I

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

KALAU KAMU BELUM PERNAH BACA CERITA AKU YANG JUDULNYA KAMU,

BACA DULU SANA! NTAR KENA SPOILER LHO.

HUSH HUSH

APALAGI KALAU KAMU MASIH BERUSIA DI BAWAH 21 TAHUN.

PERGI DARI LAPAK SAYA. BELAJAR DULU YANG BENER. KAMU MUSTINYA BACA BUKU PELAJARAN, JANGAN MALAH BACA NOVEL.

HUSH HUSH

.
.
.
.

FOR MY READER, ENJOY.

BUKAN CERITA LIAM, SERIUSAN. BUKAN.

-------------------

Shania melipat seragam yang biasa dia gunakan sehari-hari, dan mengembalikannya kepada opsir Maya sambil tersenyum, dan dibalas opsir itu dengan senyum juga.

"Jangan kembali lagi ke sini ya," kata opsir itu, dan Shania terkekeh.

"Sebagai tahanan sih nggak ya, Mbak. Tapi aku akan berkunjung. Kita bisa ngopi bareng dong," kata Shania, dan opsir Maya terkekeh.

Dua tahun di penjara mengubah dirinya, tentu saja. Tidak ada lagi Shania yang manja dan naif seperti dulu.

Shania bersyukur karena selain opsir Maya yang baik padanya, salah satu rekan satu selnya, yang paling kuat diantara mereka, juga sangat menyayanginya. Jadi Shania menjalani masa tahanannya dengan tenang.

Shania mengenakan jaket kesayangannya, dan meraih ranselnya sebelum berpamitan dan melangkah keluar dari sana, tempat tinggalnya selama dua tahun ini, dan menemukan tiga orang menunggunya di luar. Dua kakak tiri dan satu kakak iparnya.

Shania berjalan perlahan mendekati mereka, dan tersenyum.

"Terima kasih sudah repot-repot menjemputku."

Mereka juga tersenyum membalasnya.

"Ayo kita pergi makan. Kamu mau makan apa?" tanya Masayu, kakak iparnya, dan Shania meringis.

"Apa saja, Kak. Yang pasti aku rindu daging sapi."

Masayu tertawa, lalu dengan santai menggandeng Shania masuk ke dalam mobil, lalu duduk bersebelahan dengannya di bangku belakang. William dan Sigit, kedua kakak tirinya, duduk di depan.

Masayu adalah alasan kenapa dia bisa sampai masuk penjara, karena kebodohannya menyebabkan Masayu terluka parah. Namun Masayu begitu berbesar hati memaafkannya, membuatnya semakin merasa bersalah, dan akhirnya dia dan kakaknya, William, memutuskan bahwa penjara adalah hukuman yang pantas untuk kebodohannya.

Saat ini, melihat kakak iparnya sehat-sehat saja sudah cukup membuat Shania senang.

***

Hubungan keluarga mereka begitu rumit.

Shania dan Sigit adalah saudara seibu, sementara Shania dan William adalah saudara seayah. Kejadian masa lalu orangtua mereka menyebabkan hubungan mereka berantakan, namun saat ini, saat bersama kedua kakak laki-lakinya, Shania sadar, mereka berdua menyayanginya dengan cara mereka sendiri.

Sigit mungkin masih agak canggung dengannya, namun secara berkala dia dan Masayu akan datang mengunjunginya di penjara, dan mereka sama-sama berusaha menambal dua puluh tahun yang hilang diantara mereka.

William lebih sering berkunjung dibanding Sigit, dan hubungan mereka sama kakunya dengan dulu, namun Shania tahu, William bersikap lebih hangat padanya, dan Shania bersyukur.

"Kakak sudah mengaturkan jadwal sidang untukmu. Bulan depan, bagaimana?" tanya William, dan Shania bergumam setuju.

"Lebih cepat lebih baik, Kak. Terima kasih."

"Tapi kamu tidak bisa ikut wisuda bersama yang lain."

"Tidak apa. Toh aku kan sudah terlambat dua tahun," jawab Shania sambil terkekeh pelan. Dia tahu sebenarnya alasan mengapa dia tidak bisa ikut wisuda bersama yang lain, karena dia adalah mantan narapidana. Universitasnya tidak mau mengambil risiko lebih besar lagi. Sudah cukup mereka mengizinkan Shania melaksanakan sidang skripsinya yang tertunda, untuk mendapat titel sarjana.

Shania tidak berharap banyak. Bisa lulus sebagai sarjana saja sudah cukup.

"Err, kak Liam menyimpan barang-barangku?"

"Ya," ucap William dari balik kemudi. "Semua barangmu ada di rumahku."

"Oke. Berarti nanti aku ikut kak Liam ke rumah ya, buat ambil barang."

"Maksudmu?"

"Ya, sama pinjam duit dulu boleh?"

"Untuk??"

"Ngekos."

"Kamu akan tinggal di rumah kakak," ucap William, dengan nada perintah, tanpa basa-basi.

Sigit terkekeh geli.

"Kalau dia mengusirmu, kamu bisa pindah ke rumah Kak Sigit, ya kan, Yu?"

"Tentu saja. Kalau kamu bosan dengan Liam pun, kamu bisa datang menginap di rumah kami."

"Jangan. Nanti aku merepotkan. Kalian kan hitungannya masih pengantin baru, aku-"

"Kamu adik kami, Shania. Jangan bersikap kaku dan segan begitu. Sudah cukup Liam saja yang kaku," ucap Sigit geli, dan mendapat hadiah pelototan tajam dari William.

"Brengsek."

Namun Shania sudah tidak mendengar balasan makian antara kedua kakak tirinya, karena matanya memanas dan hatinya mendadak lega. Tanpa sadar, air matanya menetes.

Masayu yang menyadari keadaan Shania, mendekatkan posisi duduk mereka dan merengkuh Shania dalam pelukannya.

"Jangan khawatir, masih ada kami. Kita keluarga, kan?"

***

William meminjamkan mobilnya untuk Shania, dan yang Shania lakukan pertama kali adalah mengunjungi ibunya di rumah sakit jiwa.

Karlita Aruminingsih terlihat baik-baik saja, bahkan terlihat cukup normal saat mengobrol dengan salah satu perawat di sana.

Perawat yang menemani Shania masuk, membawanya mendekati Lita sambil bercerita.

Perkembangan kesehatan mental ibunya cukup stabil, namun ada satu bagian dalam dirinya yang sudah rusak dan tak mampu diperbaiki. Itulah sebabnya sang ibu tidak diizinkan meninggalkan rumah sakit ini, karena saat dia kambuh, dia berbahaya, untuk dirinya sendiri, dan orang lain. Trauma yang dia alami terlalu keras dan merusak jiwanya.

"Selain kamu, ada tiga orang lagi yang biasanya datang mengunjungi ibu Lita."

"Siapa?"

"Maaf, kalau itu, kami tidak bisa bilang. Rahasia."

Dengan sekejap Shania tahu siapa yang perawat itu maksud. Sigit adalah seorang public figure, dan baik Liam maupun Masayu pasti mengatur supaya rahasia tentang masa lalu Sigit tidak sampai bocor ke media. Apalagi berita tentang ibu kandungnya yang berada di rumah sakit jiwa. Benar-benar akan jadi berita empuk.

"Halo, Bu Lita. Coba lihat siapa yang datang," sapa perawat itu, dan Lita menoleh.

Matanya yang terkejut, namun berbinar saat mengenali sosok yang muncul di hadapannya.

"Shania?"

"Mama.."

Shania memeluk ibunya yang langsung membalas memeluknya erat, dan menangis.

Separah apapun perlakuan ibunya pada Sigit, Shania sadar itu semua karena dirinya. Dan dia menyayangi ibunya sepenuh hati.

***

Setelah menangis cukup lama untuk meluapkan kerinduan, mereka duduk bersama di salah satu pojok taman dan mengobrol, ditemani salah satu perawat yang duduk agak jauh dari mereka, mengawasi.

"Mama baik-baik aja di sini?"

"Baik. Mama makan sehat di sini, udah dimasakin juga. Nggak usah masak sendiri. Tapi kadang suka kurang bumbu."

Shania tertawa geli.

"Namanya juga sehat, Ma. Bumbunya pasti diatur juga."

"Iya. Kamu gimana, Nak? Kamu kurusan. Kuliah kamu berat ya?"

Shania tersenyum tipis, dan mengangguk. Dia sudah diberitahu Liam, kalau dia memberitahu Lita bahwa Shania tidak pernah berkunjung karena sedang sibuk kuliah. Ingatan tentang Shania ditangkap polisi seakan terkubur jauh dalam ingatannya. Bahkan semua ingatan tentang ayah kandung Shania dan Liam ikut terkubur. Yang Lita ingat justru kehidupan pernikahannya yang pertama, pernikahannya dengan ayahnya Sigit.

"Papi sehat di rumah?"

"Sehat, Ma."

"Papi kamu masih saja ganteng seperti dulu, ya."

Shania meringis.

Mereka mengobrol cukup lama, dan perawat menghampiri mereka untuk membawa Lita istirahat. Mereka berpisah dengan janji bahwa Shania akan datang berkunjung lagi.

Shania diantar salah satu perawat ke pintu depan, dan perawat itu bercerita cukup banyak, setelah yakin Shania benar-benar putri Lita.

"Ibu Lita selalu mengira kakak Anda sebagai suaminya."

"Dia dan ayah saya memang sangat mirip," ucap Shania, dan perawat itu mengangguk.

Shania tersenyum miris.

Pada akhirnya, pria yang ibunya cintai sepenuh hati memang hanya Aji Prakasa, ayah kandung Sigit.

***

Shania meletakkan sebuket bunga di depan sebuah nisan, bertuliskan nama Aji Prakasa.

"Halo, Papi. Maaf karena aku baru datang mengunjungi Papi."

Shania melegakan tenggorokannya, lalu kembali bicara.

"Maaf karena aku bukan anak Papi. Maaf karena gara-gara aku, Papi dan Mama bertengkar. Maaf, karena aku, Papi berubah."

Mata Shania perlahan mengabur oleh air mata, namun dia mengabaikannya, dan terus bicara.

"Kalau saja aku boleh memilih, aku akan memilih menjadi anak Papi, supaya kita bisa hidup bersama, tinggal bersama. Aku, Papi, Mama, Kak Sigit. Kak Sigit nggak perlu hidup sendirian, Mama juga nggak perlu jadi gila, dan Papi... Papi nggak perlu meninggal."

Shania mengusap air matanya, dan tersenyum miris.

"Tapi semua sudah terjadi. Dan aku, aku mau mengucapkan terima kasih buat Papi, untuk dua tahun hidupku bersama Papi. Papi yang sayang kami semua. I can still remember that, Pi. Thank you so much. Aku ingat, semarah apapun Papi sama Mama dan aku, Papi tidak pernah sekalipun melayangkan tangan padaku yang masih berusia dua tahun saat itu. Walaupun aku nggak tahu jika aku lebih besar, apakah Papi akan memukulku seperti apa yang Papi lakukan ke Kak Sigit atau tidak, tapi aku berterima kasih, untuk dua tahun kebersamaan kita, Pi."

Shania mengusap pelan nisan itu, lalu mengusap air matanya, sebelum beranjak menuju mobilnya.

Namun dia tidak menyadari sebuah mobil yang terparkir cukup jauh darinya, dengan mesin menyala, dan sepasang mata yang tajam mengawasinya.

Tbc

Sorry, aku bukannya lanjutin cerita lain, malah tiba-tiba kepikiran bikin cerita ini, dan ini bakal super simpel. Gak ada yang aneh-aneh. Gak panjang-panjang juga.

Cuma merasa sayang aja idenya gak ditulis. Jadi gini deh.

Nggak usah berharap jebakan-jebakan betmen macam ceritanya Ayu-Sigit. Aku cuma menuangkan keabsurdan aku di sini.

(Emang kapan aku pernah nggak absurd di cerita aku? 😐)

Hope you like it.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro