02 Aduan Tangis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tuan putri...."

Itu suara Sofia membangunkanku, dan aku bangun lalu menyadari ada sesuatu yang berbeda.

"Hari apa ini, Sofia?" tanyaku memastikan sembari memintanya mengambilkanku air yang tersedia di meja kecil kamarku. Aku takut kembali pada hari ketika aku bangun.

"Sehari setelah Anda berulang tahun kemarin tuan putri."

Rasanya ingin menguraikan air mata terharu, karena aku berhasil melewati hari kemarin. Namun, itu tidak boleh. Aku masih tidak tahu hal-hal yang dapat membuatku kembali bangun di pagi hari ulang tahun ke-10ku.

Setelah itu, aku ditemani Sofia untuk mempersiapkan diri dan aku berencana menemui Willy yang katanya mengikuti kelas berpedang bersama kakak-kakak yang lain.

Mereka ternyata pergi ke tempat latihan yang agak jauh dari istana bagian ratu. Ya, aku tinggal di istana ratu sebagai satu-satunya putri kerajaan. Berbeda dengan kakakku Willy yang tinggal bersama Ibu. Aku di sini tinggal bersama kak Johan dan yang Mulia ratu. Pangeran Ernest sendiri tinggal di istana raja.
Aku tidak mengerti mengapa kami harus tinggal terpisah-pisah seperti ini, ketika seharusnya kami bisa bersama di istana yang megah ini.

Sofia tidak ikut denganku--ia bisa dibilang cukup tua bila disuruh mengikutiku, hanya dua pelayan pribadiku yang mengikutiku pergi ke tempat latihan.

Di sana aku melihat kak Willy tengah duduk dan meminum air di bagian dingin yang tidak terkena cahaya matahari. Rambut silvernya yang mencolok sama sepertiku sedikit kusam karena debu-debu yang menempel padanya. Namun, ketika aku datang dan membersihkan rambutnya ia masih enggan menatapku karena melihat kesengitan kak Johan dan Pangeran Ernest duel dengan pedang kayu mereka.

Badan kak Johan yang harusnya lebih muda 2 tahun dari pangeran Ernest membuatnya terlihat mendominasi di duel pedang itu. Ia lebih besar dan gagah dari Pangeran Ernest.

Dan aku terhanyut dengan suasana menegangkan itu sampai kak Johan akhirnya berhasil memukul pedang kayu Pangeran Ernest hingga terlepas dari tangan.

Seorang pelatih berusaha menghentikan mereka ketika pangeran Ernest hendak memukul Kak Johan dengan tangan kosong. Aku ikutan panik dan akan berlari ke mereka tetapi tanganku dihentikan oleh kak Willy yang akhirnya menyadari keberadaanku.

Ia menyuruhku untuk diam di tempat dan menghampiri pangeran Ernest yang menatap tajam dan seakan berteriak marah meski bibirnya diam dengan pukulan tangannya.

Aku tidak tahu apa yang dilakukan kak Willy, ia kemudian menjabat tangan yang digenggam kuat oleh pangeran Ernest dan memegang bahunya.

Perlahan tetapi pasti, ekspresi memerah pangeran Ernest memudar, dan ia yang kesal menghempaskan tangan kakakku dan pelatih tua mereka. Ia kemudian pergi dari tempat latihan prajurit yang sepi ini dengan diikuti pengawal pribadinya.

Sekarang, jadi aku yang kesal.

Kenapa tidak kak Johan aja sih yang jadi putera mahkota.

Yah, meskipun 7 tahun lagi aku akan mendengar kabarnya yang tewas di garis depan.

Dengan kekikukan kak Willy yang khas, ia kemudian mendatangiku lagi. Kak Johan juga datang bersamanya dan duduk di bagian dingin tempat kak Willy duduk tadi.

Kak Willy menanyai urusanku kemari. Namun, aku tidak mengatakan apapun dan langsung memeluknya. Kak Willy berusaha melepaskan diri dariku.

"Minnie, aku berkeringat dan kotor sekali. Tolong jangan peluk aku."

Namun, aku tidak mengindahkannya yang hanya mengenakan kaus biasa yang berkeringat parah ini. Aku hanya merasa ingin memeluknya setelah banyak hal yang terjadi padaku.

"Dia benar Minnie. Adikku yang cantik. Nanti jadi jelek lho kalau nempel-nempel gitu," kata Kak Johan sembari menyeret jauh gaunku dari bawah tempat ia duduk.

"Aku rindu padamu. Dan aku merasa kemarin seperti mimpi," kataku sepenuh hati meski sebenarnya sangat ingin menangis tetapi kutahan.

"Ah, pesta ulang tahunmu kemarin yang begitu indah ya. Apakah kau mengenakan kalung yang kuberikan?"tanya kak Johan yang membuatku memilih melepaskan badan kak Willy dan duduk di sampingnya. Kutunjukkan kalung cantik yang bertengger di leherku dengan bahagia padanya.

Kak Willy menahan tanganku, ia menunjukkan sapu tangan dari saku celananya padaku. Ia kemudian meletakkannya di tanah agar aku bisa duduk tanpa mengotori gaunku.

Aku tersenyum dan berterimakasih pada kak Willy yang kemudian diikuti olehnya untuk duduk di sampingku.

"Jadi, tadi kak Willy melakukan apa pada yang mulia pangeran Ernest?"

Kak Willy tahu aku tidak memanggil pangeran Ernest dengan sebutan kak seperti yang kulakukan pada kak Johan.

"Itu sihir es. Jadi, aku mendinginkan tanganku sampai mungkin sedingin es salju, agar ia lebih tenang dan dingin di cuaca yang terik seperti ini. Kupikir Kak Ernest emosinya kelepasan karena cuaca hari ini."

Aku mengangguk-angguk setuju lalu menoleh pada kak Johan yang hanya diam termenung, tidak menanggapi pernyataan kak Willy. Hal ini kemudian membuatku berpikir, apa ini kemungkinan besar jadi alasan hilangnya pangeran Johan saat pemberontakan dari bangsawan itu terjadi? Maksudku, hubungannya dengan Pangeran Ernest, apakah itu buruk?

Setelah beristirahat cukup lama di tempat yang tidak terkena cahaya matahari langsung, pelatih kak Willy dan kak Johan menyarankan mereka berdua untuk beristirahat. Jadi, aku mengikuti kak Willy kembali ke kediamannya di istana Selir.

Hanya ada satu selir di sana dan itu ibu kami. Jadi kediaman ini sangatlah sepi orang.

"Aku akan pergi menemui Ibu," kataku pada Kak Willy begitu kami sampai di taman istana selir. Ia berniat menghentikanku tetapi batal entah karena apa.

"Ibunda!" seruku sembari berlari memasuki kamarnya yang besar. Rupanya Ibu tengah membaca buku di kamarnya.

"Minnie, kau tidak boleh berlari." Ibu menasehatiku tetapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin memeluknya karena kemarin tidak sempat dan kemarin terasa begitu melelahkan.

"Jadi, ada apa kau kemari putriku?"

Aku duduk di samping ranjangnya ketika Ibu sendiri duduk di kursi tehnya.

"Bolehkah malam ini aku tidur bersama Ibunda?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.

Aku tidak tahu mengapa tetapi Ibu tersenyum padaku lalu bangkit dan mendatangiku serta memelukku.

"Tentu boleh. Kau adalah putriku. Kau bisa mendatangiku kapan saja."

Aku membalas pelukannya, rasanya aku ingin menangis tetapi tidak bisa. Tidak bisa.

"Jadi, apa yang kau khawatirkan putriku? Aku sangat mengetahui tentangmu. Kau tidak bisa menyembunyikan apapun dari ibumu ini."

Aku membeku. Kesulitan menjawab. Bahkan, ketika Ibu melepaskan pelukannya dan memegang bahuku agar aku menatap padanya.

"A-aku tidak menyembunyikan apapun. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama Ibu," dustaku sambil menahan air mataku dengan hitungan agar tidak jatuh dan menangis.

10

"Kau tahu, saat kau berbohong, telingamu semerah tomat meskipun seberusaha apapun kau mengendalikan emosimu yang tidak biasa ini."

9

Aku menggeleng dan mencoba tersenyum getir.

"Jujur, kau harus mengatakannya pada Ibu. Ibu merasa sangat aneh dan takut begini ketika kau tidak menangis seperti biasanya."

8

Aku mulai gemetaran.

7

6

"Apakah kau tidak bisa percaya pada Ibu?"

Tangisku langsung pecah. Air mataku menetes mengenai gaun, dan semua menjadi gelap.

Aku tidak tahu apa yang terjadi tetapi aku menangis cukup lama dan larut dalam perasaan sedih itu di kegelapan.

dan aku mendengar....

"Tuan putri, anda harus segera bangun."

lagi.

Lagi, pagi hari, ulang tahunku yang ke-10 tahun.

~
1093 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro