34. Kangen

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Leila menyandarkan tubuhnya di pilar koridor lobi depan, kedua matanya menatap kosong ke arah lapangan yang ramai dengan pertandingan futsal antar kelas.

Setelah berpisah dengan Rizka yang nongkrong di kantin, ia memutuskan ke perpustakaan untuk membaca buku lalu karena bosan ia keluar untuk kembali ke kelas, namun pertandingan futsal di lapangan tengah sepertinya seru karena para suporter masing-masing kelas nggak berhenti berteriak heboh.

Pemandangan di depannya ini mengingatkannya pada seseorang, pada kejadian klise beberapa tahun lalu saat pertama kalinya ia merasakan sesuatu bernama cinta pada pandangan pertama. Teriakan dari tepi lapangan, sinar matahari yang menyorot penuh ke lapangan, orang-orang berlarian dengan jersey, bola yang menggelinding cepat, semua itu masih menempel erat di ingatan Leila.

Leila mengambil ponsel dari saku rok, menekan ikon instagram dan mengetikkan satu nama dengan cepat. Masih sama, nggak ada pembaruan dari profil yang entah sudah berapa kali ia cek hari ini. Postingan terakhirnya masih lapangan berumput tanpa keterangan apapun.

Leila mendecak untuk kesekian kalinya. Berulang kali ia menahan diri untuk nggak mengecek update terbaru dari akun ini, tapi jarinya bergerak lebih cepat dari logikanya, apalagi dengan dukungan hatinya yang terombang-ambing dengan perasaan tak pasti.

"Le!"

Kepala Leila menoleh ke sumber suara dan mendapati Septian melangkah dari lobi depan ke arahnya.

"Sendirian?" tanya Septian yang Leila angguki.

"Dari perpus sih, terus karena rame gue nonton aja walaupun nggak ngerti," jelas Leila tanpa diminta.

"Anak-anak pada di depan sih nunggu voli, lo nggak ke depan?"

Leila menggeleng, ia memperhatikan Septian yang sibuk dengan ponselnya dan tak lama cowok itu menoleh ke arahnya dengan senyum tipis.

"Bener kata lo, Le."

Kening Leila berkerut samar, menunggu Septian menjelaskan ucapannya barusan.

"Nggak lama lagi kita kelas dua belas."

"Dua minggu lagi, resmi jadi anak kelas dua belas," balas Leila dengan senyum separo.

Walaupun rasanya Leila sudah menunggu masa-masa ini datang, masa-masa jadi angkatan tertua di sekolah, masa-masa serunya belajar untuk Ujian Nasional dan masuk ke universitas, masa-masa sibuk mempersiapkan banyak hal. Tapi akhir-akhir ini Leila malah merasa sebaliknya, ia nggak siap, nggak rela, dan nggak mau cepat meninggalkan masa putih abu-abunya.

"Dan udah mulai ditanya mau masuk ke mana setelah ini," ujar Septian dengan kekehan.

Leila ingat percakapannya dengan Septian di rumahnya waktu itu. Tentang Septian, siswa pintar kesayangan para guru yang ternyata masih bingung akan melanjutkan ke universitas mana dan jurusan apa.

"Udah ditanyain berapa orang?"

Septian mendecak. "Baru dua sih, Bu Sri sama Bu Euis."

Leila menahan senyum geli, kasihan melihat ekspresi Septian yang pasti kebingungan tapi juga lucu membayangkan kebohongan apa yang diucapkan Septian untuk menjawab pertanyaan dua guru itu.

"Terus lo jawab apa?"

"Mau lintas jurusan ke Kedokteran."

Kedua mata Leila sedikit membesar mendengar jawaban Septian. "Sumpah lo?!"

Septian nyengir. "Nggak lah."

"Gila banget kalo lo beneran linjur, Sep. Tapi, gue yakin lo pasti bisa sih."

"Gitu?"

Leila mengangguk mantap. "Iya lah, gue yakin banget lo bisa masuk FK."

"Oke, gue linjur FK UI."

"ANJIR!"

•×•

"Minyak udah kan?"

"Udah."

"Kecap?"

"Asin, manis, pedas, udah semua."

"Tinggal beli detergen ya?"

"Iya, yang cuci cuci gitu pokoknya."

Senyum Leila terbit saat telapak tangan besar ayahnya menepuk pelan puncak kepalanya. Rasa hangat itu masih sama sejak dulu, nggak pernah berubah dan selalu sukses membuat hatinya mengembang bahagia. Leila merasa aman dan disayang.

Dua minggu libur sekolah dan selalu menyaksikan ayahnya berangkat kerja di pagi hari lalu pulang sore hari membuat Leila menyadari beberapa hal. Ayahnya kesepian, maka dari itu hari ini ia bersedia menemani ayahnya belanja bulanan, sekalian mengajak ayahnya untuk quality time yang sudah lama nggak mereka lakukan karena kesibukan Leila dengan urusan sekolahnya.

Leila menyadari yang ia punya sekarang adalah waktu, nggak lama lagi ia akan kembali sibuk dengan urusannya sendiri dan nggak sempat memperhatikan ayahnya. Pemandangan punggung yang mendorong troli belanjaan itu mungkin akan jadi pemandangan langka saat Leila memasuki dunia kampus tahun depan.

Sambil menggenggam kertas catatan berisi daftar barang yang harus dibeli dan senyum lebar di wajah, Leila melangkah cepat untuk menjajari ayahnya.

"Ayah."

"Iya?"

"Nanti kalo aku kuliah terus nge-kos, ayah belanja bulanan sama siapa?"

Langkah ayahnya berhenti tepat di depan rak berisi berbagai macam merk detergen. "Ayah samperin kos-annya. Emang nge-kos nggak butuh belanja bulanan?"

Leila tertawa. "Aku tau pasti ayah bakal jawab gitu."

"Ayah bingung mau sedih atau seneng kalo kamu udah kuliah," ujar ayahnya sambil menaruh plastik besar detergen ke dalam troli yang sudah hampir penuh.

"Seneng dong! Kok sedih?"

"Sedih, nanti gantian Ayah yang sering sendirian di rumah. Tapi, seneng, soalnya Ayah kalo mau begadang di pos depan nggak perlu mikirin kamu lagi."

Leila mendengus, membantu ayahnya mendorong troli dua meter ke depan dan kembali berhenti di rak sabun serta peralatan mandi.

"Aku pilihan kampusnya nggak jauh kok, Yah. Masih bisa pulang pergi."

"Jauh juga nggak pa-pa. Biar Ayah punya alesan cuti buat jenguk kamu," balas ayahnya dengan senyum lebar yang jenaka.

"Ish, Ayah! Seriusan!" rengek Leila persis anak kecil.

Ayahnya tertawa. "Ayah juga serius!"

"Yaudah aku milih kampus Jogja sama Malang sekalian!"

Lagi-lagi ayahnya cuma tertawa dan kembali mendorong troli berisi barang-barang mereka, meninggalkan Leila yang manyun persis bebek.

"Ayah tuh nggak mau ngehalangin cita-cita kamu. Apa yang kamu mau pasti ayah dukung. Jadi, kuliah jauh juga nggak pa-pa, asal itu mau kamu dan kamu bahagia," ujar ayahnya begitu Leila sudah berdiri di samping sang ayah.

"Iya, aku ngerti." 

"Nggak usah mikirin ayah gimana, yang penting masa depan kamu."

Leila menghela napas. Ia tau pasti ayahnya akan selalu mendahulukannya lebih dari apa pun dan jujur saja itu makin membuatnya Leila takut, takut jika suatu saat nanti akan mengecewakan ayahnya. Satu-satunya orang yang percaya padanya, orang yang akan selalu mendukungnya dan orang yang selalu bangga padanya.

"Ayah, kalo nanti aku nggak keterima di PTN gimana?"

"Kenapa kamu mikir gitu?"

Troli yang didorong ayahnya berbelok ke lorong berisi snack dan makanan ringan. 

"Yaaaa, kepikiran aja. Ayah bakal kecewa sama aku nggak?"

Gerakan troli berhenti. Dua mata teduh itu menatap Leila dengan pandangan hangat. "Ayah nggak pernah kecewa sama kamu, Nak."

Ucapan ayahnya itu membangkitkan kenangan di masa-masa terburuknya beberapa tahun lalu. Leila nggak akan pernah lupa tatapan sedih dan kecewa yang terlihat jelas di mata sang ayah.

"Emang Ayah pernah bilang kecewa sama kamu?"

"Nggak, cuma aku ngerasa aja," jawab Leila tanpa menatap ayahnya dan sibuk memilih makanan ringan untuk menghindari tatapan ayahnya.

"Kapan?"

Leila menghela napas. Ia menegakkan punggung dan memeluk dua keripik kentang berukuran besar. "Pas aku lulus SMP, yang nilai aku jelek banget."

Ayahnya mengedip beberapa saat lalu kedua matanya kembali menghangat. "Ayah nggak kecewa sama kamu waktu itu. Ayah cuma sedih, kenapa Ayah nggak bisa jagain kamu dan malah bikin kamu sedih."

"Itu bukan salah Ayah, salah aku yang nggak belajar malah sibuk galau."

"Salah Ayah, nggak bisa pertahanin keluarga, bikin kamu kehilangan sosok ibu dan bikin nilai kamu jelek."

Air mata Leila menggenang di pelupuk. "Jangan gitu, Yah!"

"Maaf ya. Ayah juga nggak bisa nemenin kamu pas kamu galau abis putus sama Arya."

Air mata di pelupuknya seketika mengering saat ayahnya menyebut nama itu. "Nggak usah dibahas yang itu!"

"Padahal itu yang paling seru," jawab ayahnya dengan ekspresi meledek.

"Ayah!"

"Gimana kabar Arya sekarang?"

Leila menatap pergelangan tangannya, gelang berbandul gembok milik Arya sudah beberapa hari ia pakai tanpa pengetahuan sang pemilik yang sampai hari ini nggak pernah mengabari. Leila cuma tau, dua hari lalu Arya pindah tempat latihan futsalnya.

"Sibuk latihan futsal buat lomba."

"Oh, pantesan jarang ke rumah."

Jangan kan ke rumah, ngechat juga nggak.

"Ayah kenapa sih kayaknya dukung Arya banget?"

"Dukung gimana?"

"Dikit-dikit nanya Arya, ini Arya itu Arya, padahal tuh orang pernah bikin aku sedih."

"Sedih tapi kamu masih cinta kan?"

"Nggak-."

"Ayah tau," ujar ayahnya mengulum senyum. "Makanya ayah selalu nanyain dia, karena kamu sebenernya juga masih berharap sama dia."

•×•

Arya bersandar pada tiang gawang di belakangnya, selesai menenggak satu botol penuh air mineral dan mulai mengatur napas, tangannya mengambil ponsel dari tas.

Sudah beberapa hari ini ia jarang sekali memegang ponsel. Bukan karena paket datanya habis, tapi latihan minggu ini sangat menyita energinya. Kalau sempat istirahat seperti ini, Arya lebih memilih merebahkan tubuh dan tidur walaupun hanya beberapa menit, saat sampai rumah pun Arya langsung terdampar di kasur.

Rasanya sudah begitu lama Arya nggak menjalani aktivitas semelelahkan ini, padahal kalau diingat ia sering melakukan latihan intensif seperti ini saat masih aktiv di klub sepakbola.

Mata Arya sedikit membesar saat melihat nama akun instagram Leila ada di deretan paling atas tampilan home akun media sosial itu. Nggak butuh waktu lama, ia menekan foto profil Leila dengan lingkaran warna warni di sekelilingnya.

Foto punggung dengan balutan kaos polo warna navy yang sedang mendorong troli di supermarket itu menerbitkan senyum di wajah Arya. Sudah lama Arya nggak ke rumah Leila dan bertemu dengan ayahnya.

Arya menekan tab di bawah foto itu lalu jempolnya bergerak lincah mengetikkan balasan untuk instagram story itu.

naryawan
Salam buat bokap, Le
Udah lama gak catur bareng

Setelah menekan tombol kirim, Arya beralih menuju profil akun Instagram Leila. Dibukanya satu persatu postingan Leila di instagram, bukan pertama kalinya Arya stalking akun Leila, Arya mungkin hapal tiap caption di foto yang Leila posting.

Arya kangen Leila. Hampir dua minggu lebih ia nggak melihat wajah itu, nggak mendengar suara nyaringnya dan ekspresi galaknya. Sejak pengambilan raport dan mulai liburan semester, hidup Arya berkisar di rumah dan tempat latihan futsal. Sekali waktu ia sempat ingin mampir ke rumah Leila untuk menyapa cewek itu tapi batal karena mamanya terlanjur ngomel ia selalu pulang malam.

leilashafa
Salam balik kata bokap
Kapan-kapan kalo sempet bokap ngajak main catur lagi

Balasan Leila itu membuat wajah lelah Arya seketika kembali cerah, senyumnya bertengger lebar sambil membalas pesan Leila.

naryawan
Salam juga buat anaknya
Kangen banget

"ARYAAA! BRIEFING!"

Teriakan itu mengalihkan perhatian Arya, buru-buru ia memasukkan ponsel ke dalam tas dan bergegas menuju ujung lapangan.

leilashafa
Salam balik
Kangen juga
deleted messages


•×•

DraftPN

Dari : penghuni baru gedung selatan
Untuk : kalian semua
Pesan : kalian kangen sekolah nggak sih? Gue kangen banget ke sekolah!

•×•

Kalo deket-deket ending emang suka tiba-tiba buyar gitu idenya
Huhuhuhuhuhu maaf yaaaa kalo lama updatenya

Makasih yang udah nungguin, udah baca, udah vote dan selalu komen!
I yafluuuuu!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro