Chapter 9 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dering ponsel begitu nyaring terdengar tak sabar hingga membuyarkan tidur panjang Louisa setelah semalaman bercinta. Dengan mata terpejam dan kerutan alis yang dalam, tangan kanannya meraba-raba mencari di mana benda sialan itu berada. Merutuk dalam hati mengapa di saat tenaganya belum benar-benar pulih harus ada panggilan mendesak yang mungkin tidaklah penting. Dia memicingkan mata begitu berhasil meraih ponsel yang berada di bawah pantat, mengamati nama Cory lalu menjawab panggilan itu dan berseru,

"Apa kau tidak punya hati, huh!" Louisa menekan loudspeaker melempar begitu saja ponsel di samping hendak melanjutkan tidur. Bahkan nyawanya saja masih melayang-layang di alam mimpi sekadar mengulang betapa hebat percintaannya bersama Dean. Andai tidak ditelepon Cory, ingin sekali Louisa terlelap sampai nanti siang atau berlama-lama di atas kasur menikmati liburannya sebentar. 

"Come on, Love bird," kata Cory jengah. "Apa kau tak tahu sekarang jam berapa? Kita akan menemui salah satu perusahaan kecantikan yang akan memakai jasamu, Louisa! Bangunlah pemalas!" perintahnya.

"Oh ... Cory ... bisakah kau tunda besok?" rengek Louisa tak terima jika harus berpisah dari kasur empuk yang ditempatinya sekarang. "Badanku rasanya dipukul gajah," keluhnya.

"Fuck!" pekik Cory tercengang bukan main. Dia bisa membayangkan bagaimana Louisa menghabiskan malam bersama Dean. Oke, sepertinya tebakan penggemar dari kedua belah pihak benar adanya. Mereka seperti dua singa yang dijadikan satu kandang, liar dan panas. Dia memijit kening yang terasa nyut-nyutan mendengar sambatan Louisa lagi. "Sudah kuduga Dean akan mengajakmu bercinta sampai tulangmu patah!"

"Kalau begitu ditunda saja, aku benar-benar malas," tukas Louisa menarik selimut sampai menutupi kepala. 

"Kau gila? Bangunlah, Lou! Aku akan menyusulmu ke rumah Mr. Cross. Bersiap-siaplah atau kutendang bokongmu!" ancam Cory lalu memutuskan sambungan telepon.

"Dasar sialan!" umpat Louisa memaksakan diri untuk bangkit dari kemalasan daripada Cory datang sambil mengomel dan melempar sumpah serapah. Dia menguap lebar, menggaruk kepala seraya mengumpulkan segenap nyawa yang masih terlena bunga tidur yang begitu indah. Kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling di mana dinding-dinding kaca dengan tirai putih gading tersingkap. Membuat binar matahari menembus masuk memberi kehangatan di kulit. Tatapannya berhenti ke lantai di mana pakaian, sepatu, hingga tas selempangnya berceceran tanpa dosa. Begitu pula kemeja putih Dean tersampir di sofa sementara sang pemilik pergi entah ke mana.

Louisa memutuskan beranjak dari kasur, mengenakan kembali bra dan celana dalam lalu memakai kemeja Dean seraya berjalan ke arah balkon. Louisa terpukau mendapati kediaman Dean memiliki lanskap yang bagus di pagi hari. Bentangan langit biru dihiasi gumpalan putih melayang-layang di angkasa, ditambah bukit serta atap-atap rumah mewah penuh glamor dihuni oleh para aktor dan aktris Hollywood. Pantas saja area sini memiliki harga fantastis, pikir Louisa takjub. Perpaduan mahakarya dari Sang Pencipta berpadu bersama jajaran bintang papan atas Hollywood menambah poin plus di Beverly Hills. Sementara itu pepohonan palem melambai-lambai diterpa angin, mengarahkan Louisa ke arah bawah balkon mengamati Dean tengah berenang di kolam renang pribadinya.

Louisa menumpukan tubuh ke pagar pembatas, menikmati apa yang dilihatnya sekarang selagi menahan senyum malu-malu. Tubuh atletis Dean hanya tertutupi celana pendek hitam yang membungkus erat pantat sintalnya, memamerkan pahatan otot bahu nan bidang. Kulit putih sedikit tan itu berkilau di bawah pendar mentari seolah-olah dia telah berubah wujud menjadi mutiara paling mahal. Gerakan tangan Dean dari atas ke bawah menuju pinggir kolam mengingatkan Louisa bahwa lengan kekar itu kemarin mengurungnya, menahan tangan Louisa di atas kepala sementara bibir Dean bergerak memberikan jejak basah. Begini saja Louisa bergidik ngeri masih merasakan diri Dean mendominasi tubuhnya. 

Dia memiringkan kepala, menopang dagu dengan tangan kanan lalu memanggil, "Hei, Bunny!"

Dean menepi ke pinggiran kolam, menyeka sebentar wajah dan rambut basah itu lantas mendongak. Dia melambaikan tangan kanan sambil menyunggingkan senyum ceria seolah-olah pertengkaran mereka di kelab tidak ada artinya. Semudah itukah Dean melupakan hal tersebut? batin Louisa. Dia menggeleng dalam hati, merasa Dean tidak akan peduli. Lebih baik dia mengagumi Dean dan segala pesona yang tidak luntur walau diamati terlalu lama. 

Sialan! batin Louisa tergiur oleh pahatan otot-otot di sana. Tangannya begitu gatal untuk meraba bahu bidang Dean, terutama bulu-bulu di bawah pusat tubuh menawan itu. Louisa sudah menandai bahwa area itu yang menjadi favoritnya sekarang. 

"Hai, Babe. Memimpikanku semalam?" tanya Dean.

"Tidak. Tapi, aku masih merasakanmu di tubuhku," tukas Louisa jujur menimbulkan semburat merah di pipinya sendiri. Gila memang mengapa dia begitu blak-blakan mengatakan hal yang seharusnya dipendam. Tapi tidak dipungkiri juga kan kalau Dean adalah lelaki tampan sialan seksi? Pantas saja banyak perempuan yang menggilai lelaki itu, pikirnya. 

"Turunlah!" perintah Dean lalu naik dari kolam, meraih handuk yang tersampir di kursi kayu untuk mengeringkan badan.

"Naiklah. Kakiku masih sakit untuk berjalan, Mr. Cross," tolak Louisa terbahak-bahak, melempar kerlingan mata yang menggoda Dean.

"Kau memerintahku?" tanya Dean berkacak pinggang. "Kau akan tahu akibatnya, Louisa."

"Aw, aku menunggu hukumanmu, Mr. Cross," goda Louisa mengerlingkan sebelah mata dan menjulurkan lidah tahu bahwa setelah ini Dean akan mengajaknya untuk terjerembap dalam kenikmatan itu lagi. 

###

Dean mengecup bahu basah nan beraroma sabun lavender ketika Louisa baru selesai membersihkan diri. Lebih tepatnya setelah mereka menghabiskan waktu cukup lama untuk bercinta di sana. Ini semua karena pancingan Louisa yang berkelakar kalau hal tersebut merupakan olahraga pagi yang seharusnya dilakukan secara rutin di samping saling mengenal masing-masing. Dean terbahak-bahak, menyetujui ide gila Louisa seraya memuji bahwa gadis itu sama gilanya bahkan selepas mereka adu mulut di kelab.

Dean membantu mengeringkan rambut cokelat madu Louisa bagai sutra ketika gadis itu sibuk mengolesi kulit dengan pelembab muka. Di depan cermin, sejoli yang dimabuk gairah itu saling melempar kerlingan nakal, menyiratkan hasrat yang terlanjur disulut keduanya tidak bisa padam begitu saja. Dean menunduk memberikan kecupan di tengkuk leher Louisa yang langsung membangunkan bulu roma gadis itu. Pusat tubuhnya kembali bereaksi merindukan sentuhan sensual yang diberikan Dean. 

Dia mulai kecanduan dan rasa ini tidak bisa dilepas begitu mudah sekalipun akal sehatnya menyuruh untuk memberi batas. Louisa mendongak, menikmati kecupan-kecupan kecil yang makin lama makin menuntut manakala tangan kanan Dean bergerilya di balik handuk piama merah yang dikenakannya. Dean menyunggingkan seulas senyum miring saat jemari kanannya menemukan lembah milik Louisa. Lembap dan menanti untuk dimanjakan. Dia menggigit pelan daun telinga Louisa hingga gadis itu mengerang. 

"Kau menikmatinya, Lou?" tanya Dean bagai harmoni menggairahkan sisi liar Louisa. 

Mata gadis itu kembali berkabut, sekujur tubuhnya langsung berdenyut menerima serangan yang diberikan Dean. Sial dan Sial, rutuknya. Dia ingin berhenti tapi kenikmatan itu nyatanya melumpuhkan Louisa untuk ke sekian kali. Yang bisa dia lakukan hanyalah anggukan lemah dan tatapan penuh harap kalau Dean akan meneruskan permainannya. 

"Tidak sekarang, Babe, kita harus bekerja," tukas Dean menghentikan aksi yang mendapat ekspresi tak terima Louisa. Lelaki itu terkikik lantas mengirim ciuman lembut di bibir untuk menenangkan sang pujaan hati dilanjut mengambil sedikit gel rambut untuk menata rambut cokelat tembaga. 

"Apa rencanamu hari ini?" tanya Louisa menyemprotkan parfum vanilla ke leher dan belakang telinga.

"Aku? Aku akan menemui kolegaku dari Seoul setelah beberapa hari lalu kami menyetujui kerja sama untuk proyek album salah satu penyanyi. Kenapa?" balas Dean kini mengenakan setelan kemeja abu-abu bermotif vertikal. 

Louisa tertegun sesaat mengagumi bentuk tubuh Dean. "Kau sialan seksi, Mr. Cross."

"Aku anggap itu pujian, trims," ujar Dean mengecup kepala Louisa. "Kau tertarik dengan pekerjaanku, Ms. Bahr?"

"Hanya bertanya, Dean. Apa perbincangan seperti ini tidak pernah terjadi padamu dan perempuan sebelum aku, huh?" cibir Louisa kesal seraya mengenakan setelan kasual berupa crop top putih yang dipadu rok mini berwarna pink. 

"Tidak. Aku tidak seberapa suka mereka mengusik pekerjaan atau kehidupan pribadiku," jawab Dean masih mengamati pantulan Louisa di cermin. "Kalau kau?"

"Cory akan datang dan mengatakan ada perusahaan kecantikan yang ingin menggunakan jasaku untuk iklan produk mereka," tutur Louisa membanggakan diri atas pencapaiannya.

"Atas rekomendasiku," sambung Dean sombong membuat Louisa menoleh dengan wajah terkejut. "Aku tidak ingin kau menawarkan sesuatu bersama lelaki lain seperti kemarin, Ms. Bahr. Pakaian terlalu terbuka, tatapan menggoda pria seperti kau menawarkan tubuhmu pada mereka. Aku tidak tahan melihat pria itu meneteskan air liurnya."

"Shit, Dean! Kau tidak berhak melakukannya!" seru Louisa geram atas keputusan sepihak Dean yang begitu senang mencampuri urusannya. "Menjadi teman kencanku bukan berarti kau mengaturku hidupku, Mr. Cross! Apa yang kau pikirkan sebenarnya, huh?"

"Aku tidak ingin kita bertengkar, Lou," desah Dean mencoba meredam amarah Louisa.

"Kau yang memulai dulu, Dean!" tunjuk Louisa marah. "Kau tidak membicarakan hal itu denganku bahkan Cory! Kau pikir karena kau pimpinan agensiku lantas bebas menentukan apa yang kukerjakan?"

"Lou ..." Dean menarik lengan Louisa namun ditepis kasar.

"Don't touch me, Dean!" Louisa membereskan barang-barangnya lalu pergi begitu saja tanpa memedulikan suara lelaki itu.

Dean berlari hanya mengenakan bokser hitam dan kemeja abu-abu, mengejar Louisa menuruni satu-persatu anak tangga sambil berusaha menahan gadis itu agar tetap di sini menanti kedatangan manajernya. Sayang, semua perkataan Dean hanya dianggap angin lalu oleh Louisa yang terlanjur terbakar emosi.

"Lou!"

"Kau bajingan gila, Dean!" pekik Louisa bersamaan Cory membuka pintu utama hendak memanggil gadis itu. "Cory, kita batalkan ke perusahaan itu. Biarkan pria brengsek di belakangku mengurusi sisanya."

"What?" Cory menganga tak percaya, melempar tatapan penuh tanda tanya ke arah Dean. "Ah, sekarang aku mengerti mengapa perusahaan Ellie meneleponku malam-malam jika bukan karena permintaan Anda, Mr. Cross. Ayolah, it's not fair, Boss."

"Atur pertemuan kalian dengan perusahaan Ellie, Cory, aku tidak mau rugi," titah Dean melempar tanggung jawab kepada pria bermata lentik tersebut. "Dia pantas mendapatkannya."

Cory memutar bola mata sebelum akhirnya mengekori Louisa meninggalkan Dean seorang diri di rumah besarnya. Dean menghela napas panjang, mengusap wajah gusar merasa bahwa akan sulit mengatur kehidupan Louisa sesuai keinginannya. 

Ini seperti sedang menyatukan dua batu dalam kotak kecil yang sempit. Tidak ada yang mau mengalah dan dikalahkan, batin Cory.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro