CHAPTER SEVEN: LORAX

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DRUKKK. Suara pintu terdobrak, ternyata yang menobraknya adalah pria besar yang membawa tongkat kayu yang besar.

"Lariii!" perintah Pisco.

Mereka berlari menuju ruangan yang ada di depan mereka, mereka berlari terus sampai di ruangan belakang perumahan ini. Pisco menutup pintunya dan menghalangi pintu itu dengan beberapa benda besar.

"Kalian cepatlah keluar!" ucap Pisco.

"Bagaimana denganmu?" tanya Isma.

"Biar aku yang urus dia. Kalian tunggu saja di luar."

"Tapi Iky," ucap Uni.

"Sudah! Tidak ada waktu lagi. Cepat!"

Mereka berdua keluar dari perumahan itu, ruangan ini cukup luas. Terdengar suara dobrakan pintu, Pisco bersembunyi di balik reruntuhan bangunan itu. Setelah pria besar itu masuk, dia berjalan menuju pintu keluar, tapi Pisco dengan cepat melempar sebuah batu ke arah kepalanya. Dia berbalik mencari sumber lemparan itu, Pisco berpindah tempat dengan mengedap-ngedap, dia melempar botol kosong ke arah sampingnya, pria itu mendekat. Pisco memutar dan mencoba mencekiknya, tapi dia cukup kesulitan dengan tinggi pria itu. Akhirnya Pisco terpental akibat perlawanan dia, pria itu menyerang Pisco yang sedang tergeletak, tapi Pisco berhasil menghindar dengan berguling ke kanan, Pisco bangun dan menghajar pria itu.

"Aduhh! Ternyata badannmu cukup kuat ya?" tangan Pisco kesakitan, pria itu membalas dengan pukulan tongkatnya. Pisco terlempar ke dinding, pria itu menyerang tapi Pisco dengan cepat menghindar. Sekarang tongkat pria itu hancur akibat benturan ke dinding.

"Nah, sekarang kita bisa bertarung secara adil," Pisco menendang perutnya, namun dibalas oleh pukulan wajah ke Pisco, Pisco menahan serangannya yang selanjutnya. Pisco mundur dan pria itu menyerang balik. Pisco menghindar tapi kaki dia tertangkap, pria itu melempar Pisco ke arah lemari, Pisco tergeletak. Pria itu mencekik Pisco.

"Argggh! Sial!" Pisco mencoba melawan dia, tapi dia mulai melemah. Pisco teringat dengan sesuatu, dia mengambil bom asap dari kantong sampingnya dan melempar ke arah wajah pria itu, tentu Pisco melemparnya dengan mata tertutup. Pria itu kesakitan dan melepasakan cekikannya, sekarang di sekitar mereka penuh dengan asap, Pisco memanfaatkan ini dengan beberapa serangan menyelinap, selama pria itu kebingungan, Pisco menebas beberapa badannya dengan cukup cepat. Terus Pisco berpindah dari sisi satu ke sisi lain sambil menebaskan pedangnnya, akhirnya pria itu mati dengan beberapa luka tebasan.

"Maaf ya, aku tidak bisa adil melawanmu. Ha ha ha, ternyata susah juga ya melawan kamu, dibanding dengan Fang maupun Big, ha ha ha," katanya sambil memeriksa isi tasnya, apakah ada yang hancur. "Ternyata utuh-utuh saja. Sebaiknya aku melihat keadaan mereka," Pisco keluar dari bangunan itu, dia berjalan sampai di sekitar jalan.

"Wahh, ada Grild," Pisco bersembunyi di balik mobil polisi karena melihat anggota Grild, tapi ada seseorang yang memegang lengan dia dari belakang. Secara spontan Pisco menodongkan pistol ke arahnya.

"Tenang sobat, ini aku," kata Isma.

"Ohh ternyata kalian. Dari mana saja kalian?"

"Kami dari tadi di mobil itu dan melihat kamu menuju mobil ini. Bagaimana dengan pria besar itu?"

"Ya begitulah, aduhh!" Uni memegang pipi Pisco yang bonyok.

"Iky, jangan terlalu memaksakan diri, biar aku obati dulu," Uni mengambil peralatan P3K di kantongnya.

"Lalu, apakah kalian menemukan hal yang unik?" tanya Pisco.

"Tentu, seperti itu," kata Isma menunjukkan anggota Grild sedang bertarung dengan para mayat hidup.

"Hmm, sebaiknya kita tidak ikut campur," Pisco melihat sekitarnya. "Ayo! Kita masuk ke ruangan bawah tanah itu," kata Pisco setelah selesai diobati oleh Uni. Mereka masuk ke stasiun bawah tanah, kebetulan letaknya dekat dengan mereka.

Mereka sudah di dalam, di sini cukup gelap dan berantakan.

"Sembunyi! Ada anggota Grild," kata Pisco, sekarang mereka ada di sekitar stasiun kereta bawah tanah.

Mereka berjumlah lima, dua di dalam kereta, tiga di luar. Pisco melempar batu ke arah kaca kereta, mereka semua berkumpul di sana, Pisco berpindah tempat, sementara mereka berdua berjaga di tempat semula. Salah satu dari mereka mendekati tempat Pisco, Isma maju ke arah belakang pria itu dan menusuk lehernya.

"Terima kasih, tapi siapa yang menjaga Uni?" tanya Pisco.

"Upss maaf, aku akan kembali lagi," Isma kembali lagi ke tempat semula.

Salah satu dari mereka masuk ke kereta, Pisco mengendap-ngendap ke dalam kereta itu, Pisco berhasil mencekik dia, tapi ketahuan oleh salah satu yang ada di luar. Terjadilah adu tembak di sini, Pisco bersembunyi di balik pintu kereta, dua tertembak oleh Isma dengan snipernya, satu lagi menembak ke arah tempat persembunyian mereka berdua. Saat perhatian musuh ini berahli, Pisco melempar botol kosong ke arah wajah pria itu, Pisco berlari ke arahnya, memukul perut, wajah samping kanan, kiri, tendang perut, dan terakhir menginjak wajahnya.

"Aman!" teriak Pisco.

"Kenapa kau tidak menembak dia? Padahal lebih mudah dan tidak capek?" tanya Isma.

"Aku lebih suka menggunakan kekuatan sendiri dibanding dengan senjata, untuk menghemat juga."

Mereka melanjutkan perjalanan, mengintari rel-rel kereta bawah tanah, terus berjalan sampai di stasiun selanjutnya, tapi di sana cukup banyak mayat hidup. Dua Jikot, tiga zombie, dua vampir dan satu Clicker. Pisco menyuruh mereka berdua untuk diam di tempat persembunyian, letaknya cukup jauh dari pintu keluar. Pisco melempar batu ke arah zombie yang sedang tidur, Clicker mendekati zombie itu. Vampir ada di sekitar mereka, Pisco mengendap-ngendap dan mencekik dia, selanjutnya Pisco mencekik vampir yang ada di dekat kereta. Zombie menyadari keberadaan mereka, semuanya menyerang Pisco, Clicker berhasil ditembak oleh Isma, dua Jikot menyerang dan satu zombie menyerang Pisco, sisanya menyerang mereka berdua. Pisco menghajar mereka dengan tinjunya, cukup sulit karena Jikot cukup gesit, zombie berhasil kalah, sisa dua Jikot, satu Jikot menyerang dengan tangannya, berhasil ditahan oleh Pisco, satu lagi menyerang belakang Pisco, Pisco melempar Jikot yang sedang ditahannya ke arah Jikot yang ada di belakang. Mereka bertabrakkan, Pisco menendang perut satu Jikot, dia tergeletak, satu lagi diatasi oleh Pisco dengan beberapa pukulan di perut dan wajah. Jikot yang tergeletak tadi bangun dan menyerang Pisco, Pisco membalas dengan pukulan di bagian kerongkongan. Dua zombie menyerang, Isma mencoba menembak mereka, tapi sulit karena jaraknya dekat, Uni menembak salah satunya, satu lagi berhasil menangkap Uni, Uni melawan dia supaya tidak tergigit, kesempatan ini diambil Isma dengan menembak kepalanya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Isma.

"Tidak apa-apa," jawab Uni.

"Kalian berdua tidak apa-apa?" Pisco menghampiri mereka.

"Tidak apa-apa, Iky tidak apa-apa?"

"Sama seperti kalian, ayo kita ke atas!"

Mereka keluar dari tempat itu. Sekarang mereka ada di sebuah kota yang cukup sunyi, mereka berjalan, dan sampailah mereka di sekitar pasar-pasar Bazaar.

"Wahh! Iky lihat, ada kaset musik kesukaanku," Uni menunjukkan kaset itu ke Pisco.

"Ya, bukan hanya itu saja. Ternyata di sini tempat perdagangan," ucap Pisco.

"Berarti sudah dekat," kata Isma dengan nada pelan.

"Apa? Tadi kamu bilang apa?" tanya Pisco.

"Bukan apa-apa, ayo kita istirahat dulu," mereka melanjutkan perjalanan sampai keluar dari tempat bazaar itu. Sekarang mereka ada di dalam sebuah rumah.

"Ternyata, walaupun tempat ini sudah diserang oleh para mayat hidup itu. Masih ada alat yang bisa di gunakan," kata Pisco melihat Uni sedang mendengar lagu dari sebuah Tapecord. Sedangkan Pisco sedang membuat bom asap.

"Iya benar," kata Isma sedikit murung.

"Kau kenapa?"

"Bukan apa-apa," lalu dia pergi.

"Iky, Isma pergi kemana?" tanya Uni. Dia masih mendengarkan musik.

"Entahlah. Mungkin dia ke belakang?"

Malam tiba, Uni sudah tidur. Pisco sedang duduk di dekat Uni, dia tidak melihat Isma lagi.

"Kemana ya dia? Apa mungkin dia sedang diserang oleh anggota Grild?" lalu dia berdiri dan mencari Isma. "Ternyata kamu di sini? Sedang apa kamu?" Pisco menemukan Isma sedang duduk di dekat jendela kamar atas. Dia duduk melihat keluar jendela, melihat gelapnya malam itu sambil memasang wajah yang bingung.

"Oh Pisco. Bukan apa-apa kok."

"Hmm, benarkah?"

"Benar."

"Tapi kamu kelihatan bingung begitu? Sudah ceritakan saja," Pisco mendekati Isma.

"Haah, baiklah. Aku sedang memikirkan kakaku, wilayah ini adalah tempat teman kakaku berada. Aku berpikir, apakah dia masih bisa bertahan hidup di kawasan yang berbahaya ini, hanya dengan sebuah handgun?"

"Aku tidak bisa menjamin hal itu. Tapi kalau kau yakin dia bisa bertahan, maka perasaan itu akan sampai ke kakakmu."

"Terima kasih."

"Baiklah, sebaiknya kau tidur dulu. Nanti kita giliran."

Pagi tiba. Mereka sekarang sudah siap untuk melanjutkan perjalanan.

"Ayo!" ucap Pisco.

Mereka keluar dari rumah itu. Sekarang mereka ada di jalan menuju sebuah rumah yang mewah, menurut Isma di sanalah teman kakaknya tinggal.

"Jadi tempatnya di sini?" tanya Pisco.

"Ya benar," jawab Isma.

"Mewah sekali!" ucap Uni.

Mereka membuka gerbang halaman rumah itu, memasuki tempat itu. Di halamannya terdapat kebun yang cukup luas, dan di depan pintu rumahnya ada sebuah air mancur yang berbentuk lingkaran. Sekarang mereka ada di depan rumah, tapi tiba-tiba ada bom asap yang mengakibatkan mereka batuk-batuk. Tubuh Pisco dipegang oleh seorang pria bertubuh cukup kekar di belakang, dan Uni ditahan oleh seorang wanita. Isma mau membantu mereka.

"Kakak? Itu kau?" kata Isma. Dia melihat sesosok pria berbaju kemeja hitam dengan celana hitam di depan pintu. Lalu pria itu memasuki rumah itu. "Kakak tunggu aku," Isma mengejar dia tanpa membantu mereka berdua dulu.

"Sial!" Pisco melawan. Dia membenturkan kepalanya ke belakang, dia ingin membatu Uni. Tapi tiba-tiba ada yang melemparkan batu ke arah kepala Pisco. Pisco pusing, dia ditarik oleh pria yang menahan dia di belakang tadi. Pisco dibawa ke arah air mancur itu, kepala dia di masukkan kedalam air itu. Dengan sekuat tenaga, Pisco memegang dinding air mancur itu untuk mengeluarkan kepalanya di air itu. Setelah berhasil keluar dari air itu, Pisco menghajar wajah pria itu, dia mengambil kepala pria itu dan membenturkan kepalanya ke arah dinding air mancur berkali-kali. Setelah mengatasi pria itu, ada batu yang melayang, tapi Pisco berhasil menghindar dan menembak pria yang melempar batu itu. Uni mengigit lengan wanita yang menahannya, Uni menunduk dan Pisco menembak wanita itu.

"Uni! Kau baik-baik saja?" tanya Pisco menghampiri Uni yang sedang duduk sambil batuk-batuk.

"Uhuk uhuk! Tidak apa-apa."

"Ayo kita kejar Isma!"

Mereka memasuki rumah itu. Mereka berlari mencari Isma, terus berlari ke setiap ruangan-ruangan. Di ruangan makan, mereka bertarung dengan anggota Grild. Adu tembak terjadi, mereka berdua berlindung di balik kotak lemari di dekat pintu masuk, sedangkan mereka bertiga, dua orang di dekat meja makan yang sudah dibalikkan, satu orang di dekat pintu ruangan selanjutnya. Pisco menggunakan revolvernya, sedangkan Uni hanya diam saja. Pisco berhasil mengalahkan dua orang di meja makan, selanjutnya satu orang lagi. Pisco melempar batu ke arah pria itu saat dia kehabisan peluru, Pisco berlari ke arahnya, dia menghajar kepala kanan, kiri, terakhir dia membenturkan kepalanya dengan keras ke pintu. Uni berlari ke arah Pisco, lalu mereka melanjutkan perjalanan mereka. Mereka berlari ke atas rumah ini. Sekarang mereka ada di sebuah perpustakaan rumah ini, di sana juga ada Isma dengan pria itu.

 "Isma!" teriak Pisco. Pisco dan Uni menghampiri Isma.

"Kak Lorax. Ini aku Isma, ingat?" pria itu ada di depan mereka.

"Siapa ya?" jawab pria itu dengan sinis.

"Kakak tidak ingat. Aku adikmu," kata Isma dengan nada sedih.

"Aku tidak punya satu adikpun."

"Kakak!" Isma hendak mendekati dia, tapi pria itu menodongkan pistol ke arah Isma.

"Sudah kubilang. Aku tidak punya adik."

Sekarang mereka hanya diam saja. Sementara Isma menangis dan duduk menyerah. Di saat itu Pisco melempar batu ke arah wajah pria itu, Pisco berlari, menendang pistol yang di pegang oleh pria itu, lalu mendorong dia dan menahan dia di dinding belakangnya.

"Jangan pura-pura tidak tahu!" marah Pisco.

"Apa maksudmu?"

"Kau ini kakanya kan?!"

"Sudah kubilang bukan! Ya bukan!"

"Jangan bohong!" Pisco menekan tubuhnya ke dinding.

"Pisco hentikan!" pinta Isma.

"Tidak! Aku tidak akan melepaskan dia sampai dia mengaku!"

"Kau ini siapa?"

"Aku Pisco. Teman adikmu."

"Dengar ya Pisco. Aku ini bukan kakanya!" dia mendorong Pisco cukup keras.

Pisco terjatuh dan pria itu menunjukkan tangan kiri dia. Tangan dia penuh dengan beberapa bekas gigitan.

"Aku bukan Lorax. Aku adalah Demon." KRAKKK.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro