Chapter 8 - "Dendam"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

YUME

Pagi ini, saat aku turun ke ruang makan, aku melihat sosok Otto-San tidak sedang membaca koran pagi untuk pertama kalinya. Momo dan Akato tampak duduk di meja makan dengan manis begitu aku sampai di ruang makan. Aku hanya bisa tersenyum tipis saat kulihat mereka tengah berbincang seru dengan Akihito dan Otto-San. Padahal, biasanya yang mereka lakukan setiap Okaa-San menyiapkan sarapan adalah menunggu salju turun.

"Hei, kalian tidak menunggu salju?" tanyaku yang membuat mereka berdua menatapku dengan senyum membinar.

"Salju-nya sudah datang, jadi buat apa kami menunggu lagi?" balas Momo dengan senyuman lebar.

Semula, aku bingung dengan kalimat mereka. Aku positif yakin aku tidak melihat salju turun saat aku bangun tadi, bahkan aku bersedia melirik jendela, mengabaikan arwah-arwah yang menatapku menyeringai hanya untuk memastikan bahwa salju memang belum turun. Dan aku kembali melirik ke mereka dan mereka tersenyum cekikikan penuh arti.

"Kak Salju sudah datang!" seru Akato sambil menunjuk Akihito.

Barulah aku mengerti maksud mereka. Yuki yang kumaksud adalah salju yang selama ini mereka tunggu di luar sana, sedangkan Yuki yang mereka maksud adalah Akihito

[Yuki (雪)=Salju]

"Baiklah, baiklah, Salju telah datang," ucapku sambil tersenyum simpul.

Hari ini, aku, Momo dan Akato berangkat sekolah seperti biasanya. Hanya saja, hari ini kami ditemani Akihito-meskipun hanya rohnya saja. Kehadirannya membuatku aman, karena tanpanya, arwah-arwah itu akan berlomba-lomba mengerubungiku dan merebut ragaku. Dan berkatnya, semua arwah menjauh setiap kami akan melewati suatu tempat, rasanya sangat sulit dipercaya!

Aku masih ingat persis bagaimana aku mencoba keluar dari rumah untuk pergi ke sekolah kemarin pagi. Kalau saja aku tidak berlari kemarin, kurasa aku sudah ..., ya, kalian tahulah. Aku juga masih ingat bagaimana Akato dan Momo ikut berlari mengejarku dari belakang. Tetangga-tetangga dan orang-orang melihatku aneh--bukan, tatapan mereka selalu menatapku aneh.

Lupakanlah masa-masa yang mengelikan itu!

"Ootonashi," dia memanggilku. Aku, Momo dan Akato pun berbalik ke belakang secara bersamaan.

Aku menahan tawaku disela-sela kebingungan Momo dan Akato. Tentu saja Akihito memanggilku, kan? Meskipun itu nama keluarga kami sama, tapi tidak mungkin dia memanggil antara Momo dan Akato, aku positif dengan keyakinanku.

"Yuki-Nii memanggil siapa?" tanya Momo dengan polosnya.

"Yume-Nee," balasku sambil menunjuk diriku.

"Benar, Yume-Nee."

Kulihat Akato dan Momo tertawa bersama, entah apa yang lucu dari ucapannya itu. Bahkan mereka sampai terpingkal-pingkal dan memegang perut mereka.

"Yuki-Nii tak seharusnya memanggil Yume-Nee seperti itu! Kalian kan sekelas."

Barulah aku mengerti dengan apa yang mereka tertawakan. Rupanya mereka tertawa karena Akihito memanggilku dengan embel-embel 'Nee'? Lucu sekali mengingat mereka menertawakan hal sepele itu. Akato yang biasanya kalem sepertinya sudah terkena virus dari Momo.

Kini aku benar-benar bingung lantaran melihat Akihito ikut menertawakan hal yang sama. Astaga, apa hanya aku yang tidak mengerti dimana letak kelucuan itu?!

Tapi beberapa saat kemudian aku tersenyum tipis.

Setidaknya kali ini dia benar-benar tertawa, bukan berkamuflase.

*

Setelah mengantar Momo dan Akato, kami pun menuju kelas. Di sana, pintu kelas terbuka lebar. Suasana kelas masih hening seperti kemarin, aku pun duduk ke bangkuku dan Akihito juga ke tempat duduknya seperti kemarin. Dan bahkan keadaannya masih sama-tidak ada yang melihatnya selain aku.

Bunyi masuk kelas membuat semua murid yang masih di luar kelas buru-buru memasuki kelas. Hari itu, tepat dipelajaran Inui-Sensei kembali, Pelajaran bahasa kanji yang membosankan. Aku melihat ke arah Akihito. Dia masih memandang langit, memandang dan terus memandang. Aku pun menjadi resah, mungkin dia ingin tahu keadaannya di rumah sakit, dan gara-gara aku, dia tidak bisa pergi.

Aku menghela nafasku, aku benar-benar merasa bersalah.

Bahkan rasa bersalah itu masih ada saat jam makan siang tengah berlangsung. Aku pergi ke atap sekolah ditemani oleh Akihito. Sambil membawa sebuah buku bahasa inggris, karena setelah jam makan siang, akan ada test bahasa inggris.

"Itadakimasu." Aku membuka bekalku dan kemudian membuka buku bahasa Inggrisku, aku tidak mengerti satupun kata di dalamnya. Dia duduk di depanku dan hanya melihatku dengan pandangan heran.

"Kau, sering makan di sini sendirian?"

Aku mengangguk, "tapi kalau kelas sepi, aku makan di kelas," jawabku sambil mengunyah makananku. "Hei, kalau kau khawatir, kau boleh kembali ke rumah sakit itu sekarang."

Dia langsung membantah, "lalu, kau?"

Aku meminum air dari botol termos yang kubawa, suhunya masih hangat dan kemudian aku melanjutkan, "Aku ..., tidak apa-apa, kurasa." dia tidak menjawabku, tetapi juga tidak meninggalkanku. Akhirnya aku menyerah, seperti yang kuduga, Akihito adalah orang yang terlalu peduli terhadap orang lain, bahkan dia sampai rela mengorbankan dirinya sendiri demi orang lain.

Dari sekian banyaknya kelebihannya, dia punya satu kekurangan-terlalu pandai bertopeng. Aku bahkan tidak tahu harus menyebut hal itu kelebihan atau kekurangan.

Mungkin karena kepekaanku, aku bisa menyadari hal itu.

"Kalau begitu, sepulang sekolah nanti aku akan ke rumah sakit, menjengukmu," sahutku sambil mulai membaca dan menghafal pelajaranku. Dia tidak menjawabku, tetapi hanya mendengarkanku dan memejamkan matanya.

.

.

.

Ujian sedang berlangsung, sesaat tidak ada yang kudengar selain bisikan-bisikan halus dari kejauhan. Pelajaran Inggris menurutku pelajaran yang sukar, apa yang kita ucapkan berbeda dengan apa yang kita tulis. Apalagi kalau menyambungkan hiragana, katagana dan kanji dengan alfabet, sungguh memusingkan. Baru setengah jam ujian dilaksanakan, aku sudah membalikkan lembar jawabanku dan meletakan dahiku di lenganku.

Aku menyerah.

Seharusnya aku tahu, sastra inggris itu benar-benar acak, yang mana halnya, hafalan tidak berlaku disana.

Saat Sensei menempelkan nama-nama peserta test ulang pada jam berikutnya, saat melihat namaku tercantum di dalamnya, aku sama sekali tidak terkejut. Karena ini memang sudah tradisi yang mendarah daging. Sebenarnya cukup banyak yang mengikuti test ulang, hampir seluruh isi kelasku.

"Aku akan menghubungi Ibuku untuk menjemput Akato dan Momo hari ini," sahutku sambil membuka ponselku.

"Sebenarnya, tidak perlu menjengukku." Aku memutuskan untuk berpura-pura tidak mendengarkannya dan langsung mengirim pesan ke mamaku sebelum pelajaran terakhir. Lalu, pelajaran di akhiri oleh pelajaran matematika.

*

Aku berencana menaiki kereta api untuk mencapai rumah sakit. Kulihat banyak sekali orang-orang berdesakan di dalam sana, karena sekarang adalah jam pulang sekolah maupun kantoran. Tapi aku tetap masuk dan memilih berdesakan daripada menunggu kedatangan kereta api lain setengah jam mendatang. Rasanya tidak heran jika aku tidak mendapatkan tempat duduk.

Setiap ada stasiun pemberhentian, pasti tetap ada satu arwah yang ikut menunggu di antara banyaknya orang yang menunggu kesempatan untuk masuk ke dalam. Mereka adalah arwah yang meninggal secara tidak layak di tempat itu. Mungkin bunuh diri atau tertabrak kereta api, tidak hanya itu. Setiap memasuki terowongan, pasti banyak suara desas-desis yang akan membuatku merinding.

Setelah sampai di tempat pemberhentian, aku keluar bersama orang-orang yang juga berdesakan ingin keluar dari kereta api pengap itu. Aku melangkah tanpa ragu ke arah yang kemarin kulewati bersama teman sekelasku, langkahku tidak salah, sebab aku sudah melihat rumah sakit itu.

Sudah ada hal yang berbeda tampak jelas perbedaan setelah kemarin menjenguknya. Ada yang membawakannya seikat bunga. Ada juga keranjang buah tambahan yang juga ditutupi oleh plastic warp.

Akihito menatap bunga-bunga itu dengan tak percaya. Bunga seharusnya memang tidak tumbuh di musim dingin seperti ini. Aku bisa mendengar dia bergumam pelan dengan jelas, "Bunga ini ..., bunga Okaa-San." Dan aku dapat melihat bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman yang bahagia.

Tentu saja berbeda dengan senyumannya yang biasanya.

"Kau tahu, Ootonashi? Keluargaku-"

TOK TOK TOK.

Kami berdua mengalihkan pandangan kami ke pintu, pintu terbuka dengan sangat lambat, hingga akhirnya memperlihatkan kepala seseorang yang membuat mataku terbelalak saat melihat orang itu. Dia ...,

"Paman Kanata?"

Dia adalah sepupu jauhku. Setahuku, Nenekku dan ayahnya Paman Kanata-yang kupanggil Kakek juga-adalah kakak beradik, itulah yang membuat kami memiliki hubungan sepupu. Dia bahkan punya anak lelaki yang seumuran denganku, tapi sayangnya kami berbeda sekolah.

"Lho, Yume? Kamu kenal anaknya Akihito?" tanya Paman Kanata mengernyit bingung. Buket bunga yang ada di genggamannya pun diletakannya di atas nakas setelah dia memindahkan beberapa benda.

"Teman sekelas Yume," balasku pendek. "Paman sendiri?"

Paman Kanata tertawa kecil. "Ayahnya Yuki itu boss tempat dimana Paman bekerja, lho. Dia meminta Paman menjenguk Yuki hari ini."

Aku ber-oh ria. Lalu melirik ke Akihito yang terbaring di tempat tidur. "Lalu ..., orangtua Akihito mana?"

"Rapat," jawabnya cepat. Lalu diperhatikannya arloji di tangannya dan dia mengangkat tasnya kembali. "Ah. Paman harus pergi. Duluan ya, Yume."

Aku hanya mengangguk kecil, lalu memperhatikan punggung Pamanku hingga akhirnya dia menghilang dibalik pintu.

"Hm, kurasa-" Aku berbalik, dan begitu mataku melihat ekspresinya di belakang sana, aku terbungkam.

Akihito menatap ke arah pintu dengan tatapan tajam, sangat tajam. Ada kobaran yang membara penuh amarah di matanya. Dia bahkan mengertakan rahangnya dengan geram, membuatku sangat terkejut dengan sosoknya saat ini.

Hanya ada satu kata yang bisa mendeskripsikan apa yang kulihat saat ini,

Mengerikan.

Aku baru pertama kalinya melihat ekspresi wajahnya itu. Bahkan, aku sama sekali belum pernah membayangkan Akihito yang akan memunculkan ekspresi itu di wajahnya yang selalu tergambar dengan senyuman itu.

Tatapan penuh dendam.

***TBC***

19 Mei 2016, Kamis.

a/n

I knew you know who was that, right?

Met the antagonist here, Yume's uncle? Hooh, getting complicated.

Hai semuaaa! Ini nggak mengerikan, fix.

LMP masih bersih ya. Bersih banget. Itu beneran harus ada moodnya dulu, wkwkwk. Jahat banget aku sumpaah. Kuusahain nyicil but, ndak maksa. Because u know, if I force them, they become so worst!

So worst.

Big Love, Cindyana H

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro