Chapter 7 - "Topeng"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

YUKI

Sedaritadi Ootonashi hanya diam, berbeda dengan kedua adik-adiknya yang terus mengajakku berbicara. Aku sempat ragu bahwa hanya adik kembarnya yang bisa melihatku. Namun pemikiran itu hilang begitu saja saat kulihat Ootonashi menatapku ragu dari sudut matanya. Dia masih belum juga beranjak dari tempat duduknya yang ada di samping tempat tidur dimana aku tertidur.

"Yuki-Nii juga punya kembaran yaa?" tanya Akato sambil terkikik geli, sedangkan Momo menatapku yang ada di atas tempat tidur dan yang ada di depannya bergantian.

Aku tak bisa menjawab apapun selain senyuman tipis. Ada banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada mereka, tapi aku tidak tahu harus memulainya darimana. Maksudku Ootonashi—yang sering disebut-sebut suram itu ternyata—bisa melihat sosok yang tak kasat mata?

Akan kuceritakan sedikit, selama dua hari ini aku bolak-balik mengelilingi rumah dan rumah sakit. Aku memanggil Ihana-San dan Matsugawa-San, namun tidak ada seorangpun yang mempedulikanku. Aku masuk ke kereta api dan menembusi orang-orang yang berpakaian casual tebal (kebetulan dua hari itu adalah weekend) dan aku tidak menduga bahwa aku sama sekali tidak berdesakan dengan orang-orang. Yang lebih mengerikannya lagi, ada banyak sekali makhluk-makhluk yang menertawakanku di setiap aku kebingungan mencari cara untuk kembali.

Saat tahu kenyataan bahwa aku berada di rumah sakit dalam keadaan krisis, aku panik. Jiwaku sudah keluar dari raganya. Lalu bagaimana bisa aku memperingatkan Otou-San dan Okaa-San untuk menjauh dari orang itu? Orang licik tak tahu diri itu? Aku yakin dia sengaja mencelakakanku agar rencananya berhasil. Mencelakakanku hanyalah permulaan dari rencananya, cepat atau lambat kedua orangtuaku akan dicelakakan olehnya dan saat itu juga rencananya akan berhasil.

Aku benar-benar putus harapan sejak kemarin saat menyadari kekalahan buruk ini. Tapi sekarang berbeda—seseorang rupanya bisa melihat keberadaanku, aku pasti bisa mengubah rencana busuknya.

"A-Akihito-Kun?"

Suara itulah yang pertama kali kudengar saat dia melangkah mendekat. Ini pertama kalinya dia memanggilku. Tidak, aku tidak bercanda. Inilah pertama kalinya aku dan Ootonashi berbicara.

"Uhm, kenapa?"

Ootonashi menatapku datar. "Kukira sebaiknya kau ikut denganku, daripada kau berkeliaran."

Aku tidak menyangka kata-katanya akan ..., sekasar ini.

Tapi setelah kupikir benar-benar, dengan ikutnya aku bersama Ootonashi, mungkin saja dia bisa membantuku, atau setidaknya aku tidak merasa tersesat disebuah dunia lain dimana tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaanku selain dirinya.

"Baiklah."

Maka dari itulah aku menjawab itu.

Saat kami pulang bersama pun, dia masih diam. Adik-adiknya masih berceloteh tentang kejadian waktu itu, tapi Ootonashi tampaknya tak mendengarkan kami, pandangannya masih lurus meskipun Momo dengan kerasnya mengucapkan terima kasih. Aku tidak ingin membuat Ootonashi merasa tidak nyaman.

"Stt, jangan beritahu siapa-siapa, oke?"

Dan mereka berdua menyanggupinya dengan anggukan kuat dan senyuman lebar mereka.

*

Saat Ootonashi dan adik kembarnya masuk ke dalam rumah mereka, kupikir aku harus mengikuti mereka, namun kenyataannya aku sama sekali tidak bisa menembusi dinding seperti yang kulakukan sebelumnya. Aku tahu kenyataan bahwa aku masih belum memiliki ragaku kembali, buktinya aku masih bisa melihat sosok-sosok lain yang dengan sengajanya menempelkan wajahnya di depan kaca jendela setiap rumah itu. Mereka semua nampak seperti pencuri yang menginginkan sebuah permata besar dalam rumah itu.

Aku pun ikut mendekatkan diri disana, dan tanpa diduga mereka semua mendorongku ke belakang. "Itu punyaku!" jerit mereka bergema-gema dan bersamaan.

Alisku mengernyit, kemudian aku memutuskan untuk terbang ke depan pintu saja. Aku kebingungan. Sungguh, aku mirip dengan anak anjing yang baru saja dibuang oleh pemiliknya. Tapi sungguh, aku bingung harus kemana, disinilah satu-satunya tempat yang bisa kupikirkan.

Kulihat Ootonashi membuka pintunya dan duduk di depan. Dia masih belum menganti seragamnya. "Aku lupa memberitahu kalau rumahku sudah dilindungi agar arwah-arwah tidak sembarangan masuk ke dalam. Mungkin kau harus menunggu Ayahku pulang, sebentar lagi dia akan pulang."

Santai sekali anak ini.

"Apa kau memang punya kelebihan untuk melihat hal-hal semacam ini?"

Ootonashi mengangguk. "Ya, dan berada di antara dua dunia seperti ini, benar-benar membuatku terlihat seperti orang sakit, benar kan?"

"Tidak juga," jawabku pendek.

"Kalau kau sering mendengar rumor aneh tentangku, percayalah, itu memang benar." Ootonashi mengelus tengkuknya. "Apa yang kau lakukan sampai bisa tertabrak seperti itu?"

Ini saatnya.

Tapi ..., apakah ini akan merepotkannya?

"Itu... kecerobohanku sendiri,"

Dan mengapa kau berbohong, Yuki?

"Aku masuk dulu," gumam Ootonashi sambil melirik makhluk-makhluk di belakangku, nampaknya mereka masih mencoba masuk meskipun sudah mendengar langsung bahwa rumah ini sudah diberi perlindungan. "Maaf, kurasa kau masih harus menunggu sebentar lagi. Ayahku pulang terlambat akhir-akhir ini." Dan begitulah, setelah itu Ootonashi masuk ke dalam usai menutup pintu tanpa suara.

"Kau masih begitu muda untuk meninggalkan dunia, huh?"

Aku berbalik kebelakang dan mendapati makhluk berwujud kakek-kakek menegurku. Kulihat sekitarku, mereka kembali beralih ke jendela tadi. Wujud-wujud mereka sebagian besar tak terbentuk, membuatku memperhatikan wujudku lagi dan sedikit lega saat melihatku masih seperti wujud ragaku.

"Apa mereka semua mengantri untuk meminta bantuan pada mereka?" tanyaku dengan sedikit penasaran.

"Kau baru saja mati, anak muda? Apa kau tidak tahu kalau mereka semua mengincar tubuh gadis itu?" Kakek itu menggelengkan kepalanya perihatin.

"Gadis barusan?" Aku sedikit terkejut juga saat mengetahui kenyataan itu. "Mengapa?"

"Kau tidak merasa perlindungan gadis itu melemah?"

Aku terdiam sejenak. "Untuk apa mereka mengincar tubuhnya?"

"Untuk apa? Kau bisa kembali hidup sebagai manusia dengan tubuhnya. Bukankah itu yang diinginkan kita semua?" Kakek itu berdecak sesekali.

Oh yaampun. Ootonashi.

"Sudah yah, aku harus kembali," ujar Kakek itu sambil terbang ke arah langit, menjauhiku.

"Kakek tidak ikut memperebutkannya?" tanyaku penasaran.

Perlahan, wujud Kakek itu menghilang dari pandanganku, namun aku masih dapat mendengar suaranya samar-samar. "Jiwaku sudah bosan berada di dunia ini."

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka kembali, memperlihatkan sosok seorang wanita yang memiliki wajah yang sedikit mirip dengan Ootonashi. Ada kemungkinan bahwa dia adalah Ibunya, apalagi setelah dia keluar dari rumah itu. Dia membawa kantong hitam besar dan berjalan ke arah tempat pembuangan sampah, bisa dipastikan itu adalah sekantong sampah. Aku mencoba memanggilnya, tapi tak diubrisnya panggilanku, membuatku mendapat penolakan sahutan kedua kalinya dari Ibu dan Anaknya. Miris.

"Ah, kau sudah pulang."

Aku melayang-layang dibelakang tubuh wanita itu. Sedangkan seorang laki-laki paruh baya menatap ke arahku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan. "Kau... mati?"

Wanita di depannya ini nampak kebingungan, beberapa kali dia berbalik ke belakang, namun tak menemukan apapun di belakangnya. "Kau berbicara dengan arwah, sayang?"

"Itu anak yang kutolong Jumat lalu." Laki-laki itu menunjuk ke arahku, lalu mengernyitkan keningnya dengan bingung. "Kau anaknya Satohara Haru, kan?"

Aku menerjap saat mendengar nama lengkap Okaa-San terpanggil. "Paman mengenal Ibuku?"

Paman itu hanya mengangguk. Saat menyadari bahwa dia juga bisa melihat hal-hal yang sama dengan Ootonashi, aku tiba-tiba saja mendapatkan kesimpulan entah darimana, di depanku ini adalah Ayahnya Ootonashi Yume.

"Siapa namamu, Nak?"

Aku dengan sedikit tergagap menjawab, "A-Akihito Yuki."

"Akihito Yuki?!"

Aku tidak tahu apa yang mereka kejutkan, mungkin karena marga keluargaku—Akihito terlalu dikenal oleh semua pengusaha di Jepang. Tentu saja, siapapun yang mendengar nama keluargaku, sudah pasti mengenal Ayahku.

"Iya, Ibuku menggunakan marganya sebagai namanya di dunia kerja. Marga kami Akihito."

Kuharap aku tidak salah membocorkan indetitasku pada orang-orang ini.

"Apa Yume yang membawamu kemari?" tanya Paman itu dengan sedikit penasaran. Aku mengangguk, lalu dia kembali bertanya. "Apa Yume sudah cerita soal 'pelindung'nya?"

Aku berpikir agak lama. Ootonashi sama sekali belum bercerita, kan? Tadi saja yang menceritakannya Kakek-kakek tadi. Akhirnya aku pun menggeleng, membuat Paman itu mendesah bingung.

"Dasar Yume. Sudah bawa pelindungnya kemari, malah dilantarin di luar," celetuk Paman itu sambil geleng-geleng kepala. "Aku akan buatkan penangkalnya untukmu, tunggu ya."

Mereka berdua bergegas masuk ke dalam rumah, terdengar seruan lucu yang bisa kutebak adalah suara Momo.

Ah... keluarga yang bahagia.

*

"Mana kutahu cara membuat menyangkalnya, Otou-San saja tidak pernah mengajariku." Ootonashi mengucapkannya dengan bibir mengerucut bete, apalagi sedaritadi Ayah dan Ibunya tak henti-hentinya mengomel padanya karena 'membiarkan tamunya terlantar di luar'.

"Setidaknya telepon aku untuk bertanya," balas Ayahnya. "Kau tahu kelakuanmu tadi seperti apa? Kau seperti sedang meletakan tamengmu di lantai disaat musuh di depanmu sudah mengarahkan pedangnya ke jantungmu."

Ootonashi hanya diam, kedua adik kembarnya berlari-larian mengelilingi mereka bertiga sambil sesekali tertawa cekikikan, entah karena sedang bermain atau melihat Kakaknya dimarahi seperti itu.

Suasana pun hening untuk beberapa saat. Aku sedaritadi belum mengerti soal 'pelindung' yang mereka katakan. Sudah sejam berlalu sejak aku masuk ke dalam rumah ini dan belum ada seorangpun yang menjelaskannya padaku.

"Yuki-Nii, kenapa diam?" tanya Akato dan Momo bersamaan.

Saat itu pula Ayahnya Ootonashi Yume beralih pandang ke arahku, aku punya firasat bahwa dia akan mulai menceritakan hal yang ingin kuketahui sejak tadi.

"Momo, Aka, Ayo Yume-Nee mandikan." Ootonashi pun bangkit membawa adik kembarnya menjauh dari ruang tamu, mungkin saja dia menyadari bahwa topik yang akan dibicarakan terlalu berat untuk diketahui oleh adik kembarnya.

"Akan kuceritakan sedikit hal padamu, Yuki-Kun. Kami sekeluarga memiliki kelebihan, panca indera kami lebih peka dibandingkan manusia biasa. Mata kami juga termasuk, itulah yang membuat kami dapat melihat makhluk tak kasat mata."

Panca indera?

Berarti—Ootonashi sering mendengar orang-orang menceritakan keburukannya? Pantas saja tadi dia berkata begitu.

"Kami bisa melihat dan mendengar apa yang seharusnya tidak kami tahu. Kami hidup di antara dua dunia. Belakangan ini, Yume bisa disentuh oleh mereka, hal yang seharusnya tidak terjadi padanya."

"Ah... saya mendengar dari salah satu arwah tadi tentang ini. Mereka ..., ingin mengambil alih tubuhnya?"

"Benar sekali. Yume bisa disentuh oleh mereka sampai usianya yang ke enambelas tahun, lima Januari nanti."

Aku berpikir keras, Ootonashi pasti akan sering keluar-masuk rumah mengingat bahwa dia akan mengikuti sekolah. Selama dia keluar dari zona amannya, apa dia akan baik-baik saja?

"Karena itu ..., kami sekeluarga mengharapkan bantuanmu, Yuki-Kun."

Eh?

"Tolong lindungi Yume."

"Ba-bagaimana?"

Aku bahkan tidak bisa melakukan apa-apa.

"Kau adalah pelindung yang diceritakan oleh Ayahku. Hanya kau yang bisa melindunginya, Yuki-Kun. Kau hanya perlu bersamanya setiap waktu, itu sudah cukup."

Lalu—bagaimana denganku?

"Kau hanya perlu menjaga Yume agar jangan sampai ada arwah yang menyentuh keningnya. Jangan. Itu adalah cara mereka mengambil alih tubuhnya."

Aku masih terdiam, meratapi ucapan-ucapan yang dikatakan oleh Ayahnya. Sungguh, aku masih belum bisa menalarkan perkataannya secara logika. Tapi, keadaanku membuktikan segalanya—bahwa hal yang tidak mungkin tengah kualami saat ini.

Semua ini terlalu tidak masuk akal.

"Yuki-Kun?"

"Ya, aku akan berusaha,"jawabku pada akhirnya.

"Terima kasih banyak." Ayahnya menunduk tanda terima kasih sedalam-dalamnya. Sungguh, aku belum pernah melihat oranglain berterima kasih padaku setulus itu.

Ini pertama kalinya.

*

"Apa saja yang Ayahku bicarakan?" tanya Ootonashi dengan sedikit penasaran. Saat ini dia memeluk bantal yang ada di ruang tamu, rambutnya diikat ke belakang membuatnya lebih fresh dibanding saat di sekolah—dengan rambut menjuntai ke bawah menutupi semua wajahnya saat dia menunduk.

"Tidak banyak," balasku sembari melemparkan senyuman tipis.

Kuperhatikan keningnya yang biasa tertutupi oleh poninya itu. Kali ini dia mengikat poninya ke atas.

Kening itu kalau disentuh bisa mengambil alih tubuhnya, eh?

Aku termenung cukup lama. Mungkin aku bisa mengambil alih tubuhnya untuk memperingatkan Otou-San dan Okaa-San tentang rencana kejahatan itu dan mengagalkan rencana orang itu.

Tapi segera saja pemikiran bodoh itu kutepis jauh-jauh.

Bisa berbahaya kalau ternyata aku tidak bisa mengembalikan tubuh itu ke Ootonashi.

"Akihito."

"Ya?" Aku langsung tersadar dari lamunanku begitu Ootonashi memanggilku. "Ada apa, Ootonashi?" Tanyaku sembari memperlihatkan senyuman khasku kepadanya.

"Bisa tolong hentikan itu?"

Alisku menekuk bingung, aku tidak mengerti apa yang dikatakannya. "Maksudmu?"

"Berhenti tersenyum di depanku." Ootonashi bangkit dari duduknya dan melempar bantal yang dipeluknya tadi ke sofa. "Mereka tidak melihatmu, jadi kau tidak perlu berpura-pura tersenyum."

DEG.

Tunggu.

Ootonashi tahu?

Tentang tindakanku selama ini?

"Kau tidak perlu tersenyum jika kau sedang merasa sedih, karena aku tidak akan memaksamu." Ootonashi berkacak pinggang. "Sudah dulu, aku mau tidur."

Dan Ootonashi meninggalkanku yang masih berdiri diam terpaku mendengar kata-katanya. Kata-kata yang tak pernah kuduga akan keluar darinya.

Kata-kata yang menampar kuat diriku.

Tapi, dia benar. Tidak ada yang melihatku, jadi aku tidak perlu memakai topengku.

***TBC***

12 Mei 2016, Kamis

a/n

Hai semua! Gila, kapan yaa saya bisa mulai nulis horror scene? Kayaknya kok sampai chapter tujuh belum mulai-mulai yaa? wkwkwk

Hei kalian yang sudah libur, ayo toss wkwkkww

DN kira-kira, hm, prediksiku sih duapuluhan. Tapi masalahnya yaa itu, alur ini tiba-tiba lambat. Yaampun, ckckckck.

LMP tinggal 2 chapter lagi lho, setelah LMP selesai kita munculin LFS 1 yaak, yey.

Selamat malaaam

Salam, Cin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro