Chapter 44

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Agensi Cross makin dibanjiri wartawan seolah-olah berita miring dan skandal hubungan antara Dean dan Louisa, juga nama Anastasia sebagai kekasih tak terungkap belum cukup. Mereka dikejutkan dengan surat terbuka yang diunggah Louisa di laman Instagram dan Twitter setelah berhari-hari menonaktifkan akun. Tentu saja hal tersebut mengundang banyak spekulasi kalau Louisa memang menjalin asmara bersama Dean hanya untuk mendongkrak popularitas semata. 

Alhasil, orang-orang ikut mempertanyakan kejelasan peran yang akan dibintangi Louisa di film mendatang. Menerka-nerka apakah pihak produser mengeluarkannya dari proyek atau tidak. Di sisi lain, ada saja yang mencoba meredamkan ketegangan dengan mengingat-ingat kembali bagaimana sepak terjang Louisa sampai di titik teratas, ketika namanya selalu dipuja-puja sebagai aktor terbaik tahun ini. 

Sementara itu, Dean seperti acuh tak acuh mengetahui Louisa akan hengkang dari agensinya, terlepas bagaimana gairah yang dulu merekatkan mereka berdua. Menyuruh pejabat di bawahnya untuk mengurusi berkas-berkas yang diperlukan untuk mengakhiri kontrak kerja sama dengan gadis itu. Fokus utama Dean saat ini adalah Anastasia, tak peduli orang-orang membicarakannya sebagai pria pecundang yang hanya bisa memanfaatkan wanita di ranjang. 

Kini Dean duduk seorang diri di restoran dekat pusat kota Houston, menanti kehadiran Anastasia dengan perasaan tak menentu. Jemari kanannya mengetuk-ngetuk permukaan meja sambil sesekali mengedarkan pandangan berharap sosok Anastasia segera muncul di balik pintu kaca restoran bintang lima ini. Sejujurnya, dia sangat marah mengapa sang mantan sampai harus merekam pembicaraan yang tidak semestinya dikonsumsi publik setelah mengetahui dialah pelakunya. 

Apakah Ana masih menyimpan dendam seperti yang dikatakan Christine? batin Dean. 

Selang beberapa saat, sosok tinggi semampai bergaun bunga-bunga muncul. Dean menegakkan badan, mengangkat tangan kanannya sambil melempar seberkas senyum simpul menyambut Anastasia. Gadis itu membalas dengan ekspresi datar, berjalan cepat di atas flatshoes putih yang tampak cocok di kaki jenjangnya.

Anastasia terlihat begitu tenang ketika mendudukkan diri di hadapan Dean, mengamati garis wajah Dean dari balik iris mata lentik. Tanpa ada rasa bersalah sedikit pun, Anastasia berkata, 

"Kenapa kau masih menemuiku?"

"Karena aku ingin tahu alasanmu menyebarkan obrolan kita, Ana," balas Dean.

"Kau takut mereka menyebutmu pembunuh?" nada bicara Anastasia mendadak berubah sedingin Antartika. Sorot tajam gadis itu menusuk relung dada Dean, menunjukkan bahwa ada dendam yang tersirat di sana. 

"Itu kejadian lama dan kita sudah menyelesaikannya secara baik-baik," kata Dean. "Dokter juga bilang bahwa kekasihmu tewas bukan karena pukulanku, dia mengalami henti jantung karena penyakit keturunannya. Polisi juga tidak menemukan bukti konkrit bahwa aku pelakunya, Ana!"

"Tapi, kau memperparahnya, Dean," sela Anastasia mengepalkan tangan di bawah meja. Bagaimana dia meratapi tubuh kaku Oliver di kamar jenazah setelah dinyatakan meninggal di perjalanan saat dibawa ke rumah sakit. "Kau menghajarnya membabi buta seakan-akan dia penjahat."

"Itu tidak sepenuhnya salahku," ketus Dean. "Dia menghinaku karena tidak bisa membahagiakanmu, mengolok seolah-olah dialah pria paling tepat untukmu sampai berhasil membuatmu hamil waktu itu, Ana. Aku masih menghormati harga dirimu, tapi kau? Tidakkah kau sadar kalau dia memanipulasi keadaan kita berdua, huh?"

Anastasia berpaling, menghindari tatapan penuh tuntutan Dean ketika potongan demi potongan kejadian memilukan itu menari-nari di benaknya. Tidak mengelak bahwa kehadiran Oliverlah yang memisahkan Anastasia dan Dean. Tapi, dia juga tidak memungkiri kalau bersama Oliver lebih menyenangkan dibanding sikap obsesif Dean padanya. Lantas, siapa yang lebih memanipulasi seolah-olah dirinya korban?

"Kau adalah monster, Dean," lirih Anastasia menatap lurus ke dalam bola mata Dean. "Sikap obsesimu terdengar gila. Bagiku, kau tetap pembunuh."

Tidak ingin berlama-lama, Anastasia beranjak dari tempat duduknya namun Dean segera menahan lengan gadis itu, mencengkeramnya erat bagai menghentikan aliran darah di sana. "I'm not, Ana. Kau salah paham."

"Tidak." Anastasia melepaskan genggaman Dean di lengannya. "Kau tahu, Dean? Aku senang melihat satu-persatu orang terdekatmu pergi. Agar kau merasakan apa yang kurasakan dulu."

"Kau tidak akan bisa menghancurkanku," balas Dean tak gentar. 

"Really? Mari kita lihat sejauh mana kau bisa menyombongkan diri, Dean," tandas Anastasia lalu melengang pergi meninggalkan Dean seorang diri.

###

"Lou! Lou!" teriak Cory terdengar diserang kepanikan ketika Louisa duduk di balkon kamarnya. "Sialan! Mereka mengumumkan pernyataan resmi!"

"Siapa?" Louisa mengerutkan kening tak mengerti. 

Cory menyodorkan ponselnya yang menunjukkan sebuah artikel kalau pihak AnB menyatakan Louisa berhenti memerankan Abby McMilan. Seketika bola mata gadis itu membulat, merebut ponsel Cory dan memperbesar tulisan di layar. Sekeras apa pun kesadarannya mengelak headline news di sana, tetap saja mereka menyebut pemeran Abby bakal digantikan kandidat lain atas dasar sikap profesional rumah produksi. Mereka beranggapan kalau seorang aktor papan atas tidak semestinya terlibat skandal termasuk bercinta dengan atasan sendiri. 

Kami tahu bahwa tidak mudah melepaskan aktris berbakat seperti Louisa Bahr. Tapi, kami juga tidak ingin penonton dan penggemar film bertema drama musikal ini kecewa. Apalagi film ini direncanakan akan tayang awal tahun untuk diikutsertakan dalam festival film Cannes. Christine Norris selaku produser utama turut menjelaskan bahwa masalah seperti ini memang sering kali terjadi di dunia perfilman, sehingga mau tidak mau, produser akan mengambil keputusan terberat demi kesuksesan peluncuran film. 

Di bawah artikel itu, turut menyinggung hubungan masa lalu Louisa bersama Troy yang disambung-sambungkan kisah cintanya dengan Dean. Mereka menambah bumbu-bumbu yang membuat masalah ini makin runyam. Menyebut Louisa sebagai perempuan haus ketenaran dan tidak patut terjun di dunia hiburan jika popularitasnya karena koneksi. 

"Troy membuat cuitan di Twitter," kata Cory merebut ponsel dan membuka aplikasi burung biru tersebut. "Jesus ... kenapa semua jadi seperti ini?"

 "Troy?" Louisa makin nelangsa menghadapi nasibnya di ujung tanduk. 

"Lihat, dia menyebutmu mantan sok jual mahal dan menjual diri di kalangan petinggi agensi untuk bisa mendapatkan kontrak kerja sama," terang Cory menunjukkan cuitan yang ditulis mantan kekasih Louisa itu. 

'Ternyata dugaanku benar. Mantanku adalah penjilat yang mau menghabiskan malam bersama banyak pria untuk mencari keuntungan.'

'Wanita yang kalian banggakan di San Diego. Siapa lagi?'

'Kalian sudah tahu kan siapa yang licik?'

"Fuck!" seru Louisa kemudian beranjak untuk mengambil ponsel di atas laci tempat tidur. Cory mengekori gadis itu dengan perasaan campur aduk, berusaha mencari jalan keluar bagaimana mengatasi isu yang terlanjur memanas seperti ini. Louisa menghubungi Troy, tapi tidak tersambung bahkan sampai lima kali, nomor telepon Troy tidak aktif. 

"Dia mungkin memblokirmu, Lou," kata Cory cemas. "Firasatku, dia memang sengaja memublikasikan saat perhatian wartawan tertuju ke Dean."

"Aku akan menelepon Christine," ujar Louisa berjalan mondar-mandir, mencari kontak telepon kakak Dean itu. Tak berapa lama suara Christine terdengar. "Halo, Christ, apa kau bercanda?"

"Tidak. Kupikir-pikir, ini jalan yang harus kami tempuh, Lou. Aku tidak bisa mempertaruhkan seluruh uangku jika masih mempertahankan namamu, sorry. Masalah kalian terlalu pelik dan berimbas ke aktor lainnya, Lou."

"Tuhan ... kau tahu aku tidak seperti itu, Mrs. Norris!" pekik Louisa frustrasi. "Itu masalah adikmu, oke! Dean mengancamku jika tidak menerima tawarannya dan sekarang ... fuck! Kalian sama saja! Kalian hanyalah pecundang!"

"Aku paham perasaanmu, Louisa. Tapi, ini demi keberlangsungan--"

"Kau mematikan karierku, Christ! Kenapa kau tidak membicarakan hal ini terlebih dulu, huh! Kenapa kau--" Louisa terisak, menjambak rambutnya sendiri merasa kepalanya mendadak begitu pening. "Film itu adalah impianku, Christ. Kau membunuh impianku."

"Kami tidak punya pilihan lain, Lou. Maafkan aku."

Sambungan telepon tiba-tiba terputus, menyisakan keheningan yang menelan Louisa bulat-bulat. Dia jatuh terduduk, merangkul kedua lutut dan menyembunyikan wajah seolah-olah telah kalah perang. Dia menjerit sekeras mungkin, merutuk siapa pun yang berhasil menghancurkan mimpi besarnya sampai ke titik terendah. 

Apakah dia salah?

Apakah dia terlalu bodoh?

Dua pertanyaan itu terus berputar-putar dalam kepala Louisa. Sayang, semua sudah terlambat untuk diperbaiki. Dean tidak peduli. Orang-orang yang membencinya tengah bersorak-sorai melihatnya terpuruk. Louisa merasa bahwa di sini bukan tempatnya bernaung dengan nyaman. Di sini bukan tempatnya lagi untuk menggantungkan cita-citanya ketika ada orang lain yang tega menusuk dari belakang. 

Cory berjongkok, mendekap Louisa dengan rasa iba dan membisikkan bahwa semua ini akan ada jalannya. Dia menegaskan bahwa Tuhan tidak akan pernah tidur dan percaya ada tabur tuai bagi mereka yang menjerumuskan karier Louisa. 

"Kau tidak sendirian, Lou," kata Cory berkaca-kaca. "Kurasa inilah saatnya untuk dirimu menghilang dari dunia penuh racun ini, Lou. Membiarkan mereka menjemput karma."

"Aku ... karierku ..." Louisa sesenggukan. "Mereka ... jahat, Cory. Aku salah apa pada mereka?"

"Hei ..." Cory berusaha menghapus jejak basah yang masih berlinang di pipi Louisa. "Kau tidak salah, Lou. Kau hanya salah menempatkan hatimu pada mereka."

"Aku harus bagaimana, Cory? Aku tidak berani menghadapi wartawan jika orang-orang terus menuduhku sebagai jalang."

"Aku akan mengurusnya, Lou. Aku akan menelepon Mr. Wood untuk menyelesaikan semua kontrak kerjamu itu, termasuk pembayaran denda. Setelah itu, kita bisa berkemas dan pergi dari negara menjijikkan ini."

Bibir Louisa bergetar tak bisa membayangkan nominal yang harus dia bayar atas kesalahan yang tidak dia lakukan. "Aku sudah tidak punya apa-apa, Cory. Aku--"

"Uang bisa dicari, Lou. Tapi, kebahagiaan dan kesehatan mentalmu jauh lebih penting daripada bekerja di bawah tekanan seperti ini. Kau adalah aktris dan berhak memutuskan ke mana jalan hidupmu, kau masih punya bakat lain dan bisa digunakan di sekolah balet milik Karoline. Oke?" jelas Cory memberikan ide. "Jika kau menganggapku teman, aku yakin kau akan setuju denganku, Lou. Semua ini demi dirimu."

Mau tak mau Louisa akhirnya mengangguk, membenarkan pendapat manajer sekaligus teman baiknya. Andai tidak ada Cory, mungkin Louisa akan memilih menghanyutkan diri ke laut daripada terus-menerus mendapat serangan batin dari berbagai arah. Dia benar-benar tidak tahan menghadapi berbagai macam komentar pedas yang menggiring opini kalau prestasinya itu sebatas meniduri petinggi agensi. 

"Thanks, Cory," ujar Louisa lirih menarik ingus yang keluar dari hidungnya. "Kau adalah teman terbaikku."

"Selalu, Lou. Selalu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro