7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Senyum bahagia Qila luntur seketika saat mengetahui jika dia harus pergi sendiri dan tidak dijemput oleh Adnan yang 'katanya' akan menemuinya di Mal Santero.

Padahal sebelumnya Qila sudah membayangkan dirinya pergi bersama Adnan sebagai sepasang suami istri. Sayangnya, Adnan tidak memahami keinginan perempuan itu.

Setelah masuk ke dalam mobil, Qila langsung membuang pandangannya ke luar jendela dan membuat para penjaganya khawatir.

Dengan cepat, mereka memberi informasi tersebut kepada Adnan yang langsung menghubungi istrinya.

Mata Qila melirik sekilas ponselnya yang berdering dan kemudian mengabaikannya setelah tau siapa yang menghubunginya. Dia tidak ingin berbicara dengan sang suami karena masih terlampau kesal pada pria tersebut.

Tidak butuh waktu lama, mereka akhirnya sampai di Mal Santero dan Qila menjadi orang pertama yang keluar dari mobil, tanpa menunggu penjaganya membukakan pintu.

Hal itu tentu membuat para penjaganya panik dan bergegas mengejarnya.

"Apaan sih kalian! Kenapa lari-larian gitu!" protes Qila karena nyaris ditabrak oleh Rina yang berlari di belakangnya.

"Maaf, Mbak. Maaf."

Masih dengan wajah kesalnya, Qila masuk ke dalam mal dan mengabaikan para penjaga yang mengikutinya dari belakang. Mereka seperti penguntit, tetapi Qila tidak peduli dan terus melangkah.

Setiap tindakan Qila terus para penjaganya sampaikan kepada Adnan yang kini sudah bersiap untuk menyusul istrinya itu.

Kepalanya sedikit pusing setelah mengetahui tindakan sang istri yang tiba-tiba berubah.

Dengan langkah tergesa, Adnan keluar dari ruangannya dan menemui kedua asisten pribadinya. "Fen, Bay. Saya mau makan siang sama istri saya."

"Tapi, Pak. Setelah ini kita harus rapat," jelas Feni dengan sedikit panik, takut jika Adnan melupakan jadwal yang sudah dia susun.

"Iya, saya tau. Secepatnya saya akan kembali."

"Baik, Pak."

Merasa masalahnya sudah selesai, Adnan kembali melangkah menuju lift yang akan membawanya ke lantai dasar. Di sana, sopirnya sudah menunggu untuk mengantar pria itu menemui istrinya.

Sayangnya, sesampai di lantai dasar, Adnan bertemu dengan seseorang dari masa lalunya. Iya, Adnan bertemu dengan mantan kekasihnya semasa kuliah.

"Hai, Nan. Apa kabar?" tanya perempuan cantik dengan lesung pipi di sebelah kanan. Perempuan bernama Sarah itu kemudian mencoba untuk memegang tangan Adnan. Namun, pria itu langsung menjauhkan dirinya.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya balik Adnan yang membuat Sarah langsung tersenyum kecil.

"Memangnya aku nggak boleh ke sini?"

"Iya, nggak boleh."

Sarah tertawa kecil menanggapi ucapan Adnan yang terdengar begitu menyebalkan. "Ternyata kamu masih sama seperti dulu, kaku dan menyebalkan."

Mendengar komentar Sarah, Adnan hanya dapat menghela napas sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Tidak perlu basa basi, langsung saja. Apa yang membuatmu datang ke sini?"

Merasa Adnan memberi lampu hijau padanya, Sarah kemudian mendekat ke arah pria itu. Namun, Adnan kembali menjauhkan dirinya. "Kenapa sih ngejauh terus?"

Dahi Sarah mengerut bingung melihat sikap Adnan. Memang mantan pacarnya itu terkenal kaku, tetapi tidak separah ini. "Oh, aku tau. Kamu pasti jauhin aku karena istri kamu kan?"

"Iya, saya nggak mau istri saya cemburu."

"Sudah pasti dia cemburu sama aku. Toh, dia cuman anak kemarin sore yang kepaksa kamu nikahin kan?"

Ucapan Sarah yang sudah kelewatan batas, membuat Adnan bersiap untuk memberi pelajaran. Namun, ponselnya tiba-tiba bergetar dan pria itu langsung mengangkatnya. "Iya, sebentar lagi saya sampai."

Setelah menutup panggilan telepon itu, Adnan kembali menatap tajam Sarah yang sudah mengangkat salah satu alisnya. "Kalau saja saya tidak buru-buru, saya pastikan kamu mendapat balasan atas ucapanmu."

Adnan kembali melangkah dengan kaki panjangnya, menemui sang sopir yang sudah membukakan pintu mobil untuknya. "Pak, tolong ngebut ya."

"Baik, Pak.*

Tidak butuh waktu lama, Adnan sampai di mal bersama dengan penjaganya. Mereka berdua langsung menuju tempat makan dimana Qila dan penjaganya berada.

Dari kejauhan, Adnan sudah melihat Qila yang tengah makan dengan wajah cemberut.

Sesampai di meja tersebut, Adnan langsung duduk di sisi Qila dan para penjaga mereka pergi entah kemana. Meninggalkan sepasang suami istri itu berdua.

Wajah Qila terangkat setelah menyadari jika seseorang tengah duduk di sisinya, Adnan yang tengah saling menatap dengan sang istri langsung tersenyum manis sembari mengelus rambut panjang Qila.

"Maaf ya, saya telat."

Qila mengangguk pelan sebagai tanggapan dan kembali memakan makanannya.

Untuk pertama kalinya. Mereka makan dengan keheningan, tetapi Adnan terus memperhatikan Qila dan sesekali menjauhkan anak rambut istrinya yang menutupi wajah cantik Qila.

"Setelah ini mau kemana?" tanya Adnan dengan lembut.

Qila yang baru saja selesai melepa dahaganya dengan meminum segelas air dingin langsung menggeleng pelan. "Nggak tau."

"Nggak mau belanja?" tanya Adnan lagi yang membuat Qila terdiam.

Setelah berpikir cukup lama, Qila kembali menggeleng pelan sebelum menjawab pertanyaan suaminya. "Nggak deh, nggak tau mau beli apa."

Tak habis akal, Adnan kembali memberi tawaran kepada Qila agar perasaan istrinya itu sedikit membaik. "Di sini kan banyak yang jualan. Kamu bisa beli baju, tas, atau makanan."

"Iya, nanti aku pikirin dulu."

Adnan yang merasa Qila masih kesal padanya langsung mengarahkan dagu istrinya untuk membuat wajah Qila menatap ke arahnya. "Kamu marah sama saya?"

Bola mata Qila bergerak ke kanan berbanding terbalik dengan posisi Adnan saat ini agar perempuan itu tidak bertatapan dengan suaminya.

Entah kenapa Qila merasa ingin menangis sekarang setelah mendengar pertanyaan Adnan bahkan matanya sudah memerah siap untuk mengeluarkan air matanya. "Hey, kamu nggak pa-pa kan?"

Qila mengedipkan matanya pelan sehingga setetes air mata turun dari mata cantiknya. Adnan yang tidak bisa melihat sang istri sedih langsung menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. "Maaf ya, maaf sudah buat kamu sedih."

Semakin Adnan berbicara, semakin deras air mata Qila turun. Walau tidak paham dengan situasi yang ada. Namun, Adnan merasa dia harus mengunci mulutnya dengan rapat sampai suasana hati sang istri membaik.

Layaknya di rumah, sepasang suami istri itu tidak peduli dengan pandangan orang-orang sekitar yang terus memperhatikan mereka. Kini tangisan Qila sudah mereda, tetapi perempuan itu masih memeluk erat suaminya.

"Sudah nangisnya?" tanya Adnan dan Qila mengangguk pelan sembari menjauhkan dirinya.

Mata perempuan itu sembab setelah puas menangis, ada pula jejak air mata yang singgah di pipi tembamnya dan Adnan langsung membersihkannya dengan tisu yang ada di hadapan mereka. "Sekarang, boleh saya tanya?"

Dengan pelan, Qila menganggukkan wajahnya dan membiarkan Adnan yang masih membersihkan wajahnya. "Kamu kenapa menangis?"

Lagi-lagi, Qila tidak menjawab pertanyaan Adnan dan setelah pria itu selesai membersihkan wajah Qila, Adnan memegang kedua pundak istrinya itu. "Saya bukan peramal, Qil. Saya nggak tau apa yang ada dipikiran kamu kalau kamu nggak bilang ke saya."

Qila menatap Adnan teduh dengan sedikit rasa bersalah. Tangan sang suami yang sebelumnya di pundaknya langsung dia tarik dan genggam dengan erat. "Maafin aku ya, Mas. Maafin aku suka nggak jelas gini."

"Nggak perlu minta maaf, kamu nggak salah kok. Yang salah itu saya. Saya nggak bisa memahami kamu."

Mata Qila kembali bergetar dan tak lama kemudian, perempuan itu menyandarkan kepalanya di dada sang suami. "Aku bete kamu nggak jemput aku tadi, kirain kamu bakal jemput soalnya ngajak makan siang bareng," rengek Qila yang langsung membuat Adnan tersenyum kecil.

"Maaf ya, saya memang masih ada urusan tadi di kantor."

"Iya, nggak pa-pa kok. Aku juga paham kalau kamu sibuk, tapi akunya malah manja gini."

"Nggak pa-pa, kalau kamu memang mau saya jemput. Kamu bisa bilang sama saya."

Setelah mendengar ucapan Adnan, Qila langsung menegakkan tubuhnya dan menatap mata sang suami dengan senyum menggoda.

"Kalau aku minta jemput, kamu beneran mau jemput?" tanya Qila dengan semangat. Namun berbanding terbalik dengan sang istri, Adnan malah sedikit gelisah saat akan menjawab.

"Mas, jawab dong!" desak Qila dengan tak sabar.

"Saya nggak bisa janji, tapi saya usahakan."

Qila menghela napas kasar setelah mendengar ucapan Adnan. Namun, dia paham dengan kondisi suaminya. "Ya udah deh, nggak pa-pa. Tapi, kapan-lapan ajak aku jalan ya."

"Iya, pasti."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro