LAST CHAPTER: DARK IN WORLD

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mereka bertiga sekarang berada di dalam hutan, berjalan menuju kota Jite. Tiba-tiba Pisco menghentikan langkahnya.

"Uni, ada yang ingin aku bicarakan."

"Apa?"

"Mungkin sebaiknya kau pergi sendiri saja."

"A-Apa maksudmu?"

"Kau tahu kan... Aku ini adalah pembunuh, terlebih lagi aku sudah membunuh ibumu. Aku mungkin tidak bisa hidup ber..."

"Jangan pergi! Aku tidak peduli masa lalu Iky! Aku mencintamu, sangat mencintaimu! Maka dari itu, hiduplah bersamaku! Aku ingin selalu bersama denganmu sampai akhir hayatku!"

"Ta-Tapi..."

"Pisco, jangan membuat wanita bersedih, itu tidak baik."

"Elliot..."

"Kalian berdua hiduplah dengan bahagia. Aku mendukung kalian."

"Eh? Apa maksudmu, Eli?"

"Tentu saja aku tidak akan ikut, karena mungkin saat sampai di kota sana aku pasti akan dibedah. Tapi, tenang saja, aku bisa menjaga diriku. Jadi, tolong jaga Uni, Pisco."

"Eli, hati-hati, ya."

"Baik. Selamat tinggal."

"Bukan selamat tinggal, tapi sampai jumpa," balas Pisco.

"Iya, sampai jumpa." Elliot berbalik dan pergi meninggalkan mereka berdua.

"Iky, mungkin sebaiknya kita temani Eli."

"Tidak, dia sudah mempercayakan kau kepadaku. Lagipula, mungkin sebaiknya kau temui dulu ayahmu, lalu kita susul Elliot."

Uni tersenyum bahagia. "Iya."

Mereka berjalan ke depan, menuju gerbang yang dijaga oleh dua tentara. Setelah mereka melihat Pisco dan Uni, mereka menodongkan senjata mereka.

"Sambutan yang bagus."

"Siapa kalian?"

"A-Aku Uni Tels, anak professor Tonki, dan dia..."

"Oh, Uni. Tapi, kenapa kau bersama pria itu, bukan dengan polisi yang menjemputmu?"

"Polisi itu sudah tewas, dan dia mempercayakan tugas itu kepadaku."

"Kalau begitu, kalian ikut aku. Professor sudah menunggumu."

Gerbang besi besar dibuka dari dalam atas perintah penjaga luar. Setelah masuk, mereka bisa melihat kota yang sudah lama mereka tidak lihat. Di sini kota terlihat sangat bagus, tidak berlumut atau hancur. Terlihat seperti kota biasa, hanya saja jarak kota dengan gerbang cukup jauh, jadi sekarang mereka hanya bisa melihat suasana gedung dan perumahan dari jauh. Mereka dibawa ke arah lain, bukan ke kota yang mereka lihat.

Penjaga itu membawa mereka ke rumah kecil yang hampir dekat dengan dinding gerbang tinggi ini. Rumah itu terlihat sangat sederhana, dan kata penjaga, itu adalah rumah professor Tonki.

"Uni, kau baik-baik saja?"

"Hanya saja... Aku sedikit gugup..."

"Sebaiknya kau rapihkan dulu rambutmu, biar enak dilihat."

"I-Iya!" Dia membenarkan poninya.

Sampailah mereka di depan pintu rumah itu. "Saya hanya bisa mengatar sampai sini."

"Baik, terima kasih." Lalu penjaga itu pergi. "Kau sudah siap?"

"Si-Siap!"

Pisco memutar kenop pintunya. Ruangan yang terlihat adalah mirip dengan ruang tamu, dan seorang pria berambut putih pendek, berpakaian lab berwarna putih, sedang duduk di sofa.

"A-Ayah..."

Pria itu membalik kepalanya. "U-Uni..."

"Ayah."

"Uni!" Mereka berlari dan berpelukan. "Ma-Maafkan aku Uni... Ayah membuatmu..."

"Tidak apa-apa, ayah. Aku baik-baik saja."

Mereka saling melepaskan rindu mereka, menangis dengan cukup keras dan berlinang air mata kebahagiaan. Setelah beberapa lama melepas rindu, mereka bertiga sekarang sudah duduk di sofa.

"Ayah, namanya Iky."

"Jadi, kau yang sudah menjaga Uni selama ini, terima kasih."

"I-Iya, sama-sama."

"Uni, sebaiknya kau mandi dulu. Baju gantinya biar aku ambilkan." Lalu pria itu pergi menuju ruang lain.

"Terima kasih, ayah." Pria itu pergi menuju ruang lain. "Iky, kau baik-baik saja?" Wajah Pisco terlihat seperti gugup.

"A-Aku sedikit gugup..."

"Kenapa tiba-tiba kau gugup? Seharusnya aku kan yang gugup."

"Aku gugup karena aku sudah berjanji akan hidup bersamamu, dan...dan karena kebetulan ayahmu ada... Mungkin aku bisa...bisa melamarmu..."

Wajah mereka memerah, lalu saling mempalingkan wajah. "I..."

"Uni, ini baju gantinya."

"Biar aku sendiri saja!" Uni langsung berlari mengambil baju ganti yang dipegang ayahnya, lalu pergi ke ruangan lain.

"Uni, kamar mandinya ada di pintu itu." Pria itu menunjuk pintu sebelah yang mau dimasuki Uni. Dengan cepat Uni memasuki ruang yang dimaksud ayahnya.

Pria itu kembali duduk ke sofa, sekarang dia ada di depan Pisco. "A-Anu... Professor Tonki. Ada yang ingin aku katakan..."

"Pisco, itu nama aslimu, kan?"

"Ke-Kenapa kau bisa tahu?"

"Aku kan yang menyuruhmu untuk membunuh istriku, wajar saja aku tahu."

"Jadi, kau yang memperkejakanku... Tapi kenapa?"

"Kau tahu sendiri, kan? Wanita itu adalah penjahat, aku tidak mau dia merasuki anak manisku."

"Begitu, ya... Oh iya, aku..."

"Pisco, aku berubah pikiran. Tolong jaga anakku."

"Apa maksudmu?"

"Aku akan mengurus kepergian kalian, aku sudah membeli rumah dan menyewa kapal laut untuk kalian."

"Tu-Tunggu dulu, apa maksud Anda?"

"Tidak ada waktu lagi, aku tidak mau anakku dalam..."

"Setidaknya jelaskan dulu kepadaku, apa yang terjadi!" Pria tua itu langsung diam dengan wajah kaget. "Ma-Maaf..."

"Tidak apa-apa, kurasa masih ada waktu... Kau mungkin tahu, kalau Uni memiliki penawar virus yang kubuat. Kalau mereka sampai mengetahui Uni sudah sampai di sini, mereka akan membedah Uni."

"Tu-Tunggu dulu, kalau begitu kenapa kau ingin membawa Uni kemari? Malah sampai menyuruh polisi menjemputnya?"

"Karena sebelumnya... aku mendukung mereka untuk membedah dan membuat obat penawar..."

"A-Apa maksudmu...? Kenapa harus sampai membedah Uni? Kau kan yang membuat obat penawar itu?!"

"Obat penawar itu akan bangkit kalau terkena darah."

"Kalau begitu, tinggal disuntikan!"

"Sayangnya, dari semua percobaan yang kulakukan, hanya Uni yang berhasil. Dan, termasuk dengan darahmu."

"Jadi, kau yang menyuntikku waktu itu?"

"Iya. Maaf... Mereka akan mengambil semua darah Uni dan menjadikan sebuah obat."

"Biarkan Uni yang memutuskan... Aku tidak keberatan kalau aku dibedah dan menjadi obat penawar, sebaiknya aku mati dan menjadi berguna untuk orang lain."

"Pi..." Tiba-tiba ada yang mendobrak pintu sampai daun pintunya hancur. Lalu muncul bom asap, bom asap itu adalah bom bius. Mereka berdua perlahan tertidur dan jatuh ke lantai.

***

Pisco sekarang sedang berada di dalam laut, bukan laut biasa, tapi laut pikirannya. Semakin lama dia semakin tenggelam ke dasar laut pikirannya. Dia mengingat semua yang terjadi saat bertemu Uni pertama kali. Pertemuan itu adalah sebuah takdir yang sangat membahagiakan Pisco, buktinya dia langsung tersenyum lebar saat mengingat itu. Bukan hanya itu, dia juga mengingat kenangan dia bersama dengan Uni. Ingatan yang menyenangkan itu satu-persatu muncul di depan Pisco. Lalu, sebuah kalimat yang tidak asing terdengar. "Jangan pergi! Aku tidak peduli masa lalu Iky! Aku mencintamu, sangat mencintaimu! Maka dari itu, hiduplah bersamaku! Aku ingin selalu bersama denganmu sampai akhir hayatku!"

"Hah!" Pisco berhasil membuka matanya, dia melihat sebuah langit ruangan yang asing baginya. "Aku dimana?"

"Kau sudah bangun, Pisco." Pisco melihat ke samping, tepatnya seorang pria berbadan besar, menggunakan jas lab, rambutnya hitam pendek, dan wajahnya terlihat sangar.

"Kau siapa?"

"Namaku Chris."

"Aku ada dimana?"

"Di rumah sakit. Professor Tonki pasti sudah menceritakan tentang kami."

"Jadi kalian yang ingin membedah kami?"

"Benar sekali. Tapi, kami membedah kalian bukan dengan maksud buruk. Tentu saja kami melakukan ini untuk menyelamatkan dunia dari virus itu. Maka dari itu, mari kita berkerja sama."

Pisco terdiam, dia mempalingkan wajahnya yang sedang terbaring. "Apa Uni baik-baik saja?"

"Dia masih tertidur. Tenang saja, pembedahan akan dilakukan kalau kalian sudah siap. Kami tidak akan memaksa kalian."

"Kalau begitu, lepaskan Uni."

"Kenapa?"

"Kau kan ingin membuat obat penawar, kurasa aku saja cukup. Aku tidak masalah dibedah, tapi biarkan Uni pergi."

"Sayangnya itu tidak bisa, karena kau hanya bisa menjadi penawar virus vampire saja."

Pisco langsung turun dari ranjang dan ingin menghajar wajah pri itu, tapi ternyata sudah ada yang menodongkan pistol di samping Pisco. Tepatnya sudah ada dua pria di samping Pisco. "Lepaskan Uni!"

"Sudah kubilang tidak bisa. Padahal kupikir kau bisa diajak bekerja sama, tapi aku salah. Ikat dia." Pria itu pun pergi.

Seorang pria masih menodongkan pistolnya, dan satu lagi menghampiri Pisco dari depan. Dia akan mengikat tangan Pisco. Tapi Pisco tidak diam, dia langsung memegang kedua tangan pria itu dan menariknya ke samping. Pria yang menodong pistol itu tidak menarik pelatuknya, karena rekannya dijadikan prisai. Pisco langsung menendang pria yang sedang dipegangnya, mereka berdua jatuh. Pistol yang dipegang pria itu jatuh ke lantai. Pisco langsung mengambil pistol itu, dan menembak kepala salah satu pria itu.

"Di mana ruang Uni?" tanya Pisco dengan wajah seram. Dia mendongkan pistol ke arah pria yang dibiarkan hidup.

"Bunuh saja aku."

"Baiklah." Pisco menarik pelatuknya, dan tepat mengenai kepala pria itu.

Lalu terdengar suara ribut di luar. Pisco langsung keluar dari ruangan ini. Dia berjalan dengan hati-hati, mungkin akan ada musuh lain. Pisco berjalan dengan waspada di lorong ini. Saat ada musuh yang terlihat, Pisco tidak segan-segan langsung menembakinya.

Sudah tujuh musuh yang dia tembak mati, dan peluru itu sudah habis. Sekarang dia tidak punya lagi amunisi dan senjata. Dan sekarang dia dalam situasi buruk, Pisco sedang bersembunyi di balik pintu ruang operasi lain. Ada dua musuh bersenjata di luar. Mereka berjarak cukup jauh, jadi Pisco bisa menangkap salah satunya dulu dari belakang. Teman yang di depan menyadari teman di belakang dalam bahaya, Pisco langsung mengarahkan tangan musuh yang memegang pistol ini ke arah depan, berhasil mengenai tepat kepala musuh di depan. Setelah itu, Pisco mencengkram kuat tangan musuh, karena itu pistolnya jatuh. Lalu Pisco menjatuhkan musuhnya, kemudian mengunci kedua tangannya di punggungnya.

"Dimana wanita itu?!"

"Wa-Wanita a..." Pisco membenturkan kepala musuhnya dengan kesal. Hidung dan dahi pun berdarah.

"Dimana!!?"

"Bu-Bunuh sa..." Sekali lagi Pisco membenturkan kepala musuhnya dengan keras.

"Kau tidak bisa mati, sebelum memberitahukan letaknya!"

"Tidak apa-apa, nanti teman..." Kali ini benturannya lebih keras, dan membuat dia pingsan atau mungkin mati.

Terdengar suara ribut di belakang Pisco. Pisco hendak berlari, tapi dia melihat sebuah granat di saku musuh yang tadi ditembak. Pisco langsung mengambilnya dan melepaskan tali sepatu mayat itu. Kemudian Pisco memasang perangkap dengan mengikat ujung tali sepatu itu ke penarik granat, granat itu disimpan di bawah mayat. Pisco mengulur ujung satunya lagi, kebetulan tali sepatunya cukup panjang dan warnanya hitam, jadi cukup mendukung dengan penerangan di lorong ini. Sekarang Pisco bersembunyi di belokan, jongkok sambil mengintip tempat jebakannya. Tak lama datang sekelompok musuh bersenjata, mereka langsung berhenti untuk memastikan teman-teman yang tergeletak itu. Saat semuanya berfokus ke temannya yang tergeletak, Pisco langsung menarik tali sepatu dan meledak.

Setelah itu, terdengar suara ribut dimana-mana, dari suaranya mungkin mereka semua berlari ke arah ledakan ini. Pisco langsung berbalik dan berlari. Untungnya tidak ada musuh, jadi Pisco bisa dengan tenang memasuki pintu dua di depannya. Sekarang Pisco berada di ruang untuk naik, dia juga bisa memilih untuk turun. Pisco hendak berlari menuju tangga ke atas, tapi seseorang yang terluka parah di bawah membuat dia memilih untuk ke bawah. Orang itu adalah professor Tonki.

"Professor!" Pisco berhasil menahan tubuhnya sebelum jatuh.

"Pi...Pisco... ini..." Dia menyerahkan kunci dan sebuah kertas. "Ini... kunci u..."

"Professor jangan banyak bicara, biar aku..."

"Ti...Tidak ada... waktu lagi... cepat... selamatkan... Uni... Dia ada... di lantai atas... ruang 408..." Professor itu mengeluarkan banyak darah di mulutnya. "Aku... serah...kan pa...damu..." Lalu dahi professor mendarat ke dada Pisco.

Pisco hanya bisa menundukkan kepala, lalu memposisikan professor terletang, dan menutukan matanya. "Serahkan padaku, professor." Pisco kembali berdiri, dan langsung berlari menaiki tangga.

Dia membuka pintu itu dengan keras. Sekarang Pisco bisa melihat lorong yang penuh dengan pintu kamar, mulai dari angka 400. Dan ada seseorang yang tidak asing, lebih tepatnya orang yang baru dia ketahui. Orang itu adalah Chris, dan dia sedang memegangi sebuah katana.

"Sudah kuduga, kau yang membuat keributan ini."

"Dimana Uni?!"

"Langkahi dulu mayatku!" Dia langsung berlari ke arah Pisco.

Pisco hanya diam, dan Chris mengangkat katananya tinggi. Setelah dekat, dia mengayunkan katanannya ke bawah. Entah beruntung atau sudah diperhitungkan, Pisco berhasil menahan katananya dengan kedua telapak tangan disatukan. Lalu Pisco menendangnya, dan katana itu berhasil direbut. Pisco hendak menusuk perut Chris, tapi Chris sudah siap dengan pistol yang dekat dengan dahi Pisco.

"Sebaiknya kau kembali ke kamarmu dengan tenang."

"Maaf, tapi aku harus menjemput Uni," jawab Pisco dengan tenang.

"Kau tidak melihat situasinya?"

"Seharusnya aku yang bilang begitu."

Tiba-tiba seseorang menusukkan pisau ke leher Chris, darah pun keluar dengan banyak. Dan seseorang itu adalah Uni.

"Sepertinya aku mendidikmu kurang baik."

"Seharusnya kau bersyukur aku seperti ini, kalau tidak tadi kau pasti mati."

"Mati? Kalau kau tadi tidak membunuhnya aku sudah memotong lengannya, dan tetap tidak mati."

"Jadi, kau tidak senang aku datang?" tanyanya dengan nada kesal.

"Tidak, aku lebih senang lagi saat aku memotong tangannya dan kau baru datang."

"Jadi, Iky ingin jadi pahlawan?"

"Tentu saja."

Mereka berdua langsung diam, menatap dengan senyum kecil. Lalu mata Uni berkaca-kaca, dan dengan cepat dia lari memeluk Pisco.

"Iky!"

"Jangan berteriak, telingaku masih normal."

"Iky! Iky!" Pisco langsung mengelus kepalanya.

"Maaf, aku terlambat." Lalu datang suara ribut di belakang mereka, menghancurkan suasana mereka. "Sebaiknya kita pergi."

"Iya. Tapi, kemana?"

"Kita pergi saja!" Pisco memegang tangan Uni, dan lari.

Mereka berlari ke depan, lalu memasuki sebuah ruangan. Dengan cepat Pisco menghalangi pintu dengan lemari yang penuh dengan obat yang kebetulan berada di samping pintu, jadi Pisco hanya mendorong lemari itu sampai menutupi daun pintu. Setelah itu Pisco mengumpulkan semua selimut, dan gorden yang ada. Pisco menyambung semuanya, lalu mengikatnya ke kaki ranjang pasien. Setelah selesai, Pisco mengeluarkan ujung satunya lagi ke luar, lewar jendela yang cukup besar.

Pisco yang turun terlebih dahulu, lalu disusul Uni. Saat di luar, mereka bisa melihat hutan di depan. Suara ribut semakin terdengar, dan mereka langsung berlari ke depan. Terus berlari melewati pohon-pohon dan udara dingin malam. Awalnya di sini sepi, tapi berkat zombie-zombie dan vampire-vampire yang datang, di sini seperti sedang ada lomba marathon.

Mereka mempercepat lari mereka. Setelah berlari cukup jauh dan sampilah mereka di jurang. Jurang ini mengarah ke laut.

"Bagaimana ini, Iky?"

"Hmm..." Pisco berulang-ulang melihat ke bawah, dan hutan. Mereka sudah dikepung oleh mayat-mayat hidup. "Kita loncat."

"A-Apa?!"

"Tidak ada pilihan lain."

Uni melihat ke kerumunan warga mayat hidup itu, lalu melihat ke bawah jurang. "Selama aku bersama denganmu, aku akan pergi kemana saja." Uni langsung memeluk Pisco.

Mereka berdua mundur dan menjatuhkan diri mereka ke jurang itu.

***

Di sebuah jalan di kota yang sangat jauh sekali dari tempat Pisco dan Uni jatuh ke jurang, seorang pria berjaket hitam, celana abu-abu, rambut hitam pendek acak-acak, dan matanya biru. Dia sedang dihadapkan oleh kerumunan warga mayat hidup.

"Pakaianku sudah dicuri, dokumen-dokumennya juga, hewan peliharaanku dibunuh, dan sekarang aku harus menghadapi warga haus darah dan daging saat aku mau pergi kencan... Benar-benar aku ini sial." Mereka menyadari pria itu, dan berlari untuk menyerangnnya. "Sebaiknya aku segera menyelesaikan ini supaya tidak telat dan dimarahi oleh dia!"

Secara cepat dia meloncat tinggi. Saat mau mendarat, dia mengarahkan tinjunya ke tanah. Akibat itu, tanah yang itu hancur dan melempar mayat-mayat hidup itu. Masih ada yang datang lagi, tiga Fang. Bagaikan kilat, pria itu sudah ada di depan Fang dan langsung meninju Fang itu. Fang itu terlempar jauh dan saat menabrak tembok rumah, tembok itu hancur.

"Siapa selanjutnya?" Pria itu melihat ke arah dua Fang itu, dia memasang senyum lebar.

#####################################################################################

Mohon maaf kalau ceritanya lebih sedikit, dan udah tamat. Ide-nya sudah buntu, tapi untuk season 3 udah ada. Enggak tahu dengan pasti kapan season 3-nya beres, tapi insyaallah diusahakan beres secepat mungkin. Terima kasih sudah membaca dan mengikuti ceritaku ini sampai sekarang, dan maaf kuucapkan sekali lagi. Salam sejah

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro