CHAPTER ONE: HILSON JEREMY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wanita berpakaian kaos berwarna biru dengan rompi tipis abu-abu, celana jeans coklat kemerahan, rambut biru gelap terurai, mata biru, dan liontin bunga perak di leher. Dia sedang minum air sungai.

"Ahhh! Segeranya," ucapnya. "Apa mungkin sekaligus aku mandi, ya?"

Tiba-tiba, suara semak-semak beradu terdengar dari belakang. Dia langsung mengambil pistol kecil yang tergeletak di sampingnya, dan menodongkan ke arah semak-semak yang berbunyi itu. Tapi, dia langsung menurunkan pistolnya, karena ternyata itu adalah ulah kelinci.

Wanita itu melanjutkan membersihkan badannya, menyeburkan diri di sungai itu. Setelah selesai membersihkan badannya, dia duduk di pinggir sungai dengan badan telanjang bulat dan liontin di leher.

"Sudah lama aku tidak mandi dan merasakan dinginnya air!" gumamnya, senang.

Setelah cukup lama duduk, dia berdiri dan berjalan menghampiri pakaiannya yang tergantung di dahan-dahan pohon. Dia memakai pakaiannya kembali dan menggendong tas biru, menyimpan pistol kecilnya di belakang celana, dan berjalan ke dalam hutan.

Melewati pohon-pohon, mendengar kicauan burung, dan disambut dengan sinar matahari. Dia terus berjalan dengan waspada, melihat sekitarnya kalau-kalau musuh datang dengan tiba-tiba. 'DOR DOR' terdengar suara pistol yang cukup keras. Wanita itu mengambil pistol yang ada di belakangnya, dan berjalan menuju suara itu. Dia bersembunyi di balik pohon, mengintip dua pria bersenjata pistol panjang sedang mendekati mayat rusa.

"Kita dapat yang cukup besar," ucap salah satunya.

"Bos pasti senang. Kita potong-potong dulu." Pria yang satu lagi mencabut pisau di saku belakang, dan mengkuliti rusa itu.

Wanita itu sedikit jijik dengan pemandangan itu, dia mundur beberapa langkah dengan perlahan. Tapi sialnya, dia menginjak ranting kecil, dan membuat wanita itu kaget dan mengeluarkan suara. Pria yang memperhatikan rekannya sedang memotong, dia dengan cepat menarik pistol kecil di saku belakang dan menembak ke arah suara itu.

"Ada apa?" tanya pria yang sedang memotong.

"Rasanya tadi aku mendengar seseorang."

"Mungkin hanya perasaanmu saja."

"Mungkin."

Wanita itu berdiri mematung, keringatnya keluar dengan deras, tubuhnya gemetar, tapi tidak bersuara. Dia selamat dari serangan mendadak pria itu, karena pelurunya menyasar ke pohon yang ada di sampingnya. Karena merasa syok, dia duduk dengan perlahan.

"Untung saja," gumamnya pelan. Dia mengusap keringatnya dengan lengan bajunya yang panjang.

Wanita itu kembali mengintip kedua pria itu, dengan wajah was-was. 'DOR DOR' tiba-tiba kedua pria itu tergeletak bersimbah darah di kepala. Tak lama kemudian, muncul seorang pria berpakaian seperti seorang koboi, rompi kulit coklat, topi koboi, sepatu kulit coklat, celana biru, jenggot dan kumis tipis, rambut yang terlihat berwarna hitam. Dia mendekati mayat kedua pria itu.

"Keluarlah kau yang ada di sana." Pria itu melihat ke arah tempat persembunyian wanita itu. "Aku bukan musuhmu."

Wanita itu keluar dengan menodongkan pistolnya ke arah pria itu, tapi pria itu tenang-tenang saja.

"Tenang, aku tidak akan membunuhmu. Aku ini polisi, jadi tidak akan macam-macam kepadamu." Tapi wanita itu tidak terpengaruh oleh ucapannya. "Namaku Hilson Jeremy, polisi."

"Uni Tels, wanita yang sedang mencari obat untuk luka," jawab wanita itu, masih menodongkan pistolnya.

"Uni, ya? Obat luka? Sepertinya aku punya."

"Berikan kepadaku, atau aku akan membunuhmu."

"Wow-wow, tenang. Aku sudah bilang, aku ini bukan musuhmu."

"Apa buktinya supaya aku bisa percaya kalau kau bukan musuhku?"

"Aku tidak punya bukti, tapi percayalah."

Tiba-tiba muncul seorang anak kecil berpakaian putih dengan rok yang menyatu, berambut pendek hitam, pita kecil menempel di samping rambutnya, dan memakai sandal. Dia berlari ke arah pria itu, dan memeluk kakinya.

"Jangan bunuh ayahku!" ucapnya dengan nada anak-anak.

Dengan wajah iba, Uni menurunkan todongan pistolnya dengan perlahan.

"Sayang, turunkan pistolmu. Dia bukan musuh kita." Hilson melihat ke arah sampingnya, dan Uni pun mengikutinya.

Terlihat seorang wanita berpakaian seperti anak kecil tadi, berambut panjang diikat ke belakang hitam, sedang menodongkan pistol kecil ke arah Uni. Lalu wanita itu menurunkan pistol itu setelah melihat Hilson itu memasang wajah sedikit tersenyum ke arahnya.

"Maafkan atas sambutan dari keluargaku." Pria itu kembali lagi melihat Uni. "Dia istriku, namanya Vanili Jeremy. Ini anakku, namanya Elli Jeremy, dan umurnya enam tahun."

Istrinya menghampiri Hilson dengan memandang mengancam ke Uni. Uni menyimpan pistol itu ke belakang celananya.

"Bagaimana kalau kau mampir ke tempat kami?" tawar Hilson.

"Baik," jawab Uni.

Mereka bertiga memimpin di depan, sedangkan Uni berjalan cukup jauh di belakang. Mereka berjalan menuju sebuah kota kecil yang bangunannya runtuh. Sesampainya di kota itu, banyak tenda-tenda yang berdiri, dan orang-orang. Uni ditatap oleh orang-orang di kota itu.

"Tenang semuanya, dia teman baru kita," ucap Hilson kepada semua orang-orang itu. Setelah itu, mereka kembali beraktifitas dan tidak melihat ke arah Uni. "Maaf kalau mereka seperti itu."

"Ti-tidak apa-apa."

Sampailah mereka di tenda yang cukup besar. Mereka memasukinya.

"Tidak terlalu luas, tapi semoga kau nyaman di sini."

Hilson duduk di lantai tenda, diikuti oleh tiga wanita itu.

"Jadi, kau sedang mencari obat? Obat apa?"

"Untuk luka parah. Mungkin beberapa perban dan obat merah."

"Untuk siapa?" tanya Vanili.

"Temanku, dia sedang terluka cukup parah. Keadaannya sedang kritis."

"Begitu, ya. Sayang, coba kau tanyakan kepada pak dokter. Mungkin dia punya."

"Mama, aku ikut." Mereka berdua lalu pergi keluar tenda.

"Kalau boleh tahu, siapa nama temanmu itu?"

"Pisco... Eh?" Uni menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Pisco?!" Dengan wajah terkejut, Hilson memegang kedua pundak Uni. "Pisco pembunuh bayaran itu?"

"Bukan! Bukan! Kau pasti salah mengira."

"Tenang tenang. Walau aku polisi, tapi aku tidak mengicarnya." Hilson melepaskan tangannya dari pundak Uni. "Apa dia baik-baik saja?"

Uni hanya diam, dengan kedua tangannya masih di mulutnya. "Jangan takut, aku tidak mengincar nyawanya. Karena dia adalah kakakku." Uni melepaskan tangan dari mulutnya, dengan wajah terkejut. "Nama aslinya adalah Nik Halber, kan?"

Uni hanya diam memikirkan perkataan Hilson tadi, dia bisa tahu nama asli Pisco. "Dia baik-baik saja, hanya saja... hanya saja..." Uni meneteskan air mata.

"Sepertinya kau mengalami masa-masa sulit."

'NGENGGGGGGG' "Ada serangan! Ada serangan!" teriak dari luar.

"Sial! Uni, ikut aku!" Hilson menarik lengan Uni, menuju keluar tenda.

Setelah di luar, terdengar suara tembakan di mana-mana. Uni menutup sebelah telinganya. Hilson membawanya ke sebuah gedung, tempak orang-orang evakuasi. Mereka semua berkumpul di satu ruangan bawah tanah, tapi Hilson tidak membawanya ke sana, melainkan ke atap gedung itu.

"Uni, kau tunggu di sini, di sini juga aman."

"Kau mau ke mana?"

"Aku mau menjemput istri dan anakku." Dia berlari ke dalam gedung itu.

'DHAARRR' "Kyaaa!" Dengan cepat Uni jongkok dan menutup kedua telinganya.

Suara ledakan berdatangan, Uni semakin ketakutan, ditambah dengan pikirannya yang cemas dengan Hilson. Tak lama kemudian, datanglah sesosok pria berbaju ala koboi, dengan segulu tali besar di pundaknya.

"Uni, ayo kita turun ke bawah. Di sana ada hutan!" Dia berlari ke tiang besi yang ada di sana.

"Di mana..."

"Jangan banyak bicara!" Hilson mengikat tali ke tiang itu, mengulur ujung lainnya, lalu melempar ujung itu ke luar, tepatnya ke bawah gedung. "Kau duluan!"

"Tapi..."

"Cepat!"

Dengan bingung, takut, cemas yang bercampur, Uni menuruti perintahnya. Setelah sampai di bawah, Hilson pun turun. Hendak Uni ingin bertanya, tapi dengan cepat Hilson menarik lengan Uni dan membawa lari ke dalam hutan.

Setelah beberapa menit mereka berlari, dan mereka sudah ada di dalam hutan. Mereka berhenti.

"Ha ha ha ha ha. Di mana mereka?" Hilson tidak menjawab. "Hilson, di mana me..."

"Mati!" jawabnya keras.

"A..."

"Mereka mati! Mereka mati! Ini semua salahku!" Tiba-tiba dia memukul pohon, dan membuat beberapa daun berjatuhan.

"Tanganmu berdarah." Uni mencoba mengambil tangan yang terluka itu.

Tapi, Hilson menjauhkan tangannya itu. "Ini belum seberapa dengan sakit di dalam hati."

"Jangan paksakan diri." Dengan cepat Uni mengambil tangan Hilson yang terluka itu. "Banyak sekali darahnya. Biar aku bersihkan dulu." Uni melepaskan tasnya, lalu membuka tas, dan mengambil botol plastik berisi air. Uni membersihkan luka Hilson.

"Ini salahku! Ini salahku! Ini salah..."

"Jangan mengatakan itu lagi! Yang terpenting kau selamat!"

"Tapi apa artinya hidup tanpa mereka?!" 'PLAK' Uni menampar pipi Hilson.

"Aku tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang tercintai, apalagi dua orang. Tapi, aku sedikit mengerti bagaimana rasanya, mungkin lebih parah rasa sakitku ini. Aku mencemaskan Pisco, orang yang kucintai! Dia sedang sekarat, perasaan cemas dia mati selalu datang dan pergi di pikiranku. Sedangkan kau, kau sudah tahu mereka sudah mati, jadi kau tidak terlalu dihantui oleh pikiran cemas mereka akan mati!"

Hilson hanya memasang menyesal. Tapi lama kelamaan mulai reda. "Tentu saja rasa sakitku ini tidak seberapa dengan yang kau alami." Hilson sudah tenang.

"Maaf, bukannya aku bermaksud mengatakan itu."

"Tidak apa-apa, aku tahu maksud baikmu itu."

"Maaf, aku masih penasaran. Apa maksudnya salahmu?"

Hilson berlari menuju medan pertempuran, untuk mencari istri dan anaknya. Dengan senjata seadanya, dia menembaki musuh yang dia temui, dibantu dengan teman-teman yang kebetulan ada di sana.

"Kalian lihat Vanili?" tanya Hilson, kepada salah satu temannya.

"Kalau tidak salah, dia ada di rumah dokter!"

"Terima kasih!"

Hilson, dengan teman-temannya, maju menyerang. 'DOR DOR DOR DOR' beberapa teman Hilson tewas tertembak. Hilson dengan perasaan bersalah, terus berlari menuju rumah dokter.

Sampailah dia di rumah dokter, tapi alangkah terkejutnya dia, melihat sesosok dua mayat perempuan yang bersimbah darah.

"Vanili! Elli!" Dia belari menghampir kedua mayat itu.

Tapi, rasa sedihnya berubah menjadi amarah setelah melihat ada seorang wanita berpakaian aneh berdiri di depannya, dengan seorang pria dengan pakaian dokter di tangannya, dicekik.

"Dokter! Sialan!" Dengan amarah yang meledak, Hilson menembaki tubuh wanita itu.

"Tidak terasa," balas wanita itu. Dia masih berdiri tegak, dan peluru-peluru itu tidak berhasil menembus badannya.

Wanita itu melempar tubuh dokter, lalu berjalan mendekati Hilson. Hilson mundur perlahan dan menembakinya dengan brutal. Tapi, amunisinya habis dan wanita itu berhasil memegang lengannya.

"Sial!" Hilson berusah melepaskan cengkraman itu.

"Akan kulepaskan." Wanita itu melempar lengan Hilson ke samping, diikuti dengan tubuhnya berhasil menabrak lemari buku.

Hilson berusaha berdiri. Wanita itu berjalan mendekati Hilson dengan perlahan. Tiba-tiba datang bom asap.

"Uhuk uhuk uhuk!" Ada tangan yang menarik lengan Hilson.

Ternyata itu adalah salah satu temannya. Hilson dibawa keluar dari tempat itu, dan menuju gedung tempat evakuasi.

"Lepaskan aku!" bentak Hilson.

"Tidak! Kau bisa mati!"

"Lebih baik aku mati!"

"Aku tahu apa yang kau alami, tapi bukan saatnya kau bersedih seperti itu. Kau mau meninggalkan wanita yang satu lagi?"

"Tapi!"

Di belakang mereka, muncul sesosok wanita berpakaian aneh, berlari kecil.

"Sial, biar kami yang tahan dia."

"Peluru biasa tidak akan bisa..."

"Aku tahu! Aku akan mengulur waktu untukmu, ini tali untuk menuju hutan." Dia menyerahkan tali itu ke Hilson.

"Tidak ada gunanya kau menahannya, kau akan mati! Sebaiknya kita lari!"

"Kalau aku lari, maka orang-orang yang dievakuasi akan ikut mati. Lebih baik aku saja yang mati!"

"Aku akan menemaimu."

"Tidak, bagaimana dengan wanita itu? Kau mau menginggalkannya begitu saja?"

Hilson hanya bisa menundukkan kepalanya, menyesal. Dengan amarah, Hilson berlari menuju gedung tempat Uni menunggu.

"Maafkan aku, sobat," gumam Hilson.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro