CHAPTER TWO: ALONE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apakah benar mereka akan muncul di sini?"

"Iya, mereka akan muncul di sini."

Sekarang mereka berada di pinggir hutan. Mereka sedang menunggu kedatangan pengungsi teman-teman Hilson. Menurut Hilson, mereka akan muncul di bawah tempat pembuangan air. Mereka duduk menunggu seseorang membuka pintu besi bulat di bawah mereka.

Beberapa jam sudah terlewati, tapi tidak ada yang membuka pintu itu.

"Kenapa mereka lama sekali?" gumam Hilson.

"Perasaanku tidak enak," jawab Uni.

"Aku akan periksa, kau tunggu saja di sini."

"Tidak, aku akan ikut."

"Baiklah, siapkan senjatamu. Mungkin kita akan bertemu beberapa zombie." Hilson membuka pintu pembuangan air itu. Lalu mereka berdua menuruninya dengan tangga yang sudah menempel di sana.

Keadaannya sangat gelap, untung saja Hilson membawa senter. Bau, basah, dingin, dan sunyi, dirasakan oleh mereka. 'DREKK'

"Ka-Kau dengar itu?"

"Iya, tetap dibelakangku." Uni bersiaga dengan senjatanya, begitu juga dengan Hilson.

Mereka berjalan di atas genangan air dari pembuangan air. Rasa dingin mulai terasa di mata kaki mereka, tapi rasa dingin itu tidak mengurangi rasa was-was mereka. 'KREK' Clicker muncul dari bawah, dia mencekik leher Hilson, hendak mengigit. 'DOR DOR DOR' tiga tembakan diluncurkan oleh Uni. Tapi Clicker itu belum mati, hanya melepaskan cekikannya. Hilson langsung menendang badannya, dan menembak kepalanya.

"Kau baik-baik saja?"

"Iya... Terima kasih. Ayo kita lanjutkan. Sebaiknya kita waspada juga dengan mayat di bawah kita."

Uni menjawab dengan anggukan. Mereka melanjutkan perjalanan mereka. Beberapa mayat yang entah itu mayat hidup yang tertidur atau mayat sungguhan, tercecer di mana-mana. Ada yang mati dengan badan bersimbah darah, kepalanya tidak ada, dan ada yang tidak berdarah atau tidak ada bagian tubuh yang hilang. Karena itu, mereka semakin berwaspada. Lalu, sampailah mereka di sebuah pintu besi. Hilson memutar kenop pintu dengan perlahan, mendorong pintu dengan waspada, dan terbukalah. Mereka berdua langsung terkejut, melihat ada banyak sekali mayat, dan darah yang masih segar di tubuh mereka.

"Te-Teman-teman!" Hilson berlari menghampiri salah satu mayat. "Ti-Tidak mungkin..."

"Ke-Kejamnya... Si-Siapa yang melakukan ini?"

Hilson melihat ke sekitar, terlihat banyak sekali selongsong peluru berserakan di sekitar mereka. "Wanita itu...! Aku pasti akan membunuhnya!" gumamnya dengan wajah marah.

"Wa-Wanita itu? Maksudmu "wanita" yang kau ceritakan itu?"

"Sepertinya begitu. Uni, kita ambil beberapa obat, makanan, amunisi, dan senjata yang bisa kita bawa."

"Ba-Baik."

Uni membongkar tas-tas mayat-mayat itu, mengambil obat, dan makanan. Sedangkan Hilson mengambil shotgun, handgun, revolver, dan amunisi yang masih bisa dipakai.

"Hi-Hilson, selanjutkan kita akan apa?"

"Kita pergi ke kota selanjutnya."

"Kau baik-baik saja?"

"Iya, aku baik-baik saja. Mungkin aku harus berdoa untuk mereka."

"Aku juga."

Setelah mereka selesai berdoa, mereka bersiap-siap untuk pergi. Melewati genangan air, dan mayat-mayat. Uni menaiki tangga terlebih dahulu, disusul oleh Hilson di bawah. Sampai di atas, Hilson menutup pintunya.

"Istirahatlah dengan tenang, teman-teman."

***

Salju putih turun dari langit, membawa angin dingin dan membuat embun di luar jendela rumah tua. Uni membuka pintu rumah tua. Bersama dengan Hilson, mereka memasuki rumah itu.

"Sebaiknya kau istirahat dulu, aku akan mengobati luka Iky."

"Iky?"

"Itu sebutanku untuk Pisco."

"Oh, silahkan." Uni pergi menuju ruang selanjutnya, dia membuka pintu dan menuruni tangga.

Uni menuruni tangga dengan langkah perlahan, sambil memegang obat yang dibawa dari mayat-mayat teman Hilson. Saat sampai di sebuah ruangan yang kecil. Dia tidak melihat Pisco yang terbaring di kasur kecil di lantai, melainkan sebuah selimut yang tercecer di lantai. Uni masih tenang, dia membuka pintu yang ada di samping kasur itu. "Mungkin dia sudah sadar dan ke toilet," pikir Uni. Saat membuka pintu itu, dia tidak melihat sesosok Pisco. Wajah Uni berubah seratus delapan puluh derajat. Awalnya berwajah tenang, sekarang sudah seperti orang yang hampir mati.

Uni langsung berlari ke atas. Membuka setiap pintu yang ada di rumah itu. Hilson sedikit bingung dengna kelakukan Uni. Hilson mendekatinya.

"Kau kenapa?" Tapi tidak dijawab. Uni menghiraukan pertanyaan Hilson, dan terus mencari Pisco. "Kenapa dengan wajahmu? Bagaimana dengan Pisco?" Uni masih tidak menjawabnya walau Hilson berulang-ulang bertanya dan mengikuti kemana Uni pergi. Hilson kesal dan langsung mencengkram lengan Uni. "Uni! Kau kenapa!? Kenapa wajahmu begitu?! Di mana Pisco?"

"Dia... Dia... Dia.... Hiks! Hilang! Dia hilang!"

"Apa!!? Hilang? Bagaimana bisa?"

"A-A-A-A..."

"Tenangkan dulu dirimu, Uni. Baru kau ceritakan."

Setelah Uni tenang. Uni mengantar Hilson menuju ruang yang seharusnya tempat Pisco sedang tidur.

"Seharusnya Pi-Pisco ada di sini, sedang tidur terluka parah. Tapi... Tapi... Tapi sekarang... sekarang..."

"Baik, aku mengerti. Aku mengerti. Tidak perlu dilanjutkan."

"Kita harus pergi mencari..." Hilson menghentikan langkah Uni.

"Di luar masih hujan salju, kemungkinan akan datang badai salju. Sebaiknya kita mencarinya besok."

"Tapi... Tapi..."

"Aku tahu perasaanmu, tapi di luar sangat berbahaya. Aku yakin, Pisco tidak akan mati semudah itu."

"Baiklah..."

"Kalau begitu, sekarang kita istirahat di sini. Besok kita cari dia, ya?"

"Baik..."

Keesokan harinya. Hilson dan Uni sudah bersiap-siap untuk mencari Pisco, dan salju masih turun, tapi tidak separah badai salju kemarin.

"Kau siap?" tanya Hilson.

"Siap!"

"Ayo kita pergi!"

Melewati jalanan bersalju, dengan jaket yang mereka temukan di perjalanan sebelumnya. Mereka berdua memulai pencarian Pisco. Mereka berjalan menuju kota selanjutnya. Ada sebuah gedung besar, mereka memasuki gedung itu karena jalanan menuju tengah kota ditutup oleh dinding buatan.

"Sepertinya di sini ada penghuninya, sebaiknya kau berhati-hati, Uni."

"Iya." Mereka berdua bersiaga dengan pistol di kedua tangan mereka.

Hilson membuka pintu dengan perlahan. Terlihat ruangan di sini cukup luas dan ada beberapa meja-meja terbalik, reruntuhan bangunan, dan barang-barang besar lainnya tergeletak di lantai. Tempat ini sangat cocok sekali untuk adu tembak. Tiba-tiba pintu yang jauh di depan mereka terbuka. "Ada musuh!" teriak pria itu. Uni dan Hilson refleks bersembunyi di balik meja.

"Sial, kita ketahuan!" kesal Hilson.

"Tidak ada pilihan lain."

Hilson mengangguk, dia mengintip sedikit. 'DOR' sebuah peluru melintas ke rambut samping Hilson. Hilson langsung bersembunyi dengan detak jatung yang berdetak kencang, dan keringat dingin yang mengalir. Terjadi adu tembak. Hilson membalas, tapi tidak kena karena mereka bersembunyi. Begitu juga saat mereka menembak, Hilson bersembunyi. Lalu datang dua pria lagi, bersembunyi di tempat yang sama dengan pria yang menembak rambut Hilson.

"Kalau begini terus, kita akan mati."

"Aku punya ide." Uni melepaskan tasnya. Mengambil botol kaca kosong yang tergeletak di bawahnya. Lalu mengambil alkohol di dalam tasnya, mengisi setengah botol. Mengikat lubang botol dengan sisa kain yang ada di tasnya. "Kau alih perhatian mereka, aku akan melemparkan ini."

"Aku mengerti." Hilson langsung berlari, berpindah tempat bersembunyi.

Hilson menembaki mereka, tapi tetap tidak berhasil. Lalu mereka membalas. Uni menyalakan pematik ke ujung kain botol yang sudah terisi alkohol. Langsung dilempar. 'CCCSSSSSHHHH' api melahap tubuh mereka. Mereka berteriak sangat keras.

"Uni, ayo kita pergi!" Hilson berlari ke arah pintu yang ada jauh di sampingnya, diikuti dengan Uni.

Mereka berlari di lorong, lorong yang diterangi oleh lampu yang kelap-kelip. Hilson menendang pintu besi itu. Setelah masuk, Hilson menutup pintu itu dengan keras, lalu bersandar di pintu besi itu.

"Kau baik-baik saja?" tanya Hilson.

"Iya, bagaimana denganmu?"

"Sama. Ngomong-ngomong, kau mempelajari tentang Molotov dari mana?"

"Dari Iky."

"Begitu, ya. Ternyata dia tidak bisa menjaga kepolosan wanitanya."

"Seharusnya kau bersyukur karena aku bukan wanita polos lagi." Hilson berdiri, dan melihat sekitar. Ruangan ini tidak kecil dan tidak besar, dan ruangan ini kosong tanpa ada apa-apa. "Bagaimana kalau kita lanjutkan?"

"Iya, mungkin mereka akan mengejar kita."

Mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan cepat, tapi berwaspada. Hilson membuka pintu selanjutnya. Ternyata ini sebuah lorong. Di samping kanan mereka ada sebuah pintu, dan samping kiri mereka adalah lanjutan lorong ini. Tiba-tiba suara langkah yang ribut terdengar dari samping kiri mereka.

"Uni, kau sebaiknya pergi duluan."

"Hah? Apa maksudmu?"

"Aku akan menahan mereka. Kau masuk ke pintu itu dan lari sekuat tenagamu."

"Bagaimana dengamu?"

"Tenang saja, aku akan menyusul. Kalau ada tempat yang menurutmu aman untuk istirahat, kau tunggu saja di sana."

"Tapi..."

"Cepat!"

Uni mengangguk lemah, dan berlari meninggalkan Hilson. Hilson kembali lagi memasuki pintu sebelumnya, dan membiarkan pintu itu terbuka. Uni berlari, terus berlari, untung tidak ada yang mengejar atau ada salah satu dari musuh yang diam di ruangan yang dilewati Uni. Sekarang Uni berada di sebuah ruang yang penuh dengan tumpukan barang-barang rusak, mungkin gudang. Dia bersembunyi di tumpukan barang-barang yang ada di pojok gudang. Beberapa detik Uni duduk bersembunyi, dia mendengar suara langkah mendekatinya. Bayangan orang bisa dilihat di depannya. Uni bersiap dengan pistolnya. Suara langkah semakin jelas mendekati tempat Uni. Sebuah kaki dengan sepatu hitam terlihat oleh Uni. Uni semakin gemetar, walau dia sudah terbiasa menembak orang, tapi baginya ini adalah situasi yang berat. Sesosok itu sekarang bisa terlihat jelas di depannya, dia berpakaian kemeja putih dan rompi rajut abu-abu, celana biru gelap panjang, dengan rambut hitam sedikit panjang. Uni tidak menembak sesosok itu, tapi malah menjatuhkan pistol itu dan berlari ke arah sesosok itu.

"IKYYY!" Uni langsung memeluk dia.

"U-U-Uni? Kau benar-benar Uni?"

"Iya, ini aku! Uhhh... Kamu ke mana saja? Aku... Aku... Aku mencari-carimu..."

"Aku juga sama, mencarimu kemana-mana. Maaf, ya, membuatmu cemas."

"Jadi, kau adalah Uni yang selalu dibicarakan oleh Pisco," ucap seseorang yang bersuara wanita.

Uni kaget, dia langsung melihat sumber suara itu, tepatnya di samping dia. Ternyata itu dari seorang wanita berpakaian jaket bulu putih, rok pendek dengan stocking hitam panjang, berambut putih panjang sedikit melewati baju, mata hijau, berkulit putih, dan sebuah tas selendang coklat.

"Hahhhh!?" kaget Uni.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro