1. Si Warak Ngendog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cerpen ini saya buat berbulan-bulan lalu untuk lomba menulis cerita rakyat yang diselenggarakan Kemendikbud. Setelah lama sekali putar otak untuk mencari bahan cerita yang cocok, akhirnya saya memilih Warak Ngendog sebagai bahan cerita saya.

Cukup sulit sebenarnya membuat cerpen ini, mengingat asal-usul serta sejarah terlahirnya simbol kota Semarang ini minim sekali. Saya hanya menemukan sedikit referensi, itu pun ada beberapa yang menuliskan ketidaksamaan tentang pemimpin di masa tersebut ketika Warak Ngendog lahir.

Ada yang mengatakan, Warak Ngendog adalah makhluk mistis (yang sampe sekarang saya kurang mengerti di mana bagian mistisnya karena hampir tidak ada referensi yang menyatakan seberapa menakutkannya makhluk ini). Namun, referensi yang saya baca menyebutkan bahwa Warak Ngendog ini sebenarnya adalah simbol pemersatu.

Dari yang saya tangkap setelah membaca artikel-artikel soal Warak Ngendog, makhluk ini sebenarnya adalah mainan anak-anak yang selalu dijual saat bulan ramadhan menjelang. Situasi di Semarang jaman dulu kemungkinan terjadi juga di jaman sekarang, di mana untuk menentukan awal bulan ramadhan ini selalu terjadi kekisruhan. Penguasa Semarang pada masa itu akhirnya meminta bantuan salah seorang kiai untuk membuat simbol pemersatu kaum muslim. Berhubung pada waktu itu telah terjadi akulturasi budaya di semarang antara Jawa, Tionghoa, dan kaum arab, maka terlahirlah Warak Ngendog yang mencerminkan 3 budaya tersebut.

Selain itu, bersamaan dengan Warak Ngendog, ada juga tradisi dugderan di kota Semarang untuk memeriahkan awal bulan Ramadhan. Duh..., bukannya posting cerita bisa-bisa saya malah cerita panjang lebar tentang sejarah pembuatan cerpen ini. Ehm, Semoga para pembaca berkenan dengan cerita ini. Bila ada kealpaan dalam cerita ini, saya mohon maaf.

Terima kasih.

================================================

Teruntuk kota kelahiranku, Semarang. Kota yang kelihatan konstan tetapi menyimpan banyak magnet yang membuatku selalu rindu untuk pulang ke sana.


Alkisah, di sebuah gua yang tersembunyi di balik hutan bakau serta rerimbunan pohon asam kranji, tinggallah sesosok makhluk tinggi besar berkaki empat yang memiliki wujud menyeramkan. Makhluk itu memiliki moncong serupa mulut buaya dengan deretan gigi setajam pisau. Janggutnya tumbuh cukup lebat dan panjang. Matanya melotot seperti hendak keluar dan telinganya lancip.

Bertolak belakang dengan wajahnya yang mengerikan, makhluk itu mempunyai bulu-bulu dengan campuran warna yang mengagumkan, mulai dari merah, kuning, putih, hijau, sampai biru. Ekornya melengkung kaku dan mempunyai surai di ujungnya. Dari sudut mana pun, makhluk itu terlihat seperti binatang jejadian dan memang begitulah dia.

Sehari-hari, makhluk itu menghabiskan waktu di dalam gua bersama sebutir telur bercangkang putih bersih. Telur itu bukan sembarang telur. Ukurannya saja hampir sebesar batu kali dan dia memancarkan cahaya hangat yang sedikit aneh. Untuk menunjukkan keistimewaannya, si makhluk meletakkan telur tersebut di atas tumpukan jerami dan selalu berhati-hati bila membawanya pergi.

Selama puluhan atau mungkin ratusan tahun, keduanya hidup akur walau kadang-kadang terlibat pertengkaran. Mereka tidak tahan untuk bermusuhan selama sehari saja. Pasti salah satu di antara mereka akan segera meminta maaf dan mengajak yang lain berbaikan----kebanyakan itu dilakukan si makhluk mengerikan dari pada si telur.

Si makhluk yang hampir selalu bertapa di dalam guanya kini mulai merasa bosan dan ingin keluar. Insting alaminya menangkap ada sesuatu yang menarik di luar tempat tinggalnya yang sepi dan sunyi.

"Aku bosan," keluh sang makhluk yang mondar-mandir resah di dalam gua. "Aku ingin keluar."

Ingat kapan terakhir kau pergi melihat perkampungan? Si telur menyahut, suaranya terdengar cempreng dan kekanakan. Kau membakar tempat itu dan membuat Yang Kuasa menghukum kita selama dua puluh tahun.

Makhluk itu merengut, hingga wajahnya makin kelihatan jelek. "Waktu itu aku tidak sengaja," kilahnya.

Si telur mencibir, Sengaja, tidak sengaja, nyatanya kau merusak satu perkampungan dan hampir menewaskan semua penduduk.

"Aku janji, tidak akan membuat onar bila diijinkan pergi," makhluk itu memelas. Siapa pun yang melihat ada makhluk tinggi besar dan mengerikan memohon-mohon pada sebutir telur, pasti akan mengganggapnya lucu. "Gua ini memang menyenangkan. Maksudku..., aku suka kedamaian di sini, tapi selama ratusan tahun kita tinggal di tempat ini, kedamaian ini makin lama membuatku hampir gila! Aku hanya akan pergi sebentar saja. Ya..., ya..., ijinkan aku pergi."

Seandainya telur itu memiliki mata, mungkin sekarang ia akan terlihat memutar bola matanya. Namun, berhubung ia tidak memiliki indera-indera selengkap si makhluk, ia hanya mengeluarkan dengusan sinis. Pergilah, tapi ingat... jangan berbuat aneh-aneh. Jika kau kembali melanggar peraturan, Yang Kuasa akan mencabut kesaktianmu.

Si makhluk terlonjak senang, terkesan seperti anak-anak yang diperbolehkan bermain oleh orangtuanya walau air mukanya sama sekali tak terlihat seperti orang yang sedang senang.

Satu pesanku, cepat pulang dan jangan berlama-lama di kota, lanjut si telur.

***

Si makhluk keheranan ketika melihat kebanyakan orang yang memiliki ciri fisik sepertinya, bertubuh kecil dan berkulit sawo matang, membuntuti orang-orang bertubuh tinggi besar dan berkulit putih. Mereka menunduk-nunduk sambil membawa barang-barang yang kelihatannya milik orang kulit putih itu. Ada yang juga membawakan payung besar sebagai penangkal sengatan matahari di belakang si orang kulit putih.

Setelah diijinkan pergi oleh telurnya, makhluk itu pergi dalam sekedipan mata dan muncul di pusat kota bernama Outstadt. Kawasan ini benar-benar asing bagi si makhluk. Bangunan-bangunannya bertingkat dan tinggi besar, terbuat dari bata merah serta batu kapur. Dari bentuk dan modelnya, jelas sekali kalau bangunan ini tidak dibuat berdasarkan selera orang-orang sepertinya.

Rasa heran si makhluk semakin menjadi melihat orang-orang yang kebanyakan berlalu-lalang di tempat ini. Rata-rata berkulit putih dan mengenakan setelan yang terlalu rapi. Wanita-wanitanya memakai pakaian panjang dengan bawahan menggembung yang membuat mereka kelihatan lucu di matanya. Makhluk itu jadi bertanya-tanya, apa ia salah tempat saat memikirkan ke arah mana ia akan pergi tadi? Tapi..., rasanya tidak.

Si makhluk, yang menyaru sebagai pemuda awal 20-an dan mengenakan baju lusuh serta celana gombrong semata kaki itu, mencermati sekitarnya baik-baik. Dulu, seingatnya, tempat ini masih kawasan hijau yang ditumbuhi pepohonan dan asri. Namun, sekarang kawasan ini dipadati oleh gedung-gedung asing. Hampir tidak ada satu pun pohon yang tumbuh di pinggir jalan, memaksanya untuk selalu berjalan di bawah bayang-bayang gedung. Ia pergi tanpa alas kaki, bisa dibayangkan sepanas apa kakinya bila berjalan langsung di jalan yang terpapar sinar matahari.

Ia menyusuri jalan utama bernama Heerenstraat yang dikuasai kendaraan-kendaraan aneh. Rasa heran yang semula menguasai benak makhluk itu berubah menjadi kekaguman. Semua yang ada di sini memang asing ----bangunan, manusia-manusianya, bahkan kendaraan----, tapi menarik untuk diperhatikan. Sayangnya, tempat ini bukan tujuannya.

Makhluk itu menarik nafas dalam-dalam, membaui kekacauan terselubung di sini. Ada bibit pertikaian di kota ini, tapi sangat lemah, sehingga tidak menarik untuk menguliknya. Ia terus berjalan, melewati lapangan parade militer, kemudian sebuah gereja dengan atap berbentuk kubah, lalu pengadilan. Makhluk itu enggan bertanya pada orang-orang di sekitarnya untuk menunjukkan ke arah mana seharusnya ia pergi ke tempat tujuannya, walau sejujurnya ia ingin bertanya. Orang-orang di sini memandangnya dengan tatapan sengit, seolah ia adalah jenis makhluk yang harus diusir dari sini.

Jika melihat perlakuan beberapa kulit putih pada orang-orang seperti dirinya, makhluk itu sudah bisa menangkap kalau dalam kota ini ada perbedaan kasta. Nah, dari pada membuang-buang tenaga, ia merasa lebih baik mengikuti instingnya saja dan terus menyusuri heerenstraat sampai tiba di pinggir jembatan Berok.

Dia berhenti sejenak di sana----jembatan masih dinaikkan karena ada beberapa perahu yang tengah melintasi kanal, baru kemudian melanjutkan perjalanan setelah jembatan tersebut diturunkan lagi. Instingnya menuntunnya menuju sebuah pasar yang berada dekat dengan penjara.

Ketenangan mengalir dalam benak makhluk itu. Bangunan-bangunan di sekitar tempat ini terkesan lebih familier, meski beberapa tampak berbeda. Ada masjid, alun-alun, kemudian kadipaten, dan... tempat yang paling ia sukai, yaitu pasar! Dekat dengan pasar itu terdapat bangunan penjara yang cukup besar.

Sudut-sudut bibir makhluk itu tertarik ke atas, membuatnya terkesan menyeringai sehingga tanpa sengaja memamerkan gigi-giginya yang runcing. Hatinya semakin gembira saat merasakan nuansa perselisihan di kawasan dagang tersebut. Begitu berbaur dengan orang-orang di sana, hatinya melonjak senang karena bertemu dengan pedagang dan pembeli yang sedang berselisih. Wajahnya sumringah, langkahnya makin ringan menelusuri lapak-lapak di pasar tersebut.

Di sini, orang-orang dari berbagai macam etnis saling berinteraksi. Mereka yang berkulit sawo matang, kuning, putih atau pun agak gelap, bermata lebar maupun sipit, bertubuh kecil atau pun besar, terhimpun di satu tempat dan menimbulkan keramaian yang sangat menyenangkan. Sungguh, ini merupakan tempat yang pas untuk melemparkan bibit kekacauan. Ia bisa membaui percik-percik ketidaksukaan, kebencian, serta kemarahan di sini. Kalau saja ia bisa memperkeruh situasi...

Mendadak ia berhenti, lalu menepuk jidatnya sambil menggeleng-geleng. Peringatan si telur melintas dalam benaknya. Ia harus bisa menahan diri! Makhluk itu mencoba menjernihkan pikirannya yang kacau akibat terlalu senang berada di tengah perselisihan. Si Makhluk menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Beberapa orang memperhatikannya dan mengernyit heran, merasa aneh dengan tindak-tanduknya.

Ketika akan mengelilingi pasar yang luasnya tidak seberapa ini, langkahnya tertahan karena telinganya yang tajam menangkap suatu pembicaraan menarik. Sembari pura-pura melihat barang yang dijual para pedagang, makhluk itu menuju ke asal suara, tepatnya percakapan tersebut berasal dari dua orang pria yang berdiri di depan lapak barang. Ia berhenti di depan suatu lapak sambil mengamati gerabah yang dipajang di sana.

"Awal pasa iki ketoke beda maneh kaya taun mbiyen*," ucap pria berbaju polos warna kelabu yang sedang menunggu si pemilik lapak kembali dari beribadah di masjid.

"Awit mbiyen pancen wis beda*," timpal sang kawan.

"Nanging pada rumangsa bener dhewe*," pria itu mengernyit, terlihat tidak terlalu suka dengan ketidakacuhannya.

"Lha, terus arep piye? Wiwit mbiyen, sing jenenge nentukke awal pasa mesti beda-beda. Sing bisa nyatukke iki mung kanjeng Bupati Purbaningrat*," balas kawannya santai.

Makhluk itu tak mendengar lanjutan percakapan mereka. Hasrat alaminya meluap keluar, membanjirinya dengan semangat untuk melakukan sesuatu. Si pedagang gerabah yang hendak menanyakan keperluan makhluk itu di lapaknya sampai beringsut ngeri karena melihat air mukanya yang jauh dari kesan manusiawi.

Buru-buru makhluk itu pergi menuju sudut tersembunyi pasar yang sepi dan lenyap dalam sekejap mata.

***

"Berjalan-jalan memang memberi pencerahan!" seruan makhluk itu di dalam gua menimbulkan gema. Penyamarannya lenyap dan ia kembali ke sosok aslinya.

Sang telur yang tergeletak manis di atas jerami berkomentar, Kau selalu senang sehabis keluar. Kali ini tidak ada masalah, kan?

"Tentu saja tidak," si makhluk kelihatan agak tersinggung dengan pertanyaan telurnya. "Aku bisa menahan diri dengan baik," dengusnya senang.

Syukurlah kalau begitu. Dari tadi aku khawatir kalau kau tidak mampu menahan diri untuk berbuat usil, nada suara telur itu terdengar lega.

Si makhluk menyeringai, berusaha menyembunyikan cengiran dan rasa senangnya yang membuatnya tampak seperti makhluk yang haus darah.

Kau senang? tanya telur itu.

"Aku sangat senang!" seru sang makhluk sambil berputar-putar gembira. Kelakuannya benar-benar tidak mencerminkan keanggunan bagi sosok tinggi besar dan menakutkan sepertinya.

***

Keesokan harinya, si makhluk berpamitan ingin pergi kembali ke kota. Tindakannya itu jelas-jelas membuat si telur keberatan.

Apa kemarin tidak cukup melihat-lihat? Seharusnya kau kembali bertapa, tegur si telur.

"Aku ingin menebar kebajikan," jelas si makhluk. "Bukannya kau sering berkata, bahwa diam tidak sama dengan berbuat? Selama ini, aku sudah bersabar untuk diam saja. Kali ini, aku ingin melakukan sesuatu."

Apa yang ingin kau kerjakan? Si telur jelas-jelas tidak bisa menyembunyikan kecurigaannya.

"Aku membuat banyak mainan," ujar sang makhluk. Ia memang tidak berbohong. Semalam dia membuat banyak sekali mainan yang terbuat dari kayu bakau. "Akan kujual untuk anak-anak dengan harga yang sangat murah. Membuat mereka gembira termasuk kebajikan, kan?"

Kata-katanya membuat sang telur mendesah pasrah. Kalau begitu, hati-hati. Aku selalu khawatir kau lepas kendali.

Si makhluk mendengus sinis. "Seharusnya kau lebih percaya padaku. Kita sudah bersama selama ratusan tahun."

Telur itu tidak menjawab dan kemudian sang makhluk beranjak dari guanya sambil membawa pikulan yang menenteng dua keranjang bambu berisi berbagai macam mainan. Sebelum pergi, makhluk itu menyaru kembali menjadi pemuda awal dua puluhan yang mengenakan pakaian dan celana lusuh, serta penutup kepala yang sudah usang.

***

Semula ia kebingungan ketika hendak menjual mainan-mainannya. Beberapa orang di pasar menegurnya untuk tidak berjualan di sana. Mereka kelihatan tidak suka ada pedagang baru yang seenaknya duduk dan membuka lapak tanpa bicara dulu pada pendekar pasar. Pada akhirnya, si makhluk pun menjual mainan-mainannya di depan pelataran gapura Masjid kauman.

Banyak anak-anak kecil yang mendatanginya dan memilih-milih mainan yang dijajakannya. Kebanyakan anak berusia 5 - 6 tahun yang mungkin murid-murid pesantren di dekat Masjid ini. Ada yang memberinya beberapa keping uang sen, tetapi bagi yang tidak sanggup membayar, mainan itu diberikannya secara cuma-cuma.

Makhluk itu duduk di bawah rimbunan pohon sambil memperhatikan anak-anak yang bermain tak jauh dari tempatnya berjualan. Ia sedikit merasa bosan, karena tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia kira, dengan berada di dekat masjid, ia bisa mencuri dengar mengenai masalah awal penetapan bulan puasa yang kemarin didengarnya dari orang pasar. Namun, nyatanya tidak.

Mungkin, seharusnya tidak menjadi penjual mainan, pikirnya. Atau bisa jadi karena ia hanya diam di satu tempat dan tidak mau berkeliling? Mungkin saja. Makhluk itu menguap lebar-lebar sambil merenggangkan badan. Tak sengaja, matanya bertemu pandang dengan seorang lelaki setengah baya yang tengah berdiri di depan gapura. Lelaki itu mengenakan baju panjang sederhana dan memakai sorban.

Si makhluk mendadak jadi gugup karena diperhatikan lekat-lekat oleh lelaki itu. Ia lalu tersenyum sambil menggangguk ramah dan buru-buru membereskan dagangannya. Kemudian, makhluk itu pergi berkeliling menjajakan mainannya. Tak disangka, dari berkeliling itu, ia mendapatkan apa yang ia inginkan.

Rupanya, kaum muslimin saat ini sedang dilanda perselisihan karena perbedaan dalam menentukan awal mula bulan puasa. Akibat dari beda pandangan inilah kemudian terbentuk kelompok-kelompok kecil yang saling beradu-pendapat dan mengakibatkan suasana runyam. Setiap kelompok selalu beranggapan bahwa perhitungan merekalah yang benar, sehingga menyulitkan Bupati untuk menarik jalan tengah bagi perselisihan umat muslim saat ini. Bupati sekarang masih berembug dengan para ulama dan kyai untuk mencari penyelesaian yang baik.

Makhluk itu kembali pulang ke guanya dengan perasaan riang. Ia berniat membuat lebih banyak mainan malam ini. Setelah bertegur sapa singkat dengan si telur, makhluk itu pun bergegas keluar dan mulai mencari bahan-bahan untuk membuat mainan lagi. Sambil menyanyikan tembang jawa, ia mulai menghaluskan kayu-kayu bakau yang masih kasar, kemudian membentuknya menjadi mainan-mainan beroda yang apik.

Ditemani angin malam yang dingin serta debur ombak di pesisir pantai, makhluk itu begadang menyelesaikan mainan-mainan baru.

***

Pergi lagi? Si telur berdecak ketika makhluk itu mengatakan bahwa ia akan menebar kebajikan lagi.

"Kau kelihatannya tidak suka kalau aku pergi terus ke kota," makhluk itu merengut. Ini sudah hari kelima ia pergi ke kota dan dari hari ke hari, telurnya kelihatan makin tidak menyukai kepergiannya.

Bagaimana dengan tapamu? Telur itu mengingatkan.

"Menebar kebajikan juga perlu, kan?" kilah si makhluk.

Tapi..., belum selesai si telur membantah, makhluk itu sudah pergi. Keheningan di dalam gua membuatnya tahu bahwa sang sahabat telah meninggalkannya. Telur itu mendesah resah. Dia merasakan sesuatu yang tidak enak dan berharap kawannya benar-benar tidak melakukan sesuatu yang buruk. Si telur menyadari, pendar kehangatannya mulai hilang.

***

Makhluk itu kembali berkeliling di sekitar kadipaten, menjual mainan atau bahkan memberikan mainan secara cuma-cuma pada anak-anak. Sesekali, ia bercerita pada anak-anak tersebut tentang makhluk sakti mandraguna----yang tak lain adalah dirinya sendiri---- dan bergaya seperti pendongeng ulung. Anak-anak tentu saja dibuat terpukau dengan gerak-geriknya yang lincah, kemudian bertepuk tangan dan memintanya menceritakan kisah lainnya yang disambut penolakan karena pura-pura kelelahan.

Ia menikmati samarannya sebagai seorang penjual mainan. Namun, setiap hari, bukan ini yang ditunggunya. Ia menunggu orang-orang dewasa yang berkumpul di lapak-lapak atau warung dekat masjid, kemudian mencuri dengar pembicaraan mereka. Dari pengamatannya selama ini, makhluk itu sudah bisa memetakan di tempat-tempat mana saja kelompok-kelompok kaum muslim yang saling bertentangan itu saling bertukar informasi.

Mengikuti hasrat alaminya yang sedang bebas, makhluk itu pun memperuncing perselisihan di antara kelompok-kelompok tersebut. Ia akan pura-pura memihak satu kelompok dan membenci kelompok lain. Tentu saja, kelompok yang dipihaknya berubah-ubah sesuai kelompok mana yang ia datangi. Dikobarkannya aura permusuhan di antara mereka, sampai sebagian orang dari kelompok tersebut tak mau lagi saling menyapa dan bersikap acuh tak acuh. Yang paling membuatnya gembira adalah jika di antara mereka ada yang sampai bertengkar hebat, bahkan saling memukul.

Tentunya, ia tidak ikut menyoraki di dekat mereka. Paling-paling, di kejauhan ia hanya tersenyum-senyum bahagia. Bila hari sudah beranjak gelap, barulah ia pulang dan membuat lagi mainan-mainan baru. Tanpa sadar, makhluk itu perlahan meninggalkan telurnya seorang diri.

***

Sudah delapan hari ia mengunjungi kota dan hatinya makin bebas dari hari ke hari. Hasrat alaminya makin menguasai tindak-tanduknya, membuat makhluk itu tak segan untuk menyeringai licik bila melihat sesuatu yang menggembirakannya. Makhluk itu memasuki gua, setelah beberapa hari enggan bertegur sapa dengan sahabatnya. Tiga hari lalu mereka bertengkar hebat, karena si telur terus saja mengingatkannya untuk bertapa dan menjauhi kota.

Namun, karena ia sudah terlanjur suka dengan keadaan di kota, makhluk itu tentu saja membantah habis-habisan pernyataan si telur. Pada akhirnya, mereka saling mendiamkan dan si makhluk enggan masuk ke gua usai berjalan-jalan. Makhluk itu lebih memilih membuat mainan lagi dari pada menyelesaikan masalahnya dengan sang sahabat. Tapi, sekarang ia merasa tak enak sendiri. Bagaimana pun, telur itu adalah kawan karibnya selama beratus tahun, hadiah dari Sang Kuasa atas baktinya dulu. Rasanya tidak pantas, bila ia mendiamkan kawannya selama ini.

Saat memasuki gua, si makhluk mengernyit heran, karena keadaan di sana lebih gelap dari sebelumnya. Seingatnya..., gua ini selalu terang dan... hangat. Ia baru menyadari kalau keadaan di sini dingin.

"Apa kau masih marah padaku?" makhluk itu berjalan dengan hati-hati, menjejakkan keempat kakinya pada permukaan karang yang keras. Ia tidak bisa melihat sosok telur itu di mana pun dan pertanyaannya tadi tidak mendapat jawaban.

Makhluk itu gemetaran. Semarah apa pun sahabatnya, dia biasanya tetap menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Namun, di mana kawannya saat ini? Kenapa dia tidak ada di mana pun? Bahkan..., suaranya tidak kedengaran. Ia memanggil-manggil kawannya dan mencarinya ke seluruh penjuru gua, tetapi... tetap tidak menemukannya.

Jerami tempat si telur biasanya berdiam sekarang kosong melompong, mengacaukan pikiran makhluk itu. Apakah sahabatnya baru saja dicuri?

***

Selama berhari-hari makhluk itu mencari-cari kawannya. Ia mendatangi dan memeriksa seluruh pelosok tempat tinggalnya yang terpisah dari dunia manusia. Tak mendapat jejak atau tanda-tanda keberadaan si telur, makhluk itu pun pergu menjelajahi seluruh kota, demi menemukan kembali sang kawan. Sayang hasilnya sia-sia. Ia tak menemukan telurnya di mana pun.

Beberapa hari sebelum bulan puasa tiba, makhluk itu kembali ke pelataran depan gapura Masjid besar kauman. Ia membawa membawa mainan-mainannya dan duduk termenung di bawah sebuah pohon. Wajahnya kelihatan lesu dan muram, sehingga siapa pun yang melihatnya bisa menebak kalau ia sedang punya masalah.

Beberapa anak mendatanginya, hendak membeli atau bahkan mengambil mainan lagi. Ia mempersilakan mereka tanpa pikir panjang, tak berminat mendengar coletahan ramai bocah-bocah itu. Benaknya kacau dan ia sedang kebingungan, hingga kembali menjual mainan.

"Kau kelihatan tidak bersemangat," sapaan seorang lelaki setengah baya mengalihkan perhatian makhluk itu. "Lama tidak melihatmu di sini."

Ia menoleh pada lelaki berbaju panjang sederhana yang berdiri di depan keranjang mainannya dan tersenyum ramah padanya. Makhluk itu menelan ludah, mengenali si pria yang tak lain adalah salah satu kyai di Masjid ini. Pria ini yang dulunya pernah memperhatikannya lekat-lekat sampai membuatnya salah tingkah.

"Aku sering melihatmu bermain dengan anak-anak, biasanya kau tampak ceria," lelaki itu mengambil salah satu mainan dari dalam keranjang dan memperhatikannya dengan cermat. "Kau terampil sekali dalam membuatnya. Tingkat kehalusan dan detailnya sangat bagus." Lanjutnya saat makhluk itu tak segera menjawab timpalannya.

"Kalau Kyai mau, silakan ambil," kata makhluk itu kalem.

Pria itu tersenyum. "Terima kasih, kuambil satu," ujarnya. "Dari mana saja kau selama ini? Anak-anak mencarimu."

Merasa seperti didesak oleh lelaki itu, sang makhluk pun pada akhirnya mengalah dan menceritakannya. "Saya pergi mencari sahabat saya."

Pria berjanggut itu mengangkat kedua alisnya yang berwarna kelabu.

"Beberapa hari lalu, kami bertengkar dan sebelum saya minta maaf, dia sudah menghilang," lanjut makhluk itu sendu.

"Benar dia menghilang? Atau jangan-jangan dia ada di dekatmu, tetapi kau tiba bisa melihatnya?" pertanyaan pria itu membuat sang makhluk mengerutkan dahi.

Ia menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. "Maksud Kyai?"

"Kadang, perbuatan jahil seremeh apa pun bisa menutupi pandangan kita terhadap yang lain," jawab Kyai itu. "Si telur yang kau sebut sebagai sahabatmu itu tidak pernah jauh darimu."

Makhluk itu terperangah karena ternyata lelaki itu tahu siapa dirinya.

***

"Ini tempat tinggalmu?" tanya kyai itu setelah memasuki gua sang makhluk. Dia mengiakan ajakan si makhluk untuk bertandang ke rumahnya.

"Ya," jawabnya kalem. Wujudnya kembali berubah menjadi sesosok hewan mengerikan. "Saya tinggal di sini bersama kawan saya. Dulunya dia ada di sana, sekarang entah ada di mana," makhluk itu menunjuk ke arah jerami yang kosong. "Dia hadiah dari Yang Kuasa. Saya memperolehnya setelah bertapa selama ratusan tahun. Namun, kini, karena kebodohan saya sendiri, saya melenyapkan kawan yang paling berharga." Air mukanya kini sama sekali tidak terlihat menakutkan, kegarangannya hilang karena tertutup oleh kesedihan.

Pria itu berjalan dengan hati-hati menuju ke arah jerami, tempat si telur sebelumnya ada. Sedikitnya cahaya di gua ini membuatnya harus awas dalam melangkah. Ia memperhatikan jerami itu sesaat, kemudian tersenyum.

"Apa Kyai melihat sesuatu?" si makhluk kelihatan cemas.

Pria itu tidak menjawab, cuma tersenyum saja. "Apa kau mau kuberitahu caranya supaya bisa menemukan sahabatmu kembali?" dia balas bertanya.

"Ya! Saya mau!" ia kelihatan antusias.

***

Kemudian, makhluk itu pun melaksanakan nasehat dari sang Kyai. Keesokan harinya, ia pergi lagi ke kota dan menjual mainan-mainannya seperti biasa. Namun, kali ini, ada misi yang harus ia selesaikan. Makhluk itu mendatangi kelompok-kelompok yang pernah dihasutnya. Perlahan-lahan, ia berupaya untuk mengubah cara pandangan mereka dan mengajak orang-orang itu supaya kembali berbaikan dengan kelompok lainnya.

Bukan hal mudah bagi sang makhluk untuk mendamaikan pihak-pihak yang sedang berseteru itu. Mendapat pertentangan dari orang-orang yang diajaknya sedikit lebih mudah diatasi, yang paling sulit adalah menahan pemberontakan hasrat alaminya. Keinginannya untuk menciptakan permusuhan dan perselisihan harus ditahan mati-matian demi sang sahabat. Sungguh, ini ujian yang berat baginya karena insting alaminya mengarahkan supaya ia tidak lagi memedulikan kawannya.

Makhluk itu berupaya keras. Hari demi hari ia lewati dengan membangun kembali hubungan keakraban antara sesama kaum muslim. Memang tidak mudah, ada yang masih berkeras dengan pendapat masing-masing. Namun, mulai terlihat akibat dari bujukan-bujukan manisnya. Orang-orang yang dulu tak mau bertegur sapa, sekarang mau tersenyum dan menyapa kawannya dari lain kelompok. Mereka yang semula bersitegang, perlahan-lahan mulai mengendurkan urat permusuhan.

Jerih payah sang makhluk tidak sia-sia, pada hari ketiga setelah ia mencoba menyatukan kembali orang-orang yang dihasutnya, suara kawannya kembali bisa didengar.

Kau berjuang dengan baik, pujian si telur kedengaran telur.

Sang makhluk, yang baru saja kembali ke dalam gua, kebingungan karena tidak dapat menemukan sahabatnya di mana pun. Ia menoleh ke sana-kemari. "Kau di mana? Aku tidak bisa melihatmu," ujarnya.

Aku di dekatmu, jawab si telur.

Si makhluk mendesah pelan. Ternyata, perjuangannya belum usai. Ia masih harus terus memperbaiki hubungan kaum muslimin. Maka, semakin giatlah ia menebar bujukan perdamaian pada kelompok-kelompok yang bertikai. Perlahan tapi pasti, hubungan orang-orang tersebut kembali membaik. Situasi pun mulai terasa damai, apalagi bulan puasa sebentar lagi datang.

Saat kembali lagi ke gua, setelah kelelahan karena masih harus membujuk satu kelompok lagi yang kelihatan keras kepala dan menahan tekanan hasratnya untuk berbuat onar, makhluk itu dikejutkan dengan kehadiran sahabatnya.

Si telur tergeletak manis di tempatnya semula. Cangkangnya masih terlihat putih, tetapi sinarnya redup.

"Kau kembali!" seru makhluk itu gembira.

Yah, karena usahamu, jawab telur itu.

"Kupikir, aku tidak akan bisa melihatmu lagi!"

Kukira, kau akan terus berbuat jahil, timpalannya membuat si makhluk meringis. Bahkan, setelah mereka tidak saling bertemu dan bertegur sapa untuk beberapa hari, sahabatnya masih sempat melontarkan kalimat pedas.

"Aku harus berterima kasih pada Kiai itu," makhluk itu ingin pergi lagi. "Dia sudah membantuku mengembalikanmu!"

Bawa hadiah untuk beliau, komentar si telur. Sampaikan terima kasihku juga padanya.

***

"Matur nuwun, Kiai," ucap makhluk itu saat bertemu dengan sang Kiai di pelataran masjid kauman. Langit sudah gelap dan Masjid kini diterangi oleh api dari batang-batang bambu memanjang yang telah diberi minyak serta diberi sumbu. "Sahabat saya sudah kembali. Saya sudah bisa melihat dan mendengar lagi. Semua berkat nasehat Kiai."

Pria itu tersenyum tipis. "Kalau kau tidak berusaha untuk menemukannya, dia pun tidak akan kembali."

Si makhluk kelihatan agak salah tingkah. Kemudian, ia memberikan beberapa buah mainan pada sang kiai. "Ngapuntene Kiai, saya hanya memberikan hadiah ini," katanya kikuk. "Sahabat saya juga menitipkan ucapan terima kasih untuk panjenengan."

"Jangan mengulang lagi kejahilanmu ini," pesan si kiai saat melihat gelagat kalau makhluk itu ingin pergi. "Lenyapnya kawanmu beberapa waktu lalu merupakan peringatan. Ketika kau melakukannya lagi, kau bisa kehilangan dia selamanya."

"Saya mengerti," si makhluk berdecak pelan. "Sekali lagi, terima kasih, Kiai. Saya pamit dulu."

"Ngomong-ngomong, siapa namamu?" sang Kiai bertanya sebelum makhluk itu benar-benar lenyap dari pandangan matanya.

Makhluk itu terlihat ragu sesaat, baru menjawab dengan suara yang lebih mirip gumaman. "Warak," ucapnya, lalu menghilang dari pandangan sang kiai.

"Warak...," Kiai itu diam sesaat, kemudian menambahkan, "Warak Ngendog."

Setelah itu, sang kiai masuk kembali ke area masjid dengan tangan dipenuhi mainan kayu. Sementara itu, si makhluk kembali bertapa di dalam guanya yang damai dan tenang. Ia masih berusaha mengendalikan hasrat alaminya untuk berbuat kekacauan. Bersama si telur, makhluk itu menghabiskan waktunya untuk belajar mengendalikan diri serta berpikir lebih bijak lagi. Sekali waktu mereka bertengkar, tetapi... selebihnya keduanya tenang dan tenggelam dalam puja-puji pada Sang Kuasa.

Note:

Karena Warak Ngendog adalah mainan anak-anak, entah kenapa saya selalu terbayang sosok tengil yang kekanakan dalam membuat cerita ini. ^^

1. Awal pasa iki ketoke beda maneh kaya taun mbiyen = Awal puasa ini kayaknya beda lagi dari tahun kemarin

2. Awit mbiyen pancen wis beda = Dari dulu memang sudah beda

3. Nanging pada rumangsa bener dhewe = Tapi pada merasa benar sendiri

4. Lha, terus arep piye? Wiwit mbiyen, sing jenenge nentukke awal pasa mesti beda-beda. Sing bisa nyatukke iki mung kanjeng Bupati Purbaningrat = Lha mau bagaimana lagi? Dari dulu, yang namanya menentukan awal puasa pasti beda-beda. Yang bisa menyatukan hanya Bupati Purbaningrat.

5. Outstadt (Sekarang namanya adalah kota lama)

6. heerenstraat (Sekarang namanya adalah jalan Letjen Suprapto).


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro