CHAPTER THREE: TRAVIS ELLIOT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dia siapa?!"

"Dia..."

"Kenapa kau bisa bersama dengan wanita?! Jangan-jangan kau selingkuh! Jadi kamu kabur karena takut ketahuan kalau kau selingkuh?!"

"Bu-Bukan, Uni. Dia wanita yang menyelamatkanku, dia juga yang menyembuhkan luka-lukaku ini."

"Benarkah?"

"Iya." Wanita itu menghampiri Uni. "Namaku Travis Elliot. Jadi, Anda ini wanita yang bernama Uni yang selalu dibicarakan oleh Pisco?"

"Iya, namaku Uni... Dibicarakan? Jadi... Jadi Iky selalu membicarakanku?"

"Iya, bahkan dia pernah merusak satu ruangan karena kesal tidak menemukanmu juga."

"E-Elliot, jangan katakan itu!"

"Heheheh, maaf, aku keceplosan."

"Iky... Maafkan aku, aku langsung memarahimu, padahal kau baru sembuh dari luka parah. Seharusnya aku tidak..."

"Tidak apa-apa, wajar saja kalau kau cemburu. Oh iya, kenapa kau sembunyi di sana?"

"Aku tadi se... Ahhhh! Iky, kita harus cepat selamatkan Hilson!"

"Hilson? Siapa dia?"

"Nanti saja ceritanya, kita harus segera menyelamatkan dia!" Uni langsung menarik lengan Pisco, dan wanita bernama Elliot itu.

Mereka berlari menuju lorong tempat Uni meninggalkan Hilson. Sesampainya di sana, terlihat ada bercak darah menempel di dinding lorong, dan pintu terbuka lebar dengan darah tertempel di kenop pintu.

"Tunggu dulu, apa yang terjadi di sini?" tanya Pisco.

"Hilson, adikmu, dia me..."

"Tunggu dulu! Hilson adikku? Kenapa kau bisa mengenalnya?! Dan di mana dia sekarang?!"

"Tadi... Tadi, dia menyuruhku pergi untuk bersembunyi, karena banyak musuh yang berdatangan. Dan bagaimana aku mengenalnya, nanti aku jelaskan, sekarang kita harus menyelamatkan dia!"

"Baik, kalau begitu, ayo kita ke depan sana!"

Mereka berlari, menuju ujung lorong ini. Di tengah jalan, mereka melihat banyak sekali mayat-mayat tergeletak di lantai dan bercak-bercak darah menempel di dinding lorong. Mereka terus berlari, menghiraukan mayat-mayat itu.

Sekarang mereka sudah sampai di depan pintu besi kecil. Pisco membuka pintu itu, dan melihat ada seorang pria tergeletak bersimbah darah yang banyak sekali di tubuhnya. Ternyata itu adalah Hilson. Pisco langsung berlari menghampiri Hilson yang tergeletak itu.

"Hilson! Hilsonnn!" Pisco merangkul tubuhnya, menyimpan kepalanya di lengannya. Dia mengguncang tubuh Hilson dengan keras. "Bangun! Hilson, kau tidak boleh tidur!"

"Iky! Awas!" teriak Uni. Seorang wanita dari atas meloncat ke arah Pisco yang sedang jongkok.

Hilson yang sedang disandar di lengan Pisco, tiba-tiba meloncat ke arah wanita yang mengarahkan kakinya ke Pisco. Kalau Hilson tidak meloncat ke wanita itu, Pisco pasti akan terkena serangan wanita itu. Wanita itu menendang Hilson yang meloncat ke arahnya, dan Pisco backflip.

"Kenapa kau menggunakan tubuh Hilson?!" bentak Pisco ke Elliot.

"Ma-Maaf..."

"Tidak apa-apa, terima kasih!"

"Eh? Apa maksud Iky dengan "menggunakan tubuh Hilson"?"

"Nanti aku jelaskan, aku harus membunuh dia dulu!"

Wanita itu tiba-tiba menyerang, dia mendaratkan sebuah tinju ke arah kepala Pisco. Pisco menghindarinya dengan menggulingkan badannya ke samping kanan, lalu berlari cukup jauh. Pisco langsung mencabut shotgun yang di punggungnya. Menembak wanita itu, tapi tidak mempan. Wanita itu berjalan menghampiri Pisco dengan perlahan, dan Pisco menyambutnya dengan tembakan shotgun. Amunisi habis, dan wanita itu sudah ada di depan mata. Dia mencekik leher Pisco, mengangkatnya ke atas. Pisco berusaha melepaskan cekikan itu, tapi dia mencengkramnya dengan kuat. Lalu dari samping, sebuah tembakan datang mengarah ke mata wanita itu. Ternyata itu ulah Uni. Pisco terlepas dari cekikan itu. Sekarang wanita itu mengubah targetnya kepada Uni. Namun, Pisco tidak bisa diam saja, dia mencabut pedangnya dan menebas punggung wanita itu, mempan. Luka tebasan itu mengeluarkan cukup banyak darah, tapi ekpresi wanita itu tetap dingin, seperti tidak terjadi apa-apa.

"Sepertinya, dia terinfeksi Virus X," ucap Elliot.

"Dengan ini, dia adalah orang ketiga," jawab Pisco, tenang.

"A-A-Apa yang kalian bicarakan?"

"Nanti saja penjelasannya!" Dengan cepat, Pisco menembak kepala, tepatnya dahi wanita itu. Tapi, tidak mempan juga. Sekali lagi, dia menembaknya, dan wanita itu menangkap peluru itu. "Be-Begitu, ya. Uni, apakah kau punya alkohol?"

"Cukup banyak."

"Kalau begitu, tolong buatkan bola Molotov kecil. Elliot, bantu Uni!"

"Baik," jawab Elliot. Dia berlari ke arah Uni.

Sedangkan itu, Pisco harus menarik perhatian wanita itu, terlihat sepertinya dia akan mengubah targetnya. Dengan handgun di tangan, dia menembak kepala wanita itu lagi. Wanita itu tidak jadi mengubah targetnya, dan melesat ke arah Pisco.

Uni memasukan alkohol ke dalam plastik kecil yang dipegang Elliot, lalu Elliot mengikat plastik itu. Jadilah bola plastik kecil berisi alkohol. "Pisco, ini!" Dia melempar bola kecil itu.

Pisco berhasil menangkapnya. "Terima kasih." Pisco melihat ke arah depannya, tepatnya kepada wanita itu. "Kau pasti orang yang bernama Hayley Johanes, dan kau adalah pacarnya Lorax." Wanita itu menghentikan langkahnya, memasang wajah terkejut, dan gemetar.

"Ke-Ke-Kenapa kau bisa tahu?" ucapnya dengan suara parau.

"Tentu saja tahu, karena aku orang yang sudah membunuhnya."

"Ti-Tidak, kau pasti bercanda!" bentaknya.

"Kalau aku bercanda, kenapa aku bisa tahu nama pacarmu?"

"Ti...Ti...Tidak mungkinnnnn!! AHHHH..." Teriakannya terhenti oleh lemparan bola plastik kecil ke arah mulutnya, lalu Pisco menembak mulutnya itu.

Mulutnya terbakar hebat, tidak kalah hebat dengan teriakannya. Kedua wanita itu jongkok dan menutup kedua mata dan daun telinga mereka. Pisco langsung berlari ke arahnya, menarik pedang yang di punggungnya, menebas badannya terus berulang-ulang, terakhir menebas leher. Kepala dan badan wanita itu terpisah, disambut dengan semburan darah yang banyak.

Dengan wajah murung, Pisco berjalan menuju kedua gadis yang sedari tadi jongkok gemetar dengan air mata yang berjatuhan. Dia menuntun mereka untuk keluar dari tempat itu.

***

"Hmm... Begitu, ya..."

"Ma-Ma..."

"Kau tidak perlu minta maaf. Bukan salahmu, sebaiknya kita pergi. Elliot, ayo kita pergi!" Pisco memanggil Elliot yang sedang melihat matahari terbit di dekat pohon yang tumbuh di bukit ini.

"I-Iya, aku akan kesana!" Dia berlari menyusul Pisco dan Uni yang sudah memasuki mobil yang memiliki bagasi terbuka di belakangnya.

Pisco memutar kunci-nya, menyalakan mesin, lalu melihat ke arah kota tempat adiknya mati. Dia hanya bisa tersenyum kecil dan mengatakan "Terima kasih, adikku, Hilson." Mobil pun dijalankan.

Sinat matahari mulai menyinari bumi yang penuh dengan kegelapan ini, hembusan angin pagi menggantikan hawa dingin ketakutan, dan bunyi serangga yang berisik menghilangkan kesunyian. Mereka menuruni bukti menuju kota selanjutnya.

Mereka berhasil memasuki kota tanpa ada hambatan, mungkin hanya sementara. Tapi, tak lama kemudian mobil mereka tiba-tiba berhenti.

"Sepertinya kehabisan bahan bakar," ucap Pisco yang sedang memegang kemudi.

"Lalu, sekarang bagaimana?" tanya Uni yang duduk di sebelahnya.

"Mungkin di kota ini ada bensin?" jawab Elliot yang duduk di belakang.

"Hmm... Kita periksa." Pisco mengambil kunci mobil yang menempel, membuka pintu, dan keluar. Lalu mereka berdua pun mengikutinya, tentu tidak lupa dengan tas dan senjata. "Jangan jauh-jauh dariku." Mereka berdua mengangguk.

Dengan waspada, mereka berjalan mencari bahan bakar. Keadaan di sini cukup sunyi, hanya ada hembusan angin kecil. Kota ini dikelilingi banyak apartemen yang tinggi-tinggi, terlihat semuanya sudah cukup rusak bahkan ada yang sudah diselimuti lumut dan tumbuhan yang melilit.

Sekarang mereka berada di suatu tempat, di sana ada rumah kecil, dan ada sebuah mobil di garasi yang terbuka. "Mungkin di rumah itu ada bahan bakar. Kita periksa." Mereka berjalan memasuki rumah itu.

Bersama-sama, mereka memastikan di rumah itu aman. Setelah beberapa menit memeriksa ruangan-ruangan yang ada di rumah itu, mereka berkumpul di ruang utama. "Kalian mendapatkan sesuatu?" tanya Pisco.

"Aku mendapatkan relvolver dan sniper di gudang, dan beberapa amunisi handgun, shotgun, dan sniper," jawab Uni.

"Aku mendapatkan beberapa obat luka, kapas, dan kain."

"Ternyata kalian sedang beruntung."

"Bagaimana denganmu, Iky?"

"Tidak dapat apa-apa. Sebaiknya kita periksa garasi."

Mereka menuju garasi yang berada di samping rumah. Garasi-nya tidak terlalu kecil maupun besar, ada beberapa peralatan-peralatan bengkel, dan tempatnya cukup kotor dengan debu dan oli. Uni dan Elliot mencari bersama.

"Elliot..."

"Panggil saja Eli."

"Eli, mungkin waktunya tidak pas, tapi aku sangat penasaran. Benarkah kau memiliki kekuatan mengendalikan zombie?"

"Sebenarnya bukan mengendalikan zombie, tapi makhluk hidup yang sudah mati, lebih tepatnya mengendalikan otak yang tidak terpakai. Aku mengendalikan mereka melalui pemikiranku, aku hanya tinggal membayangkan makhluk itu bergerak."

"Keren!"

"Begitulah."

"Sepertinya kalian berdua sudah akrab," ucap Pisco yang berada di belakang mereka.

"Iky, jangan membuat kami kaget!"

"Maaf-maaf. Aku menemukan bahan bakarnya, beserta dengan sebotol oli penuh."

Mereka keluar dari rumah itu, saat di luar, muncul Big di arah kanan mereka. Dia berdiri cukup jauh dengan mereka. Mereka langsung bersiaga untuk menyerang, kecuali Elliot yang bersembunyi di punggun Uni. Tapi, Big tiba-tiba menjatuhkan lututnya, lalu mendongakan kepalanya ke atas. Cairan hijau keluar dari kepalanya, cukup banyak.

"Sial, ini jebakan!"

"Hah? Jebakan!?" kaget kedua wanita.

"Iya, jebakan ini... mungkin nanti saja penjelasannya. Sekarang kalian harus mendengarkan perintahku! Kalian kembali dan bersembunyi di rumah itu, tunggu sampai keadaan aman. Setelah aman, kalian keluar dan pergi menuju mobil."

"La-Lalu kamu bagaimana?!" tanya Elliot, cemas.

"Aku akan menarik perhatian mereka. Oh iya, saat sampai di mobil, nyalakan mesinnya, mungkin aku akan datang dengan berlari."

"Baik, ayo Eli."

"Hati-hati, Pisco." Mereka berdua kembali ke rumah itu, dengan bensin dan oli di tangan.

Tak lama kemudian suara ribut terdengar di depan Pisco, dia berbalik dan berlari cukup jauh. Sekarang dia memasuki sebuah gedung besar yang terlihat cukup hancur. Dia melanjutkan jalan cepatnya menuju tangga yang menempel di dinding samping, membuka pintu, dan memasang wajah kaget karena sudah ada berpuluh-puluh mayat hidup menanti dia. Pisco langsung melepaskan tasnya, membuka tas, dan mengambil bom asap. Mereka langsung berlari menyerang Pisco, tapi Pisco sudah melemparkan bom itu. 'DHURR' asap putih mulai memenuhi ruangan. Beberapa zombie dan vampire menutup mata karena terkena asap, dan beberapa diam karena tidak bisa bergerak di dalam asap. Dengan topeng masker terpasang, Pisco berjalan perlahan menuju pintu selanjutnya.

Setelah menutup pintu selanjutnya, terdengar di dalam suara ribut menghampiri pintu itu. Pisco membuka topeng masker-nya, langsung berlari menuju lubang dinding yang besar di samping, lalu meloncat menuju gedung sebelah. Kembali berlari menuju tangga yang menempel di depannya. Lalu kembali menuju dinding yang sudah hancur, kali ini ternyata menuju tangga besi menuju atap gedung. Menaiki setiap tangga-tangga yang menimbulkan bunyi yang cukup berisik. Sekarang dia ada di atap, dan tak lama kemudian terdengar suara hentakan kaki yang keras. Pisco mempercepat larinya, dan meloncat gedung selanjutnya. Terus berlari dan meloncat ke gedung selanjutnya. Dan akhirnya terpojok karena gedung selanjutnya jaraknya cukup jauh. Pisco mundur cukup jauh, lalu berlari dan meloncat menuju gedung itu. Tapi, tidak berhasil menuju atap, melainkan menabrak jendela.

'PRANGG... CSSS...' berhasil mendarat. Pisco berhenti sejenak, tapi istirahatnya tidak bisa bertahan lama, karena di depan sudah ada Fang yang siap menyerang. Fang berlari menuju Pisco, Pisco pun berlari menuju samping Fang. Fang itu mengayunkan tangannya, dan Pisco langsung meluncur dengan lututnya sambil mendongakkan kepalanya ke atas. Pisco kembali berlari setelah melewati Fang dengan cara yang berbahaya. Di depannya ada dinding berlubang namun hanya bagian atasnya. Dia meloncat melewatinya dengan kedua kaki ke depan-kan, dan kedua tangan ke depan-kan. Dia kembali berlari menuju tangga darurat yang terletak di sampingnya.

Setelah sampai di akhir tangga darurat dan membukakan pintu, dia kembali berlari tapi cukup diperlambat. Berlari di ruangan yang cukup luas karena beberapa dinding hancur, dan beberapa barang-barang berserakan, menuju pintu di depannya. Setelah membuka pintu dengan ditendang, dia bisa melihat ada mobil yang tidak asing baginya cukup jauh di depan. Kedua wanita yang tidak asing baginya sudah menunggu di dekat mobil itu. Kedua wanita itu langsung masuk ke dalam mobil itu, dan terlihat ada beberapa zombie dan vampire berlari menuju mobil itu dari arah kanan. Pisco mempercepat larinya, karena ternyata di belakangnya juga sudah ada beberapa yang mengejar. Dia langsung meloncat ke bagasi. Uni langsung menginjak gas. Mereka pun selamat dari kejaran mayat-mayat hidup itu.

Tapi, kejutan selanjutnya mendatangi mereka. Yaitu makhluk yang terlihat mirip dengan kucing besar bermuka hancur dengan beberapa Induk menempel di badannya, sedang berlari menuju mobil. Pisco langsung berdiri kaget.

"Bisakah kalian mengerti perasaan saya!?" kesalnya. "Sepertinya mereka tidak menyadarinya." Pisco melihat ke kaca kecil di belakang Elliot yang sedang duduk. "Hm? Ini dia yang aku butuhkan." Pisco mengambil botol berisi oli.

Kucing itu semakin mendekat. Pisco bersiap melemparkan botol itu ke arahnya. 'CITTTTTT' mobil berbelok, dan Pisco hampir jatuh dari mobil. Pisco langsung jongkok untuk menahan badannya supaya tidak terguncang. Kucing itu sudah hampir dekat, mungkin kalau loncat sudah berhasil mengigit mobil bagian belakang. Pisco langsung melemparnya, bersamaan dengan terlemparnya botol itu, Pisco sudah membidik dengan handgun. Botol itu melayang di depan mata kucing itu, Pisco langsung meluncurkan tembakan. 'DHUURRR' ledakan besar berhasil mengenai wajahnya.

Beberapa lama Pisco terdiam, kucing itu tidak lagi mengejar. "Huff... Sepertinya sudah selesai," lega Pisco. Dia kembali duduk dengan melonjorkan kedua kakinya.

Mobil perlahan menurunkan kecepatannya setelah keluar dari kota. Uni menghentikan mobilnya, dan Pisco langsung turun menuju pintu mobil yang sudah dibukakan oleh Elliot.

"Kau baik-baik saja, Iky?"

"Baik-baik saja, tapi kakiku tidak terlalu "baik-baik saja"."

"Kalau begitu, sebaiknya kau istirahat saja, Pisco."

"Memang itu yang aku perlukan." Pisco menyandarkan kepalanya ke kaca.

"Kalau kau tidur seperti itu, nanti badanmu pegal-pegal. Sebaiknya kau berbaring saja." Elliot menepuk pelan pahanya, menandakan kalau dia meminta kepala Pisco disandarkan ke sana.

"Apakah tidak apa-apa?"

"Hmm... Uni, apakah tidak apa-apa?"

"Ti-Tidak apa-apa! Kalau itu demi kesehatan Iky!"

"Kau yakin, Uni?"

"Iya, tidak apa-apa, sebaiknya jangan memaksakan dirimu, Iky!"

"Baiklah, terima kasih." Pisco pun tidur di paha Elliot yang sedang duduk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro