CHAPTER EIGHT: DEMON

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

KRAKKK. Tangan kiri pria itu meretak dan mengeluarkan uratnya. Tak lama kemudian tangannya berubah menjadi tulang yang mengeras dan tangan kanannya berubah menjadi pisau yang panjang. Dia menyerang Pisco, tapi berhasil dihindari.

"Sial!" kata Pisco menghindari serangannya tadi.

"Iky!" teriak Uni.

Isma hanya duduk diam, tanda dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat.

"Isma! Ayo bangun!" kata Uni. Dia mencoba menarik Isma, tapi Isma tidak bergerak sedikitpun.

"Kalian cepatlah bersembunyi!" kata Pisco. Lalu dengan sekuat tenaga Uni, dia menarik Isma untuk bersembunyi di balik rak buku.

Pria itu menyerang dengan cukup gesit, Pisco menghindarinya tapi terkena sayatan pisau di bagian lengan kanan. Pisco mencoba membalas, tapi saat Pisco hendak menyerang, tiba-tiba dia berhenti. Karena Pisco berhenti, pria itu menendang perutnya. Pisco terlempar cukup jauh.

"Argggh!" mulut Pisco sedikit mengeluarkan darah.

"Hehehe! Sekarang waktunya kau untuk mati!" pria itu mencoba menusuk kepala Pisco, tapi dapat dihindari dan pisau itu sekarang tertancap di dinding.

"Isma sadarlah! Isma!" kata Uni sambil mengguncang tubuh Isma.

"Aku tidak percaya. Aku tidak percaya ini," jawab dia datar.

"Iky!" kata Uni melihat Pisco terpental dan menabrak rak buku.

Alasan Pisco tidak menyerang pria itu adalah, karena dia tidak ingin membunuh kakak temannya. Pria itu mencoba menusuk kepalanya sekali lagi, tapi berhasil dihindari, namun serangannya mengenai pipi kiri Pisco. Pisco berdiri, pria itu menyerang dengan tangan kirinya yang keras, Pisco menghindar dengan membungkuk, lalu Pisco menendang perut pria itu. Pria itu menahan sakit di perutnya, mulai menyerang lagi dan mengenai dada Pisco hingga dia terpental ke dinding.

"Isma ayolah bangun! Bantu Iky, aku mohon!" Uni mulai menangis.

"Uni?" Isma bangkit dari lamunannya. "Pisco! kau boleh membunuh dia!"

"Baiklah!" kata Pisco sambil bangun dan mengusap darah di bibirnya.

Pria itu berusaha lagi menusuk kepala Pisco, tapi berhasil dihindari dan tertancap. Kesempatan itu diambil Pisco, dia menghajar habis-habisan wajah pria itu dan pria itu tidak bisa membalas karena posisi Pisco ada di samping kanan dia. Setelah pisaunya berhasil dicabut, pria itu mengubah pola menyerang. Dia menyerang Pisco dengan kedua tanganya secara bergiliran. Beberapa luka sayat mengenai Pisco, Pisco sekarang menggunakan pendangnya untuk menangkis beberapa serangan. Pisco mundur, namun pria itu tidak melepaskannya, dia menyerang dari atas ke bawah dengan pisaunya, tapi Pisco melakukan backflip, lalu Pisco menyerang balik dengan pedangnya, pria itu mundur.

"Hah! Sekarang kita bisa serius, ayo!" kata Pisco melihat seranganya tadi mengenai badan pria itu. Pria itu mengamuk, sekarang dia menyerang dengan cukup cepat, tapi Pisco tidak kalah cepat menangkis dan menghindar. Setelah mereka memilik beberapa luka sayatan di tubuh mereka masing-masing. Pria itu berusaha menusuk perut Pisco, berhasil dihindari, tapi pria itu mengayungkan pisaunya itu ke arah Pisco, Pisco menghindari dengan backflip. Pria itu kelelahan, Pisco mengambil kesempatan itu, dengan cepat memotong tangan kanannya. Sekarang pria itu tidak memiliki tangan kanan, pria itu mengamuk dan menyerang Pisco dengan asal menggunakan tangan kiri, dengan mudah Pisco menghindar, pria itu diam.

"Supaya adil, aku akan menyimpan pedang ini," Pisco menyimpan pedangnya ke sarungnya kembali.

Pria itu kembali menyerang, namun ditangkis oleh Pisco dan menghajar perut, dagu, bahu kiri, memegang kepala dan membenturkannya ke lutut, mendorong kepalanya ke depan. Akhirnya pria itu jatuh dan tergeletak tak berdaya, lama kelamaan urat di tubuhnya menipis dan tak lama kemudian sesosoknya kembali normal. Dengan cepat Isma menghampiri sang kakak.

"Kakak! Kakak sadarlah!" Isma menyandarkan kepala kakaknya ke lengan dia.

"Is...ma, ma...afkan aku. A...ku ti...dak ingin, kau me...lihatku se...per...ti ini, ha ha ha," katanya kelelahan.

"Tidak apa-apa kak. Mau bagaimanapun juga, kau tetap kakakku."

"Te...rima...kasih. To...long ja...ga di...a ya?" katanya melihat Pisco.

"Tentu saja," jawab Pisco.

"Sam...pai jum...pa Is...ma," lalu tatapan matanya kosong.

"KAKAKKKK!" teriak Isma sambil memeluk kakaknya.

Uni memeluk lengan Pisco tanda bahwa dia juga menangis. Suara tangis mereka berdua mengisi kesunyian tempat ini.

"Kakak, istirahatlah dengan tenang," kata Isma melihat makam kakaknya yang tanpa batu nisan.

"Isma, ayo!" ucap Pisco.

"Tunggu sebentar. Kakak, aku pergi dulu ya," Isma meninggalkan makam kakaknya dengan sedikit sedih.

"Jadi, sekarang kau akan pergi kemana?" tanya Pisco.

"Aku memutuskan untuk membantu kalian pergi ke kota Jite."

"Kau baik-baik saja?" tanya Uni.

"Tidak apa-apa kok. Semua yang hidup pasti akan mati," ucap Isma.

"Baiklah, ayo!"

Saat mereka berjalan beberapa langkah, Isma hendak melihat ke arah makam kakaknya sebelum benar-benar meninggalkannya.

Sekarang mereka ada di sebuah kota bernama Hand.

"Kita akan pergi mengunjungi rekan lamaku," ucap Pisco.

"Rekan apa?" tanya Uni.

"Bisa dibilang sih, rekan pencari informasi."

"Lalu apa yang akan kau cari dari rekanmu itu?" tanya Isma.

"Sebuah kendaraan. Lewat sini!" mereka berjalan menelusuri gang yang cukup menjijikan denga beberapa sampah yang berserakan. Akhirnya mereka sampai di sebuah belokan. "Dengar, rekanku ini cukup agresif. Jadi aku akan masuk duluan, kalian masuk setelah beberapa benda sudah terlempar keluar. Mengerti?" kata Pisco.

"Seberapa agresifnya dia?" tanya Isma.

"Ya cukup agresif. Tapi tenang saja, nanti juga dia akan jinak," Pisco berjalan melewati belokan itu. Uni dan Isma mengintip di balik belokan itu. Pisco mengetuk pintu. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka.

"Haiii," sapa Pisco ramah. Dengan cepat pintu itu ditutup dengan keras.

"Apakah itu salam dari rekanmu?" tanya Isma. Mereka berdua mendekati Pisco.

"Anggap saja itu salam awal darinya. Salam awal dariku adalah ini!" Pisco menendang keras pintu itu sampai pintu itu roboh.

"Pergilah!" teriak sesosok orang itu sambil melempari beberapa kayu ke arah Pisco.

"Tenang sobat," Pisco menangkap semua serangan kayu itu.

"Aku bukan sobatmu. Apa yang kau butuhkan? Uang? Ini ambil semua uangku, jangan ganggu aku," dia melemparkan kertas-kertas uang hingga menghujani tubuh Pisco.

"Iky. Kenapa dia takut sama kamu?" Uni menghampiri Pisco.

"Bukan apa-apa sih."

"Suara itu? Ohh, ternyata ada wanita ya. Perkenalkan namaku Chester Kemu," dengan cepat dia mendekati Uni dan menjabat tangannya.

"Enggak usah lama-lama," kata Pisco memukul lengan pria itu.

"Kenapa?" tanyanya sambil memegang lengan yang dipukul.

"Karena dia milikku," kata Pisco, lalu Uni memegang lengan Pisco, karena dia takut. "Nah kalau yang satu itu, baru kau boleh menjabat tangannya lebih lama," Pisco menunjuk Isma saat Isma memasuki rumah itu.

"Perkenalkan namaku. Argggh!" dia menghampiri Isma, namun dengan cepat Isma meninju perutnya.

"Kurasa kau berlebihan Isma," kata Pisco melihat rekannya tergeletak kesakitan.

"Dia membuatku kaget sih."

"Jadi kalian membutuhkan sebuah kendaraan? Tenang, aku punya sebuah mobil. Tapi aku memparkirnya di rumahku," ucap Chester.

"Kalau begitu. Antar kami kesana," ucap Pisco.

"Sebelum itu. Kalian harus memilik beberapa perlengkapan yang harus dimilik untuk memasuki kawasan kota ini. Tunggu ya," lalu dia pergi.

"Hei Pisco. Temanmu aneh," bisik Isma.

"Hahah, dia memang begitu. Sebetulnya dia itu orangnya tegas, tapi karena ada wanita dia jadi jinak," Pisco melihat wajah kedua gadis ini sedikit cemas. "Tenang aja. Dia enggak punya otak mesum kok," lalu Chester datang membawa kotak besar.

"Ini dia. Kalian harus punya topeng masker ini," dia memberi mereka semua topeng masker. "Dan ini untuk kamu sobat," dia juga memberi Pisco sebuah busur dan beberapa  anak panah.

"Tadi aku ingat kamu bilang bukan sobatku," jawab Pisco.

"Hahah. Itu hanya bercanda saja sobat."

"Iya deh."

"Lalu, apakah rumahmu itu jauh dari sini?" tanya Isma.

"Lumayanlah. Tunggu dulu ya, aku mau mengambil peta."

"Ternyata kata kamu tadi benar," ucap Isma.

"Begitulah."

"Memangnya Iky bisa menggunakan busur itu?" tanya Uni.

"Tentu saja. Saat memburu kecoa saja aku harus menggunakan ini."

"Sebenarnya pekerjaan kamu apa sih?" tanya Isma.

"Membasmi hal-hal yang jahat," jawab Pisco sambil memeriksa kelenturan busur itu.

"Kita ada di sini. Dan mobilku ada di sini," katanya. Dia sudah kembali dengan membawa peta.

"Lumayan juga ya Iky."

"Iky?" tanya Chester.

"Itu nama panggilanku. Tentu saja khusus untuk Uni," jawab Pisco dengan datar.

"Sejak kapan kau di panggil begitu?"

"Sejak aku pacaran sama dia."

"Pa pa pa pacarannnn!" katanya dengan nada kaget.

"Begitulah."

"Aku memang payah," tiba-tiba Chester menjadi pemurung.

"Dia kenapa?" tanya Uni. Sekarang Chester hanya duduk pasrah di sudut ruangan.

"Dia itu sudah berpuluh-puluh tahun jomblo. Sedangkan aku, saat umur 14 tahun saja banyak wanita yang mengejarku. Aduhhh!" kata Pisco. Uni menarik pipinya tanda dia cemburu.

"Aku tahu alasan para wanita tidak mau mendekati dia," jawab Isma.

"Maaf Uni. Tenang saja, kamu satu-satunya wanita yang menarik hatiku," kata Pisco mengusap-ngusap pipinya yang ditarik oleh Uni.

"Bohong!" Uni mempalingkan wajahnya.

"Beneran," kata Pisco memegang tangan Uni.

"Iya aku percaya deh," lalu Uni memeluk Pisco.

"Ehm! Bukannya aku mau mengganggu kemesraan kalian ya. Tapi lihat tuh temanmu," Isma menunjuk Chester. Dia semakin seperti orang yang patah semangat, setelah melihat mereka berdua bermesraan.

"Sudahlah sobat. Jangan sedih, lagi pula di sini masih ada satu wanita lagi. Iya kan Isma?" kata Pisco menepuk pundak Isma.

"Apa maksudmu?" kaget Isma.

"Benarkah?" Chester menatap Pisco.

"Beneran."

"Enak aja! Memangnya aku cewek apaan?"

"Sudahlah Isma, jangan marah. Aku hanya bercanda, tapi tenang saja sobat. Saya yakin suatu saat nanti kamu akan mendapatkan jodohmu."

"Oke! Kalau begitu malam ini, kalian akan beristirahat di sini," Chester mulai semangat kembali.

Malam tiba. Pisco duduk di dekat Uni yang sedang tertidur. Sedangkan Isma duduk memeluk kedua lututnya sambil melihat cahaya bulan di jendela.

"Boleh aku menemanimu?" tanya Chester.

"Enggak boleh!" jawab Isma ketus.

"Tenang saja. Aku enggak akan macam-macam ke kamu kok."

"Boleh. Tapi kamu boleh duduk sekitar lima meter dariku."

"Baiklah," lalu Chester duduk diposisi saat dia berdiri tadi. "Lalu, kau sedang memikirkan apa?"

"Bukan urusanmu," jawabnya sambil melihat sinar bulan.

"Kau ini memang tomboy ya."

"Biarin aja!"

"Hahh," Chester menghela nafas. "Kau sedang memikirkan seseorang yang sudah pergi ya?" lalu Isma melihat Chester dengan wajah kaget.

"Kenapa kau bisa tahu?"

"Aku pun sama sepertimu. Ekspresi wajahku saat mengingat seseorang yang sudah mati. Apalagi dia itu adalah adik sendiri."

"Kau kehilangan adikmu?"

"Iya. Sudah lama sekali, dia mati karena kecelakaan tabrak lari."

"Aku sedang memikirkan kakakku yang baru saja mati," kata Isma dengan nada lembut.

"Mati karena apa?"

"Dia sudah terinfeksi, dan yang membunuhnya adalah Pisco."

"Pisco?"

"Iya. Dia tidak punya pilihan lagi. Lagi pula dia tidak akan membunuhnya kalau saja aku tidak mengizinkan dia untuk membunuh kakak."

"Aku mengerti rasanya kehilangan salah satu keluarga. Baiklah, aku harus pergi. Maaf ya kalau aku mengganggumu," Chester hendak pergi.

"Makasih ya," kata Isma.

"Ya. Sama-sama," lalu dia pergi.

Setelah itu perasaan Isma sedikit baik, karena mendengar ada orang yang sama dengannya.

Pagi tiba, mereka semua sarapaan sebelum pergi. Selesai itu mereka bersiap-siap di depan pintu keluar.

"Kalian siap?" tanya Chester.

"Tentu saja," jawab Pisco.

"Baiklah. Ayo!" KREKKKK.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro