3. Tertimpa tangga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo beneran dari UKS?"

Leila menghela napas lelah, kepalanya mengangguk. "Tanya anak UKS sana, kalo nggak percaya."

Setelah menyelesaikan perdebatannya dengan Arya, Leila menyempatkan diri ke UKS. Selain perutnya yang memang benar kram karena hari pertama menstruasi, Leila juga butuh waktu sejenak untuk meredakan emosinya. Jiwanya terguncang karena rahasia besarnya baru saja diketahui seseorang.

"Enak banget, pak Sohib kasih bonus KKM buat hafalan lo," ujar Rizka sambil sibuk dengan ponsel.

Leila mengangguk, bersyukur bebannya berkurang sedikit. Ia membereskan buku di atas meja dan lacinya. Meninggalkan beberapa buku untuk pelajaran besok dan mengingat beberapa tugas yang harus diselesaikan.

"Gue nungguin sender pesennya Septian bales lagi."

"Tungguin aja, ntar juga dibales."

"Kapan?"

"Besok, lusa, seminggu kemudian," jawab Leila asal, ia sibuk menulis di buku catatan tugas hariannya. Udah jadi kebiasaan sejak masa SMP, Leila selalu mencatat tiap tugas di buku kecil yang dibawanya setiap hari, biar nggak lupa kalau ada tugas dan menghindari mengerjakan tugas mepet waktu. Leila nggak bisa mengerjakan sesuatu dengan tekanan yang terasa seperti mencekiknya.

Memikirkan tekanan, ia sudah merasa tertekan sekarang karena Arya. Sialan cowok itu selalu aja bikin masalah di hidupnya!

"Kenapa lo ngelihatin gue kayak gitu?" Leila mendelik ke arah Rizka yang menatapnya dengan senyuman mencurigakan.

Cewek di sebelahnya ini menggeleng, senyumnya berubah sumringah persis orang dapet undian shopee. "Lucu aja. Kenapa lo repot-repot ngirim pesen lewat Draft PN padahal orangnya di belakang lo."

Leila menoleh ke belakang tepat saat Septian mengangkat wajah dari ponselnya. Dari jarak yang hanya dipisahkan meja, Leila bisa melihat kalau cowok itu menatapnya lekat dari balik lensa kacamata. Leila buru-buru menghadap depan dan mengabaikan cengiran lebar Rizka melihat tingkahnya.

"Bukan gue! Ngaco lo!" desisnya menendang kaki Rizka di bawah meja.

Rizka mengaduh pelan, tapi nggak mengurangi antusiasnya mengorek rahasia dari Leila. Tatapannya melirik Septian yang sibuk dengan ponsel.

"Kenapa lo minta nomor WhatsApp-nya, padahal di grup ada," kata Rizka lagi, masih dengan senyum ngeledek.

Leila menaruh pulpennya di tempat pensil, menutup buku catatan harian miliknya. "Apaan sih?! Bukan gue yang ngirim!"

Rizka mengedikkan bahu, ekspresi wajahnya jadi lebih menyebalkan. "Kemaren lo bilang ngirim pesen juga."

"Tapi bukan itu!" ujar Leila berusaha sepelan mungkin.

"Terus apa?"

Masa gue kasih tau isi draft gue! Bisa mati nahan malu gue!

"Adalah, pokoknya bukan itu!"

Rizka mencebikkan bibir. "Gue nggak percaya."

"Terserah!" Leila memutuskan untuk mengabaikan ucapan Rizka, berdebat dengan cewek itu nggak akan selesai.

Ada hal penting yang harus dipikirkan sekarang ini. Tawaran apa yang bisa ia berikan pada Arya agar cowok itu membatalkan tawarannya yang nggak masuk akal. Gila aja kalau dia balikan sama tuh cowok! Leila lebih milih nyikat kamar mandi setiap hari daripada balikan sama Arya!

"Sep, kalo sender draft buat lo muncul, bakal lo pacarin nggak?"

"Apaan sih, Riz, bahas gituan mulu."

"Jawab dulu, ih. Gue kan penasaran."

"Tergantung orangnya, kalo kelihatannya asik dan nyambung ya boleh lah."

"Kalo, Le-."

Kalimat Rizka itu terputus karena Leila keburu membekap mulutnya lalu menarik tubuh Rizka untuk menghadap depan.

"Apaan sih?!" desis Rizka setelah melepaskan tangan Leila dari wajahnya.

"Lo yang apaan! Maksud lo ngomong gitu apa?!"

"Gue kan cuma nanya!"

Leila menarik helaian rambutnya yang terjuntai di wajah. "Tapi pertanyaan lo menjurus! Segala bawa nama gue!" desisnya jengkel.

"Yang penting kan gue nggak bilang kalo yang ngirim itu lo," ujar Rizka masih dengan suara berbisik, topik ini emang harus dibicarakan dengan volume paling kecil.

"Bukan gue yang ngirim!" Tangan Leila sudah terkepal di atas meja. Posisinya sekarang nggak tepat untuk menjelaskan, salahnya juga tadi bilang kalau ia mengirim draft kemarin.

Leila merasa seseorang menatapnya begitu lekat, ia menoleh dan mendapati Willy menyandang dagu dengan tangan kanannya, kedua mata penuh kerlingan jahil itu tertuju ke arahnya.

"Jadi, lo yang ngirim pesen buat Septian, Le?" Willy mengatakan itu dengan lantang, volume paling full dan bisa ditebak, seisi kelas langsung menatapnya.

Ada kah pilihan undo untuk mengakhiri semua kesialannya hari ini?

•×•


Jam sudah menunjukkan pukul 9 lewat 15 menit, tapi Leila masih bolak-balik dari kamarnya ke dapur lalu duduk di sofa depan TV dan kembali ke kamar lalu memutari area tadi lagi. Seperti itu terus menerus sejak 1 jam yang lalu.

"Kamu kenapa sih?" tanya Ayahnya dari sofa depan TV yang menyiarkan tayangan ajang pencarian bakat.

"Nggak pa-pa. Aku tidur ya, Yah." Leila melenggang menuju kamarnya lalu merebahkan diri di atas kasur. Ponselnya ia taruh di nakas kecil samping tempat tidurnya setelah mematikan benda canggih itu.

"ARGGHHHHHHHHHH!"

Teriakan itu menggema di balik bantalnya. Kedua kakinya sudah menendang ke udara berkali-kali, berusaha melepaskan rasa frustasinya tapi semua itu nggak mengurangi amarah dalam dirinya.

Semua ini karena Rizka! Karena Willy! Karena Arya! Semua ini karena mereka!

Kalau aja Arya nggak memergokinya sedang membalas grup chat tim rahasia PN dan kegiatannya di Draft PN, dia nggak akan merasa hidupnya di ujung tanduk. Kalau aja mulut Rizka bisa lebih sopan dan berhenti menjodohkannya dengan Septian, pasti Willy nggak akan tau. Kalau Willy nggak tau, sekelas juga nggak akan tau dan dia nggak akan dicengin sejak pulang sekolah tadi sampai malam ini di grup chat mereka.

Sialan! Sialan! Sialan! Anjir lah! Tai!

Sumpah sarapah yang ia keluarkan dalam hati itu terpaksa berhenti karena ayahnya muncul dari balik pintu kamar. Membawa segelas susu yang langsung ditaruh di nakas.

"Aku bisa bikin sendiri," ujar Leila terduduk dengan rambut acak-acakan dan wajah yang nggak kalah kusut.

"Kamu kenapa? Ada masalah di sekolah?"

Leila mengangguk. "Gitu deh, pokoknya."

"Oh, gitu. Yaudah, di minum susunya," kata ayahnya tanpa bertanya lebih lanjut. Ciri khas ayahnya, yang nggak suka mencampuri urusan orang lain termasuk urusan anaknya sendiri. Walaupun begitu, Leila tau ayahnya sangat peduli, kepedulian yang ditunjukkan dengan kepercayaan.

Leila mengambil gelas berisi susu dan meminumnya pelan. Ia menatap ayahnya yang sedang menatap satu persatu foto di tembok belakang kasurnya.

"Apa pun itu masalahnya, jangan terlalu dipikirin nanti malah makin ruwet," ujar ayahnya tanpa menatapnya.

"Kalo nggak dipikirin, nggak nemu solusinya."

"Padahal solusinya bisa jadi ada di depan kamu, tapi kamu maksa cari cara lain yang belum tentu ketemu."

Leila menghabiskan susunya sampai tandas. "Tapi, Yah, solusi itu harusnya jadi jawaban dari masalah. Nah yang aku punya malah nambah masalah."

Ayahnya terkekeh. "Cari solusi yang paling cepat tapi tepat. Masalah selalu ada, tinggal gimana kamu nanggepinnya. Dipikirin terus juga nggak sehat."

Leila melenguh, punggungnya melunglai dengan tatapan menerawang. "Aku berasa kayak jatuh terus ketiban tangga, nah tangganya isinya cat. Ambyar semua."

Tepukan pelan di kepalanya membuat Leila memejamkan mata. "Udah nggak usah dipikirin lama-lama, jalanin dan hadapin. Toh, nanti akan berlalu kayak hari-hari lain."

Leila mengangguk, setelah kecupan singkat di dahi dan ayahnya keluar kamar ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Dipandanginya kipas baling yang menempel di atas plafon kamarnya. Nasehat ayahnya masih terngiang di ingatan.

Leila sangat bersyukur ayahnya begitu pengertian, mendukungnya penuh dengan kepercayaan dan selalu memberikan perhatian yang luar biasa. Walaupun ia harus tumbuh tanpa kehadiran sosok ibu, Leila nggak pernah merasa kurang kasih sayang. Ayahnya sudah jadi sosok orang tua yang lebih dari cukup untuknya.

Tapi, ayahnya tetap manusia biasa. Dengan segala kebaikan yang ada, ayahnya bisa sangat menyebalkan di saat-saat tertentu, ralat, seringkali sampai membuatnya lelah sendiri. Seperti sekarang, ayahnya sengaja nggak menutup pintu kamarnya setelah keluar. Kebiasaan yang bikin Leila cuma bisa ngedumel.

•×•

Leila cuma bisa pasrah begitu sampai di kelas teman-temannya bergantian meledeknya. Dari yang cuma menawarkan nomor WhatsApp Septian, alamat rumah Septian, sampai ajakan untuk main ke rumah cowok itu yang langsung Leila tolak mentah-mentah.

Willy, tersangka utama yang bikin hidupnya kayak ketiban tangga ini malah menyambutnya dengan cengiran saat ia menaruh tas di bangkunya.

"Le-."

"Mending lo diem, sebelum mulut lo gue penitiin," ancam Leila menunjukkan peniti yang selalu ia bawa di tasnya untuk berjaga-jaga.

Willy mengangkat kedua tangannya. "Sadis banget, Le, jangan gitu lah. Ntar Septian malah takut."

"Bodo amat!"

Leila sadar kalau semua ini nggak bisa dihentikan kecuali ia memberikan bukti yang meyakinkan. Masalahnya, Leila nggak tau bukti apa yang bisa ia berikan untuk menunjukkan kalau bukan dia pengirim pesan untuk Septian.

Bukan cuma itu, masalahnya dengan Arya juga belum menemukan titik temu. Hari ini ia belum bertemu cowok itu tapi Leila cukup yakin kalau Arya akan tetap mengganggunya dalam dua hari ini sampai waktu berpikirnya habis.

Dan tebakannya benar, di jam istirahat pertama ia nggak sengaja melihat tubuh tinggi Arya di kantin kelas 12. Tadinya, Leila udah pengen kabur karena belum siap konfrontasi sama cowok itu tapi pikirannya berubah saat ia tau Arya sedang mengobrol dengan siapa.

Leila bersumpah jantungnya berhenti berdetak sekian detik, ketika matanya menemukan Arya sedang berhadapan dengan Kak Lily!

•×•

Draft PN

Dari : Septian kelas 11 IIS 2
Untuk : sender pesan gue kemarin
Pesan : sapa gue ya kalo ketemu di sekolah atau lo bisa chat LINE or WhatsApp yang udah banyak di komen. Let's get to know each other.


•×•

Draft PN yang selalu ada di bagian akhir part itu termasuk bagian cerita dan nggak dicantumkan secara kronologis wkwkwkwkw

Beberapa tokoh di cerita ini pernah ngirim Draft juga. Salah satunya Leila.
Hayo tebak draft Leila yang manaa?

Terimakasih buat yang udah baca, vote dan komen!
Terimakasih banyakkkk!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro