CHAPTER TWELVE: COME BACK

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DORR. Pisco membuka mata perlahan, dan melihat langit-langit dengan ada sebuah lampu. Sekarang dia bisa melihat dengan jelas, bahwa langit-langit itu mirip di rumah Chester.

"Ini di mana?" gumam Pisco.

"Kau sudah bangun sobat?" suara itu ada di samping Pisco. Pisco menengok ke samping, ternyata ada Chester dan Isma sedang duduk dengan wajah cemas.

"Apa yang terjadi?"

"Kau diserang oleh anggota Grild."

"Uni!" tiba-tiba Pisco bangun. "Arggh..." lalu Pisco memegang perutnya. Dia sedang duduk sekarang, Pisco melihat tangan dan badannya yang penuh perban dengan wajah sedih.

"Jangan paksakan diri," kata Isma sambil memegang badan Pisco. Tapi Pisco menangkisnya, lalu dia berusaha berdiri dengan susah payah.

"Tulang rusukmu retak, kepalamu mengalami pendarahan, dan sekali lagi kepalamu terbentur dengan keras. Aku tidak yakin kau akan bertahan," kata Chester melihat Pisco berdiri sambil memegang kepala dan badannya.

"Dia sedang menungguku," Pisco berjalan menuju pintu keluar.

"Kak Pisco," Pisco sedang di depan pintu, lalu Pisco berbalik. Ternyata itu Neni, dan dia sedang memegang tas Pisco.

"Kakak tidak bisa menyelamatkan kak Uni tanpa senjata kakak," kata Kiko memegang beberapa senjata Pisco.

"Kakak jangan keluar tanpa menggunakan pakaian," kata Laju memegang baju kemeja merah kotak-kotak.

"Kau butuh peta dan masker ini, kalau ingin menyelamatkan dia," ucap Andin.

"Semuanya. Terima kasih," lalu Pisco menggunakan pakaian, mengambil senjata, menggendong tasnya, dan mengambil peta dan masker itu.

"Hei, kau lupa dengan pedangmu," kata Isma menghampiri Pisco, lalu Pisco mengambil pedangnya.

"Pisco!" kata Chester melempar sebuah bom. Pisco menangkap bom itu dengan satu tangannya. "Itu bom asap buatanku! Mungkin kecil, tapi daya asapnya sangat luas."

"Terima kasih semuanya," balas Pisco.

"Oh ya kak. Ini, liontin kakak," kata Neni. Pisco menundukkan badannya supaya Neni bisa memasangkan lantion ke leher Pisco.

"Maaf, kami tidak bisa membantu," ucap Chester.

"Tidak apa," lalu Pisco membuka pintu.

"Tolong selamatkan dia ya," ucap Isma.

"Tanpa kau suruh pun, pasti aku melakukannya," balas Pisco menutup pintu.

Uni membuka matanya, ternyata dia ada di sebuah ruangan sempit dengan jeruji besi di depannya.

"Kau sudah bangun," kata seorang pria kecil berkulit putih, berambut pirang, wajah seperti seorang bangsawan, dengan pakaian bangsawan berwarna ungu dan putih. Dia ada di depan jeruji sambil melihat Uni yang sedang kebingungan.

"Kau siapa?"

"Perkenalkan, namaku Wolder Himks. Calon suamimu," katanya sambil memberi salam ala bangsawan.

"Calon suamiku? Kau bercanda?" geram Uni.

"Aku suka kamu. Maaf atas kelancanganku, aku belum kasih tahu ya. Begini, aku ini seorang bangsawan yang sedang sendirian. Tapi, setelah aku mendapatkan laporan dari anak buahku bahwa ada seorang gadis yang cantik. Hatiku langsung merasa senang, jadi aku menyuruh mereka untuk menculik kamu."

"Tidak mau!"

"Apa alasan kamu menolakku? Oh ya, pasti karena pria itu ya. Tapi sayangnya pria itu sudah mati."

"Apa? Tidak mungkin?" kata Uni sambil memegang mulutnya tanda tidak percaya.

"Itu benar. Jadi, lebih baik kau menikah denganku," ucapnya, lalu Uni memeluk kedua lututnya sambil mengeluarkan air mata. "Aku akan memberimu waktu selama dua hari untuk menenangkan dirimu. Setelah dua hari, kau akan jadi istriku. Hahahah!" lalu dia pergi.

"Iky, hiks. Tolong aku."

"Tunggu aku Uni," kata Pisco. Dia sedang duduk sambil mengisi amunisi setelah pertarungannya dengan para mayat hidup. Sekarang dia sedang ada di sebuah bangunan yang cukup besar, mirip dengan gedung bertingkat, lalu Pisco berdiri dan melanjutkan perjalanannya. Dia menaiki tangga, saat sudah di atas, bertemu dengan dua Clicker dan satu Jikot berlari ke arahnya. Pisco menembaki kaki mereka dengan revolvernya, semuanya jatuh, Pisco mengambil busur dan panah, menembak kepala Jikot yang ada di depan, dilanjutkan dengan menembaki kedua kepala Clicker. Mereka mati seketika, Pisco mencabut panah-panah itu dan menyimpan kembali. Sekarang dia pergi ke sebuah ruangan dengan kaca besar yang sudah pecah. Dia melihat sekitar, ternyata ada tali yang cukup panjang, Pisco mengambilnya dan mengikatnya ke tiang besi yang patah, kebetulan tertancap di tengah ruangan ini. Pisco menuruni bangunan ini dengan tali itu, saat sampai di bawah, dia disambut oleh dua zombie dan dua vampir. Pisco menendang badan satu zombie, jatuh, satu lagi menyerang, Pisco memukul kepalanya sampai terjatuh, vampir menyerang, ditembak kepalanya dengan shotgun, satu lagi menyerang, dipukul kepalanya menggunakan shotgun dengan keras sampai kepalanya hancur. Mereka berdua berdiri, satu menyerang, Pisco meninju badan, kepala, satu lagi menyerang dari belakang, Pisco menendangkan kakinya ke belakang, mengambil kepala zombie yang di depan, dibenturkan ke lutut, berputar dan menginjak kepala zombie yang sebelumnya ditendang, zombie itu kepusingan, Pisco berlari dan menusuk kerongkongannya. "Hanya segini!" geram Pisco.

Lalu dia melanjutkan perjalanannya. Sekarang dia ada di sebuah kota, Pisco memasuki sebuah rumah. Di dalam tidak ada siapa-siapa, Pisco berjalanan menuju beranda atas rumah ini.

"Dimana mereka?" gumam Pisco sambil melihat sekitar kota ini dengan dinocularnya. "Itu dia!" katanya setelah menemukan segerombolan Grild di tengah kota.

"Ini makanannya," kata seorang pria besar berjubah hitam sambil membawa makanan dan minuman untuk Uni, lalu dia membuka pintu jeruji itu, menyimpan makanan itu di lantai dan meninggalkan dia, tentu tidak lupa mengunci kembali.

"Aku tidak akan memakan itu. Lebih baik aku mati saja," gumam Uni yang sedang memegang kedua lututunya. "Untuk apa aku hidup?" lanjutnya.

Sekarang Uni hanya duduk murung di sudut ruangan ini, dia terus menggumamkan kata-kata "Lebih baik mati," terus menerus. Tapi, tiba-tiba dia merasakan ada seseorang yang memanggilnya.

"Iky?" Uni mengangkat kepalanya dan melihat sekitar, tapi tidak ada siapapun. Uni kembali menundukkan kepala, tapi dia melihat liontin di lehernya yang membuat dia tidak jadi murung lagi. "Iky! Kau masih hidup," kata dia sambil mengenggam liontin itu.

"Sudah kubilang, dia sudah mati," ucap bangsawan kecil itu.

"Tidak! Dia masih hidup!" tegas Uni.

"Benarkah? Kalau pun benar, pasti dia akan terlambat. Karena tempat penculikanmu dengan di sini, kira-kira membutuhkan tiga hari."

"Dia pasti datang tepat waktu."

"Terserah. Sebaiknya kau makan, supaya kau tidak sakit," lalu dia pergi.

Uni melihat makanan itu, ada sayur, daging, dan minumannya jus berwarna kuning bening.

"Lebih baik aku sakit supaya pernikahan itu dibatalkan. Tapi, walau sakit pun pasti dia memaksa. Tunggu, kalau aku sakit, nanti saat Iky menyelamatkanku, malah jadi beban untuk dia," Uni memikirkannya cukup lama. "Baiklah, aku akan memakannya. Iky, aku harap kau datang menyelamatkanku," lalu dia menghampiri makanan itu.

Pisco bersembunyi di balik mobil, dua orang ada di depan sedang berbincang. Pisco melempar botol kosong ke depan, mereka memperhatikan ke arah botol itu terjatuh, Pisco berdiri dan menembaki kepala satu orang dengan panah, langsung mati seketika, satu lagi berbalik tapi Pisco melempar pisaunya ke lehernya.

"Sepertinya aku kelewatan," gumam dia sambil mencabut panah dan pisaunya.

Pisco melanjutkan perjalanannya. Sampailah dia di tempat segerombolan anggota Grild, kira-kira mereka berjumlah dua puluh. Pisco bersembunyi di balik reruntuhan rumah, delapan orang ada di luar, tiga di dalam restaurant, dua di dalam mobil, tiga di atas angkutan truk, dan empat di gedung.

"Mereka banyak juga ya," Pisco membidik dengan busur, satu orang yang ada di atas angkutan truk, tepat mengenai kepalanya, dilanjutkan sebelahnya, lalu satu lagi. Tiga mati dengan mudah, Pisco maju dan bersembunyi di balik pembatas jalan yang terbuat dari batu. Pisco membidik yang sedang mengobrol, jaraknya tidak terlalu jauh, kena kepalanya, sebelum satu lagi berteriak, Pisco sudah melemparkan pisau ke lehernya. Pisco mencabut panah dan pisau itu, ketahuan. Pisco berlari ke tempat persembunyiannya yang sebelumnya, terjadi adu tembak. Pisco menembak dua orang yang ada di atas gedung dengan snipernya, serangan datang dengan cepat, sehingga Pisco kesulitan untuk menghadapinya. "Sial! Apa yang harus aku lakukan?"

Suara tembakan semakin mengeras dan datang bertubi-tubi, untung penghalang itu kuat. Pisco hanya duduk menunggu kesempatan datang. Saat tembakan berhenti, Pisco membalas dengan satu tembakan yang langsung mengenai kepala yang ada di luar, karena mereka bergiliran untuk menembak. Jadi Pisco harus berlindung lagi.

"Penahan ini tidak akan bertahan lama lagi. Bagaimana ini?" pikir Pisco, tiba-tiba Pisco merasakan ada yang membentur tangannya. "Botol kosong?" Pisco melepaskan tasnya, lalu mengambil alkohol yang sudah dia ambil dari salah satu rumah yang sebelumnya dia kunjungi. Pisco mengisinya dan jadilah Molotov. Tembakan berhenti, kesempatan ini diambil oleh Pisco dengan melemparkan Molotov ke gerombolan Grild yang ada di depan, sedang bersembunyi. Meledak dan mengenai kira-kira sepuluh orang.

"Benarkan kataku. Dia sudah mati, buktinya tidak ada laporan dari salah satu anak buahku," ucap bangsawan kecil itu.

"Tentu saja enggak bakalan ada laporan. Kalau saja Iky menghabisi mereka tanpa sisa," kata Uni dalam hati.

"Sudahlah sebaiknya kau menyerah sa..., kau kenapa?" tanyanya, melihat Uni menggoyangkan badannya dengan posisi duduk.

"Aku ingin ke belakang."

"Baiklah. Tapi jangan macam-macam ya," lalu pria berbadan besar memasuki jeruji itu. Kedua tangan Uni diikat dengan tali.

"Bagaimana aku bisa mengeluarkannya, kalau tanganku diikat seperti ini?" tanya Uni setelah di depan pintu toilet. Tanpa bicara pria itu membuka ikatannya dan mendorong Uni ke dalam toilet, tentu tidak lupa mengunci pintunya. "Kasar sekali!" geram Uni sambil mengusap kedua pergelangan tangannya. Uni melihat sekitar toilet ini, kotor dan bau. "Ini toilet rumah bangsawan?" dia menutup hidungnya.

Selesai mengeluarkan, Uni melihat ada jendela yang cukup besar di atas, bentuknya persegi panjang.

"Sepertinya muat," Uni mencoba meraihnya. Tapi, tidak berhasil. Dia melihat sekitar, ada ember, Uni menaruh ember itu secara terbalik di dekat jendela itu, menaiki ember itu, berhasil. Dia hampir saja keluar, kalau saja pria besar itu tidak menariknya.

"Mau kemana?" geram pria itu sambil mengangkut badan Uni ke pundaknya.

"Lepaskan aku!" Uni memukul punggung pria itu, tapi tidak berpengaruh. Setelah sampai, pria itu melempar Uni ke dalam jeruji. "Aww..." badan Uni membentur dinding.

"Sudah kubilang jangan macam-macam," ucap bangsawan kecil itu, yang sedari tadi berdiri di dekat jeruji.

"Hah, aku hanya ingin melihat langit malam saja," jawab Uni sambil memegang punggungnya.

"Sudah tidak apa-apa, kali ini aku memaafkanmu. Tapi, kalau terulang lagi. Aku akan mempercepat pernikahan kita," lalu dia pergi.

"Iky. Kau di mana?"

"Lepaskan aku. Aku mohon," mohon pria yang sudah terpojok oleh Pisco. "Tidak!" Pisco menembak kepalanya.

"Aduh..., aku lupa kalau aku butuh dia. Kenapa malah dibunuh ya?" gumam Pisco. "Sebaiknya aku mencari amunisi," sekarang Pisco ada di sebuah gedung. Mereka semua sudah mati, yang tadi adalah yang terakhir.

Pisco mengambil amunisi dari beberapa kantong mayat-mayat itu. Setelah selesai, Pisco memasuki sebuah ruangan yang cukup gelap. Saat Pisco masuk, tiba-tiba ada seseorang yang menahan Pisco dari belakang, ternyata masih ada dua lagi. Satu menahan Pisco dan satu lagi ada di depan Pisco sekarang, dengan memegang sebuah pisau. Dia menyerang, Pisco menendang bagian vitalnya, lalu mendorong pria yang memegang badannya ke dinding. Lepas, Pisco mengambil kepalanya dan membenturkan beberapa kali ke dinding.

"Kau ikut aku," kata Pisco menghampiri pria yang sedang kesakitan itu, lalu membawanya.

"Apa yang kau inginkan?" geram pria itu. Sekarang dia sedang duduk manis dengan kedua tangannya diikat ke belakang.

"Aku hanya ingin menanyakan sesuatu," ucap Pisco. Dia duduk di depan pria itu, saling berhadapan. "Di mana gadis itu?"

"Gadis? Aku tidak tahu?" Pisco berdiri dan memukul wajahnya. "Argggh!"

"Aku tanya lagi. Di mana dia?"

"Ti..." Pisco memukul lagi. "Dak..." Pisco memukul lagi. "Tahu!"

"Baiklah. Kau keras kepala juga," Pisco mengambil pisaunya. "Dimana dia?"

"Bunuh saja a..." Pisco menusuk paha pria itu. "Arggh!"

"Dimana?" pria itu hanya diam. Pisco mengoyangkan pisau yang menancap di pahanya.

"Arggh!" pria itu menundukkan kepalanya tanda kesakitan.

"Sebaiknya kau menjawab pertanyaanku dengan jujur, kalau kau ingin selamat. Dimana dia?"

"Di kota Monka, arggh!" Pisco mencabut pisaunya, lalu memasukan gagang pisau itu ke mulut pria itu.

"Dimana tepatnya?" Pisco mengambil peta dan memperlihatkan peta itu di depan wajah pria itu. "Beri tanda," pria itu menyilangkan salah satu tempat di peta itu dengan pisau yang berlumuran darahnya, lalu melemparkannya ke samping.

"Bos kami akan menikahi gadis itu, di gereja itu. Sekarang lepaskan aku!"

"Bosmu akan menikahi dia?" pria itu hanya menundukkan kepala. "Baiklah, kau akan kulepaskan. Ini, nikmati dulu rokoknya," Pisco memasukan rokok itu ke mulutnya, lalu Pisco menyalakannya dengan pematik yang ada di sakunya. "Sebaiknya kau tidak melepaskannya, di bawahmu sekarang banyak genangan alkohol," lalu Pisco meninggalkan dia.

Pisco sudah di luar. Dia mendengar teriakan pria itu dan suara kobaran api. Pisco memutarkan kunci mobil yang dia dapatkan dari mayat Grild, dia memasuki mobil itu.

"Ternyata cukup jauh," katanya sambil melihat peta itu. "Apa ini?" Pisco melihat tulisan setelah melipat peta itu. Tulisan itu ada di belakang peta. "Jangan lupa tidur. Ini pasti dari Isma," Pisco memasukan peta itu dan menyalakan mobil itu.

"Ini selimutnya," kata pria jubah hitam melemparkan selimut itu ke Uni.

"Terima kasih," jawab Uni, lalu dia pergi.

"Mana pahlawanmu itu?" ejek bangsawan itu.

"Dia akan datang dan menghajar wajahmu yang jelek itu!" ancam Uni.

"Hahaha! Aku harus mendandan wajahku ini supaya enak dihajar. Hahahah!" lalu dia pergi.

"Hah, kalau Iky ada di sini. Pasti dia akan menyelimutiku dengan jaketnya," keluh Uni.

"Uni, kalau aku ada di dekatmu. Pasti sekarang jaket ini kamu yang pake," gumam Pisco sambil mengendarai mobil ini.

Tidak terasa, pagi tiba dan Pisco sudah ada di kota Monka. Pisco turun karena bensinnya habis.

"Masih ja...uh ya," Pisco merasakan kantuk yang berat. "Mungkin aku harus istirahat dulu," Pisco memasuki salah satu rumah yang kebetulan sepi. Pisco mendorong sofa untuk menutup pintu itu. Pisco pergi ke lantai atas, saat sampai di atas dia langsung menjatuhkan diri ke lantai.

"Aduhh. Udah siang ya?" Pisco bangun sambil memegang kepalanya. Pisco berdiri dan mendekati jendela. DWARR.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro