Chapter 6 - "Memperdaya"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Orang itu dengan cekatan memeriksa ponsel dari korban kecelakaan yang baru saja dibawanya beberapa saat yang lalu. Masalahnya, korban yang diselamatkannya itu sama sekali tidak membawa kartu pengenal. Semua pesan dihapusnya, menyisakan kontak telepon yang jumlahnya sangat banyak, rata-rata adalah perempuan.

Tangan itu pun akhirnya berhenti bergerak saat dilihatnya tulisan yang sedaritadi dicarinya.

妈妈; 'Ibu' dalam bahasa kanji.

Segera saja, orang itu menekan tombol hijau, segera menghubungi kontak itu. Dering tanda kontak sedang dihubungi berbunyi sebanyak lima kali sebelum orang itu akhirnya mengangkat telepon.

"Halo?" Suara wanita terdengar dari seberang telepon itu.

"Uhm,"

"... Ini siapa?"

"Bisakah anda datang ke Rumah sakit xx sekarang? Putra anda-"

Wanita itu memotong, "Apa yang terjadi dengannya?!" Terdengar suara panik dari seberang sana.

"Putra anda tertabrak dan sekarang sedang diperiksa."

"Aku akan datang sekarang, aku akan datang."

Selanjutnya, telepon dimatikan. Orang itu lagi-lagi menghela nafas lelah, dia melihat jam yang berada di ujung lorong sana. Meskipun jauh, dia dapat melihat jelas—jam tujuh malam—sepertinya dia akan terlambat pulang lagi hari ini.

Orang itu memutuskan untuk langsung pulang begitu orangtua laki-laki tadi datang ke rumah sakit. Jadi, akan ada orang yang menjaga anak itu nanti.

Hari ini, seharusnya dia pulang jam lima sore, tetapi diundur menjadi pukul enam karena tiba-tiba saja tamu penting datang ke kantornya, dan atasannya memberikannya tugas untuk menangani tamu itu.

Tapi sepertinya, pulang terlambat kali ini sedikit tak merugikannya. Malahan, tidak merugikannya, dia bisa menyelamatkan anak itu karena jam pulangnya diundur, kan?

Orang itu memincingkan matanya lantaran melihat seseorang mengintip dari dalam kamar dengan mata menyipit. Matanya berwarna hitam pekat tanpa ada bagian putih sama sekali. Kulitnya putih pucat dan orang itu samar-samar dapat mendengar suara kekehan kecil dari arahnya.

Melihat seseorang melihatnya, tiba-tiba saja dia melangkah maju menembusi pintu tadi, dia berlari kecil menuju kursi orang itu, duduk di sampingnya dan mengayunkan kakinya. Sesekali dia terkekeh, suaranya menggema-gema di pendengaran orang itu. Tapi orang itu tak peduli, dia tetap duduk disana dan pandangannya menatap ke arah langit-langit, dimana banyak sekali makhluk yang menatapnya dalam keadaan terbalik.

Banyak orang yang lalu lalang melewati orang itu, bersama makhluk-makhluk yang sebenarnya tak mereka lihat.

"Mr.Ootonashi?"

Akhirnya suara itu terdengar, membuat mata orang itu terbelalak melihat penampilan pemimpinnya yang kini sudah berbeda dari apa yang dilihat biasanya. Kewibawaannya hilang digantikan pucat yang tergambar jelas diwajahnya.

"Mrs.Satohara?"

Satohara berjalan ke arah Yuichi—ayah Yume dan segera memberikan pertanyaan bertubi-tubi padanya. "Dimana anakku?"

Yuichi menunjuk ruangan di depannya dengan sedikit ragu. Satohara beranjak dan membuka pintu tanpa sedikitpun ragu, sampai akhirnya seorang dokter memintanya menutup pintu kembali, dan Satohara sudah pingsan di tempat. Beruntung ada beberapa suster yang lewat dan segera menopang Satohara.

Yuichi kembali menghela nafas panjang. Dia pasti akan terlambat pulang hari ini.

*

Yume memutuskan untuk datang ke sekolah setelah menenangkan diri selama tiga hari di rumahnya—meskipun sama sekali tidak ada kemajuan yang menjanjikan. Yume bisa melihat bagaimana tatapan para arwah yang sepertinya begitu tertarik dengannya. Ah, dipikir-pikir itu sama sekali bukan ingatan yang membahagiakan.

Untuk pertama kalinya, Yume mendapati tempat duduk disampingnya kosong. Padahal, Akihito Yuki adalah orang yang disiplin dan nyaris tidak pernah terlambat. Dia datang pagi-pagi dan dia selalu ada di mejanya terlebih dahulu sebelum Yume datang. Fenomenal sekali.

Padahal Yume berpikir untuk meminta bantuannya. Alasan mengapa Yume datang ke sekolah hari ini, hanya karena itu. Yume benar-benar butuh bantuannya agar tidak dikejar-kejar oleh arwah-arwah yang menginginkan tubuh Yume sebagai tempat mereka kembali melanjutkan hidup mereka yang telah usai.

Lega sekali melihat Yuki berada di ambang pintu saat para arwah mencoba mendekatinya. Sungguh. Sangat melegakan. Satu persatu arwah menghilang saat dia melangkah masuk dan berjalan melewati Yume, dan dia duduk di bangkunya tanpa menyapa seorangpun disini.

Tunggu, ini terlalu mencurigakan.

Yume memandang sekitarnya. Ini sungguh aneh, tidak ada seorangpun yang hendak menyapa Akihito Yuki? Yume ingin sekali melihat lelaki disampingnya dan mempertanyakan hal itu, namun rasa gengsi Yume lebih tinggi dibanding segalanya. Yume menyesali perbuatannya. Seharusnya Yume berpura-pura ramah padanya, jadi Akihito Yuki pasti mau membantunya. Apalagi Akihito Yuki adalah orang yang baik, Yume yakin dia pasti bisa membantunya—setidaknya sampai bulan depan, sampai semuanya aman.

Lalu Yume menyadari sesuatu, Yuki tidak membawa tasnya. Yume berpura-pura melihat ke belakang sekilas, dan dugaannya tepat—Yuki memang tidak membawa tasnya.

Yume berpikir untuk berbagi bukunya nanti, mungkin itu bisa menjadi kesempatan baginya untuk meminta bantuan dari lelaki itu. Yume merasa perlu melakukan pembalasan budi, dan Yume tahu, berbagi buku tidak akan membuat semuanya setimpal nantinya.

Sampai bel tanda masuk berbunyi, Yume masih belum menemukan jawaban. Dia masih bingung, mengapa tidak ada seorangpun yang menyapa dan mengerubungi Yuki? Jangankan menyapa, melirik ke arahnya saja tidak.

Masak sih, semuanya berubah drastis begitu dia tidak masuk sekolah sehari?

Yume menatap ke arahnya dengan tatapan bingung, saat Yuki berbalik menatapnya, Yume langsung buru-buru memalingkan pandangannya, pura-pura tak melihatnya.

Walikelasnya masuk bertepatan dengan itu. Yume sempat bingung saat mengingat walikelasnya tidak masuk di jam pertama hari ini, dan semuanya terjawab saat Yume melihat walikelasnya menuliskan sesuatu ke sudut kanan dengan kapur. Yume tidak peduli, lagipula Yume sama sekali tidak kenal dengan seorangpun di kelasnya, jadi Yume memutuskan untuk tidak melihat.

Sampai akhirnya walikelasnya berjalan ke depan, lalu berdiri di depan meja guru. Wajahnya terlihat begitu lesu, lalu dia membuka suara.

"Teman kalian—Akihito Yuki, kemarin Jumat mengalami kecelakaan. Sekarang dia dirawat di rumah sakit xx dan keadaannya masih kritis. Pulang sekolah nanti kita sekelas akan datang menjenguknya ke sana."

Seisi kelas heboh, semuanya membincangkan dengan penuh tanda tanya dan kebingungan. Sementara Yume terdiam di bangkunya, tubuhnya kaku dan wajahnya pucat pasi. Keringat dingin muncul dari pelipisnya.

Oh, Yaampun.

Jadi Yuki yang ada disampingnya itu—Arwahnya?

Yuki sudah matikah? Oh yaampun, bagaimana nasibnya selama sebulan ke depan ini?!

Memang, Yume memang egois hanya mementingkan dirinya sendiri begitu mengetahui kenyataan itu. Yume dan Yuki sama sekali tak saling mengenal. Yume hanya mengenalnya sebatas nama, selain itu juga karena ketenarannya yang sudah dikenal dan didengarnya.

Arwahnya ada disampingnya saat ini, duduk dan pandangannya melihat ke depan.

Tapi wajah Yuki sangat berbeda dari biasanya. Satu hal yang Yume tahu—Yuki tidak selalu tersenyum seperti yang dipikirkannya.

Walikelasnya meninggalkan kelas dalam keadaan ricuh, beberapa menit lagi dipastikan guru mata pelajaran hari ini akan datang. Yume memperhatikan sudut kanan bawah yang ada di papan tulis, nama Yuki tertulis dengan begitu rapinya. Padahal tadi pagi, namanya sendiri terpampang disana dengan jelasnya. Dan sekarang, nama itu berganti menjadi nama yang paling tidak ingin Yume lihat terpampang disana.

秋人 雪; Akihito Yuki

Masih mending kalau dia hanya tidak datang satu hari, Yume sama sekali tidak punya harapan lagi. Apalagi dia sudah melihat langsung arwah Yuki disampingnya. Oh haruskah lelaki itu? Haruskah?

"Yuki masuk rumah sakit?!"

Yume tanpa sengaja mendengar perbincangan dari belakang, bahkan tanpa sadar Yume menajamkan pendengarannya.

"Padahal kemarin Jumat dia masih disini yah, waktu memang tidak terduga."

"Ahh, aku belum sempat meminjam DVD game terbarunya."

Semua nada terdengar menyayangkan, bukannya sedih. Hal itu membuat Yume turut bersimpati juga dengan Yuki. Dia yakin Yuki mendengar langsung perkataan yang dilontarkan mereka. Tapi sayangnya, Yuki tidak dapat melawan perkataan mereka, sebab Yuki dan mereka kini sudah berada di dunia yang berbeda.

.

.

.

Seharusnya Yume menolak ikut saja, sebab Yume masih harus membawa adik-adiknya pulang. Namun apa daya, dirinya sangat ingin tahu apa yang terjadi dengan lelaki yang 'katanya' adalah pelindungnya. Yume masih ingat bagaimana dia memohon pada walikelasnya untuk mengajak kedua adik kembarnya serta, dan usahanya tidak sia-sia sebab sekarang dia dan adik-adik kembarnya sudah berada di depan ruangan Yuki.

Beberapa orang memuji kelucuan si kembar Ootonashi, Momo tak ragu mengeluarkan semua kegemasannya di sepanjang kereta api tadi. Sedangkan Akato sedaritadi tak berhenti mencari-cari keberadaan lelaki yang menyelamatkan mereka beberapa waktu lalu. Yume sendiri berkonsentrasi untuk tidak disentuh oleh para arwah-arwah yang hendak menjangkaunya dari langit-langit kereta. Yuki sudah tidak ada di sana, membuat arwah-arwah itu punya ruang bebas.

"Imut sekali!" pekik Shinozuka sambil mencubit pelan wajah Momo.

Momo yang sedaritadi meloncat-loncat antusias pun mengandahkan kepalanya ke atas, lalu memekik heboh. "Onee-San, ada yang memainkan rambutmu!"

"Hah? Rambut?" Shinozuka meraba-raba rambutnya, lalu tersenyum sambil mencubit kecil kembali pipi Momo. "Mau membohongi kakak ya? Tidak akan bisa, sayang."

"Tapi Momo tidak bo-"

Yume langsung menutup mulut Momo dengan telapak tangannya. Sedaritadi Yume berdebar kencang, memang tidak ada seorangpun yang bisa melihat makhluk yang sedang memainkan rambut Shinozuka tadi, tapi mereka bertiga melihatnya. Arwah dengan sebelah tangan tanpa kaki dan melayang-layang di udara-lah yang melakukannya tadi.

"Yuk, kita masuk."

"Permisi," sahut mereka semua bersamaan sambil membuka pintunya pelan-pelan.

Terlihat Akihito Yuki berbaring di atas tempat tidur, dan banyak perban terbungkus di bagian kepala, leher dan kakinya. Ada selang-selang infus dan peralatan rumit yang terpasang di tubuh Yuki. Yume diam-diam bernafas lega saat melihat garis naik turun tanda masih ada kehidupan di raga itu. Kalau Yuki belum mati, lantas arwahnya tadi itu ..., apa? Yume pun memperhatikan kamarnya dari langit-langit hingga lantai keramik, semuanya dominasi putih. Ada pula bilik, lemari, televisi, kulkas kecil, air conditioner, sofa-sofa dan benda lainnya.

Ichisaki sebagai perwakilan kelas meletakan buah yang dibungkus plastic warp di atas nakas, mereka berbincang-bincang dengan Yuki yang tengah berbaring di atas ranjang. Beruntung kamar yang diinap Yuki adalah kamar VVIP yang luas, sehingga bisa menampung seisi kelas itu. Yume pun sadar, ada beberapa orang yang mengagumi kamar itu—mereka mungkin tidak benar-benar tulus berteman dengan Yuki. Yume bisa menyimpulkan semua itu lewat bisikan-bisikan yang mereka katakan.

"Aku tidak tahu kalau Yuki sekaya ini."

"Aku sudah tahu. Makanya, kalau dia bangun nanti, segeralah berteman dengannya. Dia orangnya tidak pemilih, sama siapapun, dia akan berteman dengan mereka."

"Kau dekat dengannya tanpa mengajakku!"

Ingin sekali Yume mengumpat kepada mereka, namun tidak punya keberanian sebesar itu. Yume tidak seberani itu. Rupanya, tidak semua dari mereka yang berteman dengan Yuki karena benar-benar ingin berteman dengannya. Bagaimana bisa mereka mengatakan hal itu sementara Yuki dalam masa kritis dan bisa saja tidak bangun? Tidak ada yang tahu. Yume bahkan sempat berpikir bahwa bocah-bocah ini pastinya menganggap manusia selalu berhasil sadar dari masa krisisnya. Tidak masuk akal.

Tiba-tiba saja Momo dan Akato berceloteh ria. "Nii-San?!"

Yume terbelalak saat melihat Momo dan Akato berlari ke arah ranjang dan mengoyang-goyangkan tubuh Yuki, dan secepatnya Yume menarik keduanya menjauh dari sana. "Apa yang kalian berdua lakukan?!"

"Membangunkan Nii-San. Mengapa dia tidur?" Tanpa Momo dengan polosnya.

Yume sama sekali tak bisa menjelaskan apapun pada anak-anak itu, sungguh, mereka masih polos. Apa yang Yume jelaskan nanti pun, sama sekali tak akan bisa dimengerti oleh anak seusia Akato dan Momo, Yume yakin akan hal itu.

"Memangnya mengapa kalian ingin membangunkan Yuki?" tanya Ichisaki kepada si kembar.

"Oh~ Jadi nama Kakak itu Yuki-Nii?"

Akato nampak antusias. Yume sendiri sangat jarang melihat Akato seantusias itu. Akato biasanya hanya nampak sebagai sosok yang kalem bagi Yume. Saat menunggu salju setiap pagipun, Akato tidak pernah seantusias itu. Diam-diam, Yume memikirkan apa yang sebenarnya membuat kedua saudara kembarnya sesenang itu.

Setengah jam telah berlalu, ada beberapa orang yang sudah pulang. Akato dan Momo bahkan sudah tertidur di sofa, tapi Yume masih saja enggan hendak pulang. Yume tidak rela meninggalkan tempat ini, Yume merasa nyaman. Sejak awal dia masuk ke dalam ruangan yang sama dengan Yuki, arwah-arwah yang mengintip sama sekali tidak berani mendekat. Bahkan disaat orang terakhir—Takawada hendak pulang.

"Hei, Ootonashi, aku pulang dulu," ujarnya sebelum menutup pintu kamar Yuki dengan ragu. "Erm, mau ke stasiun bersama?" tanya Takawada dengan bahasa formal.

Yume mengernyit, Takawada bahkan tidak pernah berbicara dengan Yume. Yah, hanya formalitas bagi lelaki gentle yang menawarkan diri untuk membawa gadis ke stasiun. Bagaimanapun juga, Ootonashi yang suram itu jugalah perempuan. Dan dalam hati terdalam, dia tidak berharap Yume akan menerima tawarannya.

"Ah, t-tidak perlu," Yume menunduk. "Aku akan dijemput," balasnya dengan suara yang kecil.

Takawada menutup pintu separuh, "Kalau begitu, aku pulang dulu."

Yume mengangguk cepat, sebelum akhirnya menghela nafas panjang saat pintu telah tertutup dan suara langkah kaki terdengar menjauh. Yume tidak sadar bahwa dia menahan nafas sedaritadi. Diperhatikannya kedua adik kembarnya, lalu memperhatikan sekitarnya, berharap bisa bertemu dengan Arwah Yuki dan mulai membincangkan keinginannya.

Tapi setelah melihat langit-langit sekian lamanya, hanya wajah tanpa mata yang menatapnya dari langit-langit. Ada yang merangkak di dinding dengan kulit putih pucatnya dan menatap lurus ke Yume, seperti menunggu Yume lengah. Yume bergidik ngeri, tapi dia tahu bahwa dia aman—yah setidaknya aman jika ada tubuh Yuki di sebelahnya.

"Yuki-Nii!"

Terdengar suara Momo menjerit kegirangan, membuat Yume mengalihkan pandangannya. Bola matanya membulat saat melihat seseorang duduk di sofa yang sama dengan dua adik kembarnya.

Yuki berbalik, membalas tatapan Yume yang kini melihatnya dengan mata membulat sempurna. Wajahnya tak kalah kagetnya dengan Yume.

"Kalian... bisa melihatku?"

***TBC***

8 Mei 2016, Minggu

a/n

Hai, semua! Maaf kalau jadwal update minggu ini rada hancur. Hehe.

Semoga DN ga panjang-panjang amat, soalnya banyak yang kayaknya nggak suka horror ya? Hahaha.

Yang besok UN, FIGHTING YEA, DEK! Semoga nilainya bagus dan memuaskaaan~

Salam, Cindyana H

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro