II

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Shania tersenyum pada kakak iparnya yang satu lagi, isteri William Tanama, yang sedang berada di depan televisi, menonton berita sembari menyusui putri sulung mereka.

"Halo, Kak Vero," sapa Shania, dan Veronica balas tersenyum padanya.

"Halo. Pagi banget."

"Iya, semalam aku tidur cepat."

"Akhirnya bisa tidur cepat ya, setelah sidang selesai?"

"Iya."

"Lalu habis ini, rencanamu apa?"

"Cari kerja, Kak."

"Nggak masuk perusahaan Liam aja?"

Shania menggeleng.

"Nggak mau kerja sama Kak Liam. Masa kerja di perusahaan kakak sendiri?"

Vero manggut-manggut mengerti.

"Oh ya, kamu bisa masak?"

"Sedikit. Dulu sempat belajar sama Bi Siti," ucap Shania, menyebut nama asisten rumah tangga di kediamannya yang dulu.

"Bagus. Nanti siang masak bareng ya. Masayu juga mau datang, tapi kamu tahu sendirilah, dia nggak bisa masak sama sekali, tapi suka bantuin. Masalahnya aku bukannya terbantu, malah stress, tahu nggak."

Shania tertawa. Dia sebelumnya tidak tahu kalau kakak iparnya yang satu lagi, isteri Sigit, sama sekali tidak bisa memasak. Saat ibu tirinya, Mama kandung Liam, bercerita, Shania sampai melongo, tidak percaya.

"Ya udah, bareng aku aja, Kak. Kak Masayu kita suruh duduk diam aja."

"Iya. Kalau jagain bayi jago deh, aku akui. Dia bahkan lebih jago dari aku kalau lagi handle Xia. Tapi kalau soal perkara dapur, ampun, aku angkat tangan."

Lalu mereka berdua tertawa.

***

Siangnya, Masayu datang berkunjung ke rumah Liam, dan Vero dengan cueknya menyerahkan putrinya dalam gendongan Masayu.

"Bagus, Baby sitter gue udah datang. Gue mau masak dulu."

"Eh, bayaran gue mahal ya, Bu," balas Masayu, tapi tangannya langsung sibuk menggoda bayi dalam gendongannya.

"Tar minta Liam bayar aja."

Masayu mengabaikan mereka, dan sudah sibuk berceloteh dengan baby Xia.

Shania yang sudah mencuci tangan, membantu Vero memotong tahu, sementara mereka bertiga mengobrol.

"Gimana sidang kamu kemarin, Shan?"

"Sukses dong, Kak. Tinggal tunggu ijazah keluar."

"Congrats ya."

"Thanks, Kak."

"Mau hadiah apa, nih?"

Shania menggeleng.

"Nggak usah hadiah. Bisa bareng begini aja aku udah senang."

Vero langsung menoel pipi Shania gemas, sementara Masayu tertawa.

"Ih, adik ipar yang satu ini kenapa cute banget sih."

"Kak Vero! Kak Vero kan habis pegang ayam!!!"

***

Namun, seharusnya Shania tahu. Dengan latar belakangnya, mau ikut wisuda saja tidak bisa, apalagi berharap perusahaan tempat dia melamar kerja mengabaikan berita kelam tentang masa lalunya.

Mantan napi. Putri koruptor.

Luar biasa.

Sudah setengah tahun dia berusaha mencari kerja, namun gagal. Tidak ada yang berani memanggilnya untuk tahap interview. Kalaupun ada, yang mereka lakukan justru mencecarnya tentang berita sang ayah, Raymond Tanama, yang masih ditahan di penjara karena kasus korupsi dan penggelapan pajak. Sejauh ini, hanya ada satu perusahaan yang mengundangnya ke tahap interview dan menjalan prosedurnya dengan benar, mirip-mirip yang biasanya dia baca di internet, tapi Shania tidak tahu dia lolos atau tidak, karena dia belum dipanggil lagi, dan Shania tidak berharap banyak, karena itu adalah perusahaan besar.

Dia benar-benar pusing.

Tapi Shania tidak mau memaksa untuk bekerja dengan kakaknya. Dia tidak mau hidup di bawah ketiak sang kakak. Dia masih ingin berjuang sendiri.

Walaupun sepertinya dia menemui jalan buntu.

"Shan, kamu ngapain?"

Shania mengangkat wajah dari notebook-nya dan pandangannya bertemu dengan kakak iparnya yang sedang menggendong baby Xia.

"Nggak ngapa-ngapain, Kak. Baru aja kelar ngirim CV."

"Oh. Boleh minta tolong? Si Dodol itu lupa bawa berkasnya, padahal dia ada meeting siang ini. Habis itu dia malah nyuruh sopirnya bawa mobil buat servis. Udah deh."

"Ya udah, biar aku yang bawa aja, Kak. Ke kantornya kan?"

"Aduh, thanks banget ya, Shan. Bukan ke kantor yang biasa, tapi ke kantornya Barata Group. Dia meeting dengan Leonardo Barata."

***

Shania melapor pada resepsionis yang sudah diberitahu perihal kedatangannya, dan langsung diberikan kartu tamu dan diarahkan untuk langsung naik ke lantai dua puluh lima.

Saat lift berdentang dan berhenti di lantai yang dia tuju, Shania melangkah keluar dan mendekati satu-satunya meja di sana.

Pria yang duduk di sana menatap Shania dan berdiri, sambil menyapanya.

"Bu Shania?"

"Ya. Saya membawakan berkas milik Pak William Tanama."

"Baik, sebentar."

Pria itu, yang Shania tebak adalah sekretaris Leonardo Barata, menekan tombol tertentu di telepon lalu berkata, "Pak, Bu Shania sudah datang membawakan berkasnya. Oke, baik."

Dia meletakkan teleponnya dan kembali menatap Shania.

"Biar saya yang serahkan ke dalam."

"Baik, terima kasih."

Dia mengangguk, dan setelah mengambil alih berkas yang Shania bawa, dia membawa berkas itu masuk. Shania lalu berbalik, berencana kembali pulang, namun ternyata dia langsung menabrak sesuatu.

Dengan terkejut, dia langsung mengangkat wajahnya, dan dia bertemu dengan mata paling gelap yang pernah dia tatap dalam jarak sedekat ini.

Mereka terdiam selama beberapa detik, dan Shania baru menyadari kalau pria yang dia tabrak itu meletakkan tangannya di pinggang Shania seperti menjaganya supaya tidak jatuh - atau justru menahan posisinya, Shania tidak tahu dan tidak mau tahu - dan dia sontak mendorong pria itu lalu mundur.

"Ma-maaf. Saya tidak tahu kalau Anda ada di belakang saya."

Pria itu tersenyum ramah.

"Tidak apa. Kamu tidak apa-apa?"

Shania buru-buru menggeleng.

"Kalau begitu- saya permisi dulu."

Lalu dengan cepat Shania melewati pria itu dan buru-buru masuk ke dalam lift, sementara pria itu menoleh, memperhatikan Shania yang berbalik badan di dalam lift, dan mata mereka bertemu, saling bertatapan sampai pintu lift tertutup.

Di dalam lift, Shania menyentuh dadanya, tepat di luar jantungnya yang berdetak keras.

Pria itu terlihat ramah, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat jantung Shania berdebar kencang, bukan karena terpesona pada wajahnya yang tampan, tapi karena gentar. Entah kenapa.

***

Shania terdiam sebentar setelah menerima telepon, dan pandangannya kosong, nyata sekali bingung. Sampai sambungan teleponnya putus pun, dia masih terdiam, sampai-sampai Vero mendekatinya dan menyenggol tangannya pelan.

"Kenapa, Shan?"

"Aku... Aku diterima kerja."

"Wah, baguslah. Selamat ya, Dek. Di mana?"

"Nü Corp."

Vero melongo.

"Serius? Jadi apa?"

"Staf HRD, Kak. Sesuai jurusan aku, lah."

"Oh, aman deh kalau gitu."

"Emang kenapa, Kak?"

"Nggak apa-apa. Yang penting kamu nggak banyak berurusan sama pemilik perusahaan, deh."

Shania terkekeh pelan.

"Iya, lah. Ngapain juga aku urusan langsung ke owner. Emang Kak Vero kenal ownernya?"

"Kenal. Perusahaanku memakai jasanya, dan pernah ketemu beberapa kali. Tapi si Liam lebih kenal. Mereka temenan."

"Wow. Kalian mainannya seram-seram ya, tinggi-tinggi begitu."

Kali ini Vero yang terkekeh pelan.

"Nanti suatu saat, kamu juga bakal begitu. Sekarang jalani aja dulu, dari dasar. Nggak perlu buru-buru."

"Maksudnya? Nggak lah, aku nggak bakal jadi seperti Kak Liam yang punya rumah produksi sendiri, atau kak Vero yang merupakan petinggi stasiun TV."

"Kami juga dulunya mulai dari bawah, Shania. Kamu juga. Tunggu saja."

"Aku ngomong amin aja deh, Kak."

Lalu kedua tertawa kecil.

***

Shania mengernyit saat kepala HRD yang seharusnya hari ini resmi menjadi atasan langsungnya itu memberinya surat kontrak kerja yang sedikit janggal.

Tapi itu baru yang pertama.

Yang kedua, adalah keberadaan manusia lain di ruang HRD itu, seorang pria dengan wajah datar seperti bodyguard, dengan tubuh kekar dan setelan hitam, ditambah kacamata hitam yang untungnya dia buka begitu Shania duduk tadi.

"Bagaimana, saudari Shania? Ada yang ingin ditanyakan?"

"Minggu lalu, saya ditelepon dan diberitahu kalau saya diterima sebagai staf HRD. Tapi di sini... Mengapa yang tertulis di sini, posisi saya adalah asisten pribadi CEO?"

"Yah..." kepala HRD itu berdeham kaku, sementara pria datar itu menatap mereka berdua tajam dari tempatnya berdiri. "Mohon maaf, saudari Shania. Tadinya kami menerima anda memang sebagai staf HRD, namun mendadak sekali, asisten pribadi CEO kami mengundurkan diri, dan beliau memerlukan penggantinya segera. Dari semua karyawan yang baru kami terima, hanya Anda yang sesuai kriteria untuk jabatan ini."

"Tapi saya-"

"Anda akan mendapat gaji pokok empat kali lipat dari yang kami tawarkan kepada Anda untuk posisi staf HRD, ditambah uang makan sebesar dua ratus ribu per hari, dan biaya asuransi kesehatan Anda akan ditanggung perusahaan."

Shania melongo kaget.

"Tapi sebagai konsekuensinya, Anda diwajibkan untuk selalu stand by dua puluh empat jam sehari jika diperlukan, dan selalu siap jika diharuskan untuk ikut CEO kami dinas keluar kota. Anda punya paspor?"

Shania menggeleng.

"Paspor saya expired tahun lalu dan saya belum membuat yang baru."

"Akan kami bantu urus pembuatan paspor Anda.  Jadi bagaimana, saudari Shania?"

Shania kembali menunduk, membaca isi kontraknya.

Dua tahun. Oke, ini cukup standar.

"Lalu apa saja job desk saya?"

"Secara garis besar, pekerjaan asisten pribadi adalah untuk mengurus jadwal kerja dan urusan pribadi, dan mengurus keperluan pribadi direktur supaya semua berjalan dengan lancar. Untuk jadwal kerja, jadwal meeting, nanti Anda bisa koordinasikan dengan sekretarisnya. Nanti untuk detailnya, Anda bisa diskusikan langsung dengan Pak Renaldus."

Shania melongo. Kali ini benar-benar terkejut.

"Saya akan bekerja di bawah Pak Renaldus Satyanugraha... Langsung?"

Kepala HRD itu mengangguk mantap.

"Ya, Pak Renaldus adalah pemilik sekaligus CEO Nü Corp."

Tbc

Ini gue kenapa ikut-ikutan bikin cerita CEO ala ala coba?

Ya udahlah ya. 🙄

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro