah merasa bahwa kau tidak siap jatuh hati lagi, Louisa. Tidak ada pria yang benar-benar baik sampai dia mau mengorbankan dirinya sendiri, Lou."

"Nein. Aku mencintainya, Mama. Aku sungguh mencintainya. Tapi ... dia tidak melakukan hal yang sama. Dia membohongiku dan ini sakit sekali." Louisa menyembunyikan wajah di antara kedua lutut, menangis sejadi-jadinya lagi. "Apakah aku tidak pantas?"

(Tidak)

"Schatzi ... " Karoline terdengar sendu, tak tega mendapati putrinya bersedih seperti itu. "Keluarlah dari proyek filmmu, Lou. Mama yakin, kau tidak akan bisa fokus jika hatimu masih terluka."

(Sayang)

"Mereka akan menuntutku, Mama. Dan bukan nominal kecil. Lagi pula, ini kesempatanku untuk memperbaiki citraku yang dirusak Dean," kata Louisa sesenggukan. "Sepuluh juta dolar. Dari mana kita akan mendapat sebanyak itu ketika gajiku dari film kemarin di bawahnya?"

"Tapi ..."

"Ini satu-satunya cara, Mama. Kalau aku mundur dari proyek ini, itu artinya aku tidak menghargai Christine yang sudah mempertahankanku di saat orang-orang tidak mendukung. Setelah semua selesai, aku janji akan pulang, Mama. Aku lelah berada di sini."

"Jika itu memang keputusanmu, Mama akan mendukung, Lou. Hanya saja jaga kesehatanmu, Sayang. Kesehatan mentalmu lebih penting daripada karier. Kau adalah gadis yang baik, tidak semestinya mereka memperlakukanmu seperti perempuan murahan."

"Ich weiß davon, Mama," kata Louisa. "Mama, bisakah aku mengakhiri pembicaraan kita? Aku ingin menenangkan diri sebelum menulis pernyataan resmi tentang masalah ini."

(Aku tahu itu, Mama)

"Baiklah, Lou. Telepon Mama kapan pun yang kau mau."

Louisa memutus sambungan telepon, mengusap wajahnya gusar kemudian memejamkan mata merasakan angin laut membelai dirinya penuh kelembutan. Seakan-akan mendekap dalam kehangatan di bawah binar matahari yang menyinari Malibu. Deburan ombak dan suara gesekan daun-daun kelapa menemani dirinya di tengah kesepian bahwa di dunia ini roda kehidupan akan bergulir. Louisa hanya harus bertahan sebagai risiko terbesar menjadi seorang publik figur. Sekecil apa pun, dia tidak akan pernah jauh dari yang namanya isu entah itu bersama pria sesama aktor maupun orang-orang di agensi. 

Kembali menarik napas panjang, Louisa membuka aplikasi catatan lantas mulai mencurahkan permohonan maaf sekaligus klarifikasi bahwa sebentar lagi dirinya akan mundur dari agensi. 

Halo, di sini Louisa Bahr.

Dengan segala kerendahan hati, aku ingin menyampaikan permohonan maafku tentang masalah yang sedang ramai dibicarakan banyak orang. Aku tahu kalian pasti kecewa dan marah, aku benar-benar minta maaf. Semua terjadi karena kesalahan dan keegoisanku terhadap masa lalu yang masih membayangiku. Aku juga memohon maaf sebesar-besarnya kepada manajer, semua staff agensi, dan juga tim Last Dancing. 

Aku banyak merenung selama beberapa hari terakhir dan menyadari bahwa sudah saatnya mengundurkan diri dari agensi yang sudah membesarkan nama Louisa Bahr. Aku tidak ingin orang-orang salah paham lagi atas hubungan yang kemarin sempat membuat heboh. Aku telah memutuskan setelah proses pengambilan gambar selesai, aku akan mengistirahatkan diri beberapa waktu. 

Kepada penggemarku, terima kasih banyak untuk semua dukungan kalian yang benar-benar membantuku dalam kesulitan ini. Tanpa kalian, nama Louisa Bahr tidak akan sebesar ini. Aku menyayangi kalian. 

-Louisa Bahr-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro