Chapter 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebagai seorang profesional, tidak mungkin Louisa membatalkan perjanjian dengan fotografer hanya karena gosip dan pertikaiannya bersama Dean di lobi. Walau hatinya terbakar sampai ke ubun-ubun sampai ingin mematahkan setiap tulang pria tukang perintah itu, Louisa terpaksa harus menarik garis bibir di depan koleganya. Mengabaikan perhatian Dean yang mengamatinya tanpa berkedip sambil melipat tangan di dada, memancarkan keangkuhan di ruangan ini. 

Cih! Menyebalkan!

Ratusan blitz mengabadikan ekspresi wajah Louisa tengah mengenakan gaun satin putih berpotongan cukup panjang di bagian paha kiri, menampakkan kulit putih pucat sementara bagian dada sangat rendah seakan-akan area itu nyaris tumpah ruah ditambah hiasan tali spageti tuk memamerkan punggung telanjang. Rambut cokelat madu Louisa dibiarkan terurai, sengaja dibuat gelombang-gelombang indah agar menambah kesan volume di wajah mungilnya. Dia berpose sesuai arahan, membawa buket bunga tulip segar berwarna merah senada dengan lipstik yang dipulas di bibir. 

Terlintas ide nakal dalam kepala begitu bertemu tatap dengan bola mata Dean, Louisa menumpukan kaki kanan ke kursi kayu tanpa sandaran, menonjolkan pinggul sehingga lekuk pinggangnya bagai gelombang air. Tentu saja potongan gaun yang dipakai Louisa di bagian kiri makin terbuka lebar, semakin mempertontonkan kaki jenjang nyaris mengekspos pangkal paha. Dia menyeringai ketika sorot mata Dean makin menggelap sampai-sampai lelaki itu melonggarkan ikatan dasi.

"Fantastic, Ms. Bahr! Aku menyukai gayamu yang ini," puji sang fotografer yang dibalas kilatan tajam Dean seolah-olah ingin meremukkan kepala lelaki itu dengan satu genggaman kuat. 

Louisa terpingkal-pingkal dalam hati mengetahui Dean pasti tidak suka atas apa yang dilakukannya sekarang. Memancing emosi melalui sanjungan orang lain melalui bentuk tubuh indahnya. Apalagi sang fotografer memanggil model pria dengan fashion yang senada ketika Louisa diminta untuk ganti kostum. Sekarang Louisa mengenakan celana pipa berwarna krem dan blazer tanpa dalaman, memperlihatkan sekilas garis dada ketika dia mengangkat sebelah tangan untuk merangkul leher pasangannya. Kemudian mereka berganti gaya, di mana Louisa berdiri lebih tinggi dibandingkan model pria sehingga lelaki berkepala plontos itu menuruti fotografer untuk berpose seakan-akan tengah menyesap leher Louisa.

"Fuck!" gerutu Dean pelan makin frustrasi hingga Cory berpaling ketika ditelepon beberapa rekan kerja terkait isu yang diterima pasangan gila itu. "Suruh Louisa menemuiku setelah sesi foto selesai, Cory!"

"Itu siapa Cory? Mr. Cross?" tanya seseorang dari tim produksi film From The End. "Serius dia sedang bersama Louisa?"

Cory memutar bola mata, mendecak kesal kenapa atasannya tidak bisa mengerti situasi malah memperkeruh keadaan. Dia melihat jejak yang ditinggal Dean lalu mengalihkan pandangan ke arah Louisa dan menyiratkan bahwa perseteruan mereka belum benar-benar berakhir. 

"Bukan, dia ... Mr. Adams ingin menawarkan kerja sama," jawab Cory mulai pandai merangkai kebohongan. 

"Tidak. Aku hafal betul bagaimana suara berat Mr. Cross. Sialan! Bajingan seksi itu kencan dengan Louisa? Dia tahu wanita mana yang sedang naik pamor, hahaha ..."

"Sudah ya, aku dipanggil Louisa. Maaf, kukatakan kalau berita itu tidak benar. Bye," tukas Cory memutus sambungan telepon lalu mengembuskan napas kasar, menyapu helai rambut yang jatuh ke keningnya. Begini saja rasanya tenaga Cory sudah terkuras habis demi mengklarifikasi gosip di saat Louisa memilih menutup komentar di akun media sosial. 

Saat sesi foto dan wawancara benar-benar berakhir, Cory begitu malas menyampaikan pesan Dean kepada Louisa. Padahal sebenarnya dia ingin mengajak gadis itu ke bar untuk melepas penat setelah seharian mencerocos tanpa henti. Louisa mengecek ponsel ketika mereka bergegas ke parkiran mobil. Matanya membulat meniti pesan Dean yang menyuruh untuk datang sendiri ke agensi. 

Dean : Datanglah ke kantorku tanpa manajermu!

Andai waktu bisa dihentikan atau ada kekuatan teleportasi yang bisa menghalanginya bertemu Dean, Louisa akan melakukan hal tersebut agar tidak perlu berjumpa dengan manusia itu. Entah kesalahan apa yang ada di diri Louisa hingga Dean mudah terpancing amarah. Oh! Apakah karena sesi foto tadi? Lantas dia cemburu buta karena pasangannya tadi mencuri-curi ciuman di leher? Sudut bibirnya terangkat membuat Cory yang sedang menyalakan kemudi mobil menatap aneh. 

"Aku merasa kalau di sini kau juga menyulut kemurkaan pria itu," terka Cory menunjuk hidung Louisa dengan jari lentik bercat hitam. 

"Dia yang memulai," jawab Louisa santai. "Lelaki seperti dia perlu diberi pelajaran sekali-kali."

"Lalu? Kita jadi menemuinya?" Cory menekan pedal, melaju perlahan keluar area parkiran. "Aku bisa menunggumu di bar."

"Tidak. Untuk apa? Katamu kita akan pergi ke bar?"

Cory terbahak-bahak memahami isi pikiran Louisa yang berani. "Hell yeah, Baby! Kau gadis gila sialan!"

"Berkat kau juga, Sayang!" teriak Louisa menyalakan musik dari penyanyi favoritnya Tinashe. Mereka berdua bernyanyi melintasi ruas-ruas jalan yang bermandikan lampu-lampu dan kelab-kelab bersiap menyambut mereka hingga ke puncak kenikmatan malam. 

Playing with fire, if I burn, you do
If I hurt, you won't let it
Stacked my deck like I ain't gon' lose
Like a victim, forget it

So you better stay up, player
Yeah, you better keep up, player
Cause tonight is a game-changer
So you better stay up, player

###

Ekor mata Dean melirik jam di tangan kiri ketika waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Dia mengetuk-ngetukkan jemari di atas meja membiarkan layar laptop menyala sementara pikirannya melayang pada si keras kepala. Lelaki itu tahu bahwa Louisa tidak akan datang begitu mudah setelah perdebatan mereka di Pasific Design Center yang dinilai memalukan karena menjadi atensi orang-orang. Meningkatkan gumpalan emosi dalam diri Dean menjadi sesuatu yang bisa meledak dan menjadi tak terkendali. Matanya makin menggelap dan tak yakin apa dia bisa berpikir waras jika bertemu gadis itu.

Sejujurnya, Dean tidak suka dengan cara licik Louisa untuk membalas perbuatannya dan tentu saja sebagai lelaki dominan harus melawan. Sayang area pemotretan bukan tempat Dean untuk adu mulut tentang ketidaksukaan pada pria tak tahu diri dan seenak jidat menyentuh tiap jengkal tubuh Louisa. Tanpa ijin. Apa dia tidak membaca dengan jelas kalau gadis itu adalah miliknya?

Memangnya salah kalau Dean melarang? Toh mereka berdua sudah saling sepakat bukan? Sama-sama saling memberikan untung bukan malah memantik masalah demi masalah seperti ini. Dia merasa Troy benar telah memutuskan hubungan secara sepihak karena watak Louisa terlalu kekanakan. 

Dering ponsel membuyarkan lamunan Dean, segera tangan kirinya meraih benda itu dan menerima panggilan dari sang asisten. "Kau sudah tahu di mana dia?"

 "Avalon Hollywood," jawab Juliaan Reese.

Dean langsung mematikan sambungan telepon, menutup begitu saja layar laptop dan memasukkannya dalam tas kerja. Bagai menang lotre, hatinya yang sepanas padang pasir kini langsung bersemi berhasil menemukan lokasi Louisa berada. Jika gadis itu menantang, maka Dean akan melawan balik dan tidak segan-segan menyeret keluar dari kelab.

Sialan! rutuk Dean dalam hati. Bukannya menemui di kantor sesuai perintah, malah bersenang-senang di kelab malam bersama Cory. Benak Dean langsung dipenuhi bayang-bayang Louisa merayu dan melancarkan aksi genitnya kepada pria-pria haus cinta di sana, memberi kecupan tanpa ragu. Bulu roma Dean seketika berdiri, tak mampu membayangkan Louisa bercumbu dengan pria lain. Tidak! Itu harus dirinya. Louisa adalah miliknya bukan orang lain. Apakah dunia masih belum mengenal siapa dirinya?

Atau memang Louisa terlalu bebal?

Kaki panjang Dean bergegas keluar dari ruang CEO di saat lorong tampak sepi kecuali lampu-lampu menerangi gedung Cross agensi. Dinding-dinding kaca gedung tinggi tersebut membuatnya tampak seperti kotak memanjang yang memancarkan semarak di tengah gemerlap kehidupan kota San Diego. Di lantai yang dipijak Dean, tidak ada orang lalu lalang kecuali seorang petugas kebersihan yang terlihat sibuk mengepel lantai sembari mendengarkan musik melalui headphone. Sehingga, hanya suara ketukan sepatu pantofel hitam mengilap bercumbu dengan lantai, menggema betapa sunyi lantai lima tempat Dean bekerja. 

Kepalanya berpaling mengamati sebentar bentangan Downtown di malam hari, jalanan tampak dipenuhi mobil-mobil yang akan menghabiskan sisa hari di tempat-tempat hiburan. Sementara langit sepertinya ikut mendukung kehidupan malam tanpa ada jeda itu. Tidak ada salju turun hanya sisa-sisa hawa dingin saja yang menyelimuti. Namun, tidak mengurungkan niat mereka mencari kepuasan batin di tengah-tengah hingar-bingar keramaian. 

Dia berjalan kembali masuk ke dalam lift kemudian menekan huruf GF (ground floor) yang tersambung dengan basemen. Melonggarkan ikatan dasi yang terasa mencekik leher. Dean sepertinya lebih membutuhkan pasokan udara yang bisa menjernihkan betapa kacau pikirannya sekarang. Kenapa? Hanya kata itu berputar di otak Dean. Kenapa Louisa tidak menuruti perintahnya seperti perempuan lain? Kenapa dia harus bebal seperti itu? 

Begitu pintu kotak besi sampai di lantai paling bawah gedung Cross Agency, Dean mempercepat langkah tak sabar untuk segera menarik paksa Louisa keluar dari Avalon Hollywood. Bila perlu dia ingin mengurung Louisa agar bisa membaca lapis demi lapis pikiran perempuan yang sama sekali tidak dia mengerti. Padahal jauh sebelum berhubungan dengannya, Dean begitu memahami isi kepala dan kemauan perempuan sehingga lebih mudah dikendalikan di bawah kekuasaannya. Sayang, aturan itu sepertinya tidak berlaku untuk Louisa. Gadis pembangkang sialan seksi dan menggoda dirinya dari waktu ke waktu. 

Termasuk penolakan terang-terangan ketika berita hubungan mereka tersebar luas. Padahal perempuan lain akan menyombongkan diri bisa bersanding dengan pimpinan Cross tersebut walau pada akhirnya dicampakkan dan dilupakan. Kadang Dean merasa apakah akhirnya Tuhan mengirimkan lawan sepadan untuknya?

Audi hitam mengilap milik Dean melaju begitu cepat membelah jalanan sesekali membunyikan klakson. Imajinasi tentang Louisa berada di tengah-tengah para pria dan menari striptis makin memenuhi benak Dean. Mengingat tadi siang saja saat pemotretan semua orang yang ada di studio tertuju pada belahan gaun yang nyaris menunjukkan pangkal paha. Mengundang pria mana pun untuk menikmati dan bermain-main di sana. Siapa yang tidak akan menelan air liur melihat keseksian tubuh Louisa dalam balutan dress satin tadi? Kulit lembut yang menanti tak sabar untuk disentuh, leher jenjang dihiasi kalung emas seakan-akan meminta untuk diberi jejak-jejak merah nan basah, hingga dada menyembul penuh. Persetan dengan fashion designer yang berhasil memproduksi gaun edisi musim semi. Seumur hidup dia bersumpah tidak akan mengizinkan Louisa mengenakannya di depan orang lain. 

"Kita lihat saja apa kau bisa melawanku lagi, Lou," desis Dean mengetatkan pegangannya di setir mobil. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro