Chapter 8 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hanyut dalam dentuman musik EDM dari Zedd di Avalon Hollywood membuat pengunjung di sana berjingkrak-jingkrak menikmati kebebasan tanpa memikirkan beban kerja yang seharian ini membelenggu. Lampu-lampu laser aneka warna bergerak menyorot secara acak orang-orang di lantai dansa, mengangkat kedua tangan mengikuti irama disjoki sekaligus produser musik keturunan Rusia-Jerman tersebut. Berteriak menyanyikan bait demi bait seperti sedang mengolok percintaan Louisa yang begitu menyedihkan. Dia tidak tersinggung sama sekali karena itulah kenyataannya. Butuh satu malam untuk meredakan rasa sakit namun butuh bertahun-tahun untuk menghilangkan bekasnya. Sungguh menyedihkan!

Give me one night to mend the pain

Because the second we touch you'll forget the day

You were done with love

Louisa seakan tenggelam dalam suasana, mengangguk-anggukan kepala tak memedulikan pita suaranya putus berusaha mengimbangi kerasnya musik di ruangan ini. Dia merasa jika akhirnya masalah yang terjadi hari ini langsung menguap tanpa jejak. Dia melompat-lompat kegirangan menyertai entakkan musik makin lama makin membakar jiwa hingga berpeluh keringat membasahi tubuh. Louisa berteriak bersama orang-orang di sekeliling, menenggak sebotol wiski dalam genggaman tangan kanan sementara Cory bolak-balik mengingatkan agar gadis itu tidak terlalu mabuk seperti beberapa waktu lalu.

Louisa menggeleng lalu memekik manakala musik makin berdentum keras. "Aku akan menikmati hidupku, Cory! Oh yeah! Fuck you, Dean! I'm fucking hate you Dean Cross!" Dia mengacungkan jari tengah ke segala arah berharap ada kamera pengawas atau seseorang yang merekam betapa geram Louisa atas kelakuan posesif Dean.

Tidak boleh mengenakan pakaian tak senonoh.

Tidak boleh menggoda pria lain.

Harus membalas pesannya cepat.

Harus menuruti keinginannya.

"Oh sialan! Aturan menjadi teman kencannya membuatku mati pelan-pelan, Cory!" jerit Louisa makin menggila mengingat segala hal yang dilarang Dean. "Aku bukan budakmu, Cross! Oh, shit! Dasar maniak sialan!"

Tak berapa lama, Louisa dihampiri seorang lelaki berkaus tipis tanpa lengan menonjolkan biseps berotot yang menggiurkan mata. Pria berambut hitam legam dengan batang tembakau yang diapit bibir tebal itu menunduk dan membisikkan Louisa bahwa dirinya mengenal sang aktris. Dia menambahkan jika ingin bersenang-senang bersama dilanjut minum bir beberapa gelas sebelum berpisah. Louisa menyengguk begitu saja menerima tawaran sang lelaki tanpa berpikir panjang apakah dia seorang penguntit atau tidak.

"Aku mengagumi kecantikanmu, Ms. Bahr," lanjutnya mengamati tulang selangka Louisa yang begitu ingin dia kecup manja. "Pantas saja banyak pria yang mengagumimu." Dia mengangkat jemari kanan, membelai pelan bahu telanjang Louisa sekadar membangunkan hasrat di bawah pengaruh alkohol yang sudah menguasai gadis itu.

Louisa terbahak-bahak di antara batas kesadarannya, menunjuk dada bidang si pria agar sedikit menjauh darinya. "Tapi ada satu pria yang membuangku dan satu pria lain yang mengikatku dengan aturan. Poor me ...

"Aku bisa menghiburmu jika kau mau, bisakah kita pergi ke tempat lain?" pinta pria itu terang-terangan membuat Cory membulatkan bola matanya tak percaya.

"Why not?" balas Louisa kegirangan.

Seketika Cory menahan lengan gadis itu bermaksud untuk memperingatkan agar Louisa berhati-hati terhadap pria asing yang ada di kelab dan tetap bersamanya. Tapi, Louisa mengelak dan menampik lengan Cory, mengibaskan tangan kiri agar sang manajer tidak ikut campur dalam urusan satu ini. Biarlah Louisa menikmati malam penuh gemerlap mewah Hollywood di mana orang-orang saling memamerkan ketenaran mereka. Bukankah sudah waktunya dia menikmati hasil jarih payahnya sendiri? Kenapa harus dipusingkan dengan secuil gosip murahan yang ada di internet? Toh, yang memulai hubungan itu adalah Dean kenapa pula orang-orang menghardiknya sebagai perempuan jalang? Seharusnya yang patut disematkan panggilan tersebut Dean kan?

Berusaha menerobos gerombolan orang-orang untuk mencari tempat lain, Louisa mengerlingkan sebelah mata menyiratkan Cory untuk tetap di sana. Lalu memberikan botol wiski kepada si pirang manakala merasakan kepalanya mulai berputar berbarengan jarak pandang mulai buram. Beberapa detik Louisa menggeleng cepat mencoba mempertahankan kesadarannya tak ingin kesenangan ini berakhir begitu saja. Sial, bukannya reda malah ada sensasi tak mengenakkan yang merangkak naik ke kerongkongan, berusaha mengaduk-aduk perut.

Bertahanlah Lou!

Mereka berdua berhenti di salah satu sudut lantai dansa, kembali menggerakkan badan mengikuti musik yang kini berganti lebih pelan. Namun, tidak menyurutkan betapa riuh orang-orang kelab saling menumbuk gelas dan bertepuk tangan atas penampilan Zedd. Louisa memekik memuji idolanya dilanjut memaki nama Dean seraya mengacungkan jari tengah ke udara. Berharap semesta akan menghukum lelaki bajingan sebagai pria tak tahu diuntung. Louisa tertawa bagai orang tak waras, membiarkan si pirang mendekap punggung telanjangnya, mengelus pelan tulang belakang membangunkan seluruh sel saraf yang sempat terlena beberapa saat. 

Louisa melingkarkan kedua tangan ke leher lelaki itu, mengelus tengkuk leher lantas menatap dalam-dalam pria bermata emerald lalu turun ke garis bibir tebal di mana batang tembakau masih ada di sana. Dia mengambil rokok itu dan menginjaknya kesal karena menghalanginya untuk mencicipi manis bibir pria asing tersebut. Merasa mendapat kesempatan, lelaki asing yang berhasil menggaet hati Louisa perlahan-lahan memiringkan kepala hendak memberi ciuman panas. Kapan lagi kan bisa merasakan gadis good kisser seperti film yang dibintanginya?

Sayang, tubuh kekar si pirang mendadak ditarik paksa dan terjatuh membentur lantai manakala sebuah pukulan telak diterima. Tak sempat membalas, bogem kembali mendarat di rahang kanannya meninggalkan rasa sakit luar biasa. Dia mengaduh kesakitan bersamaan suara orang-orang menjerit ada pria gila yang datang tanpa permisi dan membuat keributan. 

"Beraninya kau menyentuhnya dengan tangan kotormu itu!" suara berat tersebut terdengar seperti sedang mencabik-cabik dirinya menjadi bagian terkecil. 

"Siapa kau!" seru lelaki itu memegang rahangnya yang terasa nyut-nyutan.

"Tak perlu tahu siapa aku," tandasnya dingin berpaling ke arah perempuan yang melihatnya dengan wajah tercengang. 

Louisa mengernyit, mengontraskan bola mata siapa yang berdiri begitu angkuh membuat atmosfer tiba-tiba terasa pengap. Tidak mungkin kan malaikat maut tiba-tiba datang hanya untuk memberi ciuman selamat tinggal padanya? Manalagi suara berat yang terkesan bossy itu terngiang-ngiang di kepala. Louisa menelengkan kepala, menilik pria tinggi yang tampak berantakan dengan kancing kemeja dibiarkan terbuka dan gulungan sebatas siku. Sisa kesadaran Louisa yang sempat hilang kini sibuk mengais-ngais memori dalam otak, mencari siapa pemilik suara tak menyenangkan tersebut.

Dean berjalan mendekat seperti ingin menelan bulat-bulat Lousia berlaku kurang ajar lalu mencengkeram rahang gadis itu. Namun, kenapa gerakan seperti ini justru menaikkan feromonnya? Apakah dia juga ikutan gila? Beberapa detik, otaknya terbangun mengetahui bahwa itu pria menjengkelkan yang sengaja ingin dihindari. Louisa membeku bukan main mendapati bagaimana Dean bisa tahu keberadaannya. Walau di bawah temaram cahaya remang-remang, Louisa bisa merasakan kemarahan melingkupi lelaki itu dan sorot mata biru Dean menggelap serta melubangi diri Louisa. 

"Kenapa kau membangkang?" bisik Dean namun tegas. 

"Kenapa kau memerintahku?" balas Louisa tak mau kalah walau sejujurnya dia ingin kabur dari sini. Sial sungguh sial, apakah dewi fortuna sudah malas berpihak padanya? Sampai-sampai tungkai Louisa susah untuk digerakkan walau sejengkal. 

Begitu besarnyakah pengaruh Dean padaku? Sial!

"Kau menantangku, Ms. Bahr?" tanya Dean. 

Louisa menarik sudut bibirnya tak gentar terhadap ancaman Dean. Makin menaikkan emosi pria yang terlanjur terbakar amarah sehingga dia langsung meraup dan memagut bibir gadis itu. Ciuman kasar penuh tuntutan terasa penuh luapan kemurkaan bercampur frustrasi yang telah meledak dalam diri mereka. Dean mendominasi, menggigit bibir bawah Louisa kemudian melumat kembali tanpa memberi kesempatan untuk bernapas walau sedetik saja. Tangannya masih mencengkeram rahang Louisa sementara tangan lain berpindah ke tengkuk untuk tidak memberi ruang. Sial sungguh sial, bagai dibius lagi, Louisa malah terenyuh oleh lumatan Dean, mencumbu balik seperti ingin bercinta di tempat ini. Kadar feromon dalam tubuhnya sudah tidak bisa dikendalikan lagi, dia begitu ingin merobek paksa kemeja yang dikenakan Dean. Sekarang.

"Kau akan tahu akibatnya setelah ini," lirih Dean di depan bibir Louisa.

"Silakan, pikirmu aku takut?" balas Louisa dengan senyum menantang.

###

Dua jiwa menyatu dalam pergumulan panas, saling mencecap dan meninggalkan jejak di tiap jengkal kulit basah akibat gairah yang membakar. Erangan memenuhi kamar di bawah temaram lampu remang-remang, menyerukan nama bahwa mereka tak ingin terlepas dari kenikmatan memabukkan ini. Sudah tidak ada kesempatan mencari puing-puing kesadaran ketika surga dunia itu berhasil mengalihkan perhatian mereka. Baju-baju berceceran di lantai sementara mesin penghangat ruangan sepertinya tidak benar-benar dibutuhkan manakala tubuh tanpa sehelai benang di sana saling mendekap, mencumbu penuh hasrat melampiaskan amarah juga nafsu yang bercampur jadi satu.

Di antara gelora yang melumpuhkan egoisme Louisa, dia melingkarkan kaki jenjang ke pinggul Dean tatkala lelaki itu berada di dalam dirinya. Menekan lebih kuat saat Dean makin mendominasi seakan-akan Louisa adalah wilayah teritorial yang tidak boleh dijamah siapa pun. Mengimbangi gerakan Dean yang makin lama makin cepat berusaha menggapai puncak. Sesaat, Louisa bertemu pandang dengan iris biru samudra Dean yang menggelap bagai palung terdalam sebelum lelaki itu merendahkan diri untuk memberikan cumbuan di leher. Kuku jari bercat nude Louisa terbenam nyaris mencabik-cabik riak-riak otot punggung Dean ketika pelepasan itu terjadi lagi dan lagi.

Dean menggeram, melontarkan sumpah serapah yang justru terdengar bagai harmoni indah di telinga Louisa. Lelaki itu merasakan Louisa mencengkeram dirinya lantas menyunggingkan seringai rasa puas bahwa malam ini adalah hari terhebat. Dia mencumbu sebentar bibir Louisa kemudian berbisik,"Damn good girl. Kau..."

"Hebat?" sambung Louisa mendorong tubuh Dean tanpa melepas penyatuan tersebut, berada di atas si bos angkuh kemudian menelusuri kulit leher merambat ke bahu bidang yang benar-benar terpahat sempurna. Dia bergerak perlahan, memberi kecupan-kecupan kecil di dada Dean sampai tangannya turun ke bulu-bulu halus di bawah pusar. Terpujilah bagi Tuhan, batin Louisa bisa mengamati lebih lama tubuh indah Dean selagi mengumpulkan kembali kewarasan yang sempat hilang.

Dean terkekeh membenarkan perkataan Louisa. Menumpukan kepala dengan kedua tangan, membiarkan gadis keras kepala itu berbuat sesuka hatinya. Sialan! rutuk Dean dalam hati mengagumi Louisa yang terlihat makin menggoda seolah-olah satu malam bersamanya saja tak pernah cukup. Apakah Dean mulai kecanduan? Lantas bolehkan dia menyebut Louisa sebagai heroin terbaik di dunia?

"Aku tidak ingin kau melemparkan kerlingan nakalmu pada pria lain," pinta Dean mirip perintah. "Seperti itu."

"Laranganmu adalah hal yang sangat suka kulanggar, Mr. Cross," balas Louisa. "Hubungan kita ini sebatas teman kencan yang berarti--"

"Semua orang tahu kau milikku, Louisa," sela Dean. "Aku tak masalah mereka menyebutku pelampiasanmu."

"Terlihat seperti aku perempuan bajingan di sini," ketus Louisa tak suka.

"Memang. Kau berhasil memancing kemurkaanku," protes Dean. "Aku memberimu aturan agar tidak sembarangan mendekati orang lain."

"Apa kau juga melakukan ini pada wanita sebelum aku, Mr. Cross?" tanya Louisa ditanggapi anggukan. "Ck, tidak semua hal itu baru di antara kita."

"Kecuali bagian aku memintamu secara pribadi," bela Dean.

"Memaksa lebih tepatnya," lanjut Louisa membenarkan kalimat Dean yang menyuruh untuk menjadi teman kencan.

Dean tertawa renyah, biru samudra yang ada dalam bola mata itu bersinar bagai menemukan energinya kembali. Sebelah tangan Dean membelai dada Louisa, mengirimkan sinyal bahwa dia bergairah lagi. "Come on, Babe, you make me turn on again."

"Shit, apa kau tidak lelah?" ejek Louisa namun bibirnya kembali diraup Dean hingga tanpa sadar pinggulnya bergerak mengikuti tempo yang diciptakan oleh lelaki perayu itu. Bergelut ke sekian kali menggapai puncak tanpa tahu kapan mereka bisa berhenti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro